Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Husein Barnedh
"ABSTRAK
Latar belakang: Gangguan keseimbangan merupakan salah satu masalah neurologis yang penting pada lansia, sedangkan penelitian tentang hal tersebut belum banyak dilakukan di Indonesia.Beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan gangguan keseimbangan adalah aktivitas fisik, tingkat independensi,umurjenis kelamin, demensia, gangguan visus dan gangguan proprioseptif.
Tujuan: Untuk mengetahui proporsi gangguan keseimbangan dan jatuh, rerata skala keseimbangan Berg serta faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan pada lansia.
Metodologi. Penelitian menggunakan desain potong lintang. Subyek yang mengikuti penelitian berjumiah 300 orang, terdiri dari 244 wanita dan 56 pria, usia berkisar antara 60-88 tahun. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan neurologis umum, proprioseptif, dan visus, pemeriksaan MMSE serta pemeriksaan keseimbangan menggunakan skala keseimbangan Berg. Kriteria gangguan keseimbangan adalah bila nilai skala keseimbangan Berg < 46. Variabel-variabel yang diduga berperan dalam gangguan keseimbangan diuji statistik menggunakan analisis bivariat dan multivariat. Hash Penelitian. Proporsi gangguan keseimbangan adalah 28,7%. Proporsi jatuh 10,3%.Subyek dengan gangguan keseimbangan mempunyai OR 2,2 (95% CI 1,06-4,80) untuk mengalami jatuh (p<0,05) Rerata skala keseimbangan Berg 50.Pada analisis bivariat didapatkan 6 variabel yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan, yaitu: aktivitas fisik, tingkat independensi, usia, demensia, gangguan visus dan gangguan proprioseptif. Pada analisis multivariat 4 variabel, yaitu aktivitas fisik (OR 2,61; 95%CI 1,75-3,87), tingkat independensi (OR 13,15;95%Cl 3,77-45,82), usia (OR 1,86; 95%CI I,01-3,45) dan gangguan proprioseptif (OR 3,88; 95% CI 1,63-9,21) didapatkan berhubungan dengan gangguan keseimbangan (p<0,05). Jenis kelamin ditemukan tidak berhubungan bermakna dengan gangguan keseimbangan.
Kesimpulan: Aktivitas fisik, tingkat independensi, usia dan gangguan proprioseptif merupakan faktor risiko untuk gangguan keseimbangan pada lansia.

Background. Disequilibrium is one of the major neurological problems in elderly people, unfortunately there are only few studies about postural balance in elderly , especially in Indonesia. Physical activity, functional disability, age, gender, demensia, visual acuity decline and proprioceptive decline might be related to disequilibrium in elderly and need further explorations.

ABSTRACT
Objective. To determine proportion of disequilibrium dan falls, mean of Berg Balance Scale and risk factors related to disequilibrium in elderly.
Methods. This study was a cross sectional study. Three hundreds subjects , 244 women and 56 men, age 60-88 years old, participated in this study. History taking, general neurological examination, proprioceptive and visual acuity examination, MMSE and Berg Balance scale (BBS) was performed on every subject. Criteria for disequilibrium was BBS < 46. All variables was analyzed statistically by bivariate and multivariate analysis.
Results. Disequilibrium proportion was 28.7 %. Falls proportion was 10.3 %. Subjects with disequilibrium had OR 2.2 (95% CI: 1.06-4.80) for falls (p'(0.05). Mean value of BBS was 50. Variables which had correlation with disequilibrium on bivariate analysis was physical activity, functional disability, age, demensia, visual acuity decline, and proprioceptive decline. Multivariate analysis showed 4 variables related to disequilibrium: physical activity (OR 2.61; 95% CI: 1.75-3.87), functional disability (OR 13.15; 95% Cl: 3.77-45.82), age (OR 1.86; 95%CI: 1.01-3.45) and proprioceptive decline (OR 3.88; 95% Cl: 1.63-9.21) with p<0.05. Gender was not significantly related to disequilibrium.
Conclusion. Physical activity, functional disability, age and proprioceptive decline are the risk factors for disequilibrium in elderly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andry Surandy
"Latar Belakang
Gambaran elektrokardiogram (EKG) yang abnormal sering ditemukan pada pasien yang menderita strok (lebih dari 90%).Telah dilaporkan adanya perubahan ST-T pada strok, semua perubahan itu berhubungan dengan adanya gangguan pada pusat autonorn jantung di susunan saraf pusat. Dogan melakukan penelitian pada pasien strok mendapatkan persentase gambaran iskemia 79% pads EKG, 26% long QTc, dan 44% aritmia.
