Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 44 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdil Mughis M.
"Tesis ini membahas mengenai perebutan klaim kebenaran dalam memandang semburan lumpur Lapindo yang berimplikasi terhadap bagaimana aktor-aktor mengkonstruksi tata lingkungan dan sosial akibat semburan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain pemahaman (etnografi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap aktor dalam kasus Lapindo mengkonstruksi pengetahuan dalam memaknai fenomena semburan. Dengan menginspirasi teori kekuasaan Foucault, negara merupakan aktor dominan yang berkepentingan agar seluruh penyelesaian kasus mengacu pada skema Perpres. Sementara pada ranah relasi kekuasaan, Lapindo dan aktivis merupakan aktor dominan yang berkepentingan membentuk korban sebagai governable subject. Tesis ini menganalisa kasus Lapindo tanpa berpretensi berpihak pada salah satu pandangan, yang dengan itu mungkin dapat menghadirkan pandangan dalam melihat persoalan secara lebih kritis.
The focus of the study is how some actors claiming the truth in looking at Lapindo mud which implicate how some actors construct environmental and social order. This research is qualitative understanding interpretive. This thesis explores how some actors construct knowledge to look at the mud flow phenomena. Inspired by Foucauldian theory of power, state is a dominant actor concern to impose the governmental rule through the case. In the light of power relation, Lapindo and activist are dominant actor concern to construct the victim as governable subject. By analyzing Lapindo case without any pretention in one of the scientist overview, this study provides critical understanding for this environmental and social problem."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T 25195
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Mardiana
"Pemerintah merupakan pihak yang paling berkuasa di dalam memutuskan suatu kebijakan pembangunan. Akan tetapi proses penerbitan kebijakan tidak semata-mata berdasarkan kekuasaan birokrasi pemerintah, sebab terbitnya sebuah kebijakan banyak dipengaruhi oleh berbagai hal di dalam komunitas kebijakan. Relasi sosial, kekuasaan dan uang merupakan hal-hal yang dipandang panting dan memberi pengaruh besar terhadap proses terbitnya kebijakan. Tesis ini akan menganalisiskasus kebijakan pelepasan pengembangan tanaman kapas transgenik di Sulawesi Selatan.
Kajian ini menggunakan pendekatan antropologi kebijakan, yakni memandang keterkaitan antara norma dan institusi, ideologi dan kesadaran, pengetahuan dan kekuasaan, retorika dan wacana, serta makna dan interpretasi, dimana semua itu dipengaruhi oleh konteks lokal, nasional hingga global. Dalam kajian ini banyak menampilkan inspirasi dari pemikiran Foucault tentang kekuasaan yang berkaitan dengan pemberdayaan dan kebijakan.
Relasi sosial dibangun oleh para pihak berkepentingan atas dasar adanya kesamaan mulai dari pemikiran, ideologi, tujuan dan kepentingan. Selanjutnya pihak berkepentingan dalam relasi sosial itu membentuk komunitas kebijakan, yakni para pihak yang membuat dan menjalankan kebijakan. Pada dasamya para pihak berkepentingan dalam komunitas kebijakan berperan sebagai aktor yang mendistribusikan kekuasaan. Diantara relasi sosial dan kekuasaan terdapat imbalan yang saling dipertukarkan oleh pihak-pihak dalam komunitas tersebut. Pertukaran atas jasa yang dikeluarkan oleh salah satu pihak, akan dikembalikan
oleh pihak yang lainnya dalam bentuk uang. Dengan demikian uang menjadi alat yang diakumulasikan oleh para pihak berkepentingan terhadap suatu kebijakan.
Pihak berkepentingan terhadap kebijakan produk transgenik terdiri dari pemerintah, perusahaan, akademisi/ilmuwan, LSM dan petani. Pihak berkepentingan ini terpolarisasi kedalam dua kutub, yakni kelompok pendukung kebijakan produk transgenik, dimana kelompok ini sekaligus sebagai pihak yang tergabung dalam komunitas kebijakan. Sementara di kutub yang berseberangan adalah kelompok yang mendukung prinsip kehati-hatian terhadap kebijakan produk transgenik. Kelompok yang terakhir disebutkan ini, tidak tergabung ke dalam komunitas kebijakan. Kelompok ini, justru memberikan reaksi terhadap aspek sosial-budaya kebijakan sebagai sebuah arena kontestasi kekuasan.
