Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 122144 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lathifah Aini Rahman
"Overcrowding Lembaga Pemasyarakatan menjadi sebuah masalah besar di negara Indonesia. Contoh kecilnya saja adalah pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas II APaledang Bogor. Overcrowded tersebut berujung pada munculnya perlakuan kepada narapidana yang tidak manusiawi. Kemudian timbul masalahmasalah lain seperti perasaan tidak nyaman para penghuni Lapas karena harus saling tidur tumpang tindih dan berebut tempat tidur dan bahkan ada yang tidur dengan posisi jongkok, narapidana harus antre dan berebut mendapatkan air bersih untuk MCK, timbulnya penyakit menular, pertemuan dengan keluarga pembesuk sangat terbatas, terjadi prisonisasi, kerusuhan, kekerasan dan sebagainya. Dengan kondisi seperti itu, pembinaan yang efektif untuk mengintegrasikan kembali narapidana ke masyarakat tentu menjadi tujuan yang sangat sulit dicapai.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Paledang Bogor sudah melakukan berbagai upaya namun juga harus didukung dengan upaya yang lebih struktural, sistematis dan lebih besar lagi untuk mengatasi overcrowding.Penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang dan studi kasus melalui studi literatur, observasi dan wawancara. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyebab overcrowded dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Paledang Bogor adalah bahwa Lapas ini tidak hanya menampung narapidana yang divonis dari Pengadilan Negeri Bogor tetapi juga dari vonis Pengadilan Negeri Cibinong dan Depok yang dimana tiap-tiap pengadilan negeri tersebut tidak memperhatikan keluaran putusan yang banyak menjatuhkan pidana penjara, kemudian karena tidak berjalan dengan baik upaya mengatasi overcrowded seperti program pemberian Pembebasan Bersyarat dan Cuti Bersyarat kemudian tempat rehabilitasi narkoba yang ditempatkan di Lapas tersebut dan bercampurnya Lapas dengan Rutan.
Sehingga penelitian ini juga menyimpulkan bahwa ada beberapa persiapan yang perlu dilakukan terkait upaya pembaharuan pemidanaan dan pemasyarakatan nantinya, mulai dari persiapan sumber daya aparat Sistem Peradilan Pidana, terkait sarana dan prasarana, serta kesediaan dari masyarakat sendiri untuk menerima kebijakan ini sebagai pidana alternatif.

Prisons overcrowding becomes a major problem in Indonesia. The example is Correctional Institution of Paledang Bogor. Overcrowding led to the emergence of the treatment of prisoners inhuman treatment. Then comes other problems such as uncomfortable feeling of the occupant prisons because they have each other to sleep overlapping and scramble the bed and there is even with a squatting position, the prisoners have to queue and scramble to get clean water for the toilets, bad circulation for fresh air, the emergence of infectious diseases, the limited to meetings with family, prisonization, riots, violence and so on. With such conditions, effective formation to reintegrate prisoners into society would be a very difficult to achieve.
To overcome these problems, Correctional Institution of Paledang Bogor has made various efforts, but also must be supported by the efforts of more structural, systematic and even more to cope with overcrowded.This research uses statute approach and case study through the study of literature, observation and interviews. From this study it can be concluded that the cause of overcrowded in the Correctional Institution of Paledang Bogor is that the correction is not only accommodates prisoners convicted by Court of Bogor but also of the verdict of the District Court of Cibinong and Depok which is each courts do not pay attention of the output decision that to much impose imprisonment sanction, then because it do not go well tackling overcrowded as program administration of Parole and a drug rehabilitation which is placed in Correctional Institution of Paledang Bogor and the cause which is not less important is the Correctional Institutionof Paledang Bogor also has the jail on it.
