Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nuria Widyasari
"Edward T. Hall percaya bahwa perilaku merupakan 'bahasa' yang harus dimengerti terlebih dahulu sebelum seseorang memahami kata yang terucap. Kesalahan interpretasi atas perilaku dapat menyebabkan kegagalan komunikasi. Lebih jauh, Edward T. Hall menyadari bahwa pemahaman mengenai pengorganisasian seseorang terhadap ruang dan waktu adalah elemen utama keberhasilan komunikasi karena di dalamnya ada norma dan nilai-nilai kebudayaan yang menjadi basis penentuan perilakunya.
Namun di masa kini, perkembangan teknologi telah menampilkan ruang digital yang kemudian mengubah pemahaman konsep ruang dan waktu. Paul Virilio mengatakan bahwa di sini-di ruang digital-speed-space menggantikan time-space dan kecepatan tidak lagi dianggap sebagai suatu cara mencapai sebuah tempat melainkan telah menjadi tempat (milieu) itu sendiri.
'Kata' pun berubah menjadi tiang utama interaksi di ruang digital ini. Di dalam 'kata', norma dan nilai-nilai itu dilihat, dirasakan, ditanggapi, dan diinterpretasikan. Di dalam 'kata', pengorganisasian ruang dan waktu seseorang itu dilihat, dirasakan, ditanggapi, dan diinterpretasikan. Di dalam 'kata', perilaku itu dilihat, dirasakan, ditanggapi, dan diinterpretasikan.
'Kata' dibantu oleh program-program teknis elektromagnetis yang membangun alam digital masyarakat cyberspace, alam speed-space. Di sini, para pemilik ruang digial menjadi penguasa yang membentuk norma dan nilai-nilai yang harus dipatuhi dan ditaati oleh para anggota masyarakat cyberspace.
Secara singkat, bisa dikatakan bahwa di dalam masyarakat cyberspace yang mengandalkan teknologi sebagai basis interaksinya, mereka yang sanggup menjadi pemilik speed-space akan menguasai pembentukan aturan dan norma-norma di mana 'kata' menjadi tiang utama interaksi dan interpretasi perilaku dari masing-masing anggota masyarakatnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9723
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Egia Anintana
"Tesis ini meliputi gambaran mengenai pemaknaan umat terhadap ornamen-ornamen pada gereja Katolik yang mempunyai tema inkulturasi. Tema inkulturatif disini adalah nama yang dipakai pada sebuah gereja Katolik di Kota Berastagi yang berkisar pada penggunaan arsitektur rumah adat Karo, masyarakat setempat. Penelitian mengenai pemaknaan ornamen pada gereja tema inkulturatif ini mempunyai tujuan berusaha menampilkan gambaran ornamen-ornamen apa yang penting dan tidak penting menurut umat. Selain metode wawancara, peneliti juga melakukan pengamatan, dengan ikut mengikuti kegiatan Gereja Katolik Inkulturatif Karo di Berastagi selama 5 bulan, terhitung dari bulan Juni hingga Desember 2006. Penelitian ini menemukan bahwa pemaknaan terhadap ornamen beragam bentuknya. Umat memaknai ornamen gereja yang sakral dari pada ornamen Karo, dan salib merupakan bentuk simbol yang sangat dimaknai dalam kehidupan orang Katolik. Ornamen Karo dimaknai sebagai tanda yang menunjukkan identitas orang Karo, ornamen Karo yang utama adalah bentuk rumah adat dengan Tersek dan ret-ret. Sejarah pembangunan Gereja Katolik Inkulturatif Karo memiliki latarbelakang rencana yang matang dan sudah menjadi blueprint dari kebijakan Katolik Roma, dari Konsili Vatikan II. Berawal dari adanya beberapa bangunan gereja Katolik dengan tema inkulturatif, Uskup Datubara memindahkan Pastor Leo yang sukses membangun Gereja Katolik Inkulturatif Toba di Pangunguran ke Paroki Kabanjahe. Transformasi budaya atau perubahan budaya terlihat dari penelitian mengenai perubahan pemaknaan ornamen tradisional Karo. Beberapa faktor pendukung terjadinya perubahan pemaknaan ini adalah media dimana dicantumkan ornamen tradisional. Faktor utama perubahan pemaknaan adalah jaman atau waktu. Lalu, faktor berikutnya adalah keadaan masyarakat yang cenderung tidak lagi memakai ornamen tradisional. Kehadiran dari keadaan baru bentuk arsitektur rumah ibadat yang dikolaborasikan dengan rumah adat ini jelas ?menggelitik? rasa pemaknaan yang berbeda baik terhadap sosok sebuah rumah ibadat. Pemaknaan terhadap sesuatu yang baru dapat berimplikasi kepada makna baru, makna yang baru dapat berimplikasi kepada perilaku baru. Budaya baru terlihat dari perubahan pemaknaan komunitas terhadap suatu fenomena yang baru.