Monsanto merupakan perusahaan pemilik paten produk transgenik, sehingga Monsanto sangat berkepentingan untuk menjalankan bisnis produk transgenik. Dengan demikian Monsanto membangun relasi sosial dengan birokrat pemerintah agar pemerintah bersedia membuatkan perangkat peraturan perundang-undangan yang mempu mendorong dilancarkannya kebijakan komersialisasi produk transgenik. `Suap' adalah Cara yang dijalankan perusahaan untuk mendorong beroperasinya kekuasaan pemerintah di dalam memutuskan kebijakan pembangunan. Disisi lain, pihak perusahaan juga membangun relasi sosial dengan pihak akademisi/ilmuwan pendukung inovasi teknologi transgenik. Kepentingan akademisi/ilmuwan mencakup penemuan inovasi teknologi, sistem paten, dan pengetahuan terhadap keilmiahan teknologi itu sendiri.
Pada kenyataannya kemampuan finansial perusahaan mampu menembus birokrasi pemerintahan yang menganut paradigma pembangunan kapitalisme, sekaligus berperan sebagai pejabat birokrat yang bermental korup. Dalam implementasi di lapangan sangat nampak, birokrat pemerintah turun tangan dalam mengkampanyekan janji janji keunggulan pertanian transgenik, sehingga petani bersedia beralih menanam kepada benih jenis transgenik. Argumen yang diajukan pemerintah adalah bahwa kebijakan pertanian transgenik bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat petani. Disisi lain, kalangan akademisi/ilmuwan juga memainkan peranan sebagai pihak yang mengusung nilai-nilai kebenaran ilmiah. Melalui berbagai pernyataan kalangan akademisi/ilmuwan, pihak perusahaan berharap dapat meningkatkan opini publik mengenai citra positif produk transgenik. Guna mengantungi citra positif ini, pihak perusahaan tak segan-segan mengulirkan dana ratusan juta kepada kalangan ilmuwan baik di perguruan tinggi maupun di instansi pemerintahan, guna melakukan riset, seminar, ataupun lokakarya yang pada intinya mendukung kebijakan produk transgenik. Dalam relasi sosial dan kekuasaan yang bekerja pada masing-masing pihak berkepentingan tersebut, ada sebuah mekanisme pertukaran imbalan yang berjalan sebagai sesuatu pemberian yang wajib dibalas dengan pemberian pula. Uang adalah sebuah kata kuncinya. Perusahaan melakukan penyuapan kepada sejumlah birokrat pemerintah agar dibuatkan kebijakan yang bisa membuat dijalankannya bisnis perusahaan. Perusaliaan juga membiayai berbagai riset akademisi ilmuwan guna membeli kekuasaan yang bekerja pada pihak akademisi/ilmuwan sebagai penghasil pengetahuan dan nilai-nilai kebenaran. Akan tetapi disini, baik pihak akademisi/ilmuwan maupun pemerintah tidak serta merta tunduk pada kekuasaan kapital perusahaan. Karena birokrat pemerintah dan akademisililmuwan jugs membalas pemberian uang tersebut dengan uang pula. Keberhasilan adopsi kebijakan di tingkat petani akan memberikan keuntungan bisnis kepada perusahaan dengan jumlah yang jauh berlipat-lipat. Jadi, saya melihat bahwa para pihak dalam komunitas kebijakan pada dasarnya melakukan akumulasi kapital bagi dirinya sendiri, atas beroperasinya kekuasaan yang mereka jalankan.