So this study also concludes that there are some preparations that need to be done related to sentencing and correctional reform efforts in the future, ranging from the preparation of the resource officers of Criminal Justice System, relating fascilities and infrastructure as well as the willingness of the community itself to accept this policy as an alternatives punishment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44859
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Agustiar Hariri
"Tulisan ini menganalisis bagaimana prosedur penyelesaian kasus yang mengandung concursus dalam sistem peradilan pidana di Indonesia serta untuk melihat kepastian hukum terhadap hak-hak Terdakwa dalam concursus. Tulisan ini disusun dengan menggunaan metode penelitian doktrinal. Saat ini, pengaturan hukum pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Prosedur penyelesaian kasus yang mengandung gabungan perbuatan pidana dalam sistem peradilan pidana di Indonesia pada dasarnya dapat dilaksanakan dengan menggabungkan perkara sesuai kondisi yang diatur secara limitatif pada Pasal 141 KUHAP. Ketentuan tersebut pada dasarnya bersifat fakultatif, tidak mengikat, dan tidak memiliki kepastian hukum, sehingga membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan yang tak sejalan dengan prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, di mana hal tersebut bisa menimbulkan beberapa dampak buruk bagi Terdakwa. Perlindungan hukum terhadap hak-hak Terdakwa dalam perbarengan tindak pidana pada pokoknya sudah ada aturan dalam KUHAP, seperti hak untuk segera diperiksa dalam setiap tahapan, hak untuk tidak dituntut secara berulang-ulang, namun pengaturan mengenai hak tersebut masih memiliki kekurangan dalam praktik penanganan kasus perbarengan tindak pidana karena pemeriksaan yang dilakukan tidak secara menyeluruh, sehingga Tersangka harus ditahan dan dituntut berulang- ulang atas suatu kejadian materiil, di mana hal tersebut tidak sejalan dengan tujuan KUHAP untuk mencari kebenaran yang selengkap-lengkapnya.

This article analyzes the procedures for resolving cases containing concursus in the criminal justice system in Indonesia and to look at legal certainty regarding the defendant's rights in concursus. This article was prepared using doctrinal research methods. Currently, criminal law regulations are regulated in Law Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code and Law Number 8 of 1981 concerning the Criminal Procedure Code. The procedure for resolving cases containing a combination of criminal acts in the criminal justice system in Indonesia can basically be carried out by combining cases according to the conditions regulated in a limited manner in Article 141 of the Criminal Procedure Code. These provisions are basically facultative, non-binding and have no legal certainty, thus opening up opportunities for arbitrariness which is not in line with the principles of fast, simple and low-cost justice, which could have several negative impacts on the defendant. Legal protection for the rights of defendants in concurrent criminal acts basically already exists in the Criminal Procedure Code, such as the right to be immediately examined at every stage, the right not to be prosecuted repeatedly, but the regulation regarding these rights still has shortcomings in the practice of handling concurrent cases. a criminal offense because the investigation carried out was not comprehensive, so that the suspect had to be detained and prosecuted repeatedly for a material incident, which was not in line with the aim of the Criminal Procedure Code to seek the complete truth."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferny Melissa
"Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah memberikan jaminan terhadap hak anak yang berhadapan dengan hukum. Di dalam pemenuhan dan penjaminan atas hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum, telah di atur sebuah sistem berupa prinsip keadilan restoratif atau restorative justice yang merupakan upaya penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan di luar dari proses peradilan di persidangan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, telah diatur sebuah proses yang disebut diversi. Penulis ingin memberikan penjelasan dan melakukan penelitian sejauh mana peran Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pendampingan dan pengawasan terhadap proses penyelesaian perkara pidana anak diterapkan berdasarkan Undang-undang SPPA yang memberikan jaminan kepastian hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Penulis melihat bahwa di dalam praktiknya, masih banyak aparat penegak hukum yang masih terus berproses mempelajari upaya keadilan restoratif dan justru masih banyak orang atau masyarakat yang tidak tahu hak-hak anak di dalam sebuah proses hukum yang dijaminkan pada undang-undang tersebut. Oleh sebab itu, dengan adanya penguatan keberadaan Pembimbing Kemasyarakatan dinilai sangat penting di dalam menjamin hak-hak anak berhadapan dengan hukum.

The Bill Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System has provided guarantees for the rights of children in conflict with the law. In fulfilling and guaranteeing the rights of children in conflict with the law, a system has been set up in the form of the principle of restorative justice, which is a law enforcement effort in resolving cases that can be used as an instrument of recovery outside of the judicial process at trial. Based on this law, a process called diversion has been regulated. The author wants to provide an explanation and conduct research to what extent the role of Probation and Parole Officer in assisting and supervising the process of resolving children's criminal cases is implemented based on the SPPA Law which provides a guarantee of legal certainty for children in conflict with the law.