Tujuan
Mengetahui gambaran kelainan EKG pada strok akut dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kelainan ST-T.
Metode
Studi potong lintang dengan besar sampel 90. Waktu penelitian Januari-Mei 2005. Sampel adalah pasien strok yang diambil dari bangsal perawatan departemen Neurologi RSCM.
Hasil
Dari penelitian ini didapatkan prevalensi kelainan EKG pads strok sebesar 91,1%. Kelainan yang terbanyak adalah kelainan ST-T 47,8%. Strok akut tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kelainan ST-T, hal ini dibuktikan dengan nilai p=0,375. Namun strok akut lebih berhubungan dengan kelainan irama jantung (p=03). Kelainan ST-T pada strok berhubungan dengan LVH (p=0,000) OR 7,55 (2,96-19,29).
Kesimpulan
Pada penelitian ini prevalensi kelainan EKG pada strok akut sangat tinggi (91,1%), dan sebagian besar adalah kelainan ST-T (47,8%). Kelainan ST-T pada strok berhubungan dengan LVH. Strok akut lebih berhubungan dengan kelainan irama pada EKG.

Background
Patients with cerebrovascular disease frequently have Abnormal electrocardiogram (ECG). Lesion on central nervous system could make changes on ECG repolarization, including abnormal T wave, long QT. Dogan had observed stroke patients, found ischemia-like ECG changes 79%, long QT 26%, and aritrnia 44%.
Aim
To determine the characteristic of ECG changes in acute stroke and factors that corelated with ST-T changes.
Methods
Crossectional study on 90 acute stroke patients. Starting on January and finished at May 2005. The sample are acute stroke patients from ward of neurology department RSCM.
Results
From this studies overall 90 acute stroke patients, 91.1% had ECG changes. The most was ST-T changes 47.8%. Acute stroke didn't have correlation with ST-T changes (p=_375). But acute stroke had correlation with heart rate (p.03). ST-T changes mostly correlated with LVH ( p=0.000) OR 7.55 (2.96-19.29).
Conclusions
Our study formed the proportion of ECG changes on acute stroke was high (91.1%), mostly was LVH. ECG changes mostly caused by cardiac disease on acute stroke.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58440
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruhaya Fitrina
"Latar Belakang: Ankle Brachial Index (ABI) merupakan pemeriksaan noninvasif sederhana dan akurat untuk penyaring dan diagnostik Penyakit Arteri Perifer (PAP). Nilai ABI abnormal merupakan prediktor penting terjadi aterosklerosis sistemik yang menjadi penyebab stroke dan penyakit kardiovaskuler. Nilai ABI rendah berhubungan dengan telah tezjadi aterosklerosis sistemik atau PAP. Setelah lima tahun kemudian 25-35% penderita PAP akan mendenita stroke atau infark miokard. Faktor risiko stroke iskemik yang berhubungan dengan proses aterosklerosis adalah hipertensi, dislipidemia, homosisteinemia, merokok, infeksi dan hiperglikemia.
Tujuan: Mengetahui gambaran nilai ankle brachial index pada penderita stroke iskemik di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Metode: Penelitian ini dilakukan menggunakan disain potong lintang deskriptif analitik pada 73 penderita stroke iskemik. Kemudian dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologi rutin, pemeriksaan kadar total kolesterol darah, trigliserida, LDL, HDL, GDS, dan dilakukan pemeriksaan ABI. Pasien yang tidak memiliki CT scan / MRI kepala tidak masuk dalam penelitian.
Hasil: Dari 73 subyek penelitian didapatkan sebaran umur terbanyak pada kelompok umur 55-64 tahun (42,5%) dan sebagian besar subyek (78.1%) memiliki hipertensi. Proporsi nilai ABI abnormal pada penderita stroke iskemik adalah 26,0 %. Faktor risiko yang bermakna Secara Statistik dengan analisis bivariat adalah kadar total kolesterol darah p=0,039 dan umur p=0,034. Seclangkan hasil analisis multivariate menunjukkan bahwa kelompok umur merupakan faktor risiko independen yang bermakna terhadap nilai ABI abnormal dengan p-value 0,023 (OR 2,556; IK 95% 1,136-5,752).