Melihat fenomena proses penerbitan kebijakan pembangunan yang seperti ini, lantas bagaimana dengan tujuan pembangunan itu sendiri ? apakah tujuan meningkatkan kesejahteraan petani bisa terwujud ?. dalam hal ini, saya memandang bahwa kebijakan pembangunan yang lahir atas kepentingan kapitalisme global, pada akhirnya hanya akan membuat petani berada sebagai pihak yang semakin terpuruk. Petani melulu hanya dijadikan objek pembangunan. Alasan atas nama kesejahteraan rakyat, hanyalah retorika belaka. Dengan demikian, keberadaan kelompok yang menekankan prinsip kehati-hatian terhadap kebijakan produk transgenik menjadi panting keberadaannya. Kelompok yang menekankan prinsip kehati-hatian melakukan kontestasi terhadap kebijakan produk transgenik, dan menekan pemerintah agar tidak meletakkan perkembangan inovasi teknologi transgenik yang disinyalir memiliki potensi besar dalam mengatasi masalah krisis pangan, sebagai inovasi teknologi yang semata-mata bergerak atas kepentingan kapitalis. Bagaiamanapun juga, teknologi ini menyimpan potensi untuk kebaikan. Untuk itu, peraturan perundang-undangan yang ketat dalam mengatur regulasi produk transgenik serta keterbukaan dan keterlibatan publik dalam berpartisipasi terhadap kebijakan produk transgenik, tentunya diharapkan dapat lebih membuat kebijakan yang adil dan berpihak kepada kaum tani dan kelompok minoritas lainnya.
Metode penelitian yang diterapkan dalam tesis ini adalah metode kualitatif. Teknik penelitian antropologi yang digunakan meliputi wawancara mendalam, analisis kasus, dan pengamatan terlibat. Selain itu juga dikumpulkan dokumen kebijakan dan pernyataan wacana yang tertuang dalam media massa ataupun makalah publikasi. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara mendetail, holistik dan komprehensif."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21512
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Johanes Supriyono
"Tesis ini mendiskusikan perlawanan Orang Mee di Nabire, Papua, terhadap pendatang dan negara. Dalam etnografi ini saya berargumentasi bahwa negara telah menggunakan modernitas seperti dikonsepkan oleh Zygmunt Bauman sebagai logika kulturalnya dalam usahanya membangun orang-orang Mee. Negara Indonesia mendefinisikan orang-orang Mee sebagai orang yang terbelakang dalam perbandingan dengan orang-orang dari luar Papua. Pendefinisian ini menyertakan program-program pembangunan yang difokuskan untuk menjadikan Nabire sebagai pusat pemerintahan dan salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Papua. Untuk itu, pemerintah mengirimkan migran dari luar Papua sebagai tenaga kerja yang diharapkan bisa mengimbaskan keunggulannya kepada penduduk setempat. Pertemuan dengan para migran kadang dialami sebagai pengukuhan stigma sebagai 'orang primitif', membuahkan rasa didiskriminasi, dan terancam oleh orang Mee. Logika modernitas direproduksi oleh orang-orang Mee untuk melawan pendatang dan negara. Mereka pun membuat batas pada pendatang dan negara dalam rangka membangun tatanan (order) mereka. Mereka menegaskan identitas diri sebagai orang asli Papua sedangkan negara dan pendatang mereka klasifikasikan sebagai non-Papua. Narasi-narasi mereka mengungkapkan perlawanan. Perlawanan orang-orang Mee terhadap pendatang dan negara memperlihatkan modernitas vs. modernitas.

This thesis discusses the resistance of Mee people in Nabire, Papua, against migrans and Indonesia state. In this ethnography I argue that the state has been using modernity as conceived by Zygmunt Bauman as its cultural logic in its attempt to improve the Mee people. Indonesian state defines Mee people as 'undeveloped' in comparison to non-Papuan migrans. This act of defining brings in it some development programs which is focused on making Nabire as a centre of administration and one of centres of economic growth in Papua. For these purposes, the government of Indonesia places non-Papuan migrans as main labor expected to be able to induce their excellence to the locals. Encounters with migrans sometimes is experienced as a fixation of stigma as 'primitive people', causes the feeling of being discriminated, and being threatened. The logic of modernity has been reproduced by the Mee people to resist the state and migrans.The Mee people draw boundaries against migrans and state in their attempts to set an order. They assert their identity as indigenous people of Papua while classifying state and migran as non-Papua. Their narratives express resistance. Mee people's resistance toward migran and state demonstrates modernity vs. modernity."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Listia Hesti Yuana
