Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193923 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hana Kamila Chairunisa
"Penyerapan energi surya melalui pemasangan modul surya merupakan salah satu target transisi energi yang saat ini dikerahkan oleh pemerintah Indonesia. Sejak ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional pada tahun 2017, penyerapan energi surya pada skala komersial dan non komersial mulai berkembang. Sayangnya, ambisi pemerintah tersebut belum sepenuhnya mempertimbangkan potensi limbah modul surya yang rusak atau habis masa pakainya yang muncul saat ini dan masa depan. Maka dari itu, dibutuhkan pengaturan pengelolaan limbah modul surya yang tepat. Extended producer responsibility merupakan salah satu prinsip yang dapat diterapkan dalam instrumen pengelolaan limbah modul surya. Beberapa negara yang telah mengadopsi konsep ini adalah negara anggota Uni Eropa, salah satunya Jerman dan negara bagian Amerika Serikat seperti Washington, California, dan New York. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal. Tulisan ini berupaya untuk meninjau prospek penerapan instrumen extended producer responsibility pada pengelolaan limbah modul surya di Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah extended producer responsibility merupakan prinsip lingkungan yang dapat diterapkan dalam instrumen untuk mengelola limbah modul surya di Indonesia. Saat ini pengelolaan limbah modul surya merujuk pada peraturan pengelolaan limbah B3 bagi modul surya bersumber dari PLTS bersifat komersial dan pengaturan pengelolaan sampah spesifik bagi modul surya bersumber dari PLTS bersifat non komersial. Walaupun telah diatur, ketentuan tanggung jawab produsen masih minim ditemukan, khususnya pada skema pengelolaan limbah B3. Penerapan extended producer responsibility dapat diterapkan dengan menetapkan ketentuan tanggung jawab pengumpulan kembali modul surya, pendauran ulang, pembiayaan, pelabelan, dan pelaporan oleh produsen.

Solar energy uptake through the installation of solar modules is one of the energy transition targets currently being put forward by the Indonesian government. Since its enactment in the National Energy Policy in 2017, the uptake of solar energy at commercial and non-commercial scales has begun to grow. Despite the government's ambition to implement the policy, however, it has not completely considered the potential waste of end-of-life solar modules that arise now and in the future. Hence, an appropriate solar module waste management regulation is needed. Extended producer responsibility is one of the principles that can be applied in solar module waste instrument. Some countries that have adopted this concept are European Union member states, one of which is Germany and some state countries of United States such as Washington, California, and New York. This research uses doctrinal method. This research aims to review the prospect of applying extended producer responsibility instruments to the management of solar module waste in Indonesia. The result of this research is that extended producer responsibility is a principle that can be applied in an instrument to manage solar module waste in Indonesia. Currently, solar module waste management refers to hazardous waste management regulations for solar modules sourced from commercial solar power plants and specific waste management regulations for solar modules sourced from non-commercial solar power plants. Although regulated, the provisions of producer responsibility are still lacking, especially in the hazardous waste management scheme. The implementation of extended producer responsibility can be implemented by regulating the provisions of responsibility for solar module take-back, recycling, financing, labeling, and reporting by producers. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Hana Safira
"Indonesia termasuk dalam lima negara yang menghasilkan lebih dari 50% dari total sampah plastik yang ada di lautan. Pola produksi dan penggunaan plastik saat ini adalah pendorong utama menipisnya sumber daya alam, limbah, pencemaran lingkungan, hingga memiliki efek buruk pada kesehatan manusia. Penggunaan terbesar plastik salah satunya adalah untuk kemasan. Extended producer responsibility merupakan salah satu konsep yang diterapkan terhadap pengelolaan sampah plastik yang berasal dari kemasan. Sudah terdapat sejumlah negara yang menerapkan sistem ini terhadap pengelolaan sampah kemasan plastik, salah satunya adalah negara Jepang dan Inggris. Di Indonesia, sudah terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar adanya penerapan extended producer responsibility di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif serta komparatif. Kesimpulan yang didapatkan dalam penelitian ini adalah walaupun adanya penerapan sistem extended producer responsibility terhadap sampah kemasan plastik, namun masih terdapat kekurangan terhadap sistem tersebut. Hal ini dikarenakan adanya kekurangan pengaturan target yang harus dicapai produsen dalam melakukan tanggung jawabnya penetapan baseline timbulan sampah yang tidak tegas, serta kekurangan dari segi sanksi yang berpotensi untuk tidak dapat diterapkan terhadap produsen yang tidak melakukan tanggung jawabnya.