The author sees that in practice, there are still many law enforcement officers who are still in the process of studying restorative justice efforts and in fact there are still many people or communities who do not know about children's rights in the legal process guaranteed by this law. Therefore, strengthening the existence of Probation and Parole Officer is considered very important in ensuring children's rights in dealing with the law.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chandras Suryo Kusmayasputri
"ABSTRAK
Tulisan ini adalah suatu kajian mengenai tindakan vigilantism di dalam masyarakat sebagai suatu perwujudan dari rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan otoritas yang ada. Adanya rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku merupakan suatu permasalahan sosial yang serius dan memerlukan perhatian tersendiri. Di dalam permasalahan ini, rasa ketidakpercayaan terhadap hukum dan otoritas yang ada dijadikan sebagai pemicu dalam memberikan reaksi sosial informal terhadap pelaku tindak kejahatan yang ada di dalam masyarakat. Reaksi sosial informal yang diberikan oleh masyarakat adalah berupa kekerasan. Teori Kriminologi Anarkis dijadikan sebagai teori utama dalam membahas permasalahan ini, dengan didasari anggapan bahwa hukum yang ada dijalankan secara tidak efektif. Sumber data sekunder seperti berita, artikel ilmiah, dan laporan survey resmi dijadikan sebagai dasar dalam melakukan analisis terkait kajian ini. Kesimpulan dari tulisan ini adalah teori kriminologi anarkis dapat digunakan untuk melihat dan menjelaskan realita dari fenomena vigilantism sebagai sebuah bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada.

ABSTRACT
This paper is a study of the act of vigilantism in society as a form of public distrust of the existing laws and authority. The existence of public distrust of the existing law is a serious social problem and requires its own attention. In this case, public distrust of existing law and authority becomes the trigger in providing informal social reactions to the perpetrators of criminal acts in society. Informal social reactions provided by the community are in a form of violence. Anarchist Criminology Theory is used as the main theory in discussing this issue, based on the assumption that law is not executed effectively. Secondary data sources such as news, scientific articles, and official survey reports serve as a basis for analyzing the review. The conclusion of this paper is anarchist criminology theory can be used to view and explain the reality of the phenomenon of vigilantism as a form of public distrust of the existing law."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Ligasetiawan
"Metode persidangan pidana dengan menggunakan alat elektronik baru digunakan luas setelah terjadinya pandemi Covid-19 yang berdampak pada sistem peradilan pidana berbagai negara di dunia. Perubahan ini berdampak pada hak terdakwa untuk hadir di muka pengadilan yang diatur dalam KUHAP. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan merupakan salah satu hak dasar bagi terdakwa dan sebagai jaminan dalam pelaksanaan peradilan yang adil (fair trial) karena berkaitan dengan proses pembuktian. Dalam pembahasan ini metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan hukum Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat. Penelitian ini menunjukkan, sidang pidana elektronik di Indonesia hanya diatur dalam peraturan Mahkamah Agung dan ini berbenturan dengan KUHAP; sedangkan di Belanda, sekalipun telah dituangkan dalam KUHAP, penggunaan videoconference dianggap melanggar ketentuan dalam European Convention on Human Rights; di Amerika Serikat penggunaan videoconference diatur dengan cukup ketat dalam CARES Act. Penelitian ini berpendapat, persetujuan terdakwa dalam persidangan pidana online diperlukan karena hal ini sebagai persetujuan mengenyampingkan hak untuk hadir di muka sidang. Oleh karena itu, penggunaan videoconferece tidak melanggar fair trial dan tetap dapat imparsial sepanjang terdapat persetujuan dari terdakwa atau ketentuan yang mengatur tersebut menjamin bahwa seluruh hak-hak terdakwa dapat dipenuhi.