Kesimpulan: Penderita stroke iskemik berumur lebih dari 55 tahun merupakan faktor risiko yang berhubungan terhadap kejadian nilai ABI abnormal. Sedangkan hiperkolesterolemia merupakan faktor risiko yang mempunyai hubungan yang bermakna dengan nilai ABI abnormal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T21316
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
IB Wiweka Sastrawan
"Latar belakang : Tindakan untuk mencegah hilangnya tulang dan melindungi arsitektur tulang belum menjadi bagian dari manajemen stroke sampai saat ini. Stroke merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian dimana sebagian besar pasien stroke akan mengalami komplikasi (hemiparesis). Perjalanan klinis dari stroke dengan hemiparesis/hemiplegi merupakan predisposisi untuk terjadinya gangguan pada fisiologi tulang sehingga menyebabkan terjadinya reduksi dini pada densitas tulang. Oleh sebab itu kami melakukan penelitian untuk melihat densitas massa tulang pada pasien pasca stroke.
Tujuan : Mengetahui gambaran densitas massa tulang pada pasien pasca stroke, perbedaan densitas massa tulang pada sisi yang lumpuh dan yang tidak lumpuh dan mengetahui korelasi antara derajat kekuatan motorik dengan penurunan densitas massa tulang.
Metodologi : Studi potong lintang dengan membandingkan densitas tulang femoral neck sisi yang lumpuh dengan sisi yang tidak lumpuh dan dilakukan uji korelasi untuk mengetahui korelasi antara derajat kekuatan motorik dengan penurunan densitas tulang.
Hasil : Dari 35 sampel yang terkumpul, didapatkan median usia 59 tahun, median IMT 22,22 kg/M2 median kadar kalsium serum 9,10 mg/dL dan median kekuatan motorik yang lumpuh adalah 3. Rerata densitas tulang femoral neck sisi yang lumpuh adalah 0,822 gr/cm2 'Didapatkan perbedaan yang bermakna antara rerata densitas tulang femoral neck sisi yang lumpuh dengan yang tidak lumpuh ( p=0,001 ). Tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara kekuatan motorik sisi yang lumpuh dengan densitas tulang femoral neck sisi yang lumpuh (r= 0,166; p=0,340).
Kesimpulan : Rerata densitas tulang femoral neck sisi yang Iumpuh sebesar :0,822 gr/cm2 Didapatkan rerata densitas tulang femoral neck yang lebih rendah pada sisi yang lumpuh dibandingkan sisi yang tidak lumpuh sedangkan korelasi antara kekuatan motorik dengan densitas tuiang femoral neck belum dapat dibuktikan.

Backgrounds: Bone loss prevention and bone architectural protection have not been established as a part of stroke management so far. Stroke is a major cause of disability and mortality because most of stroke patient will have complication (hemi paretic). Clinical history of hemi paretic/ hemiplegics stroke disturbs the bone physiology that will cause early reduction of bone mass density. Therefore, we conduct this study to observe the bone mass density in post-stroke patient.
Objective: To recognize the profile of bone mass density in post-stroke patient, the difference of bone mass density in immobilized part. Compared to the normal part as well as the correlation between the grade of motor strength and the reduction of bone mass density.
Methods: A cross sectional study comparing bone mass density of neck femoral in immobilized part and normal part has been conducted. In addition, a correlation test to recognize the correlation between the grade of motor strength and the reduction of bone mass density was also conducted.
Result: The median age of 35 samples collected was 59 years, median IMT was 22.22 kg/M2 median of calcium serum level 9.10 mg/dL and the median of motor strength of immobilized part was 3. Mean of bone density in immobilized neck femoral was 0.822 g/cm2. We found a significant difference between mean of bone density in immobilized femoral neck compared to normal (p = 0.001). There was no significant correlation between immobilized motor strength and bone density of immobilized femoral neck (r = 0.166; p = 0.340), but greater motor strength has a greater mean of bone density.
Conclusion: Mean of bone density in immobilized femoral neck is 0.822 g/cm2. We found a lower mean of bone density in immobilized femoral neck compared to the normal part while the correlation between motor strength and bone density of femoral neck has not been established.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Arasen
"ABSTRAK
Latar Belakang. Gangguan otonom merupakan gejala yang cukup sering dialami
oleh pasien Parkinson. Gangguan ini sudah dapat ditemukan sejak awal stadium
penyakit. Gangguan otonom meliputi gangguan gastrointestinal, urologi,
kardiovaskular, seksual dan termoregulasi. Untuk mendeteksi gangguan otonom
dapat digunakan kuesioner SCOPA-AUT (Scale for Outcomes in Parkinson’s
Disease for Autonomic Symptoms). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran gangguan otonom pada pasien Parkinson di Poliklinik
Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUPN Fatmawati.
