Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 209412 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Helen Pricilia
"Acute Kidney Injury (AKI) adalah salah satu permasalahan kesehatan global. AKI didefinisikan KDIGO (Kidney Disease Improving Global Outcome) sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba yang ditandai dengan peningkatan serum kreatinin dan oliguria. AKI memiliki prevalensi yang tinggi terutama pada pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit, dan umumnya disebabkan oleh sepsis, obat-obatan atau tindakan invasif. Penggunaan obat nefrotoksik merupakan salah satu etiologi dari AKI dan merupakan penyebab dari 14-26% kasus AKI pada pasien kritis. Pemantauan khusus perlu dilakukan pada pasien yang menerima obat berpotensi menyebabkan Drug Induced AKI (DI-AKI). Pada tugas khusus ini, dilakukan identifikasi obat penyebab DI-AKI dan analisa kasus DI-AKI pada pasien rawat inap Rumah Sakit Universitas Indonesia yang menggunakan regimen terapi ramipril pada periode bulan April 2023. Penelitian dilakukan dengan penelusuran literatur dan pengambilan data retrospektif dari data AYFA RSUI untuk memperoleh nilai laboratorium dan Catatan Pelayanan Pasien Terintegrasi (CPPT) pasien. DI-AKI dapat disebabkan oleh obat bersifat nefrotoksik atau memiliki efek langsung terhadap hemodinamika ginjal. Studi kasus yang dilakukan terhadap salah satu pasien yang menerima ramipril sebagai agen antihipertensi yang menyebabkan fluktuasi serum kreatinin dan eGFR, sehingga diduga berpotensi untuk menyebabkan DI-AKI. Pemantauan terapi obat pada pasien risiko tinggi perlu dilakukan secara rutin untuk menilai keamanan regimen terapi pasien.

Acute Kidney Injury (AKI) is a global health problem. AKI is defined as KDIGO (Kidney Disease Improving Global Outcome) as a sudden decrease in kidney function characterized by an increase in serum creatinine level and oliguria. AKI has a high prevalence, especially in geriatric patients who are hospitalized, and is generally caused by sepsis, drugs or invasive procedures. The use of nephrotoxic drugs is one of the etiologies of AKI and is the cause of 14-26% of AKI cases in critical patients. Comprehensive monitoring needs to be carried out in patients receiving drugs with the potential to cause Drug Induced AKI (DI-AKI). In this report, identification drugs that cause DI-AKI and analysis of DI-AKI cases in hospitalized patients at the University of Indonesia Hospital receiveing ramipril in their therapy regimen in April 2023 was conducted. The study was conducted by literature search and retrospective data collection from AYFA RSUI data. to obtain laboratory values and the patient's Integrated Patient Service Record (CPPT). Results indicated that DI-AKI can be caused by drugs that are nephrotoxic or have a direct effect on renal hemodynamics. In a case study whereby an inpatient receiving ramipril as an antihypertensive agent, fluctuations in serum creatinine and eGFR were observed which led to a possibility of ramipril being the potential cause of DI-AKI. Monitoring of drug therapy in high-risk patients needs to be carried out frequently to assess the safety of the patient's therapy regimen."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fionna Christie Emmanuela
"Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, peresepan obat menggunakan kombinasi beberapa jenis terapi hingga polifarmasi yang rasional sangat umum terjadi dan seringkali dibutuhkan dalam perawatan pasien di rumah sakit, khususnya pada pasien geriatri atau pada pasien dengan multidiagnosa. Namun, penggunaan kombinasi beberapa jenis terapi dalam jangka panjang atau penggunaan obat yang tidak rasional mungkin saja menyebabkan Acute kidney injury (AKI) atau gangguan ginjal akut. Maka dari itu, peran farmasis dalam ruang lingkup rumah sakit, khususnya dalam pelayanan rawat inap sangat diperlukan. Pada laporan ini akan dibahas mengenai peran apoteker dalam melaksanakan telaah informasi obat yang berpotensi menyebabkan Drug Induced AKI (DI-AKI), serta pemantauan terapi obat (PTO) di Rumah Sakit Universitas Indonesia periode bulan Maret tahun 2023. Berdasarkan literatur, beberapa golongan obat dapat memicu AKI, yaitu antibiotik (khususnya golongan aminoglikosida), antifungal, antiviral, kemoterapi, analgesik (khususnya golongan NSAID), antimaniac, calcineurin inhibitor, bifosonat, antidiabetes, antihipertensi, dan golongan lain misalnya proton pump inhibitor (PPI), dan diuretik. Penggunaan beberapa obat tersebut secara bersamaan juga dapat meningkatkan risiko terjadinya DI-AKI. Berdasarkan hasil PTO, dugaan DI-AKI pada pasien dapat disebabkan oleh efek samping penggunaan ramipril (golongan ACEI). Namun, hal ini perlu dikonfirmasi kembali menggunakan Algoritma Naranjo.