Indonesia is included as one of the five countries that produce more than 50% of the total plastic waste in the ocean. The current pattern of production and use of plastic is the main driver of the depletion of natural resources, waste, environmental pollution, even to the extent of having an effect on human health. One of the biggest uses of plastic is packaging. Extended producer responsibility is one of the concepts that can be applied to the management of plastic waste from packaging. There are already a number of countries that have implemented this system for managing plastic packaging waste, including Japan and England. In Indonesia, there are already a number of laws and regulations that form the basis for the implementation of extended producer responsibility in Indonesia. The method used in this research is normative and comparative juridical. The conclusion obtained in this study is that despite the application of the extended producer responsibility system for plastic packaging waste, but there are still deficiencies in the system. This is due to the lack strict targets that producers must achieve in carrying out their responsibilities, the indecisive determination of the waste generation baseline, as well as lacking in terms of sanctions that have the potential to not be applied to producers who do not carry out their responsibilities.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Thareq Ramadhan
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas kemungkinan penerapan sistem take-back di
Indonesia dengan membandingkan regulasi dan tata cara pelaksanaan takeback
sistem di Jepang. Indonesia saat ini belum memiliki definisi dan tatanan
cara mantap tentang sampah elektronik, sehingga berdampak pada ketidakjelasan
pembagian peran pemerintah, pelaku usaha dan warga negara dalam regulasi
hukum yang mengatur pengelolaan limbah elektronik. Skripsi ini bersifat deskriptif dan ditulis untuk memberikan gambaran umum kepada pembaca mengenai penerapan sistem take-back yang baik mengacu pada regulasi di Jepang.
Data yang digunakan adalah data sekunder yaitu bahan hukum primer berupa
undang-undang; bahan hukum sekunder berupa rancangan undang-undang,
laporan penelitian dan buku; dan bahan hukum tersier berupa sumber data
data primer, sekunder, dan referensi di bidang non-hukum. Diperlukan sistem pengembalian diterapkan guna menambah daya tampung sampah elektronik sehingga volumenya produksi limbah dan pencemaran lingkungan akibat limbah non elektronik daur ulang di Indonesia bisa diselesaikan. Untuk mencapai aplikasi ini, Indonesia harus siap dengan sistem regulasi yang stabil dan saling melengkapi.
ABSTRACT
This thesis discusses the possibility of implementing a take-back system in
Indonesia by comparing the regulations and procedures for implementing takeback system in Japan. Indonesia currently has no definition and structure
steady way about e-waste, resulting in obscurity division of the roles of government, business actors and citizens in regulation laws governing electronic waste management. This thesis is descriptive in nature and was written to provide an overview to the reader regarding the application of a good take-back system referring to regulations in Japan. The data used are secondary data, namely primary legal materials in the form of Constitution; secondary legal materials in the form of draft laws, research reports and books; and tertiary legal materials in the form of data sources primary, secondary, and reference data in non-legal fields. It is necessary to implement a return system to increase the capacity of electronic waste so that the volume of waste production and environmental pollution due to recycled non-electronic waste in Indonesia can be resolved. To achieve this application, Indonesia must be ready with a stable and complementary regulatory system."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
B. Handoko Purwojatmiko
"Penanganan limbah elektronik yang tidak tepat dapat menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Limbah elektronik dihasilkan dari perkembangan pesat teknologi manufaktur yang mendorong revolusi industri sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Extended Producer Responsibility (EPR) adalah pendekatan kebijakan lingkungan yang berorientasi terhadap tanggung jawab produsen. Akan tetapi perkembangan EPR di negara berkembang masih kurang, dimana sistem pengumpulan dan daur ulang belum cukup diperhatikan. Di sisi lain, motivasi produsen dari sektor industri belum memiliki perhatian yang cukup untuk memperluas tanggung jawab produk mereka hingga tahap pasca konsumsi, terutama untuk mengambil kembali, memulihkan dan membuang. Studi ini