Metode. Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain potong lintang.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan April hingga Juni 2012.
Hasil. Sebanyak 54 subyek penelitian yang terdiri dari 33 (61,1%) pria dan 21
(38,9 %) wanita diikutsertakan dalam penelitian ini. Pasien Parkinson pada
penelitian ini berusia antara 45-79 tahun. Sebagian besar pasien memiliki durasi
sakit kurang dari 5 tahun (63%), stadium Hoehn & Yahr 1-2 (63%) dan memakai
terapi kombinasi levodopa dengan agonis dopamin (79,6%). Gangguan otonom
didapatkan pada seluruh subyek penelitian. Gangguan otonom yang paling sering
dialami pasien Parkinson adalah masalah urologi berupa nokturia (79,6%) dan
urinary frequency (57,3%), serta masalah gastrointestinal yaitu sialorea (51,9%)
dan mengejan kuat saat buang air besar (50%) Tidak ada pasien yang mengalami
inkontinensia feses atau jatuh pingsan.
Kesimpulan. Seluruh pasien Parkinson pada penelitian ini mengalami gangguan
otonom. Telah diketahui proporsi gangguan otonom pada pasien Parkinson di
Poliklinik Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUPN Fatmawati.

ABSTRACT
Background. Autonomic symptoms are quite often reported by Parkinson’s
disease patients. These symptomps are found already in early stage of disease.
Autonomic symptomps comprise gastrointestinal, urinary, cardiovascular, sexual
and thermoregulation symptomps. SCOPA-AUT (Scale for Outcomes in
Parkinson’s Disease for Autonomic Symptoms) questionnaire can detect
autonomic dysfunctions. The purpose of this study is to obtain profile of
autonomic symptomps in Parkinson’s disease patients in neurology clinic in
RSUPN Cipto Mangunkusumo and RSUPN Fatmawati.
Methods: a cross sectional study was conducted between April and June 2012
Results: A total of 54 patients, i.e. 33 (61,1%) man and 21 (38,9 %) woman, were
recruited in this study. The age of patients was between 45 and 79 years. Most
patients have illness duration less than 5 years (63%), Hoehn & Yahr stage 1-2
(63%) and use combination therapy (levodopa with dopamine agonist) (79,6%).
Autonomic symptoms are complained by all patients. Most frequent autonomic
symptomps reported by Parkinson’s disease patients are nocturia (79,6%), urinary
frequency (57,3%), sialorea (51,9%) and strain hard when pass stools (50%).
There are no patients who complained involuntary loss of stools or fainted.
Conclusion. All Parkinson’s disease patients in this study reported autonomic
symtomps. Autonomic symptomps profile has been known in Parkinson’s disease
patients in neurology clinic in RSUPN Cipto Mangunkusumo and RSUPN
Fatmawati"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanartoaji Anggana Pribadi
"ABSTRAK
Latar Belakang. Sekitar 75% perawat di rumah sakit menjalani kerja gilir. Salah satu dampak negatif akibat kerja gilir jangka panjang adalah gangguan fungsi kognitif. Mekanisme yang menjelaskan gangguan fungsi kognitif adalah gangguan tidur kronik, desinkronisasi irama sirkadian dan stress kerja. Pengetahuan mengenai fungsi kognitif pada perawat gilir merupakan hal yang penting karena akan mempengaruhi produktivitas kerja perawat.
Metode. Desain penelitian berupa studi potong lintang. Subyek penelitian adalah perawat gilir di IGD, ICU dan bangsal gedung A RSCM yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subyek diperoleh secara konsekutif proporsional. Pada subyek dilakukan wawancara, pengisian kuesioner, pemeriksaan fisik dan fungsi kognitif. Pemeriksaan fungsi kognitif dilakukan minimal dua malam setelah gilir malam terakhir. Dilakukan analisis data menggunakan perangkat SPSS 17.0.
Hasil. Diperoleh 36 subyek perawat gilir di masing – masing unit kerja. Prevalensi gangguan kognitif pada perawat gilir berdasarkan MoCA-Ina adalah 14,8%. Proporsi gangguan fungsi kognitif terbanyak terdapat pada perawat IGD (50,0%) diikuti oleh bangsal gedung A (31,2%) dan ICU (18,8%). Pada domain fungsi kognitif rerata tertinggi terdapat pada perawat ICU, kecuali pada domain visuospasial terdapat pada perawat bangsal, sedangkan pada domain orientasi sama pada semua unit.
