Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 141 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agung Bayumurti
"Dalam era globalisasi, pertumbuhan perdagangan internasional semakin pesat, dan meningkatkan frekuensi sengketa perdagangan. Salah satu sengketa tersebut disebabkan karena praktik dumping yang dapat merugikan negara lainnya, dan untuk mengantisipasi kerugian tersebut, negara yang dirugikan dapat melakukan tindakan berupa tindakan anti dumping. Tindakan anti dumping yang dilakukan pada umumnya berupa pemberlakuan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk impor yang terbukti dumping. Namun, BMAD ini sering disalahgunakan sebagai bentuk proteksi terhadap produksi dalam negeri.
Untuk menyelesaikan sengketa dagang tersebut, World Trade Organization (WTO) telah menetapkan seperangkat prosedur dan forum penyelesaian sengketa perdagangan, yaitu Dispute Settlement Body (DSB). Salah satu contoh sengketa dagang karena kesalahan BMAD adalah kasus antara Indonesia dengan Korea Selatan. Sengketa ini bermula pada saat KTC mengajukan petisi anti-dumping dan melakukan penyelidikan dumping terhadap perusahaan-perusahaan eksportir produk kertas Indonesia. Atas penyelidikan KTC tersebut, maka Pemerintah Korea Selatan telah memberlakukan BMAD kepada produk-produk kertas PPC (plain paper copier or business information paper used on copies in business and home offices) dan WF (uncoated wood-free printing paper used for printing) kepada SMG (Sinar Mas Group), yaitu sebesar 8,22 persen untuk Indah Kiat, Pindo Deli, dan Tjiwi Kimia, sedangkan April Fine dan eksportir kertas Indonesia lainnya sebesar 2,80 persen, melalui Regulation
No. 330 of The ministry of Finance and Economy tertanggal 7 November 2003. Oleh karena itu, atas permintaan Indonesia, DSB membentuk sebuah
Panel. Kemudian, Panel DSB memutuskan bahwa pemerintah Korea Selatan telah melanggar ketentuan yang berkenaan dengan penentuan dumping dan penentuan kerugian dalam mengenakan BMAD terhadap produk kertas Indonesia. Untuk itu, DSB merekomendasikan agar pemerintah Korea Selatan melakukan perhitungan kembali atas keputusannya dan melakukan penyesuaian sesuai dengan kewajibankewajiban yang diatur dalam Perjanjian WTO. Akan tetapi, Pemerintah Korea Selatan tidak melaksanakan putusan panel tersebut. KTC lalu menyampaikan Report on Implementation of WTO Compliance Panel Decision. Namun pada akhirnya Korsel benar-benar mencabut pengenaan BMAD-nya terhadap produk kertas Indonesia pada Desember 2010.

In the globalization era, the growth of international trades increases rapidly, but dispute often occurs. One of the disputes are dumping practice that could inflict loss to other country, to prevent such loss, inflicted country might impose action called anti dumping measure. Usually the anti dumping measure taken are Anti Dumping Import Duty (ADID) or Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) to import products which proven to be dumping. Nonetheless, ADID is mostly misused as a protection measure to local products. To settle the dispute, World Trade Organization (WTO) has provide procedures and dispute settlement forum, namely Dispute Settlement Body (DSB). One example of trade disputes caused by faulty implementation of anti dumping is the case between Indonesia and South Korea. The dispute started when Korean Trade Commission (KTC) filed anti-dumping petition and conducted dumping investigation to Indonesian paper products export companies.
Based on KTC investigation, South Korea government imposed ADID to PPC (plain paper copier or business information paper used on copies in business and home offices) and WF (uncoated wood-free printing paper used for printing) paper products to SMG (Sinar Mas Group), namely 8,22% to Indah Kiat, Pindo
Deli, and Tjiwi Kimia, while April Fine and other Indonesian exporting paper as 2,80%, through Regulation No. 330 of The ministry of Finance and Economy dated 7 November 2003.