"Kebijakan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus telah mengubah tata kelola kawasan hutan di Pulau Jawa. Pemerintah mengambil alih pengelolaan kawasan hutan seluas ± 1,1 juta hektare yang sebelumnya diamanatkan pengelolaan kepada Perum Perhutani. Perubahan leading sector ini berdampak kepada perubahan aliran distribusi manfaat pengelolaan kawasan hutan di Pulau Jawa. Tesis ini mengargumentasikan bahwa kebijakan KHDPK, yang menempatkan masyarakat sekitar hutan sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan, ternyata juga berpotensi mengeksklusi masyarakat sekitar hutan. Penelitian ini menggunakan metode patchwork etnografi, serta pengumpulan data melalui observasi berpartisipasi, wawancara mendalam, dan analisa data sekunder. Fakta lapangan menunjukkan bahwa respon Perhutani terhadap kebijakan ini beragam. Di tingkat tapak, Perhutani melakukan berbagai cara untuk mempertahankan akses terhadap sumberdaya hutan meskipun secara regulasi tereksklusi. Hambatan dialami oleh masyarakat sekitar hutan pada masa transisi karena ketidakjelasan pendampingan. Cabang Dinas Kehutanan sebagai aktor baru dalam pengelolaan hutan Jawa tidak mampu berbuat banyak pada masa transisi karena masyarakat belum mendapatkan legalitas sesuai kebijakan terbaru. Meskipun tereksklusi, Perhutani tetap mendapatkan distribusi manfaat secara personal karena hubungan sosial yang masih terjalin meskipun secara regulasi sudah tidak ada kepentingan dalam kegiatan pengelolaan hutan. Perhutani sebagai pihak yang tereksklusi bahkan masih mampu mengesklusi masyarakat sekitar hutan dengan kuasa pasar. Hal ini menunjukkan bahwa keberpihakan terhadap masyarakat yang terpinggirkan di dalam regulasi, perlu dipastikan implementasinya di tingkat tapak melalui pendampingan yang intensif sehingga kebijakan tidak hanya sekedar retorika.

The Special Management Forest Area Policy has changed Java's forest management. The government took over the forest area management of ± 1.1 million hectares which was previously mandated to be managed by Perum Perhutani. The change of leading sector has an impact on changes in the flow of distribution benefits from forest area management in the Java Island. This thesis argues that this policy, which places communities around forests as the main actors in forest management, has the potential to exclude forest people. This research uses an patchwork ethnographic method, as well as data collection through participant observation, in-depth interviews, and secondary data analysis. Field facts show that Perhutani's response to this policy has varied. At the site level, Perhutani takes various measures to maintain access of forest resources even though they are excluded by regulation. Obstacles experienced by communities around the forest during the transition period were due to unclear assistance. The Forestry Service branch as a new actor in Javanese forest management was unable to do much during the transition period because the community had not received legality according to the latest policy. Even though it is excluded, Perhutani still receives personal distribution of benefits because of the social relationships that still exist even though according to regulations there is no longer any interest in forest management activities. Perhutani as an excluded party is still able to exclude communities around the forest with market power. This shows that it is necessary to ensure that regulations take sides towards marginalized communities in regulations at the site level through intensive assistance so that policies are not just rhetoric."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desy Wulandari
"Sering kali apa yang direncanakan dalam pembangunan tidak selalu sejalan dengan realitas di lapangan. Penelitian ini dilakukan pada komunitas Kampung Pitu, Nglanggeran, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat Kampung Pitu tinggal di salah satu puncak Gunung Api Purba Nglanggeran yang awalnya terisolasi secara geografis dari kampung lainnya. Perubahan terjadi sejak tahun 2015 seiring dengan ditetapkannya lanskap Kampung Pitu sebagai bagian geosite Geopark Gunung Sewu. Pembangunan infrastruktur jalan menjadi gerbang pembuka interaksi Kampung Pitu dengan dunia luar. Penelitian ini memanfaatkan kerangka pemikiran Tania Li dalam The Will To Improve (2012) yang menggambarkan adanya potensi jarak antara wacana dan praktik pembangunan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab bagaimana implementasi konsep geopark mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat Kampung Pitu. Penelitian lapangan dilakukan dengan metode etnografi selama satu bulan. Geopark merupakan wacana pembangunan global dengan konsep mendorong masyarakat untuk turut serta menjaga warisan geologis dan memperbaiki keadaan hidupnya dengan upayanya sendiri melalui pariwisata. Sebagai wacana global yang diimplementasikan secara lokal, konsep geopark mengalami berbagai tahapan penerjemahan. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa paradigma pembangunan global dapat terputus di tingkat lokal dan dimaknai secara berbeda oleh masyarakat setempat. Dalam disiplin antropologi pembangunan, tesis ini berargumen bahwa governmentality sangat penuh dengan pertaruhan, rentan gagal, dan pada kenyataannya gagal dalam kasus Kampung Pitu. Dengan mengelaborasi konsep working missundertanding, tesis ini menawarkan alternatif untuk memahami kesalahpahaman yang bekerja dalam implementasi wacana pembangunan. Penelitian ini memberikan wawasan berharga bagi pembuat kebijakan, praktisi pembangunan, dan organisasi non-pemerintah untuk lebih memperhatikan apresiasi etnografis dalam pelaksanaan pembangunan.