Kesimpulan. Sebagian perawat gilir mengalami gangguan fungsi kognitif. Tidak terdapat perbedaan bermakna rerata skor MoCA-Ina maupun proporsi gangguan fungsi kognitif antar unit kerja. Pada domain MoCA-Ina perbedaan rerata yang bermakna hanya terdapat pada domain atensi-konsentrasi-working memory.

ABSTRACT
Background. About 75% hospital nurses work in shift. One of negative effects due to long term shift work is cognitive function impairment. Mechanisms explaining the cognitive function impairment are chronic sleep disorder, circadian rhythm desynchronisation, and work stress. Knowledge of cognitive function in shift nurses is important because affects nurse work productivity.
Method. This is a cross sectional study. The subjects of this study were shift nurses working at Emergency Ward, Intensive Care Unit, and Inpatient Ward of RSCM who are eligible based on inclusion and exclusion criteria. This study used proportional concecutive sampling, where all subjects were interviewed, filled questionnaires, and underwent physical and cognitive examination. The cognitive examination were done at least two nights after last night shift. Data was analyzed by using SPSS 17.0.
Result. There were 36 shift nurses in each work unit. Prevalence of cognitive impairment in shift nurses based on MoCA-Ina battery was 14.8%, which the most prevalence was found at Emergency Ward (50.0%), followed by Inpatient Ward (32.1%) and Intensive Care Unit (18.8%). The highest score of all cognitive domains was found at Intensive Care Unit, except in visuospatial which was found at Inpatient Ward, meanwhile every unit had similar mean score in orientation.
Conclusion. A few shift nurses had cognitive impairment. There was no significant difference in both MoCA-Ina mean score and proportion of cognitive impairment among work units. There was significant difference in mean score of attention-concentration-working memory."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Chitra
"Latar belakang: Terdapat beberapa metode pengukuran TIK, baik invasif maupun noninvasif. Metode invasif pengukuran TIK kadang tidak dapat dilakukan karena keterbatasan alat dan tenaga ahli. Untuk itu, metode noninvasif pemeriksaan TIK telah banyak dikembangkan. Salah satunya adalah sonografi ONSD. Menurut studi sebelumnya, ONSD memiliki korelasi yang kuat, serta sensitivitas dan spesifisitas yang baik dalam memprediksi peningkatan TIK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kegunaan pemeriksaan ONSD menggunakan ultrasonografi dalam mendeteksi peningkatan TIK pada pasien dengan infeksi otak.Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan menilai korelasi antara nilai ONSD menggunakan ultrasonografi dengan tekanan pembukaan lumbal pungsi. Terdapat 43 subjek tersangka infeksi otak yang telah dilakukan pemeriksaan sonografi ONSD sesaat sebelum dilakukan pengukuran tekanan pembukaan lumbal pungsi. Tekanan pembukaan lumbal pungsi diperiksa dengan menggunakan intravenous IV tubing, three way stopcock, dan penggaris ukur. Tekanan pembukaan dikatakan meningkat jika lebih dari 20 cmH2O. Pemeriksaan ONSD dilakukan pada kedua mata dengan menggunakan ultrasonografi dengan frekuensi transmit sekitar 7-15MHz.Hasil: Didapatkan usia rata-rata subjek adalah 35 tahun. Sebagian besar subjek adalah HIV positif 55,8 . Jenis infeksi otak terbanyak adalah meningitis TB yaitu 28 kasus 65,1 . Keluhan terbanyak yang dialami subjek adalah sakit kepala 79,1 dan demam 88,4 . Defisit okulomotor berupa paresis nervus abdusen atau nervus okulomotorius didapatkan pada 8 subjek 18,6 . Median tekanan pembukaan subjek yaitu 18 cmH2O rentang 7- 81 cmH2O , dimana 16 subjek 37,2 dengan tekanan di atas 20 cmH2O. Nilai ONSD pada tekanan pembukaan meningkat lebih lebar dibandingkan ONSD pada tekanan pembukaan normal 6,09 0,59 vs 5,58 0,55mm . Terdapat perbedaan ONSD yang bermakna antara tekanan pembukaan meningkat dan normal p=0,02 . Berdasarkan hasil uji Spearmen didapatkan hubungan antara ONSD dengan tekanan pembukaan lumbal pungsi p= 0,002 dengan derajat korelasi sedang r= 0,452 . Model regresi ONSD terhadap tekanan pembukaan lumbal pungsi adalah y= -36,488 9,936x.Kesimpulan: ONSD berkorelasi sedang dengan tekanan pembukaan lumbal pungsi.