Referring to the situation, based on Government of Indonesias (GOI) request, DSB assemble a Panel. Afterwards, the DSB Panel decided that South Korean government has violated the provision to determine dumping and loss in
imposing ADID to Indonesian product paper. In result, DSB recommends the South Korea Government to conduct recalculation over its decision and conducted adjustment pursuant to obligations regulated under the WTO Agreement.
However, Korean Government has not execute the decision. KTC then provided Report on Implementation of WTO Compliance Panel Decision. Although, South Korea Finally lifted the ADID upon Indonesias paper product at
December 2010.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41992
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arlianti Vita
"Tesis ini membahas permohonan pengujian materiil yang diajukan oleh para Advokad/Pengacara kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Atas Pasal 12 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Terhadap Pasal 28 Huruf I Ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Para Advokad/Pengacara menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan Pasal 12 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN yang menyebutkan bahwa pengurusan piutang negara dilarang diserahkan kepada pengacara. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, PUPN melakukan pengurusan penyelesaian piutang negara terhadap penanggung hutang (debitor) yang tidak kooperatif atau nakal, agar dapat dilakukan secara cepat, efektif dan efisien. Karena itu PUPN diberikan kewenangan untuk menerbitkan surat paksa, penyitaan bahkan dapat melakukan paksa badan (gijzeling) kepada penanggung hutang (debitor) jika tidak melunasi kewajibannya sebagaimana dituangkan dalam Pernyataan Bersama yang mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara perdata dan pelaksanaannya dijalankan dengan surat paksa yang mempunyai kekuatan hukum sama seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Pengacara tidak dapat mengurus, menagih Piutang Negara seperti yang dilakukan oleh PUPN karena pengurusan Piutang Negara oleh PUPN dilakukan berdasarkan kewenangan khusus yang diberikan oleh undang-undang. Pemohon berpendapat negara atau pemerintah dianggap telah membuat suatu peraturan yang bersifat diskriminatif, merendahkan dan meremehkan harkat atau martabat profesi pengacara yang berakibat pengurangan atau penghapusan pengakuan hak asasi manusia. Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa yang dapat menjadi pemohon atau yang memiliki legal standing adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara. Hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan bahwa Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara Praktik dan Konsultan Hukum yang telah diangkat pada saat undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan hal tersebut, para Pemohon menganggap memenuhi kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan ini karena para Pemohon adalah Advokat. Terhadap permohonan pengujian tersebut Pemerintah berpendapat apa yang dikemukakan oleh Pemohon merupakan bentuk kekhawatiran yang berlebihan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas PP Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, mulai tanggal 6 Oktober 2006 Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang Perseroan.
Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) beserta peraturan pelaksanaannya. Dalam hal ini, apakah BUMN hendak melakukan kerja sama dengan pengacara atau bukan dalam menyelesaikan kredit macet sepenuhnya merupakan wewenang dari BUMN. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan yang dalam hal ini adalah permohonan para Advokad/Pengacara. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26052
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra
"ABSTRAK
Sanksi Ekonomi Unilateral/sepihak, telah banyak menimbulkan perdebatan dalam hukum internasional. Sanksi ekonomi merupakan alat kebijakan luar negeri yang digunakan oleh negara atau organisasi internasional untuk mempengaruhi pemerintah atau kelompok pemerintahan untuk mengubah kebijakan mereka dengan membatasi perdagangan, investasi, atau kegiatan komersial lainnya.Tindakan tersebut tentunya berlawanan dengan era perdagangan saat ini yang bertujuan untuk membangun kerjasama ekonomi secara global. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa legalitas serta efektifitas pengenaan sanksi ekonomi oleh Uni Eropa terhadap Federasi Rusia, serta meninjau keberadaan sanksi dalam peraturan hukum perdagangan internasional. Tindakan pemberian atau penjatuhan sanksi diketahui bahwa hanya merupakan kewenangan tunggal Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan hanya melalui otoriasinya suatu negara atau organisasi internasional dapat memberlakukan sanksi tersebut kepada negara lain. Dalam hukum perdagangan internasional ketentuan pemberian sanksi ekonomi memang dapat diperbolehkan tetapi dalam ketentuan yang juga mengacu kepada Piagam PBB atau sebagai tindakan balasan atas pelanggaran negara target terlebih dahulu.