This thesis is a description of interp retation of the to Catholic Church ornaments with a theme inculturation. Inculturative is anyway a part of the name of this church, positioned in Berastagi. The theme inculturative on the church is seen on the use of traditional Karonese architecture. This research has a mision to reflect the description which ornaments is important, the churhces ornaments or the traditional ones, to the people in the church itself. Participation observation and interview is the methods used in this research, while following activities in t he Karonese Inculturativ e Catholic Church intensively about 5 months, counted from June to December 206. This research found that the members? interpretation to the ornaments has several variations. The curch members sense the churches ornaments as sacral ornaments rather than the Karonese ones, and cross is a symbol which deeply interpreted in the Catholics lives. Karonese ornaments sensed as a sign which shows the identity of Karonese. Tersek and ret-ret is the ones very sensed as Karonese architectural ornaments. The history of the devel opment of this Karonese Inculturative Catholicchurch is a well planned and a blueprint from the Rome Catholic, started from Konsili Vatikan II. Before this church there are several Cat holic Churches with inculturative theme, Bis hop Datubara moves Father Leo, who succesfully built Tobanese Inculturative Catholic Church in Pangururan to the Kabanjahe Parish. Cultural transformation or cultural change is shown from this research about the changing of interpretation of Karonese traditional ornament. Some factors to this changing is the media where the ornaments are aplied, ti me phase is the primary factors. Next, the condition of people which mainly us e the traditional ornaments no more. New shape of a church architecture, colaborated with traditional architecture, trully challe nge a different interpretation even to a praying house. Interpretation to something new can implicated to new behavior. New culture seen from the changes of comunities interpretaion to a new fenomena."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
T22723
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Grace Berliana
"Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa saat pintu terbuka bagi perempuan untuk memasuki semua sektor publik, saat itu pula perempuan merasakan ketidakadilan jender dalam sistem dan struktur organisasi serta lingkungan kerja sektor publik terutama sektor publik yang maskulin. Demikian pula pada penelitian yang menganalisis perempuan yang bekerja di bidang konstruksi. Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan mengalami hambatan-hambatan yang mempengaruhi mereka dalam memilih bidang ilmu serta bekerja di bidang konstruksi.
Memiliki bidang keahlian tertentu terutama untuk menunjang kerja dan karir dapat dimulai saat seseorang memasuki bidang ilmu yang akan ditekuni di Perguruan Tinggi. Ketertarikan terhadap konstruksi bangunan dan profesi konstruksi yang dinamis mendasari keinginan sebagian perempuan dalam penelitian ini untuk memilih Fakultas Teknik jurusan Sipil sebagai kelanjutan dari pendidikan mereka. Namun, pada dasamya perempuan sulit untuk menentukan sendiri masa depannya. Dalam menentukan pilihannya suka atau tidak suka, perempuan selalu dipengaruhi lingkungannya. Lebih tidak menyenangkan, bila budaya yang bias jender mempengaruhi lingkungan tempat perempuan tinggal. Perempuan yang pilihannya tidak disenangi lingkungannya lebih merasakan hambatan-hambatan budaya tersebut dibandingkan dengan perempuan yang pilihannya didukung lingkungannya.