Background There are several methods of measuring increased intracranial pressure, both invasive and noninvasive. The invasive method of measuring intracranial pressure sometimes can not be performed because of limited tools and experts. For that reason, noninvasive methods of intracranial pressure examination have been widely developed today. One of the noninvasive method is ONSD sonography. According to previous studies, ONSD has a strong correlation, as well as good sensitivity and specificity in predicting increased intracranial pressure. This study aims to determine the usefulness of ONSD examination using ultrasonography in detecting increased intracranial pressure in patients with cerebral infection.Method This study used cross sectional design and assessed the correlation between ONSD value using ultrasonography with opening pressure of lumbar puncture. There were 43 suspected cerebral infection subjects who had performed ONSD sonographic shortly before opening pressure swere measured. The opening pressure is examined using intravenous IV tubing, three way stopcock, and a measure ruler. The opening pressure is interpreted to increase if the pressure exceeds 20 cmH2O. The ONSD examination is performed on both eyes using ultrasound with a transmitting frequency of about 7 15MHz.Result The average age of the subject was 35 years. Most of the subjects were HIV positive 55.8 . The most common type of cerebral infection is TB meningitis 28 cases, 65,1 . The most common chief complaints were headache 79.1 and fever 88.4 . An oculomotor deficit paresis of the abduscen nerve or oculomotor nerve was obtained in 8 subjects 18.6 . The median of opening pressure was 18 cmH2O range 7 81 cmH2O , where 16 subjects 37.2 with pressure above 20 cmH2O. The ONSD value at the increased opening pressure was wider than ONSD at normal opening pressure 6.09 0.59 vs 5.58 0.55mm . There was a significant ONSD difference between increased and normal opening pressure p 0.02 . Based on Spearmen test results obtained the relationship between ONSD with puncture lumbar opening pressure p 0,002 with medium degree of correlation r 0.452 . The ONSD regression model of predicting opening pressure of lumbar puncture is y 36,488 9,936x.Conclusion ONSD correlated moderately with opening pressure of lumbar puncture."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Aditya Arpandy
"ABSTRAK
Latar belakang. Multipel Sklerosis MS dan Neuromyelitis Optica Spectrum Disorder NMOSD adalah penyakit autoimun yang mengakibatkan lesi inflamasi dan demielinisasi pada sistem saraf pusat. Salah satu manifestasi klinis yang paling menonjol pada kedua penyakit ini adalah neuritis optik NO . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan struktur dan fungsi nervus optikus pada pasien MS dan NMOSD serta melihat hubungannya dengan derajat disabilitas yang dinilai dengan EDSS, durasi penyakit, dan jumlah relaps. Metode. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan jumlah sampel 30 mata MS dan 15 mata NMOSD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM , tanpa riwayat neuritis optik dalam 6 bulan terakhir. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2017. Struktur nervus optikus dinilai dengan menggunakan optical coherence tomography yang menilai ketebalan GCL-IPL ganglion cell layer-inner plexiform layer dan RNFL retinal nerve fiber layer serta foto fundus. Sedangkan fungsi nervus optikus dinilai dengan ketajaman penglihatan logmar , sensitivitas kontras, dan latensi P100. Hasil. Rerata usia MS 30 6 tahun tahun dan NMOSD 23,19 7,25 tahun. Hanya terdapat satu orang laki-laki pada kelompok MS, sedangkan subjek NMOSD keseluruhannya adalah perempuan. Kelompok NMOSD memiliki ketebalan lapisan GCL-IPL, RNFL serta ketajaman penglihatan yang lebih rendah dibandingkan MS. Pada kelompok ini juga didapatkan korelasi positif antara nilai EDSS dengan ketajaman penglihatan r=0,74 dan korelasi negatif dengan rerata ketebalan lapisan GCL-IPL r=-0,67 dan RNFL r=-0,46 . Pada kelompok MS, subjek dengan nilai EDSS yang tinggi cenderung memiliki lapisan GCL-IPL yang lebih tipis. Korelasi negatif antara durasi penyakit dengan ketajaman penglihatan r=0,65 dan ketebalan lapisan GCL-IPL r=-0,63 terlihat pada kelompok NMOSD. Sedangkan pada MS didapatkan korelasi negatif antara durasi penyakit dengan sensitivitas kontras r=-0,42 serta ketebalan lapisan GCL-IPL r=-0,40 dan RNFL r=-0,38 . Jumlah relaps berkorelasi negatif dengan ketebalan lapisan RNFL r=-0,63 pada kelompok NMOSD. Pada kelompok MS, jumlah relaps tidak berkorelasi dengan parameter struktur dan fungsi nervus optikus. Kesimpulan. Ketebalan lapisan GCL-IPL dan RNFL lebih tipis pada kelompok NMOSD. Fungsi nervus optikus pada NMOSD juga lebih inferior dibandingkan MS. Derajat disabilitas dan durasi penyakit berkorelasi dengan parameter struktur dan fungsi nervus optikus pada pasien MS dan NMOSD. Sedangkan korelasi dengan jumlah relaps hanya didapatkan pada kelompok NMOSD.