ABSTRACT
Unilateral economic sanctions is already have caused many debates in international law. Economic sanctions are foreign policy tools used by countries or international organizations to influence other countries to change their policies by limiting trade, investment, or other commercial activities. Such actions are certainly controvert from the current trade era which is aims to build global economic cooperation among nations. The purpose of this study is to analyze the legality and effectiveness of imposing economic sanctions by the European Union on the Russian Federation, as well as reviewing the existence of sanctions in the rules of international trade law. The act of giving or imposing sanctions is known to be the sole authority of the United Nations (UN) Security Council, and only through its authorization can a country or international organization impose such sanctions on other countries. In international trade law, the provision of economic sanctions can indeed be permitted but under special circumstances that also refer to the UN Charter provisions or as a retaliation for the violation of the target country first.
"
2019
T52219
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Jinoko
"Penelitian ini membahas mengenai implementasi asas cabotage dalam hukum positif Indonesia terhadap kapal penunjang Migas (Migas) atau anjungan Migas yang beroperasi di wilayah lepas pantai yang termasuk dalam wilayah laut zona ekonomi ekslusif (ZEE) maupun landas kontinen dimana ketentuan hukum internasional berlaku, kesesuainnya dengan ketentuan WTO yaitu ketentuan General Agreement on Trade In Services (GATS) dan schedule of commitment Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang di dukung oleh penelitian empiris. Dengan rumusan pengertian kapal yang meliputi juga floating platforms di lepas pantai (dalam hal ini termasuk rig-rig, anjungan Migas lepas pantai) sepanjang berada dalam yuridiksi dan kedaulatan Indonesia yaitu berada di laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalaman maka asas cabotage berlaku terhadap kapal dan floating platforms tersebut. Sedangkan menurut hukum positif Iindonesia asas cabotage tidak berlaku di landas kontinen dan ZEE namun dalam pelaksanaannya berlaku karena dalam operasional tersebut harus melalui Pelabuhan, laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman. Implementasi asas cabotage belum dapat dilaksanakan sepenuhnya karena pemerintah masih memberikan dispensasi terhadap penggunaan kapal asing untuk usaha Migas lepas pantai melalui Permenhub No.46 Tahun 2019, namun peraturan ini secara substansi tidak sejalan atau bertentangan dengan asas hukum lex superior derogate legi inferiori. Pengaturan asas cabotage merupakan bagian dari prinsip yang diatur dalam GATS tentang domestic regulation, dan WTO tetap mengakui eksistensi kedaulatan negara anggotanya. Hasil penelitian menyarankan perlu menyempurnakan hukum positif Indonesia sebagai peraturan domestik untuk menyesuaikan dengan perkembangan liberalisasi jasa angkutan laut khususnya penggunaan kapal asing untuk menunjang usaha Migas lepas pantai di Indonesia dan memberikan kelonggaran bagi armada angkutan laut asing pada kegiatan Migas lepas pantai.