In the process of providing healthcare services, prescribing drugs using combinations of various therapies up to rational polypharmacy is a common occurrence and often necessary in-patient care at hospitals, especially for geriatric patients or those with multiple diagnoses. However, the prolonged use of a combination of therapies or irrational drug use can potentially lead to Acute Kidney Injury (AKI) or acute kidney dysfunction. Hence, the role of pharmacists within the hospital setting, particularly in inpatient care, is crucial. This report will discuss the role of pharmacists in conducting reviews of drug information that may potentially lead to Drug-Induced AKI (DI-AKI), as well as Drug Therapy Monitoring at the Universitas Indonesia Hospital on March 2023. Based on literature, several classes of drugs can induce AKI, including antibiotics (especially aminoglycosides), antifungals, antivirals, chemotherapy, analgesics (particularly NSAIDs), antimaniacs, calcineurin inhibitors, bisphosphonates, antidiabetic medications, antihypertensives, and other groups such as proton pump inhibitors (PPIs) and diuretics. Concurrent use of some of these drugs can increase the risk of DI-AKI. Based on the Drug Therapy Monitoring results, the suspicion of DI-AKI in patients could be attributed to the side effects of using ramipril (an ACE inhibitor). However, this needs to be confirmed using the Naranjo Algorithm."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chinthia Rahadi Putri
"Gangguan kardiovaskuler merupakan gangguan yang dapat dikategorikan sebagai penyakit tidak menular. Gangguan kardiovaskular ini diketahui terjadi peningkatan dan pasien yang mengalami gangguan kardiovaskular ini seringkali menerima polifarmasi mengingat kompleksitas dari diagnosa yang diterima oleh pasien sehingga kejadian polifarmasi ini tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, pemantauan terapi obat pada penggunaan obat terhadap kondisi pasien perlu dilakukan sehingga pengobatan yang diterima pasien dapat maksimal dan meminimalisir dari reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD). Pemantauan terapi obat (PTO) ini dilakukan pada pasien yang menerima diagnosa utama gagal jantung akut dan diagnosa penyerta berupa penyakit ginjal kronis.