ABSTRACT<>br>
Background. Multiple Sclerosis MS and Neuromyelitis Optica Spectrum Disorder NMOSD is an autoimmune disease that results in inflammatory lesions and demyelinization of the central nervous system. One of the most prominent clinical manifestations in both diseases is optic neuritis ON . This study aims to determine the differences in structure and function of the optic nerve in MS and NMOSD patients and to see its relationship with the degree of disability assessed by EDSS, duration of disease, and number of relapse. Method. This study used cross sectional design with 30 MS eyes 15 NMOSD eyes at Cipto Mangunkusumo Hospital RSCM , with no history of optic neuritis in the last 6 months. The study was conducted in December 2017. The optic nerve structure was assessed using optical coherence tomography by measuring the thickness of GCL IPL ganglion cell layer inner plexiform layer and RNFL retinal nerve fiber layer and fundus photography. While optic nerve function is assessed with visual acuity, contrast sensitivity, and P100 latency. Results. Mean age of MS subjects were 30 6 years and NMOSD 23.19 7.25 years. There is only one male in the MS group, while the entire NMOSD subject is female. The NMOSD group has lower GCL IPL and RNFL thickness and also lower visual acuity than MS. In this group there was also a positive correlation between EDSS value with visual acuity r 0.74 and negative correlation with mean GCL IPL r 0.67 and RNFL thickness r 0.46 . In the MS group, subjects with high EDSS values tend to have thinner GCL IPL. The positive correlation between disease duration and visual acuity r 0.65 and negative correlation with GCL IPL layer thickness r 0.63 was seen in the NMOSD group. While in MS, there was a negative correlation between duration of disease with contrast sensitivity r 0.42 and mean GCL IPL r 0.40 and RNFL thickness r 0.38 . The number of relapse were negatively correlated with mean RNFL thickness r 0.63 in the NMOSD group. In the MS group, the number of relapse was not correlated with the structural and functional parameters of the optic nerve. Conclusion. The thickness of the GCL IPL and RNFL is thinner in the NMOSD group. The optic nerve function in NMOSD is also inferior to MS. The degree of disability and duration of disease correlates with the structural and functional parameters of the optic nerve in MS and NMOSD patients. While the correlation with the number of relapse is only found in the NMOSD group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58954
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adisresti Diwyacitta
"ABSTRAK
Latar belakang: Multipel sklerosis (MS) merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi dan demielinasi pada sistem saraf pusat dimana sering melibatkan nervus optikus (94-99%). Namun hanya sekitar 20% yang mengalami neuritis optik (NO). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan struktur dan fungsi nervus optikus antara pasien MS dengan kontrol normal, perbedaan pada kelompok MS selama pengamatan satu tahun, serta hubungannya dengan durasi penyakit, jumlah relaps, derajat disabilitas, dan subtipe MS.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif yang melibatkan 58 mata pasien MS. Fungsi nervus optikus dinilai dengan visus, sensitivitas kontras, dan latensi P100. Sedangkan struktur nervus optikus dinilai dengan melihat ketebalan GCIPL, RNFL melalui pemeriksaan Optical Coherence Tomography (OCT), dan gambaran fundus.
Hasil: Struktur dan fungsi nervus optikus kelompok MS lebih buruk dibandingkan dengan kontrol normal. Selama pengamatan 6 dan 12 bulan, lapisan GCIPL dan RNFL pada kelompok MS mengalami penipisan. Durasi penyakit dan jumlah relaps berkorelasi dengan pemanjangan latensi P100 (r=-0,61, p<0,001 dan r=-0,46, p=0,02). Lapisan GCIPL dan RNFL lebih tipis pada subtipe SPMS dibandingkan RRMS.