mengeksplorasi faktor-faktor kunci yang dapat memotivasi produsen untuk sepenuhnya mengadopsi konsep EPR dalam industri elektronik di Indonesia. Model yang dibangun berdasarkan pada Theory of Planned Behavior (TPB) yang diperluas dalam konteks EPR. Model ini dibentuk oleh tiga konstruksi utama: perilaku individu, norma subyektif dan persepsi kontrol perilaku, serta tiga faktor lain yang diidentifikasi dari tinjauan pustaka dan wawancara kepada perwakilan perusahan yaitu insentif ekonomi, insentif administrasi dan insentif logistik. Faktor-faktor tersebut terlibat dalam membentuk intensi untuk melakukan suatu perilaku. Hasil yang didapatkan dari analisis jalur bahwa faktor insentif administrasi hanya dapat mempengaruhi intensi sedangakan insentif logistik dapat mempengaruhi perilaku produsen elektronik untuk mengadopsi EPR

Improper handling of WEEE (Waste Electrial and Electronic Equipment) can cause negative impacts on the environment and human health. WEEE is generated from the rapid development of manufacturing technology that has pushed the industrial revolution to have an impact on economic growth, especially in developing countries such as Indonesia. Extended Producer Responsibility (EPR) is an environmental policy approach that is oriented towards producer responsibility. However, the development of EPR in developing countries is still lacking, where the collection and recycling system has not been adequately addressed. On the other hand, the motivation of producers from the industrial sector does not have enough attention to expand their product responsibilities to the post-consumption stage, especially to take back, recover and dispose. This study explores the key factors that can motivate producers to fully adopt the EPR concept in the electronics industry in Indonesia. The model built based on extended Theory of Planned Behavior (TPB) in the context of EPR. This model is formed by three main constructs: attitude, subjective norms and perceived behavioral control, and three other factors that identified from literature reviews and interviews with producer representatives namely economic incentives, administrative incentives and logistic incentives. These factors are involved in forming the intention to behavior. The results obtained from the path analysis that administrative incentive factors can only influence intention while logistic incentives can influence the behavior of electronic producers to adopt EPR."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
T54370
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmal Dzaky Baskara Gunawan
"Salah satu sektor yang paling banyak menghasilkan emisi adalah sektor transportasi sebanyak 23%. Pada abad ke-21. Kendaraan Bermotor listrik (KBL) mulai bermunculan di jalanan terutama yang menggunakan Lithium Ion Batteries (LIBs). KBL merupakan salah satu solusi dalam mengurangi polusi udara. KBL lebih unggul dibandingkan kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energinya. Indonesia menyambut hal ini dengan membuat instrumen hukum untuk mendorong program percepatan KBL melalui Peraturan Presiden No. 55/2019 yang diubah dengan Peraturan Presiden No. 79/2023. Instrumen ini hadir sebagai suatu upaya untuk mendorong penggunaan KBL oleh masyarakat Indonesia dalam mengurangi polusi udara. Namun, inovasi terhadap mobil listrik yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca tidak lepas dari timbulnya suatu permasalahan baru. Permasalahan tersebut adalah potensi limbah baterai mobil listrik yang telah terpakai, sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Atas hal tersebut, penulis meninjau permasalahan pengelolaan limbah baterai KBL melalui konsep tanggung jawab produsen. Konsep tanggung jawab produsen pertama kali diperkenalkan dalam UU No. 18/2008. Konsep tanggung jawab produsen atau biasa disebut Extended Producer Responsibility (EPR), merupakan konsep yang menitikberatkan tanggung jawab produsen dalam pengelolaan barang yang mereka produksi. Hal ini penting, karena baterai KBL masuk kedalam kategori limbah B3, yang membutuhkan penanganan khusus dalam pengelolaannya. Penelitian ini menggunakan metode penulisan yuridis-normatif, yaitu melihat kesesuaian kebijakan pengelolaan limbah B3 dengan berbagai bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Selain itu, penulis utamanya akan mengaitkan kebijakan tersebut dengan konsep pengelolaan limbah B3 terutama konsep EPR. Berdasarkan penelitian ini, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan pengelolaan limbah baterai KBL dengan peraturan yang sudah ada saat ini. Hal ini penting, agar konsep EPR yang masih dilakukan secara sukarela oleh produsen, dapat berjalan secara sirkular.