Cardiovascular disorders are disorders that can be categorized as non-communicable diseases. Cardiovascular disorders are known to increase and patients who experience cardiovascular disorders often receive polypharmacy given the complexity of the diagnoses received by patients so that the incidence of polypharmacy cannot be avoided. Therefore, drug therapy monitoring on the use of drugs against patient conditions needs to be done so that the treatment received by patients can be maximized and minimize unwanted drug reactions (ROTD). This drug therapy monitoring (PTO) was conducted on patients who received a primary diagnosis of acute heart failure and a concomitant diagnosis of chronic kidney disease."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Kamila
"Acute kidney injury (AKI) didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba dalam waktu 7 hari. AKI dapat disebabkan oleh obat-obatan nefrotoksik yang disebut dengan istilah Drug Induced Acute Kidney Injury (DI-AKI). Obat nefrotoksik merupakan penyebab paling umum ketiga dari penyakit ginjal dan bertambah buruk dalam beberapa dekade terakhir karena seringnya penggunaan obat nefrotoksik serta dikaitkan dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Studi retrospektif ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kejadian DI-AKI, karakteristik pasien, jenis obat yang berpotensi menyebabkan AKI, beserta faktor yang dapat memengaruhi terjadinya DI-AKI pada pasien rawat inap di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) pada tahun 2021. Untuk menelusuri pasien yang mengalami AKI digunakan kode diagnosa ICD 10 dan analisis kausalitas obat menggunakan algoritma Naranjo. Total pasien rawat inap di RSUI tahun 2021 adalah 4.273 pasien dan terdapat 397 pasien (9,3%) yang memiliki diagnosis AKI saat masuk rawat inap dan selama perawatan. Dari 397 pasien, 38 pasien (9,5%) masuk ke dalam kriteria inklusi. Prevalensi DI-AKI pada pasien rawat inap di RSUI tahun 2021 adalah sebesar 8,31% (33 pasien) dari seluruh pasien yang memiliki diagnosis AKI saat masuk rawat inap dan selama perawatan, serta sebesar 0,77% dari seluruh pasien rawat inap di RSUI pada tahun 2021. Berdasarkan algoritma Naranjo, dari 33 pasien yang mengalami DI-AKI terdapat 3 pasien (7,89%) dengan derajat kausalitas dapat terjadi (probable) dan 30 pasien (78,95%) dengan derajat kausalitas belum pasti terjadi (possible). Obat yang berpotensi menyebabkan AKI terbanyak berasal dari golongan diuretik (29,76%), golongan antibiotik (21,43%), golongan ACEi/ARB (21,43%), golongan antiviral (9,52%) dan golongan NSAID (7,14%). Dalam penelitian ini, mayoritas pasien yang mengalami DI-AKI merupakan pasien laki-laki, berusia 18-59 tahun, menggunakan ≥15 obat lain, dan memiliki ≥4 masalah kesehatan. Sementara itu, tidak ditemukan hubungan yang signifikan pada faktor usia, jenis kelamin, jumlah obat, dan jumlah masalah kesehatan terhadap kejadian DI-AKI pada penelitian ini.

Acute kidney injury (AKI) is defined as a sudden decrease in kidney function within 7 days. AKI can be caused by nephrotoxic drugs and called as Drug-Induced Acute Kidney Injury (DI-AKI). Nephrotoxic drugs are the third most common cause of kidney disease and have worsened in recent decades due to the frequent use of nephrotoxic drugs and are associated with high mortality rates. This retrospective study aims to determine the prevalence of DI-AKI, patient characteristics, types of drugs that have the potential to cause AKI, along with factors that can influence the occurrence of DI-AKI in inpatients at University of Indonesia hospital in 2021. ICD 10 diagnostic code was used for detecting AKI and Naranjo algorithm was used for analyzing adverse effects. Total inpatients at the University of Indonesia hospital (RSUI) in 2021 were 4.273 patients and 397 patients (9,3%) diagnosed with AKI on admission and during treatment in hospital. Of the 397 patients, 38 (9,5%) were included in this study. The prevalence of DI-AKI in inpatients at RSUI in 2021 was 8,31% (33 patients) out of patients diagnosed with AKI on admission and during treatment in hospital, and 0,77% of all inpatients at RSUI in 2021. Naranjo algorithm showed 3 patients (7,89%) in the probable category and 30 patients (78,95%) in possible category. The most common drug groups causing AKI were diuretics (29,76%), antibiotics (21,43%), ACEi/ARBs (21,43%), antiviral (9,52%) and NSAIDs (7,14%%). In this study, DI-AKI mostly occurred in male patients, 18-59 years old, used ≥15 concomitant drugs, and had ≥4 medical problems. Meanwhile, there was no significant relationship between age, gender, number of drugs, and number of medical problems and the incidence of DI-AKI found in this study."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachel Gabriella