What is planned in development does not always align with the reality on the ground. This research was conducted in the Kampung Pitu community, Nglanggeran, Gunungkidul Regency, Special Region of Yogyakarta. The Kampung Pitu community resides on one of the peaks of the Nglanggeran Ancient Volcano, which was initially geographically isolated from other villages. Changes have occurred since 2015 with the designation of the Kampung Pitu landscape as part of the Gunung Sewu Geopark geosite. The construction of road infrastructure has opened the gateway for Kampung Pitu’s interaction with the outside world. This study utilizes Tania Li’s framework in “The Will To Improve” (2012), which illustrates the potential gap between development discourse and practice. The aim of this research is to address how the implementation of the geopark concept affects the daily lives of the Kampung Pitu community. Field research was conducted using ethnographic methods over the course of one month. Geoparks represent a global development discourse that encourages communities to preserve geological heritage and improve their living conditions through their own efforts via tourism. As a global discourse implemented locally, the geopark concept undergoes various stages of translation. The findings of this research indicate that the global development paradigm can become disconnected at the local level and is interpreted differently by local communities. In the discipline of development anthropology, this thesis argues that governmentality is fraught with risks, prone to failure, and indeed fails in the case of Kampung Pitu. By elaborating on the concept of working misunderstanding, this thesis offers an alternative to understanding the misunderstandings at play in the implementation of development discourse. This research provides valuable insights for policymakers, development practitioners, and non-governmental organizations to pay greater attention to ethnographic appreciation in the execution of development projects."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Nur Hamidah
"ABSTRAK
Tesis ini bermaksud untuk melengkapi studi-studi sebelumnya terkait dengan migrasi ketenagakerjaan yang seringkali mengungkapkan alasan ekonomi seseorang untuk bermigrasi ke luar negeri. Pengambilan keputusan seseorang untuk bermigrasi ataupun tidak adalah salah suatu proses yang penting dipahami untuk menjelaskan mengapa marak kegiatan migrasi ke luar negeri, khususnya pada warga desa Kebondalem, Kabupaten Banyuwangi. Metode Etnografi yang digunakan dalam pengumpulan data menemukan sejumlah kesimpulan. Pertama, faktor jender sangat berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan seseorang untuk bermigrasi. Berdasarkan temuan lapang, terdapat gendered migration regime yang membuka luas kesempatan bagi perempuan untuk bekerja dibandingkan laki-laki untuk bekerja ke luar negeri. Faktor yang berpengaruh besar adalah perempuan dapat bermigrasi ke luar negeri tanpa mengeluarkan biaya, bahkan mereka mendapatkan uang saku. Hal tersebut menciptakan ketidaksetaraan akses antara laki-laki dan perempuan untuk bermigrasi ke luar negeri. Kedua, ketika seseorang memutuskan bermigrasi ke luar negeri maka perempuan menegosiasikan peran dan pembagian kerja dengan suaminya dalam rumah tangga yang berakibat relasi jender dalam tingkat rumah tangga berubah. Ketiga, bagi perempuan Desa Kebondalem yang memutuskan bermigrasi ke luar negeri memiliki alasan selain faktor non-ekonomi, juga didorong oleh keinginan untuk bebas dari hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan domestik tidak bernilai ekonomi dalam rumah tangga, namun kebebasan ini tidak permanen. Hal ini yang saya sebut sebagai ldquo;sense of freedom from domesticity rdquo;.Kata Kunci: pekerja migran, pengambilan keputusan, agensi, jender, pembagian kerja dalam rumah tangga.