The criminal trial method using electronic devices has only been widely used after the Covid-19 pandemic which has impacted the criminal justice system of various countries in the world. This change has an impact on the right of the accused to presence before the court as regulated in the Indonesia Criminal Procedure Code. The right of the accused's presence before the court is one of the basic rights for the accused and as a guarantee in the implementation of a fair trial because it is related to the evidentiary process. In this thesis the research method used is normative juridical with a comparative approach to the laws of Indonesia, the Netherlands, and the United States. This thesis shows that electronic criminal courts in Indonesia are only regulated in the Supreme Court regulations and this is in conflict with the Indonesia Criminal Procedure Code; whereas in the Netherlands, even though it has been stated in the Dutch Criminal Procedure Code, the use of videoconferencing is considered a violation of the provisions of the European Convention on Human Rights; in the United States the use of videoconference is regulated quite strictly in the CARES Act. This thesis argues that the accused’s approval to conduct a criminal trial via videoconferencing is necessary because this is an agreement that overrides the right to presence before the court. Therefore, the use of videoconferencing does not violate the fair trial and can still be impartial as long as there is agreement from the accused or the stipulations that regulate it ensure that all the rights of the accused can be fulfilled."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didik Endro Purwoleksono
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Alfredo Elias
"Indonesia adalah negara yang menempatkan hukum sebagai panglima sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945, oleh karena itu Republik Indonesia memahami mengenai pentingnya penegakan hukum. Penegakan hukum memiliki banyak aspek dan sistem untuk menjalankan fungsinya, salah satunya penegakan hukum pidana yang dilakukan dalam sistem peradilan hukum pidana. Kejaksaan RI sebagai salah satu lembaga penegak hukum di Indonesia memiliki tugas dan kewenangan dalam melakukan penuntutan, eksekusi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, serta penyidikan tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam Undang – Undang. Dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya tersebut terkadang dibutuhkan metode diluar dari cara - cara yang biasa digunakan, yang salah satunya adalah cara – cara intelijen termasuk penyadapan. Pengaturan intelijen penegakan hukum terutama cara – cara penyadapan masih rancu dalam peraturan perundang – undangan di Indonesia, sehingga terjadi perdebatan dan diperlukan analisis yang dalam untuk menjawab permasalahan ini. Ada baiknya jika pengaturan cara – cara intelijen termasuk penyadapan diatur dalam suatu produk hukum Undang – Undang.

Indonesia is a country that put law as its guide as mandated by UUD 1945. Because of that reason Indonesia understands the importance of law enforcement. Law inforcement in Indonesia have many aspects and systems, one of them is the inforcement of criminal law. Indonesia’s prosecutor office as one of the law enforcement agency, has the duty and authority to prosecute, execute court rulings, and investigate certain crime according to law. In order to do it’s duty and authority, sometimes Indonesia’s prosecutors have to do things beyond the general methods, and one of those methods is intelligence, which include interception. Indonesian law hasn’t fully regulated law enforcement and interception yet, which resulted in uncertainty in the uses of the methods. It would be better if the government make a law that regulates law enforcement intelligence and interception."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Bianca Theresa Purba
"Sistem peradilan pidana di Indonesia adalah landasan hukum yang mengatur proses penegakan hukum terhadap pelanggaran pidana. Hal ini direpresentasikan melalui sebuah film dokumenter Ice Cold yang menggambarkan proses peradilan pidana terhadap Jessica Kumala Wongso atas kasus pembunuhan penggunaan racun sianida. Studi kasus kriminologi visual terhadap film ini dilakukan dengan mengumpulkan data tangkapan layar dan dibahas menggunakan pemikiran konstruksionisme sosial oleh Surette. Analisis dengan metode visual yang dilakukan dalam tulisan ini mengkaji penggambaran partisipan dan prosedur hukum acara pidana dalam rangkaian proses peradilan pidana. Melalui analisis visual terhadap film dokumenter ini ditemukan perbedaan yang terjadi dalam konteks peradilan pidana tersebut dibandingkan dengan praktik sistem peradilan pidana pada umumnya.