Dalam dunia kerja konstruksi, perempuan mengalami ketidakadilan jender yang menghambat kerja mereka. Dalam sistem kerja, dan struktur organisasi bidang konstruksi yang dipengaruhi budaya rekayasa memberi dampak pada ketidakadilan jender melalui kebijakan-kebijakan perusahaan. Pertama, ketidakadilan dalam penempatan kerja; ke-dua ketidakadilan dalam peningkatan karir; ke-tiga ketidakadilan dalam kesempatan memimpin proyek. Tentu saja ketidakadilan jender tersebut sangat terkait satu sama lain."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T917
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahrizal
"Sejumlah literatur menunjukkan, bahwa pada komunitas bilingual atau multilingual dimungkinkan terjadinya kontak bahasa. Penggunaan salah satu bahasa akan berkaitan dengan tindak identitas. Di samping itu, salah satu cara mendefinisikan identitas etnik seringkali dapat dilihat pada kesetiaan memelihara bahasa minoritas dan bahasa daerah nonstandard. Tulisan ini mempelajari penggunaan bahasa Betawi dalam tindak komunikasi orang Betawi di Condet Bale Kambang, Jakarta Timur.
Penelitian dengan pendekatan etnografi komunikasi dan metode pengamatan terlibat, wawancara, serta perekaman ini ingin melihat bagaimana penggunaan bahasa Betawi dalam komunikasi sehari-hari dalam sejumlah speech event yang terjadi di masyarakat Condet Bale Kambang. Tindak komunikasi yang melibatkan partisipan dari berbagai kelompok umur akan dilihat pada tiga ranah, yaitu keluarga, keagamaan, dan pertemanan. Sejumlah peristiwa tutur pada tiga ranah dianalisis berdasarkan komponen-komponen komunikasi, termasuk di dalamnya analisis alih kode, fenomena generik pada masyarakat multilingual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ranah keluarga pada umumnya bahasa Betawi masih sangat komunikatif. Pada ranah keagamaan, bahasa Betawi digunakan untuk menginterpretasikan pembahasan yang umumnya berbahasa Melayu Tinggi. Sedangkan pada ranah pertemanan, bahasa Betawi pun masih komunikatif. Sebagai salah satu kantong masyarakat Betawi, ternyata orang-orang Condet masih mampu menjaga. keberlangsungan pemakaian bahasa ibunya. Dengan demikian, mereka tetap dapat dilihat identitas etniknya dari tindak komunikasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T1856
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Syahdan Jaya
"ABSTRAK
Eksistensi kaum perempuan dalam kehidupan sosial merupakan fenomena yang terus berkembang dan semakin dirasakan kebutuhan serta manfaatnya bagi kehidupan masyarakat. Batas nilai budaya tradisional yang menempatkan kaum perempuan pada sektor domestik dengan hanya mengemban pekerjaan mengurus rumah tangga, sedangkan kaum laki-laki berada pada sektor publik yang melakukan aktivitas di luar kehidupan rumah tangga semakin lama semakin memudar.
Beberapa program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah antara lain program keluarga berencana sangat bermanfaat bagi kaum perempuan untuk mengembangkan kemampuan dan aktivitasnya dalam kehidupan masyarakat. Dengan mengurangi beban kehamilan dan mengasuh anak bayi, kaum perempuan lebih banyak memiliki waktu untuk melakukan aktivitas di luar rumah seperti halnya kaum laiki-laki.
Bagi kaum perempuan yang sudah mampu melakukan kegiatan di sektor publik, terutama mereka yang melakukan aktivitas pada sektor perekonomian, ternyata mampu membantu para suami secara materiil dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Seperti yang dialami oleh kaum perempuan yang berperan sebagai pemimpin kelompok usaha peningkatan pendapatan keluarga di Kotamadya Pekan Baru Propinsi Riau. Dari pengalaman kaum perempuan yang berperan sebagai pemimpin kelompok dimaksud, ternyata mereka mampu menambah penghasilan keluarga dan hubungan harmonisasi dalam kehidupan rumah tangga dapat berlangsung dengan baik. Hanya saja karena masih terdapat pengaruh nilai budaya tradisional dan nilai-nilai religius yang menempatkan kaum perempuan dalam rumah, maka aktivitas kaum perempuan di sektor publik masih memerlukan pengertian dan dukungan dari semua pihak.