Kesimpulan: Struktur dan fungsi nervus optikus pasien MS lebih buruk dibandingkan orang normal. Terjadi penipisan GCIPL dan RNFL dalam 6 dan 12 bulan namun tidak berkorelasi dengan durasi penyakit, jumlah relaps, dan derajat disabilitas.

ABSTRACT
Background: Multipel sclerosis (MS) is an autoimmune disease that causes inflammation and demyelination of central nervous system which often involves the optic nerve (94-99%). However, only about 20% patients experience optic neuritis (ON). This study aims to determinate the optic nerve structure and function differences between MS patients and healthy controls (HC), the optic nerve changes in MS group over 1-year follow up, and its correlations with the disease duration, number of relapses, degree of disability, and MS subtype.
Methods: This is a prospective cohort study involving 58 eyes of MS patients. Optic nerve function was evaluated by visual acuity, contrast sensitivity, and P100 latency. While the optic nerve structure was assessed by looking at GCIPL and RNFL thickness through Optical Coherence Tomography (OCT), also fundus appearance.
Results: Optic nerve structure and function of MS group were worse than HC. During 6 and 12 months observations, GCIPL and RNFL in MS group were depleting. The disease duration and number of relapses correlated with delayed P100 latency (r=-0,61, p<0,001 and r=-0,46, p=0,02). GCIPL and RNFL in SPMS subtype were thinner than in RRMS."
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendy Kurniawan
"Latar belakang: Migren vestibular (MV) merupakan salah satu penyebab tersering vertigo berulang. Beberapa penelitian telah melaporkan karakteristik klinis dan hasil abnormal pemeriksaan cervical Vestibular Evoked Myogenic Potential (cVEMP) pada pasien MV. Indonesia belum memiliki penelitian mengenai hal tersebut. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan menjadi acuan untuk pengembangan pemahaman MV dan pemeriksaan cVEMP di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong-lintang yang melibatkan 18 subyek MV dan 25 subyek normal. Fungsi vestibular dinilai secara klinis dan menggunakan cVEMP. Seluruh subyek dengan MV menjalani pemeriksaan selama periode bebas serangan/interiktal.
Hasil: Keluhan utama migren atau gejala vestibular terbagi merata (50%). Karakteristik sakit kepala lebih banyak dengan intensitas berat (66,7%), berdenyut (100%), unilateral (61,1%), fotofobia (83%), fonofobia (94,4%), mual dan/atau muntah (88,9%), dan diperberat aktivitas (100%). Karakteristik gejala vestibular lebih banyak non-spinning vertigo (50%). Hasil pemeriksaan cVEMP didapatkan amplitudo yang lebih rendah pada MV (128,84µV [55,01-623,52]). Proporsi absennya gelombang cVEMP lebih tinggi pada MV (55,6%). Terdapat korelasi positif kuat antara frekuensi serangan MV dengan latensi n1 cVEMP.
Kesimpulan: Abnormalitas pemeriksaan cVEMP didapatkan pada pasien MV. Absennya gelombang cVEMP dan penurunan amplitudo merupakan hal yang dapat ditemukan pada pasien MV.

Background: Vestibular migraine (MV) is one of the most common cause of recurrent vertigo. Several studies have reported clinical characteristics and abnormal results of cervical Vestibular Evoked Myogenic Potential (cVEMP) in VM. Indonesia does not have research on this matter. Therefore this research is expected to be a reference for developing VM understanding and cVEMP examination in Indonesia.
Methods: This research is a cross-sectional study involving 18 VM subjects and 25 healthy subjects. Vestibular function is assessed clinically and by using cVEMP. All VM subjects underwent examination during the interictal period.
Results: The chief complaint either migraine nor vestibular symptoms were evenly distributed (50%). More headache with severe intensity (66,7%), throbbing (100%), unilateral (61,1%), photophobia (83%), phonophobia (94,4%), nausea and/or vomiting (88,9%), and aggravation by routine physical activity (100%). Characteristics of vestibular symptoms are more non-spinning vertigo (50%). cVEMP revealed lower amplitudes in VM (128,84µV [55,01-623,52]). The proportion of absence of cVEMP waves is higher in VM (55,6%). There is a strong positive correlation between the frequency of VM attacks with cVEMP n1 latency.
Conclusions: Abnormality of cVEMP are found in VM patients. The absence of cVEMP waves and decreases in amplitude can be found in VM patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>