This focus of this study is assesed implementation of the cabotage principle in Indonesian positive law to offshore oil and gas supporting vessels or oil and gas platforms operating in offshore areas that are included in the exclusive economic zone (EEZ) sea area or the continental shelf where international law provisions apply, the compliance with WTO provisions namely the provisions of the General Agreement on Trade in Services (GATS) and Indonesias schedule of commitment. This research applies a normative juridical approach which is supported by empirical research. With the formulation of the definition of a vessel which includes offshore floating platforms (in this case including rigs, offshore oil and gas platforms) as long as it is within the jurisdiction and sovereignty of Indonesia, which are in the territorial sea of Indonesia, archipelagic waters and inland waters, the cabotage principle applies to vessel and floating platforms. Meanwhile, according to positive Indonesian law the cabotage principle does not apply to vessel and floating platforms on the continental shelf and EEZ, but in practice the cabotage principle also applies because vessel and floating platforms in these operations must go through ports, territorial seas, archipelagic waters and inland waters. Implementation of the cabotage principle cannot yet be fully implemented because the government is still giving dispensation for the use of foreign vessel for offshore oil and gas business through Permenhub No.46 of 2019, but this regulation is substantially not in line with or against the legal principle of the lex superior derogate legi inferiori. Implementation of the cabotage principle is part of the principles that is regulated in GATS regarding domestic regulation, and the WTO continues to recognize the existence of the sovereignty of its member countries. The results suggest that it is necessary to improve Indonesias positive law as a domestic regulation to adjust to the development of liberalization of sea transportation services, especially the use of foreign vessels to support offshore oil and gas businesses in Indonesia and to provide leeway for foreign marine transportation fleets in offshore activities."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Prihartiningsih
"Sejak berlakunya perjanjian ACFTA banyak sekali barang impor ditemukan terutama dari Cina yaitu berupa baja jenis I dan H section dari baja paduan lainnya, yang telah melukan kegiatan ekspor ke Indonesia. Sebab terjadinya lonjakan barang impor I dan H section dari baja paduan lainnya, yaitu adanya harga produk impor I dan H section carbon steel (terutama dari Cina) yang tidak wajar, serta adanya ketidak konsisten untuk menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib dengan bahan baku baja paduan. Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan metode penelitian dengan pendekatan yuridis normatif. Dengan adanya lonjakan barang impor I dan H section yang menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian bagi industri baja dalam negeri, maka pemerintah harus mengambil kebijakan untuk mengatasinya, yaitu dengan mengenakan tindakan pengamanan berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12/PMK.010/2015 diperpanjang dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 2/PMK.010/2018, dan menerapkan wajib SNI.  Dengan beragamnya subyek perjanjian perdagangan bebas pemerintah perlu melakukan kajian terlebih dahulu sebelum mengikuti dan menandatangani kesepakatan perdagangan dengan negara lain, termasuk mempertimbangkan untung rugi serta dampak hukum maupun dampak yang mungkin akan ditimbulkan, dan pemerintah juga harus menyiapkan strategi sebelum melakukan atau mengikuti suatu perjanjian kerja sama dengan negara lain. Selain itu pemerintah juga harus melalukan pembaruan teknologi untuk industri baja agar bisa bersaing dengan industri baja internasional.

Since the enactment of the ACFTA agreement, many imported goods have been found, especially from China, in the form of steel types I and H Section from other alloy steels, which have been exporting to Indonesia. The cause of the surge in imported goods I and H Section from other alloy steels, namely the unreasonable prices for imported products I and H section carbon steel (especially from China), and the inconsistency in applying the mandatory Indonesian National Standard (SNI) with raw materials. alloy steel. In writing this thesis, the author uses a research method with a normative juridical approach. With the surge in imported goods I and H Section which caused loss or threat of loss to the domestic steel industry, the government had to take a policy to overcome it, namely by imposing security measures in the form of Regulation of the Minister of Finance (PMK) Number 12/PMK.010/ 2015 being extended. with Regulation of the Minister of Finance Number 2/PMK.010/2018, and applying compulsory SNI. With the variety of subjects of free trade agreements, the government needs to conduct a study before entering into and signing trade agreements with other countries, including considering the pros and cons and the legal impacts and impacts that may be caused, and the government must also prepare a strategy before entering into or following a cooperation agreement. with other countries."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Julyansyah
"Penelitian ini membahas bagaimana peran FFM (Fact Finding Mission) UNHRC dalam upaya menerapkan Responsibility to Protect. Badan investigasi tersebut dibentuk oleh PBB melalui Dewan Hak Asasi Manusia untuk melihat fakta – fakta yang terjadi terkait dengan krisis kemanusiaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah berlangsung lama terhadap etnis Rohingya di negara bagian Rakhine. Upaya Dewan Hak Asasi Manusia merupakan upaya pencegahan langsung. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan masalah yang digunakan adalah Live-Case Study, yaitu pendekatan studi kasus pada peristiwa hukum yang masing berlangsung atau belum selesai atau belum berakhir. Hasil dari penelitian adalah adanya bentuk pelanggaran hukum dalam lingkup hukum intenasional yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya, sehingga perlu diambil tindakan untuk mengadili pelanggaran hukum yang terjadi dan perlu dilakukan investigasi lebih lanjut oleh badan investigasi yang dibentuk PBB dengan metode yang tepat untuk memperbaiki krisis kemanusiaan yang terjadi terhadap etnis Rohingya.

