Sering kali apa yang direncanakan dalam pembangunan tidak selalu sejalan dengan realitas di lapangan. Penelitian ini dilakukan pada komunitas Kampung Pitu, Nglanggeran, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat Kampung Pitu tinggal di salah satu puncak Gunung Api Purba Nglanggeran yang awalnya terisolasi secara geografis dari kampung lainnya. Perubahan terjadi sejak tahun 2015 seiring dengan ditetapkannya lanskap Kampung Pitu sebagai bagian geosite Geopark Gunung Sewu. Pembangunan infrastruktur jalan menjadi gerbang pembuka interaksi Kampung Pitu dengan dunia luar. Penelitian ini memanfaatkan kerangka pemikiran Tania Li dalam The Will To Improve (2012) yang menggambarkan adanya potensi jarak antara wacana dan praktik pembangunan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab bagaimana implementasi konsep geopark mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat Kampung Pitu. Penelitian lapangan dilakukan dengan metode etnografi selama satu bulan. Geopark merupakan wacana pembangunan global dengan konsep mendorong masyarakat untuk turut serta menjaga warisan geologis dan memperbaiki keadaan hidupnya dengan upayanya sendiri melalui pariwisata. Sebagai wacana global yang diimplementasikan secara lokal, konsep geopark mengalami berbagai tahapan penerjemahan. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa paradigma pembangunan global dapat terputus di tingkat lokal dan dimaknai secara berbeda oleh masyarakat setempat. Dalam disiplin antropologi pembangunan, tesis ini berargumen bahwa governmentality sangat penuh dengan pertaruhan, rentan gagal, dan pada kenyataannya gagal dalam kasus Kampung Pitu. Dengan mengelaborasi konsep working missundertanding, tesis ini menawarkan alternatif untuk memahami kesalahpahaman yang bekerja dalam implementasi wacana pembangunan. Penelitian ini memberikan wawasan berharga bagi pembuat kebijakan, praktisi pembangunan, dan organisasi non-pemerintah untuk lebih memperhatikan apresiasi etnografis dalam pelaksanaan pembangunan.
What is planned in development does not always align with the reality on the ground. This research was conducted in the Kampung Pitu community, Nglanggeran, Gunungkidul Regency, Special Region of Yogyakarta. The Kampung Pitu community resides on one of the peaks of the Nglanggeran Ancient Volcano, which was initially geographically isolated from other villages. Changes have occurred since 2015 with the designation of the Kampung Pitu landscape as part of the Gunung Sewu Geopark geosite. The construction of road infrastructure has opened the gateway for Kampung Pitu’s interaction with the outside world. This study utilizes Tania Li’s framework in “The Will To Improve” (2012), which illustrates the potential gap between development discourse and practice. The aim of this research is to address how the implementation of the geopark concept affects the daily lives of the Kampung Pitu community. Field research was conducted using ethnographic methods over the course of one month. Geoparks represent a global development discourse that encourages communities to preserve geological heritage and improve their living conditions through their own efforts via tourism. As a global discourse implemented locally, the geopark concept undergoes various stages of translation. The findings of this research indicate that the global development paradigm can become disconnected at the local level and is interpreted differently by local communities. In the discipline of development anthropology, this thesis argues that governmentality is fraught with risks, prone to failure, and indeed fails in the case of Kampung Pitu. By elaborating on the concept of working misunderstanding, this thesis offers an alternative to understanding the misunderstandings at play in the implementation of development discourse. This research provides valuable insights for policymakers, development practitioners, and non-governmental organizations to pay greater attention to ethnographic appreciation in the execution of development projects.