One of the sectors that produces the most emissions is the transportation sector, which accounts for 23%. In the 21st century. Electric Vehicles (Evs) began to appear on the streets, especially those using Lithium Ion Batteries (LIBs). They are one of the solutions in reducing air pollution. They are superior to vehicles that use fossil fuels as their energy source. Indonesia welcomed this by creating a legal instrument to encourage the acceleration of the KBL program through Presidential Regulation No. 55/2019 which was amended by Presidential Regulation No. 79/2023. This instrument is present as an effort to encourage the use of KBL by the Indonesian people in reducing air pollution. However, innovation in electric cars that aims to reduce greenhouse gas emissions cannot be separated from the emergence of a new problem. This problem is the potential waste of used electric car batteries, which can cause environmental pollution. For this reason, the author reviews the problem of KBL battery waste management through the concept of producer responsibility. The concept of producer responsibility was first introduced in Law No. 18/2008. The concept of producer responsibility or commonly called Extended Producer Responsibility (EPR), is a concept that emphasizes the responsibility of producers in the management of the goods they produce. This is important, because KBL batteries fall into the category of hazardous waste, which requires special handling in its management. This research uses a juridical-normative writing method, which looks at the suitability of B3 waste management policies with various primary, secondary, and tertiary legal materials. In addition, the author will mainly relate the policy to the concept of hazardous waste management, especially the concept of EPR. Based on this research, the government needs to improve the supervision of KBL battery waste management with the current regulations. This is important, so that the concept of EPR, which Is still carried out voluntarily by producers, can run circularly."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bernardo Mariano
"Kemajuan teknologi dan meningkatnya tingkat ekonomi di suatu negara dapat menyebabkan peningkatan konsumsi barang, hal tersebut juga berlaku untuk konsumsi barang elektronik. Meningkatnya konsumsi barang elektronik juga akan meningkatkan limbah elektronik yang akan diproduksi di dalam negeri, jika tidak disertai dengan pengelolaan limbah elektronik yang baik, limbah elektronik dapat mencemari lingkungan dan dapat mempengaruhi kesehatan manusia juga.
Salah satu metode untuk mengelola limbah elektronik adalah penerapan kebijakan berdasarkan Extended Producer Responsibility (EPR), yang merupakan kebijakan yang memberikan tanggung jawab produk kepada produsen sebagai produsen produk, mulai dari produk yang diproduksi hingga produk-produk End of Life termasuk pengembalian produk proses, proses daur ulang dan proses pembuangan akhir produk.
Banyak negara maju dan berkembang seperti Jepang, Korea, Taiwan, Swiss telah menerapkan konsep EPR untuk mengelola limbah elektronik mereka. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih belum memiliki pengelolaan limbah elektronik dan peraturan khusus mengenai limbah elektronik. Maka penelitian ini bertujuan untuk memilih metode penanganan limbah elektronik berbasis EPR yang telah diterapkan di berbagai negara lain yang cocok untuk diterapkan di Indonesia dengan mempertimbangkan kriteria pemilihan yang ada.

Technological advances and increasing economic levels in a country can lead to increased consumption of goods, this also applies to consumption of electronic goods. Increased consumption of electronic goods will also increase electronic waste that will be produce in the country, if it is not accompanied by good electronic waste management, electronic waste can pollute the environment and can affect human health as well.
One of the methods for managing waste is the application of policies based on Extended Producer Responsibility (EPR), which are policies that provide product responsibility to producers as product producers, starting from products is produced to End of Life phase of the products including product return, recycling process and the final disposal process of the product.