"Pasien dengan penyakit ginjal kronis dan diabetes melitus 2 rentan mengalami masalah terkait obat Drug Related Problem (DRP) yang dapat mempengaruhi hasil terapi dan kualitas hidup. Melalui pendekatan pemantauan terapi obat yang komprehensif, terapi obat dapat dioptimalkan untuk memastikan keamanan efektivitas dan rasionalitasnyo bagi pasien. Prevalensi penyakit ginjal kronis dan diabetes melitus 2 di Indonesia mengalami peningkatan, memperlihatkan pentingnya peran apoteker dalam pemantauan terapi obat untuk menghindari komplikasi serius. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal memerlukan penyesuaian dosis obat agar menghindari efek samping yang merugikan. Selain itu, penggunaan obat-obatan seperti statin dan sukralfat perlu dilakukan evaluasi dengan cermat sesuai dengan pedoman dan batasan penggunaannya. Hasil pemantauan terapi obat menunjukkan beberapa drug related problem, seperti pemilihan obat kurang tepat, dosis obat terlalu tinggi, indikasi tanpa obat dan interaksi obat. Dalam mengatasi drug related problem ini diperlukan pengkajian literature dan melakukan konfirmasi dengan dokter untuk penyesuaian terapi obat yang tepat. Pemantauan dan evaluasi terapi obat secara berkala sangat penting terutama pada pasien polifarmasi dan gangguan fungsi organ tertentu. Dengan demikian, dapat mencegah terjadinya drug related problem yang dapat membahayakan pasien dan meningkatkan kualitas hidup mereka.
Patients with chronic kidney disease and diabetes mellitus type 2 are vulnerable to experiencing Drug Related Problems (DRPs) that can affect treatment outcomes and quality of life. Through a comprehensive approach to drug therapy monitoring, medication therapy can be optimized to ensure its safety, effectiveness, and rationality for patients. The prevalence of chronic kidney disease and diabetes mellitus type 2 in Indonesia is increasing, highlighting the important role of pharmacists in monitoring drug therapy to avoid serious complications. Patients with impaired kidney function require adjustments to medication doses to avoid adverse effects. Additionally, the use of medications such as statins and sucralfate needs to be carefully evaluated according to guidelines and limitations. The results of drug therapy monitoring show several drug-related problems, such as inappropriate drug selection, excessively high drug doses, indications without drugs, and drug interactions. Addressing these drug-related problems requires a literature review and consultation with physicians for appropriate medication therapy adjustments. Regular monitoring and evaluation of drug therapy are essential, especially for polypharmacy patients and those with specific organ dysfunctions. Thus, it can prevent the occurrence of drug-related problems that may endanger patients and improve their quality of life."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sherly Violeta Lestari
"Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang pertama kali ditemukan pada tahun 1873 oleh G.H. Armauer Hansen dengan sumber penyebab berupa kuman atau basil Mycobacterium leprae. Penyakit menular kusta menimbulkan masalah yang sangat kompleks, tidak hanya dari segi medis tetapi meluas hingga masalah sosial, ekonomi, dan budaya. WHO pada tahun 1955 merekomendasikan pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe Pausibasiler (PB) maupun Multibasiler (MB) dengan tujuan agar dapat memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi obat. Karakteristik pasien dan penggunaan obat Multi Drug Therapy (MDT) di RSUP Fatmawati terdiri dari kasus kusta tipe MB dengan persentase lebih tinggi yakni sebesar 88.92% dibandingkan dengan kusta tipe PB sebesar 11.08%. Persebaran kusta MB paling banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki, sedangkan pada kusta tipe PB paling banyak terjadi pada perempuan dengan persentase masing-masing sebesar 70.79% dan 73.68%. Berdasarkan kelompok usia, kasus kusta MB paling banyak terjadi pada kelompok usia 15 – 28 tahun sebanyak 91 kasus (27,88%), sedangkan pasien yang menderita kusta PB paling banyak terjadi pada kelompok usia 29 – 42 tahun. Terapi pengobatan yang paling banyak digunakan pasien kusta tipe berupa MBA sebanyak 270 pasien (72,97%), sedangkan pasien yang menderita kusta PB mendapatkan terapi pengobatan paling banyak berupa PBA sebanyak 38 pasien (10,27 %).