ABSTRACT
This thesis aims to complement previous studies about migration that often focuses on economy issues which make a person decides to migrate. The decision of a person to migrate or not is one of the important processes that needs to be understood in order to explain why migration activity abroad is increasing, especially in Kebondalem villagers, Banyuwangi, East Java. The ethnographic methods used in the process of data collection found several conclusions. First, gender factor is very influential in the decision making process of a person to migrate. Based on the field finding, there is a gendered migration regime that opens wide opportunities for women to work, but not for men. Factor that has a big impact is women can migrate overseas without paying a fee and they are given money by migrant worker placement agencies. It created an inequality access between men and women to migrate abroad. Second, when a person decided to migrate abroad, the woman always negotiates the role and division of labor with her husband in a household that makes a gender relationship in the household level has changed. Third, for women in Kebondalem Village who have decided to migrate abroad, they have reason except non economic factor, they have the desire to be free from domestic work in the household, but this freedom is not permanent. This is what I call the ldquo sense of freedom from domesticity rdquo .Keywords migrant workers, decision making process, agency, gender, division of labor in the household"
2018
T51222
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfia Zulaikho
"Program pembangunan terus mengalami evaluasi dari yang semula top down kini perlahan mulai dijalankan dengan sistem bottom-up yang mengutamakan partisipasi masyarakat lokal dan kolaborasi multistakeholder. Namun, meskipun sudah mengusung sistem pembangunan berbasis komunitas, dalam praktiknya suara masyarakat desa sendiri masih kerap kali tertutupi oleh aktor dari luar (outsider) atau bahkan elite desa sendiri. Makalah ini mengeksplorasi dinamika relasi yang terjadi antara mahasiswa dengan multistakeholder yang terlibat dalam program Desa Cemara, sebuah program pembangunan desa rancangan Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) Indonesia yang berusaha mengadaptasi pendekatan partisipatif (community development). Program dilaksanakan di beberapa desa di Jawa Barat, Dalam pelaksanaannya program ini melibatkan sejumlah individu dan lembaga yang berbeda. Masing- masing berangkat dengan kombinasi kepentingan, agenda, sumber daya, dan basis kekuasaan yang agak berbeda. Perbedaan latar belakang aktor yang terlibat rupanya menimbulkan sejumlah persoalan yang menjadi kendala dan tantangan yang mengiringi proses pemberdayaan. Penulis merefleksikan berbagai persoalan yang dihadapi mahasiswa menjadi tiga tahap yaitu pada proses pembekalan (pre-departure), persiapan keberangkatan, serta tahap di lapangan. Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah autoetnografi dan refleksi diri dengan menggunakan kerangka teoretis antropologi, khususnya antropologi terapan. Berdasarkan refleksi dari tahap-tahap yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat desa masih terbatas. Persoalan dan pertentangan di lingkup internal antara pihak perencana program membuat kolaborasi tidak berjalan dengan baik. Alhasil, tujuan memberdayakan masyarakat justru tidak tercapai secara optimal. Perencana program perlu meningkatkan komunikasi dan koordinasi yang bersifat terbuka untuk menyatukan perspektif. Dengan demikian, kesenjangan aspirasi dapat diminimalisir atau bahkan dihindari dan tujuan dari program pemberdayaan untuk menciptakan self-reliance masyarakat dapat terwujud.

Development programs continue to undergo evaluation, from what was originally top down to now slowly being implemented with a bottom-up that prioritizes local community participation and multi-stakeholder collaboration. However, even though they have adopted a community- based development system, in practice the voices of the village community themselves are often hidden by outsiders or even the village elite themselves. This paper explores the dynamics of relations that occur between students and multi-stakeholders involved in the program of “Desa Cemara”, a village development program designed by the Ministry of National Development Planning (Bappenas) Indonesia which tries to adapt a participatory approach (community development). The program was held in several villages in West Java, Indonesia. In its implementation, this program involves a number of different individuals and institutions. Each departed with a slightly different combination of interests, agendas, resources and power bases. The differences in the backgrounds of the actors involved apparently raise a number of problems which become obstacles and challenges that accompany the empowerment process. The author reflects all the problems she faced into three stages: pre-departure process; preparation for departure; as well as the process of collecting data and implementing interventions in the village. Based on the reflection of the stages mentioned above, it can be concluded that village community participation is still limited. Problems and conflicts in the internal sphere between the program planners made the collaboration not work well. As a result, the goal of empowering the community is not achieved optimally. Program planners need to improve open communication and coordination to unify perspectives. Thus, the aspiration gap can be minimized or even avoided and the aim of the empowerment program to create self- reliance can be realized."