This Research explains the role of the UNHRC’s FFM (Fact Finding Mission) in the effort to implement the Responsibility to Protect.The investigative body was formed by the United Nations through the Human Rights Council to look at the facts related to the long running humanitarian crisis and human rights against the Rohingya ethnicities in Rakhine State.This research uses a normative legal research method with approach used is Live-Case Study, which is a case study approach to legal events that ae ongoing or have not been completed or have not ended. Theresult of the research is that there are forms of legal violations within the scope of international law committed by the Myanmar government against the Rohingya ethnicity, so that action needs to be taken to prosecute the violations of the law that have occurred and further investigations need to be carried out by an investigative agency established by the United Nations with the right method to solve the humanitarian crisis and human rights against the Rohingya ethinicity."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Napitupulu, Elvis
"Sistem penyelesaian sengketa WTO yang berdasarkan DSU disepakati pada tahun 1995 bersamaan dengan terbentuknya WTO. Sistem baru yang merupakan pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa sebelumnya yang didasarkan pada GATT 1947 dinilai sebagai pencapaian terbaik putaran negosiasi Uruguay Round. Mekanisme penyelesaian sengketa DSU yang berubah dari pendekatan power-oriented menjadi pendekatan yang lebih rule-oriented diharapkan dapat membantu terciptanya perdagangan internasional yang lebih aman dan terprediksi, serta meningkatkan posisi tawar negara berkembang ketika bersengketa dengan negara maju. Meskipun sistem tersebut sudah semakin baik memfasilitasi sengketa perdagangan antara negara anggota WTO, tetapi di sisi lain sistem penyelesaian sengketa yang baru tersebut juga menimbulkan masalah baru bagi negara-negara berkembang.
Melalui pendekatan yuridis normatif terhadap datadata sekunder yang ada, penelitian ini akan menganalisis secara deskriptif mekanisme penyelesaian sengketa yang baru dan masalah-masalah yang ditimbulkan bagi negara berkembang serta langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Secara deskriptif dijelaskan bahwa pendekatan yang berorientasi hukum ternyata tidak serta merta membuat posisi negara berkembang menjadi lebih baik ketika bersengketa dengan negara maju. Negara berkembang harus menghadapi berbagai hambatan dan keterbatasan menggunakan sistem penyelesaian sengketa DSU khususnya terkait dengan kemampuan negara berkembang mengikuti prosedur penyelesaian sengketa dengan baik dan mendapatkan hasil maksimal dari sistem penyelesaian sengketa DSU.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk membantu negara berkembang mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam mengikuti prosedur penyelesaian sengketa DSU. Langkah-langkah tersebut mencakup perbaikan terhadap DSU serta peningkatan kapabilitas negara berkembang dalam menjalani sengketa di WTO. Dengan demikian, kegunaan sistem penyelesaian sengketa DSU dapat dimaksimalkan bagi keuntungan semua negara anggota, khususnya untuk kepentingan negara-negara berkembang.

Dispute settlement system in WTO which is based on DSU was agreed in 1995 with the establishment of the WTO. The new system is the development of the old dispute settlement mechanism based on GATT 1947 and widely believed as the best achievement of the Uruguay Round. The establishment of the DSU mechanism that changed the approach of dispute settlement in WTO from poweroriented approach to a rule-oriented approach is expected to set up a more predictable and more secure international trade as well as to enhance the developing countries bargaining position when having trade dispute with developed countries. Even though the system serves better in facilitating trade disputes between WTO members, it also creates new problems for developing countries.