"
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisni Utami Saksonodiningrat
"ABSTRAK
Peladang berpindah dan kerusakan hutan adalah merupakan permasalahan nasional yang perlu dipecahkan segera. Pentingnya usaha ini adalah dengan maksud untuk menjaga kelangsungan lingkungan dan untuk mencegah (menghindari) terjadinya kelangkaan sumberdaya alam yang terbatas. Oleh karena itu sistem manejemen yang bijaksana (tepat) yang dapat saling membagi keuntungan antara kebutuhan manusia dan keberlangsungan lingkungan sangat diperlukan.
Hubungan antara lingkungan alam dan manusianya selalu terjalin didalam setiap ekosistem. Dalam bentuk yang dasar hubungan ini terkait dengan usaha-usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan juga kelangsungannya. Oleh karena itu sangat pentingnya peranan lingkungan dalam kehidupan manusia. Maka intervensi manusia terhadap lingkungan seharusnya memberikan prioritas yang tinggi untuk mencegah berbagai konversi yang berlebihan yang dapat merusak keseimbangan lingkungan.
Di Lampung kerusakan hutan disebabkan oleh beberapa faktor yang komplek. Faktor-faktor tersebut adalah jumlah penduduk, migrasi, keterbatasan pemilikan lahan, keterbatasan lapangan kerja dan kemiskinan. Faktor-faktor ini mempengaruhi manusia untuk menciptakan beberapa jenis intervensi terhadap hutan. Satu dari jenis intervensi itu merubah sebagian hutan menjadi areal peradangan dengan menjalankan sistem pertanian tradisional.
Kegiatan konversi hutan lindung yang dilakukan oleh peladang merupakan tindakan adaptif berkaitan dengan kondisi kesejahteraannya. Namun demikan adaptasi itu tidak hanya terpola sesuai dengan kesejahteraannya saja tetapi juga peranan kelembagaan yang mendukung adopsi inovasi.
Penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan beberapa masalah kunci yang terkait dengan proses adopsi inovasi diantara peladang berpindah dan peladang yang telah menetap. Masalah-masalah itu adalah proses pengolahan lahan, kesejahteraan peladang, pola adaptasi dalam hubungannya dengan proses adopsi inovasi.
Hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Tingkat kesejahteraan peladang mempengaruhi tingkat adaptasi. Semakin sejahtera peladang semakin adaptif.
2 Semakin efektif peranan kelembagaan memberikan penyuluhan semakin adaptif peladang dalam penerimaan inovasi.
Sampel dalam penelitian ini terdiri dari satu kelompok peladang yang belum dipindahkan dihutan lindung dan satu kelompok peladang yang sudah dipindahkan melalui program resettlement. Setiap kelompok itu di wawancarai 100 responden yang dipilih secara purposive proporsional. Untuk mendapatkan data, penelitian ini menggunakan beberapa teknik yaitu observasi, interview dengan kuesioner, wawancara mendalam dan teknik dokumenter. Tipe penelitian ini adalah studi perbandingan eksplanatif. Prosentase, chi square, korelasi Pearson, korelasi ganda dan t test adalah beberapa teknik dalam menganalisis data.
Hasil dari penelitian ini disarikan sebagai berikut: Peladangan berpindah telah terjadi karena kemiskinan dan tidak memiliki lahan. Dalam menghadapi kondisi itu para peladang mengembangkan pola adaptasi tertentu melalui pengorganisasian teman dekat dan keluarganya pada beberapa kantong peladangan didalam mana proses sosialisasi berladang berlangsung.
Dalam pengertian ini peladang berpindah bukanlah dimaksudkan untuk merusak lingkungan tetapi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dengan dipindahkan ke daerah baru maka mereka harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Sayangnya mereka menemui beberapa kesulitan untuk beradaptasi secara baik. Ditunjukkan dari analisa korelasi Pearson bahwa hubungan antara tingkat kesejahteraan peladang dan adaptasi di hutan lindung adalah signifikan dengan r = 0,6034, sedangkan hubungan antara tingkat kesejahteraan peladang dan adaptasi di transmigrasi lokal dengan r = 0,5011 pada taraf kepercayaan 0,05 (95%). Lebih jauh pada tingkat kepercayaan yang sama hubungan antara peranan kelembagaan dan adaptasi tidaklah signifikan dengan r = 0,1459. Ketiadaan signifikansi pada hasil yang terakhir ini disebabkan oleh kegagalan para penyuluh untuk masuk dalam sistem lokal. Mereka belum bisa diterima oleh peladang. Analisa korelasi ganda menunjukkan hubungan yang signifikan 0,5887 antara tingkat kesejahteraan, peranan kelembagaan dan pola adaptasi dalam penerimaan inovasi pada taraf 0,05.