The criminal justice system in Indonesia serves as the legal framework regulating the enforcement of laws against criminal offenses. This is exemplified in the documentary film Ice Cold, which portrays the criminal justice proceedings involving Jessica Kumala Wongso in the cyanide murder case. A visual criminology case study of this film was conducted by collecting screenshot data and discussing it through the lens of Surette's social constructionism. The visual analysis in this study examines the depiction of participants and procedures within the criminal justice process as presented in the documentary. This analysis reveals significant differences between the portrayed criminal justice processes and the general practices within Indonesia's criminal justice system."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sugeng Riyadin
"Tesis ini membahas tentang Lembaga Pemasyarakatan Terbuka sebagai Sub-Sistem dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu dengan titik beratnya adalah latar belakang pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka, pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka dikaitkan dengan tujuan pemidanaan dan pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang dilakukan dengan wawancara dan pengamatan, selanjutnya diolah secara deduktif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan Terbuka dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.03.PR.07.03. Tahun 2003 tanggal 16 April 2003 tentang Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Pasaman, Jakarta, Kendal, Nusakambangan, Mataram dan Waikabubak. Bahwa pembentukan lembaga pemasyarakatan terbuka ini dilatar belakangi hal-hal sebagai berikut : sebagai salah satu upaya untuk mengurangi kelebihan narapidana (over crowding) di lembaga pemasyarakatan biasa (tertutup), merupakan perwujudan dari konsep community-based corrections, yang mana di lembaga pemasyarakatan terbuka pembinaan narapidana menekankan keterlibatan masyarakat, sebagai upaya untuk lebih menyiapkan narapidana berintegrasi dengan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan, Namun keberadaan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta pada khususnya dan lembaga pemasyarakatan terbuka di Indonesia pada umumnya merupakan kebijakan pemerintah yang setengah hati atau hanyalah propaganda pemerintah dalam pembinaan narapidana, karena keberadaannya hingga saat ini belum pernah dievaluasi dan perkembangan lembaga pemasyarakatan terbuka tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan baik dari segi pembinaan narapidana maupun peraturan spesifik mengenai lembaga pemasyarakatan terbuka yang menjadi landasannya. Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka (lapas terbuka) sebagai sub-sistem peradilan pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, harus dimaksimalkan mengenai konsepnya untuk mencapai tujuan pemidanaan di Indonesia, yaitu mengembalikan dan mengintegrasikan narapidana ke masyarakat, menjadi manusia yang taat dan patuh pada hukum. Dengan demikian pembentukan lapas terbuka dapat menjembatani tujuan dan mewujudkan tujuan pembinaan di Indonesia. Pembinaan narapidana di lapas terbuka dimulai dengan penyeleksian narapidana yang harus memenuhi syarat subtantif berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman, Nomor : M.01.PK.04.10, Tahun 1999, Tentang asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, Pasal 7 ayat (2) dan syarat administratif Surat Keputusan Menteri Kehakiman, Nomor : M.01.PK.04.10, Tahun 1999, Tentang asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, Pasal 8. Selain itu bukan termasuk narapidana kejahatan penipuan, terorisme, narkotika dan illegal logging. Bahwa proses seleksi untuk menjadi warga binaan pemasyarakatan pada Lapas Terbuka Jakarta pada khususnya atau lapas terbuka di Indonesia pada umumnya sangat memungkinkan terjadinya penyimpangan seperti adanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), karena sangat banyak narapidana yang berada di wilayah Jabodetabek namun mengapa hanya lima orang yang menjadi warga binaan pada Lapas Terbuka Jakarta. Manjadi pertanyaan apakah kelima orang tersebut benar-benar memenuhi syarat ataukah ada KKN dalam proses kepindahanya dari Lapas Tertutup ke Lapas Terbuka Jakarta. Sehingga pembinaan narapidana pada Lapas Terbuka Jakarta tidak sesuai yang diharapkan karena program pembinaan tidak berjalan sebagaimana mestinya, dengan kata lain Lapas Terbuka Jakarta hanyalah tempat singgah sebelum para narapidana tersebut bebas.