Leprosy is a chronic infectious disease that was first discovered in 1873 by G.H. Armauer Hansen with the source of the cause being the germ or bacillus Mycobacterium leprae. The infectious disease leprosy creates very complex problems, not only from a medical perspective but extending to social, economic and cultural problems. WHO in 1955 recommended treating leprosy with Multi Drug Therapy (MDT) for the Pausibacillary (PB) and Multibacillary (MB) types with the aim of breaking the chain of transmission and preventing drug resistance. Patient characteristics and use of Multi Drug Therapy (MDT) drugs at Fatmawati General Hospital consist of MB type leprosy cases with a higher percentage, namely 88.92% compared to PB type leprosy cases of 11.08%. The distribution of MB leprosy is most common in men, while PB type leprosy is most common in women with respective percentages of 70.79% and 73.68%. Based on age group, the most cases of MB leprosy occurred in the 15 – 28 year age group with 91 cases (27.88%), while the most cases of MB leprosy occurred in the 29 – 42 year age group. The most common type of treatment used by leprosy patients was MBA as many as 270 patients (72.97%), while patients suffering from PB leprosy received the most treatment in the form of PBA as many as 38 patients (10.27%).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Tsurayya
"Pemantauan terapi obat merupakan salah satu pelayanan farmasi klinis yang harus dilakukan oleh apoteker klinis di RSUD Cengkareng. Pada laporan tugas khusus ini dilakukan kegiatan pemantauan terapi obat pada pasien dengan diagnosis Congestive Heart Failure (CHF) yang disertai komorbid CKD dan CAD di Ruang Rawat Inap RSUD Cengkareng. Berdasarkan hasil pengamatan dan pemantaun yang dilakukan selama kegiatan PTO pada pasien CHF dengan komorbid CKD dan CAD dapat disimpulkan bahwa pemberian terapi obat pada pasien sudah cukup baik dan sesuai dengan literatur dan ketentuan pada peraturan yang berlaku. Rekomendasi yang diberikan yaitu pemberian obat untuk indikasi yang belum ada terapi, penggantian obat yang lebih efektif, dan pemberian alternatif obat yang lebih aman untuk pasien jantung, Tindak lanjut yang dapat dilakukan yaitu mengkomunikasikan kepada dokter penanggung jawab pasien (DPJP) terkait hasil identifikasi masalah terkait obat. Selain itu juga perlu dilakukan pemantauan pemantauan hasil laboratorium seperti kadar elektrolit dan fungsi ginjal, pemantauan efek samping dan interaksi obat lainnya.
Monitoring drug therapy is one of the clinical pharmacy services that must be carried out by clinical pharmacists at Cengkareng Regional Hospital. In this special assignment report, drug therapy monitoring activities were carried out in patients with a diagnosis of Congestive Heart Failure (CHF) accompanied by comorbid CKD and CAD in the Inpatient Room at Cengkareng Regional Hospital. Based on the results of observations and monitoring carried out during Monitoring drug therapy activities in CHF patients with comorbid CKD and CAD, it can be concluded that the administration of drug therapy to patients is quite good and in accordance with the literature and provisions in applicable regulations. The recommendations given are administering drugs for indications for which there is no therapy, replacing more effective drugs, and providing alternative drugs that are safer for heart patients. Follow-up that can be done is communicating to the doctor in charge of the patient regarding the results of identifying related problems. drug. Apart from that, it is also necessary to monitor laboratory results such as electrolyte levels and kidney function, monitor side effects and other drug interactions."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nahdiya Rahmah
"Salah satu penyakit kronis yang banyak ditemui di Indonesia adalah hiperkolesterolemia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun 2013, sebanyak 35,9% penduduk Indonesia memiliki kadar kolesterol > 200 mg/dL. Kondisi tersebut dapat memicu aterosklerosis pada dinding pembuluh darah dan Penyakit Jantung Koroner (PJK). Kedua penyakit tersebut menjadi penyebab kematian utama di dunia yang mencapai 17,3 juta dari 54 juta total kematian per tahun. Apoteker sebagai penyedia layanan kefarmasian bertanggungjawab untuk memberikan pelayanan yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Salah satunya dengan memberikan pelayanan telefarmasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kuesioner untuk  konseling, Pemantauan Terapi Obat (PTO), dan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) pada pasien hiperkolesterolemia di Apotek Roxy Hasyim Ashari secara telefarmasi. Data diperoleh dengan melakukan studi literatur menggunakan buku maupun publikasi ilmiah berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris. Hasil penelitian didapatkan Kuesioner Pengatahuan Pasien Hiperkolesterolemia yang mendapatkan Obat Simvastatin, Kuesioner Ketepatan Penggunaan Obat Simvastatin oleh Pasien Hiperkolesterolemia, Kuesioner Adherence to Refills and Medications Scale (ARMS), Statin Experience Assessment Questionnaire (SEAQ).