Many developed and developing countries such as Japan, Korea, Taiwan, Switzerland have applied the EPR concept to manage their electronic waste. Indonesia as a developing country still does not have electronic waste management and special regulations regarding electronic waste. So this study proposes to choose the EPR-based method of handling electronic waste that has been applied in various other countries that are suitable for application in Indonesia by considering a proper selection criteria.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
T54227
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faiq Haidar
"Pengelolaan yang efisien dan berkelanjutan dari limbah suku cadang telah menjadi perhatian utama di berbagai fasilitas industri modern. Fasilitas-fasilitas ini menghadapi tantangan dalam mengendalikan, mengelola, dan  meminimalkan limbah yang dihasilkan selama pergantian rutin suku cadang. Dalam upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, penelitian ini melakukan analisa terhadap limbah suku cadang, lalu dilakukan analisa dan pengelompokan limbah suku cadang, merancang dan menambahkan modul ke dalam Sistem Manajemen Pemeliharaan Terkomputerisasi (CMMS) untuk meningkatkan pengelolaan limbah suku cadang di fasilitas industri. Penelitian ini melakukan analisa terkait limbah spare part pada sektor industri tertentu, melibatkan survei terhadap proses pengelolaan limbah suku cadang yang ada untuk dilakukan perancangan CMMS disertai dengan penambahal modul dan mengidentifikasi dimana manajamen limbah suku cadang dapat diterapkan pada sebuah CMMS sehingga didapatkan rekomendasi penerapan manajemen limbah suku cadang pada CMMS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan modul pengelolaan limbah suku cadang pada CMMS melalui fungsi manajemen suku cadang di fasilitas industri dapat dilakukan dan menghasilkan output . Dengan menerapkan kriteria analisis yang tepat, dapat mengidentifikasi spare part mana yang sebenarnya dapat digunakan kembali, dijual, atau didaur ulang. Penelitian ini menyoroti pentingnya implementasi CMMS dalam pengelolaan limbah suku cadang di fasilitas industri. Hasilnya memberikan panduan bagi fasilitas sejenis untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan limbah dan mengurangi dampak lingkungan serta biaya operasional yang tidak perlu.

The efficient and sustainable management of waste parts has become a major concern in many modern industrial facilities. These facilities face challenges in controlling, managing, and minimising the waste generated during the routine turnover of spare parts. In an effort to address these issues, this research analyses spare part waste, develops criteria for spare part waste, and implements it into a Computerised Maintenance Management System (CMMS) to improve spare part waste management in industrial facilities. This research analyses spare part waste in a particular industrial sector, involves a survey of the existing spare part waste management process to design a CMMS along with adding modules and identifying where spare part waste management can be applied to a CMMS so as to obtain recommendations for implementing spare part waste management in CMMS. The results showed that the addition of spare parts waste management modules to the CMMS through the spare parts management function in industrial facilities can be carried out and produce output. By applying the right analysis criteria, it can identify which spare parts can actually be reused, sold, or recycled. This research highlights the importance of CMMS implementation in spare parts waste management in industrial facilities. The results provide guidance for similar facilities to improve waste management efficiency and reduce environmental impact and unnecessary operational costs."
Jakarta: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Nurmawati Dewi
"Dalam beberapa waktu ini, peningkatan signifikan kondisi sosial ekonomi masyarakat telah menyebabkan meningkatnya permintaan akan perangkat listrik dan elektronik. Sementara itu, perubahan teknologi yang cepat cenderung membuat orang untuk mengganti perangkat lama mereka menjadi yang terbaru. Itu menyebabkan akhir hidup perangkat listrik dan elektronik menjadi lebih pendek. Tren ini menghasilkan sejumlah besar limbah listrik dan elektronik (WEEE) secara tidak sadar, situasi berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Dengan demikian, ada kebutuhan untuk penerapan manajemen limbah elektronik yang tepat. Salah satu konsep manajemen limbah elektronik adalah penerapan Extended Producer Responsibility (EPR), yang berarti bahwa tanggung jawab produsen diperluas ke pasca konsumsi siklus hidup produk. EPR telah banyak diadopsi di negara maju dan berkembang, dan efektivitas implementasinya terbukti dengan baik. Negara maju dan berkembang yang telah menerapkan EPR meliputi Swiss, Jepang, Taiwan, India, dan Cina. Setiap negara memiliki karakteristiknya sendiri untuk menerapkan EPR.