Dari rata-rata tingkat pendapatan peladang di daerah kawasan hutan lindung lebih besar dari pada peladang yang dipindahkan melalui program translok. Hal ini disebabkan oleh rendahnya hasil panen dan rendahnya nilai tukar di daerah yang baru. Namun demikian dalam dimensi non ekonomi ada perubahan dalam status pemilikan tanah dari petani penggarap menjadi petani pemilik.

ABSTRACT
Shifting cultivation and forest degradation system are national problems need to be solved urgently. The importance of this effort is to maintain environmental sustainability and to avoid scarcity of limited natural resources. Therefore, proper management system that is able to share advantages between human needs and environment sustainability is highly required.
The relationship between natural environment and the human organism therein is always interrelated in the ecosystem. In the fundamental form, this relationship is connected with the human efforts to fulfill his need as well as survival. Therefore the environment role is very important for human life. Human intervention to the environment should give more priority to prevent any conversions on land use that may cause environment degradation.
In Lampung, forest degradation is caused by some complex factors. Those are number of population, migration, limitation of land ownership and employment opportunity, and poverty. These factors influence people to create several kinds of forest intervention. One of which into occupy protected forest into cultivation area by operating agricultural system through indigenous knowledge.
That conversion is actually an adaptive action in respond to social and economic condition. Nevertheless this adaptation is patterned not only in accordance with socio economic condition but also the role of institution that supported innovation adoption.
This research is intended to explain some key issues related with process of adopting innovation in shifting and relocated shifting cultivations. Those are the process of cultivation, the prosperity of cultivator, adaptation patterns, and their relationship to the processes of innovation adaptation.
The hypothesis of this research are formulated as fallow:
1. The degree of cultivator welfare influence to degree of his adaptations. The more prosperous cultivator the more adaptive.
2. The more effective role of institution to inform public the more adaptive cultivator to adopt innovation.
Samples of this research consist of a group of un-shifted cultivator in protected area and shifted one through resettlement programmed. Each of those is an interview 100 respondent who is choosing purposive proportionally sampling. To obtain data are research is explanatory comparative study that applied some technique to obtain data observation, interview with questioner, in-depth interview, and documentation. Percentage, chi square, Pearson correlation, multiple correlation and t test are some techniques used to analyze data. It's show from Pearson correlation analysis that the relationship between degree of cultivator welfare and adaptation is significant (r = 0,6034 and r = 0,5011) on confidence level of 0,05 or 95%. Furthermore, on the same level of confidence, the relationship between institution role and adaptation is not significant (r = 0,1252 and r = 0,1459). The last of significance in letter result is caused by the failure of instructor to be in local system. Cultivaters do not accept them yet. Analysis by multiple correlations shows significant relationships (0,5887) among degree of prosperity, institutional role, and adaptation pattern in adopting innovation on confidence level of 0,05. Un-shifting cultivations have occurred in respond of poverty and landless ownership. In facing those conditions, cultivators developed certain pattern of adaptation by organizing their close friends and family on cultivation enclaves, in where cultivating socialization process has occurred. In this sense, un-shifting cultivation is not intended to damage forest owner but to melt survival.
Heaving shifted to the new area, un-shifting cultivator should adapt to new environment. Unfortunately, they meet some difficulties to be successful adaptation.
It is difference among cultivation income in protected area and transmigration area. This is caused by the low of yield and it's exchange value in the new area. Nevertheless in non-economic dimension, there is a change in status of ownership from land worker to land owner. But it seems meaningful in cultivator?s life.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
Tpdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhamlin
"ABSTRAK
Pembangunan pertanian sub-sektor perkebunan di Indonesia telah dikembangkan dalam berbagai pola, di antaranya adalah pola Unit Pelaksana Proyek (UPP) dan pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun). Pengembangan perkebunan dengan pola PIR bertujuan untuk membangun masyarakat pekebun yang berwiraswasta dan sejahtera dengan melibatkan pengusaha perkebunan dan petani, dalam suatu sistem hubungan kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengusaha perkebunan bersama-sama dengan instansi terkait membantu dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya melalui pembinaan petani.