One of the chronic diseases commonly found in Indonesia is hypercholesterolemia. Based on the results of the National Basic Health Research in 2013, 35.9% of the Indonesian population had cholesterol levels > 200 mg/dL. This condition can trigger atherosclerosis of the blood vessel walls and Coronary Heart Disease (CHD). Both diseases are the leading cause of death in the world, reaching 17.3 million out of 54 million total deaths per year. Pharmacists as pharmaceutical service providers are responsible for providing services that can improve the quality of life of patients. One of them is by providing telepharmacy services. This study aims to develop questionnaires for counseling, Monitoring Drug Therapy (PTO), and Monitoring Drug Side Effects (MESO) in hypercholesterolemia patients at Roxy Hasyim Ashari Pharmacy telepharmaceutically. Data were obtained by conducting literature studies using books and scientific publications in Indonesian and English. The results of the study obtained the Knowledge Questionnaire for Hypercholesterolemia Patients who get Simvastatin Drugs, the Appropriateness of Using Simvastatin Drugs by Hypercholesterolemia Patients Questionnaire, the Adherence to Refills and Medications Scale (ARMS) Questionnaire, Statin Experience Assessment Questionnaire (SEAQ).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nova Novita
"Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Penting bagi seorang apoteker untuk memiliki peran yang penting dalam mengoptimalkan terapi dan mencegah munculnya masalah terkait obat salah satunya dengan melaksanan pelayanan pemantauan terapi obat. Salah satu kondisi pasien yang perlu mendapatkan pemantauan terapi obat adalah pasien dengan perawatan intensif, pasien dengan multipenyakit dan mendapatkan polifarmasi serta mendapatkan terapi sehingga berpotensi mengalami masalah terkait obat. Pemantauan Terapi Obat dilakukan dengan bimbingan seorang Apoteker lahan sehingga dapat melatih kemampuan farmasi klinis bagi seorang calon apoteker, sehingga kegiatan dan laporan terkait pemantauan terapi obat ini diharapkan dapat berguna bagi seorang calon apoteker. Tujuan tugas khusus ini adalah untuk mengetahui peran apoteker dalam pelaksanaan pemantauan terapi obat (PTO). PTO dilakukan kepada pasien Nn.S dengan diagnosa dekompresi, ICH pada basal ganglia kiri, diabetes melitus Tipe 2, hipertensi stage 2 dan CAP dan mendapatkan polifarmasi dan perawatan intensif di ICU. Metode yang digunakan adalah pengumpulan data, identifikasi, studi literatur serta diskusi kepada apoteker penanggung jawab di tempat. Berdasarkan hasil PTO terhadap pasien Nn. S, didapatkan hasil pasien telah mendapatkan terapi sesuai dengan diagnosis pasien, namun ditemukan interaksi obat, dosis obat terlalu tinggi dan dosis terlalu rendah dan intervensi terkait masalah obat telah disampaikan dan dilakukan penyesuaian terkait terapi pasien. Peran apoteker dalam pelaksanaan pemantauan terapi obat sangat penting sehingga dapat meningkatkan efektivitas terapi dan pencegahan masalah terkait obat.