Based on the fact, through literature study approach to secondary data, this research will describe the new dispute settlement system and the developing countries problems, as well as the solutions to solve the problems. It will find that a rule-oriented system doesn?t automatically make the developing countries position stronger when having dispute with developed countries. Developing countries must face many obstacles and inadequacies in using the dispute settlement mechanism. Most of those challenges are related to the developing countries capabilities to follow all the DSU procedures and get highest outcome from it.
Therefore, improvements need to be formulated to help developing countries work out their problems in using the dispute settlement system. Those solutions must include the improvements to the DSU system internally as well as the development of developing countries capabilities in using the DSU to end their dispute with developed countries. By those improvements, the DSU system can be used effectively for the benefit of all members, particularly for the interest of developing countries.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T21844
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmi Hertanti
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai mekanisme kerja Pasar Tunggal & Basis Produksi di ASEAN
khususnya di sektor pangan dan keterikatan Indonesia terhadapnya berdasarkan komitmen
yang telah dibuat. Bahwa atas hal tersebut kemudian ditransformasikan ke dalam kebijakan
nasional khususnya mengenai pertanian dan pangan yang difokuskan pada produk beras.
Kebijakan nasional tersebut memiliki dampak-dampak negatif terhadap petani kecil pedesaan
karena hilangnya perlindungan negara terhadap mereka atas penerapan kebijakan pertanian
dan pangan nasional yang dilandasi atas sistem pasar bebas (liberalisasi pertanian). Atas
kondisi ini maka diperlukan adanya satu konsep alternatif dalam penyusunan kebijakan
pertanian dan pangan nasional yang dibuat dengan menekankan pada kedaulatan pangan yang
dipilih untuk menghilangkan ketergantungan Indonesia terhadap produk impor.

ABSTRACT
This thesis discusses about the working mechanism of a Single Market and Production Base
in ASEAN, especially in the food sector and Indonesia engagement based on the
commitments already made. Then the commitment transformed into a national policy,
especially regarding food and agricultural products that are focused on rice. National policies
have negative impacts on rural smallholders because of their loss of state protection for the
implementation of national food and agricultural policies which based on the free market
system (agricultural liberalization). For this condition it is necessary of the alternative
concept in formulating national agricultural policy and food emphasis on the food
sovereignty to eliminate dependency on imported products."
2012
T30666
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Kharisma Makkawaru
"ABSTRAK
Sebagai anggota WTO, Indonesia telah melakukan beberapa tindakan anti-dumping
untuk melindungi industri dalam negeri dari akibat negatif dumping. Namun
mengenai tepat atau tidaknya peraturan tersebut maupun dari segi pelaksanaannya
masih sering dipermasalahkan. Permasalahan yang paling mendasar ialah bahwa
peraturan pemerintah baik PP 34/1996 maupun PP 34/2011 masih ditemukan
ketidaksesuaian dengan Anti-dumping Agreement. Terlebih terdapatnya faktor-faktor
non yuridis seperti kepentingan ekonomi, prinsip akuntansi dan kebijakan
perdagangan semakin membuat rumitnya penerapan peraturan anti-dumping di
Indonesia. Tesis ini mencoba untuk mengungkapkan hal-hal tersebut, disamping itu
juga akan memberikan perskripsi tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh
pemerintah Indonesia dalam menerapkan hukum anti-dumping sebagai trade
remedies dalam kerangka hukum perdagangan internasional.

ABSTRACT
As a member of WTO, Indonesia has imposed a number of anti-dumping measures to
protect its domestics industry from negative impact of dumping. However fairness of
such imposition or measures from the regulation and its implementation still seconds
complicated issues. The most fundamental problem is that both Government
Regulation PP 34/1996 and PP 34/2011 are still found the inconsistence with WTO
Anti-dumping Agreement. Even the existence of factors other than legal such as
economy interest, accounting and trade policy seem to escalate the complication of
the issue. This Thesis attempt to reveal it as well as to give prescription to Indonesian
government about what should they do in implementation of anti-dumping law as
trade remedies in frame of international trade law."
2012
T 30410
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>