This thesis discusses the Open Prison as a Sub-System in the Integrated Criminal Justice System with emphasis is the background of the formation of the Open Prison, Penitentiary establishment of the Open was associated with the goal of punishment and execution of prisoners in the Penitentiary building the Open. The research method used in this thesis is a normative legal research methods. Normative legal research done by examining library materials or secondary data. The data was collected through library research and field studies conducted by interviews and observations, then treated deductively. The results of this study concluded that the Open Prison was established by Decree of the Minister of Justice No. M.03.PR.07.03. 2003 April 16, 2003 on the establishment of the Open Pasaman Correctional Institution, London, Kendal, Nusakambangan, Mataram and Waikabubak. That the formation of an open prison this background the following matters: as an effort to reduce excess inmates (over crowding) in ordinary prisons (closed), is a manifestation of the concept of community-based Corrections, which is in open prisons coaching inmates emphasizes community involvement, as an effort to better prepare inmates integrate into society as the goal of punishment, but the existence of the Open Prison Jakarta in particular and open prisons in Indonesia in general is a government policy that half-hearted or just government propaganda in the coaching of prisoners, because its existence until now has not been evaluated and the development of open prisons did not show significant progress both in terms of specific guidance or regulations regarding inmate penitentiary opened which it rests.Penitentiary establishment of the Open (open prison) as a sub-system of criminal justice in relation to the purpose of sentencing, the concept should be maximized to achieve the purpose of punishment in Indonesia, that is to return and integrate inmates into society, a man who obey and comply with the law. Thus the formation of an open prison to bridge the goals and realize the goal of coaching in Indonesia. Inmates in open prisons coaching begins with the selection of eligible inmates who have substantive based on the Decree of the Minister of Justice, No. M.01.PK.04.10, 1999, On assimilation, Parole and Leaves Towards Free, Article 7 paragraph (2) and administrative requirements of Decree of the Minister of Justice, No. M.01.PK.04.10, 1999, On assimilation, Parole and Leaves Towards Free, Article 8. Besides not including inmate fraud, terrorism, narcotics and illegal logging. That the selection process to become prisoners in open prisons Jakarta in particular or open prison in Indonesia in general is very possible occurrence of irregularities such as corruption, collusion and nepotism (KKN), since so many inmates who are in the Greater Jakarta area, but why only five people who became citizens of the built in Jakarta Open Prison. Even become a question whether those people are actually qualified or is there corruption in the process of prison kepindahanya Closed to Open Prison in Jakarta.Thus fostering the Open Prison inmates in Jakarta is not as expected because the coaching program is not running as it should, in other words Jakarta Open Prison was a haven before the prisoners are free."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2012
T 29872
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adityawarman
"Latar belakang permasalahan dari penulisan tesis ini adalah dalam proses penyidikan masih ditemukan adanya berbagai bentuk pengabaian atau bahkan pelanggaran dari hak-hak tersangka , yang dilakukan oleh petugas pemeriksa ataupenyidik Polri. Di dalam penulisan tesis ini, penulis menggambarkan mengenai bagaimana penerapan hak-hak tersangka dalarn proses penyidikan suatu perkara
kejahatan dengan kekerasan oleh petugas penyidik atau pemeriksa terhadap tersangka yang diperiksanya, di Polsek Metro Cakung, termasuk bentuk-bentuk pengabaian dan pelanggarannya, serta untuk memberikan manfaat dan kegunaan bagi kepentingan ilnu pengetahuan dan ilmu kepolisian, khususnya yang berkaitan dengan kajian tentang hak tersangka dalam proses penyidikan. Untuk mengkaji hal tersebut maka dalam melakukan pemhahasan
menggunakan 5 pernyataan proposisional dari teori petukaran modern (exchange theory) yang dikemukakan oleh George C. Humans, yaitu proposisi sukses, stimulus, nilai, deprivasi-satiasi, dan restu-agresi. Kegiatan penelitian yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode studi kasus, sedangkan teknik peugumpulan data dengan menggunakan metode pengamatan terlibat, pengamatan dan wawancara. Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka berkaitan dengan penerapan hak-hak tersangka dalam proses penyidikan di Polsek Metro Cakung dapat dibagi menjadi 2 hal , yaitu yang berkaitan dengan penerapan hak tersangka dalam proses pemeriksaan, dan yang berkenaan dengan penerapan hak tersangka dalam
hal penahanan. Dalam hal penerapan hak tersangka pada proses pemeriksaan, ternyata belum dilaksanakan sepenuhnya oleh petugas pemeriksa atau penyidik,
bahkan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak tersangka. Sedangkan untuk penerapan hak tersangka dalam penahanan, sudah diterapkan walaupun tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>