Di daerah Riau, pengembangan perkebunan dengan pola PIR telah dilaksanakan sejak tahun 1981. Salah satu di antaranya adalah PIR Khusus (PIR-Sus) Sei Tapung di Kecamatan Tandun, Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar, Riau. Proyek PIR-Sus ini mengusahakan budidaya kelapa sawit seluas 7.670 ha, meliputi 5.000 ha kebun plasma dan 2.670 ha kebun inti. Bersamaan dengan itu telah dimukimkan pula 2.500 kepala keluarga (KR) petani peserta yang terdiri dari 2.000 KK petani asal transmigrasi dan 500 KK petani lokal.
Kegiatan proyek PIR-Sus sejak periode persiapan hingga periode pembayaran kembali, diduga telah menimbulkan dampak pada lingkungan hidup, khususnya terhadap Cara hidup petani lokal, terutama tentang persepsinya mengenai alokasi waktu. Kajian tentang alokasi waktu ini perlu dilakukan, karena di satu sisi perubahan jenis usaha tani dari tanaman pangan dan/ atau kebun karet ke usaha tani kebun kelapa sawit menuntut perubahan alokasi waktu. Sebab waktu yang diperlukan untuk usaha tani tanaman pangan hanya 144 hari kerja per ha per musim, sedangkan untuk mengelola dua ha kebun kelapa sawit yang telah menghasilkan diperlukan waktu 342 hari kerja per tahun. Di sisi lain ada kebiasaan yang berlaku bagi masyarakat local, bahwa dalam seminggu biasanya mereka bekerja lima hari. Hal ini berarti dalam setahun hanya ada 260 hari kerja. Atas dasar ini diduga bahwa perubahan jenis usahatani akan mempengaruhi pola alokasi waktu petani lokal memperoieh penyuluhan yang relatif intensif, terpadu dan berkesinambungan dari pihak PTP sebagai pengelola PIR-Sus Sei Tapung. Sebagai hasil penyuluhan itu diduga telah terjadi perubahan persepsi petani lokal yang menjadi peserta PIR terhadap arti pentingnya waktu. Perubahan persepsi terhadap waktu tersebut dapat diketahui dari tanggapan petani tentang jumlah alokasi waktu untuk berbagai kegiatan. Bagi pihak pembina petani (penyuluh), pola alokasi waktu petani merupakan informasi penting terutama dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan yang tepat sasaran, tepat waktu, sangkil dan mangkus. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi dampak penyuluhan yang dilakukan terhadap persepsi petani mengenai alokasi waktu.
Mengetahui apakah ada perbedaan persepsi petani PIR dan non-PIR mengenai alokasi waktu ; dan untuk melihat apakah ada hubungan jenis usahatani dengan persepsi petani mengenai alokasi waktu.
Sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian, diajukan hipotesis penelitian, yaitu persepsi petani mengenai jumlah alokasi waktu berhubungan dengan keikutsertaan petani dalam PIR, frekuensi kehadiran mengikuti penyuluhan dan jenis usahatani. Persepsi mengenai alokasi waktu diukur dengan tanggapan responden terhadap jumlah alokasi waktu, yang dibedakan atas tiga kategori tangga (RT) dan jumlah waktu yang dinikmati (K). Sedangkan keikutsertaan petani dalam PIR dibedakan atas dua kategori yaitu petani PIR dan petani non--PIR. Frekuensi mengikuti penyuluhan dibedakan atas tiga kategori yaitu kurang, sedang dan sering. Sedangkan jenis usahatani dibedakan atas usahatani tanaman pangan, tanaman kebun karet dan tanaman kebun kelapa sawit.