2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Hastarika
"Selama ini penelitian broker lebih banyak membicarakan tentang praktik-praktik broker dan karakter mereka di dalam masyarakat. Tesis ini tidak ingin melanjutkan perdebatan tersebut, melainkan mempertanyakan hal mendasar yang belum cukup dikaji secara mendalam, yaitu proses-proses sosial yang dialami oleh seorang aktor hingga menjadi seorang broker. Oleh karena itu tesis ini melokasikan broker ke dalam perdebatan tentang jaringan sosial dan kekerabatan, bukan transaksi ekonomi atau perebutan sumber daya. Dengan metode otoetnografi, saya memanfaatkan konsep-konsep trauma, alienasi, dan teori agensi-struktur Sherry B. Ortner sebagai pijakan penelitian. Tujuannya agar kita bisa memahami bagaimana nilai dan kepribadian seseorang, yang dilatari budaya dan sejarah personalnya, membentuk agensinya ketika memposisikan diri dalam masyarakat sebagai seorang broker. Memahami proses sosial yang dialami seorang broker saat berhadapan dengan struktur-struktur, termasuk perbedaan kelas dan privilese, juga bermanfaat untuk memahami mengapa di dalam sebuah jaringan sosial bisa terdapat beberapa broker yang praktik dan karakteristiknya jauh berbeda, dan bagaimana relasi di antara mereka terbentuk ketika harus mempertahankan posisi dan kekuasaannya.
.....So far, many researches on broker have mostly talked about brokers’ practices and their character in society. This thesis is not a continuation of such debate, but rather questioning a fundamental issue that has not been sufficiently studied in depth, namely the social processes experienced by an actor while becoming a broker. This thesis therefore locates brokers in the debate about social networks and kinship, not economic transactions or struggles of resource. Using the autoethnographic method, I utilize the concepts of trauma, alienation, and Sherry B. Ortner's agency-structure theory as research bases. The goal is to understand how a person’s values and personalities, backgrounded by his/her culture and history, eventually shape his/her agency when positioning him/herself in society as a broker. Understanding the social processes that a broker goes through when dealing with structures, including class and privilege differences, is also useful for understanding why within a social network there can be several brokers whose practices and characteristics are very different, and how the relationship between them is shaped when they have to maintain their position and power."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Diah Andini
"Budidaya lobster merupakan mata pencaharian baru masyarakat Pulau Serangan. Aktivitas ini mulai dilakukan oleh masyarakat Pulau Serangan semenjak dikeluarkannya SK Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai langkah untuk menguatkan ekonomi nasional di tengah pandemi covid 19 yang melanda Indonesia. Tesis ini mencermati permasalahan yang berkaitan mengenai isu mata pencaharian masyarakat dan keberlanjutan sumber daya alam di suatu wilayah tertentu. Dengan menggunakan metode penelitian etnnografi yang memfokuskan pada konsep akses sebagai kemampuan dan individual adaptability. Tesis ini memperlihatkan keterlibatan dari lembaga, organisasi, dan kebijakan terkait budidaya lobster serta kemampuan akses dan adaptability sebagai strategi saat menghadapi pandemi Covid 19. 

Lobster cultivation is a new livelihood for Serangan Island community. This activity has been carried out since the issuance of Decree Number 53/KEP MEN-KP/2020 concerning the Due Diligence Team for Lobster Cultivation Fisheries Business Licensing by the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries as a step to strengthen the national economy in the midst of COVID-19 pandemic. This thesis examines issues related to community livelihood issues and the sustainability of natural resources in a particular area. By using ethnographic research methods that focus on the concept of access as an ability and individual adaptability. This thesis shows the involvement of institutions, organizations, and policies related to lobster cultivation as well as the ability to access and adaptability as a strategy when facing the Covid 19 pandemic."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>