Drug theraphy monitoring is a process that encompasses ensuring safe, effective, and rational drug therapy for patients. A pharmacist needs to play a crucial role in optimizing therapy and preventing drug-related problems, one of that is drug therapy monitoring. Some of the patient conditions that require drug therapy monitoring are patients undergoing intensive care, patients with multiple diseases receiving polypharmacy, and those undergoing therapy, which may potentially lead to drug-related problems. Drug theraphy monitoring is conducted under the guidance of a clinical pharmacist to train the clinical pharmacy skills of a prospective pharmacist, so the activities and reports related to drug therapy monitoring are expected to be beneficial for a prospective pharmacist. This special assignment aims to understand the role of the pharmacist in implementing drug theraphy monitoring. Drug theraphy monitoring is performed on patient Nn.S with a diagnosis of Post craniectomy decompression, ICH on the left basal ganglia type 2, diabetes mellitus type 2, hypertension stage 2, CAP and receiving polypharmacy and intensive care in ICU. The method used includes data collection, identification, literature study, and discussions with the responsible pharmacist on-site. Based on the results of drug monitoring therapy on patient Nn. S, it was found that the patient had received therapy according to the diagnosis, but drug interactions, excessive drug doses, and inadequate doses were identified. Drug-related interventions were communicated, and adjustments to the patient's therapy were made. The role of the pharmacist in implementing drug monitoring therapy is crucial to improving therapy effectiveness and preventing drug-related problems.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ghina Salma Fadhila
"Pelayanan Kefarmasian di Apotek berperan penting dalam menjamin mutu, manfaat, keamanan dan khasiat sediaan. Salah satu pelayanan kefarmasian di Apotek yang penting untuk diperhatikan adalah penyimpanan obat. Penyimpanan obat bertujuan untuk memelihara mutu sediaan farmasi, menghindari penggunaan yang tidak bertanggungjawab, menjaga ketersediaan, serta memudahkan pencarian dan pengawasan. Penyimpanan obat yang tidak diperhatikan dapat menyebabkan obat rusak, terkontaminasi dan/atau kedaluwarsa. penyimpanan obat di Apotek Roxy Poltangan dibagi menjadi 36 kelas terapi. Penyimpanan padat oral yang sudah sesuai PMK Nomor 73 Tahung 2016 adalah penyimpanan di wadah asli pabrik, penyimpanan berdasarkan kelas terapi, penyimpanan sesuai suhu, tempat penyimpanan obat dipisahkan dari barang kontaminan, dan barang hampir ED dipisahkan. Penyimpanan berdasarkan penyususnan alfabetis, penandaan High-Alert dan obat LASA belum sesuai. Simulasi perbaikan penyimpanan obat padat oral dilakukan dengan menyusun obat secara alfabetis, membuat tempat untuk gudang obat dan memberi label gudang, memberi penandaan pada obat High-Alert dan LASA, menambahkan dan memperbarui label (nama sediaan, nomor batch, dan expired date).

Pharmaceutical services in pharmacies play an important role in ensuring the quality, benefits, safety and efficacy of preparations. One of the pharmaceutical services at the pharmacy that is important is drug storage. Drug storage aims to maintain the quality of pharmaceutical preparations, avoid irresponsible use, maintain availability, and facilitate search and supervision. If drug storage is not noticed it can cause drug damage, contamination and/or expiration. Drug storage at Roxy Poltangan Pharmacy is divided into 36 therapeutic classes. Oral solid drug storage in the pharmacy that is in accordance with PMK Number 73 of 2016 is drugs are stored in the original factory container, stored based on therapeutic class, temperature, separated from contaminants, and almost ED items are separated. Meanwhile, they are not stored based on alphabetical arrangement, High-Alert labeling and LASA. Simulations of improving the storage of oral solid drugs are carried out by arranging the dugs alphabetically, creating a place for drug storage and labeling the warehouse, marking High-Alert and LASA medicines, adding and updating labels (name, batch number and expiry date)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>