Perselitian terhadap petani PIR dilakukan di Desa Tapung Jaya, sedangkan terhadap petani non-PIR dilakukan di Ke1urahan Ujungbatu, dengan jumlah sampel 20 persen dari masing-masing sub-populasi . Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan pengamatan, sedangkan analisis data dilakukan dengan uji statistik kai kuadrat 2(X ).
Berdasarkan asumsi semula bahwa faktor produktifitas petani dianggap sama (diabaikan) maka dari hasil analisis yang dilakukan, penelitian ini menyimpulkan bahwa:
1) Rata-rata alokasi waktu petani PIR untuk B adalah 8,0 jam per hari, untuk RT 1,0 jam per hari dan untuk K 10,4 jam per hari. Sedangkan rata-rata alokasi waktu petani non-PIR untuk B adalah 6,5 jam per hari, untuk RT 1,2 jam per hari dan untuk K 11,7 jam per hari. Berdasarkan alokasi waktu tersebut, maka waktu luang petani PIR dan non-PIR masing--masing adalah 4,6 jam per hari.
2) Ada perbedaan alokasi waktu petani PIR dengan petani non-PIR, di mana alokasi waktu B petani PIR lebih banyak dari petani non-PIR. Apabila dibandingkan dengan jam kerja baku (8,0 jam per hari) maka petani PIR lebih giat bekerja dari petani non-PIR. Sedangkan alokasi waktu untuk RT dan K petani PIR lebih sedikit dari petani non-PIR. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dengan masuknya petani lokal menjadi peserta PIR cenderung bertambah besar jumlah jam bekerjanya, sebaliknya berkurang jumlah waktu untuk kegiatan rurnah tangga dan jumlah waktu yang dinikmati.
3) Berdasarkan asumsi semula bahwa faktor produktifitas petani dianggap sama, ternyata ada perbedaan rata-rata alokasi waktu untuk berbagai kegiatan antara petani tanaman pangan, petani kebun karet dan petani kebun kelapa sawit. Dilihat dari rata-rata alokasi waktu bekerja, petani kebun kelapa sawit lebih giat dari petani kebun karat maupun petani tanaman pangan.
4) Dengan mengasumsikan bahwa faktor umur, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan merupakan faktor yang diabaikan, maka ternyata ada hubungan antara frekuensi kehadiran petani mengikuti penyuluhan dengan rata-rata alokasi waktu B, RT dan K. Frekuensi penyuluhan yang dihadiri petani berkorelasi positif dengan rata-rata alokasi waktu B, sebaliknya berkorelasi negatif dengan rata-rata alokasi waktu RT.
5) Dilihat dari rata-rata alokasi waktu luang (L) petani PIR dan non-PIR, (4,6 jam per hari) maka bagi petani PIR akan lebih sangkil bila dialokasikan untuk kegiatan rumah tangga dan waktu yang dinikmati khususnya untuk kebutuhan sosial dan kebutuhan rekreasi. Sedangkan bagi petani non-PIR, jumlah waktu luang tersebut akan lebih sangkil bila dialokasikan untuk bekerja dan kegiatan rumah tangga.
Berdasarkan kesimpulan di atas, diajukan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1) Mengikutsertakan petani lokal yang menjadi peserta PIR, ternyata mampu merubah perilaku mereka dalam mengalokasikan waktu untuk kegiatan produktif. Oleh karena itu, diusulkan agar petani lokal yang akan menjadi peserta PIR ditingkatkan jumlahnya.
2) Dari rata-rata alokasi waktu B, petani PIR lebih giat dari petani non-PIR. Besarnya jumlah jam kerja petani PIR disebabkan oleh perubahan Jenis usahatani (sistem kerja) ke arah diversifikasi usaha. Oleh karena itu untuk membina petani non-PIR agar waktu bekerjanya meningkat maka perlu ada upaya ke arah diversifikasi usaha dari pemanfaatan waktu luang.
3) Keikutsertaan petani dalam kegiatan penyuluhan ternyata mempunyai dampak positif dalam merubah persepsi petani tentang arti pentingnya waktu, hal ini tereermin dari pernyataan petani dalam mengalokasikan waktunya. Untuk menirigkatkan jumlah jam kerja petani lokal, salah satu alternatif yang diusulkan adalah menyelenggarakan penyuluhan yang intensif, terpadu, dan berkesinambungan.