Di negara maju, EPR sudah mapan dan diterapkan, sementara di negara berkembang belum. Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang, belum memiliki pengelolaan limbah elektronik. Studi ini bertujuan untuk menentukan model pengelolaan limbah elektronik berbasis EPR yang cocok untuk diterapkan di Indonesia dari perspektif produsen. Metode Keputusan Multi Kriteria (MCDM) akan berlaku; menugaskan berbagai kriteria dengan beberapa pendapat ahli; untuk menemukan model manajemen WEEE yang paling tepat. Pembobotan masing-masing kriteria akan diperoleh berdasarkan tanggapan kuesioner dari produsen elektronik di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model manajemen limbah elektronik yang sesuai dengan kondisi di Indonesia berdasarkan perspektif produsen adalah yang diadopsi dari negara China.

In recent time, a significant raise of people`s socio-economic conditions has led to the increasing demand for electrical and electronic devices. Meanwhile, a rapid change of technology tends to tempt people to replace their old devices into the newest one. It causes end of life of those electrical and electronic devices to be shorter. The trend produces a high amount of electrical and electronic waste (WEEE) unconsciously, a harmful situation for human health and the environment. Thus, there is a necessity for the application of appropriate e-waste management. One of e-waste managements concept is the application of Extended Producer Responsibility (EPR), which means that a producer`s responsibility are extended into the post-consumption of product`s life cycle. EPR has been widely adopted in the developed and developing countries, and its implementation effectiveness is well proven. Developed and developing countries which have implemented EPR include Switzerland, Japan, Taiwan, India, and China. Every country has its own characteristics to implement EPR.
In the developed countries, EPR has been well established and implemented, while in developing countries, it has not been yet. Indonesia, as one of the developing countries, does not have any e-waste management yet. This study aims to determine an EPR-based e-waste management model which fits to be implemented in Indonesia from the perspective of producer. Multi Criteria Decision Method (MCDM) will apply; assigning various criteria with some expert`s opinions; to find the most appropriate WEEE management model. Weighing of each criteria will be obtained based on the questionnaire respond from electronic producers in Indonesia. The results of this study indicate that the electronic waste management model that is in accordance with the conditions in Indonesia based on the producer perspective is adopted from China.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
T54182
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aziati Ridha Khairi
"Sampah merupakan masalah bagi setiap negara, termasuk Indonesia. Sampah plastik adalah tumpukan sampah terbesar kedua dengan persentase 15,07% setelah sampah makanan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan pada tahun 2021 total timbunan sampah nasional mencapai 24.516.771,89 ton/tahun. Pengelolaan sampah plastik merupakan bagian dari tanggung jawab produsen (Extended Producer Responsibility/EPR). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar produsen dan memberikan estimasi tarif yang dibebankan kepada produsen untuk tanggung jawab yang diperluas dalam pengelolaan sampah plastik. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan survei kuesioner yang diberikan kepada pakar, pemerintah, produsen, dan konsumen. Metode Partial Least Square (SEM-PLS) digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar. Hasil penelitian menunjukkan faktor yang mempengaruhi kesediaan produsen untuk membayar tanggung jawab dalam pengelolaan sampah secara signifikan yaitu intensi untuk melakukannya (INT), perilaku pro-lingkungan (PEB), kesadaran lingkungan (EA), efektivitas tarif (ET), kepercayaan politik perusahaan terhadap pemerintah (PC), dukungan terhadap kebijakan pemerintah (SG), dan utilitas dari tarif plastik (UPT). Kesediaan membayar produsen untuk tanggung jawab dalam pengelolaan sampah plastik berdasarkan jenis plastik PET didominasi dengan tarif Rp3.500 - Rp65.000, tarif PVC Rp20.000-Rp45.000, tarif PP, HDPE, LDPE, PS, dan OTHER didominasi tarif Rp10.000 - Rp65.000. Berdasarkan produksi/tahun produsen bersedia membayar untuk produksi 10 ton/tahun, 10 – 50 ton/tahun didominasi dengan tarif Rp3.500 - Rp65.000 dan mencapai 50 ton dengan tarif lebih besar dari Rp65.000.

Garbage is a problem for every country, including Indonesia. Plastic waste is the second largest pile of waste with a percentage of 15.07% after food waste. The Ministry of Environment and Forestry stated that in 2021 the total national waste stockpile will reach 24,516,771.89 tons/year. Plastic waste management is part of the producer's responsibility (Extended Producer Responsibility (EPR). The purpose of this study are to determine the factors that influence producers' willingness to pay and provide an estimate of the tariffs charged to producers for extended responsibilities in the management of plastic waste. Data was collected using a questionnaire survey given to experts, government, producers, and consumers. Partial Least Square (SEM-PLS) method is used to determine the factors that influence the willingness to pay. The results of the study indicate that the factors that significantly affect the willingness of producers to pay responsibility for waste management are the intention (INT), pro-environmental behavior (PEB), environmental awareness (EA), effectiveness of tariff (ET), the company's political trust in the government ( PC), support for government policies (SG), and the utilization of plastic tariffs (UPT). Willingness to pay producers for the responsibility for plastic waste management based on the type of PET plastic is dominated by a tariff of IDR3,500 - IDR65,000, PVC tariff of IDR20,000 - IDR45,000, the tariff for PP, HDPE, LDPE, PS, and OTHER is dominated by a tariff of IDR10,000-IDR65,000. Based on production/year, producers are willing to pay for production of 10 tons/year, 10 – 50 tons/year are dominated by tariffs of IDR3,500 - IDR65,000 and reach 50 tons with tariffs greater than IDR65,000"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alisa Shafira
"Laboratorium perguruan tinggi menghasilkan limbah padat bahan berbahaya dan beracun (B3) yang terus meningkat setiap waktu dan berpotensi melebihi kapasitas penampungan eksistingnya sehingga membutuhkan pendekatan sistem dinamis untuk menekan jumlah limbah di masa mendatang. Penelitian ini bertempat di Laboratorium FTUI dengan menggunakan data sekunder pencatatan timbulan limbah padat B3 selama tahun 2022. Data yang diperoleh dianalisis dan salah satu limbah yang paling berpengaruh terhadap timbulan secara keseluruhan diproyeksikan dengan software Vensim selama 5 (lima) tahun mendatang. Diusulkan 3 (tiga) skenario untuk menekan timbulan limbah, yaitu upaya yang melibatkan pengolahan, pemanfaatan, dan pengangkutan. Ditemukan bahwa departemen laboratorium penghasil limbah padat B3 terbanyak adalah Laboratorium DTSL (39,02%) dan Laboratorium DTK (29,74%). Limbah jenis sarung tangan, masker, dan tisu adalah limbah yang mendominasi sebesar 40,73% terhadap timbulan limbah padat B3 secara keseluruhan di Laboratorium FTUI tahun 2022. Hasil simulasi jumlah limbah jenis tersebut pada 2027 adalah sebesar 3.017,24 kg dari jumlah eksistingnya pada 2022 sebesar 105 kg di Laboratorium FTUI. Berdasarkan hasil simulasi ketiga skenario yang diusulkan, alternatif strategi terbaik untuk pengelolaan limbah padat B3 di Laboratorium FTUI adalah skenario peningkatan frekuensi pengangkutan karena dapat menekan jumlah timbulan limbah secara efektif dengan membutuhkan biaya yang relatif rendah.

The university laboratory faces an increasing generation of hazardous and toxic solid waste over time, which may surpass its current storage capacity. To address this issue, a system dynamics approach is employed to identify alternative waste management strategies for reducing future waste volume. This study focuses on the FTUI Laboratory and utilizes secondary data from 2022 to analyze waste generation patterns. Vensim software is used to project the impact of one of the major waste types on overall waste generation over the next five years. Three scenarios are proposed, involving treatment, utilization, and transportation measures, to mitigate waste generation. The findings highlight the DTSL Laboratory (39.02%) and the DTK Laboratory (29.74%) as the primary contributors to hazardous and toxic solid waste generation. Notably, waste items like gloves, masks, and tissues dominate the waste stream, accounting for 40.73% of the total waste generated at the FTUI Laboratory in 2022. Simulation results indicate that the quantity of these waste types will increase to 3,017.24 kg by 2027, compared to the current level of 105 kg in 2022. Among the proposed scenarios, increasing transportation frequency emerges as the most effective and cost-efficient waste management strategy for the FTUI Laboratory, enabling substantial waste reduction."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>