4) Karena pola alokasi waktu petani berhubungan dengan jenis usahatani tertentu, maka agar penyuluhan yang diberikan kepada petani tepat waktu dan tepat sasaran, maka pihak penyuluh perlu mempertimbangkan pola alokasi waktu yang berlaku bagi masing-masing petani menurut jenis usahataninya_ Dalam hal ini waktu luang merupakan waktu yang tepat untuk memberikan penyuluhan kepada petani.

The sub-sector farming of agricultural development in Indonesia is extended in some patterns, two of them are Project Implementation Unit (Unit Pelaksana Proyek (UPP)) and Nucleus Estate Plantation (Perusahaan Intl Rakyat Perkebunan (PIR-Bun)) patterns. The purpose of farming extension with PIR patterns is the development of farmers society entrepreneurship and wealth, involving the entrepreneurs and farmers, in mutuality symbiosis system, integration and continuation. To achieve this objective, farming entrepreneurs and related institutions should assist and guide the surrounding smallholders by developing the farmers.
In Riau Province, farming development of PIR patterns has been executed since 1981. One of these patterns is Special PIR (PI} Khusus or PIR-Sus) Sei Tapung in Tandun Sub-district, Kampar, Riau Province. This PIR-Sus project developed palm farming in 7.870 ha, included 5.000 ha plasma farm and 2.670 ha nucleus farm. At the same time, this area has been habitated by 2.500 families of PIR farmers, i . e 2.000 transmigrant families and 500 local inhabitant families.
It is expected that the activities of PIR-Sus project, since preliminary period up to the repayment period, have proceeded the environmental impact, especially to the local farmers perception on time allocation. A study on this time allocation of farmers is necessary, because of the changing type of agribusiness from food, plantation and r or rubber farming to palm farming, needs changing of time allocation. Agribusiness of food plantation requires 144 working days' per ha per year, as well as 342 working days per year to manage two ha of productive palm farming. Beside that, the local society traditionally works for five days per week and 260 days per year. It is expected that the changing type of agribusiness will influence the pattern of local farmers allocation of time.
PIR local farmers' get information intensively, integrated and continuously from PTP official, manager of PIR-Sus Sei Tapung. It is expected for the changing PIR member of local farmers' perception on the meaningful of time. Change of perception on time is indicated by the farmers? response on time allocation for a variety of activities. Patterns of farmers time allocation give an important information to the PIR informants, especially for the purpose of efficiency, effectiveness and on time of information activities. Getting data on this subject, it is necessary to perform research:
To evaluate the impact of information which is performed on farmers perception about time allocation; To know whether there is a different perception among PIR farmers' and non-PIR farmers' on time allocation; o note down whether there is relationship between types f agribusiness with farmers perception on time allocation.
As a temporary answer, it is necessary to develop research hypothesis, that there is a relationship between the farmers perception on the amount of time allocation with their participating in FIR, frequency of attending the information sessions and types of agribusiness. The perception on time allocation is indicated by the farmers response on time allocation for amount of time allocation is three categories of the amount of time allocation, i.e. the amount of time for working activities (bekeria (BY), the amount of time for housekeeping activities (rumah tng (RT)), and the amount of time for consumption (konsumsi (IC)). Two categories of farmers? position are PIR and non-PIR farmers'.
Frequencies of attending farming information are seldom, often, and very often. And types of agribusiness are agribusiness of food plantation, of rubber farming, and of palm farming.
Research on PIR farmers' was carried out in Tapung Jaya village and on non-PIR farmers' in Ujungbatu village, with 20 percent samples for each sub-population. Data collecting techniques are interview and observation. Analysis of data is 2 chi-square (X ) statistical test.
Conclusions of this analysis of data are:
The average time allocation of PIR farmers' for B is 8,0 hours per day, for RT is 1,0 hour per day, and for K is 10,4 hours per day. The average time allocation of non-FIR farmers' for B is 6,5 hours per day. The leisure time of FIR farmers' and non-PIR farmers' is only 4,6 hours per day.
Time allocation difference of PIR and non-PIR farmers' is that time allocation of PIR farmers' for B has more time than non-FIR farmers'. According to standard working time (8,0 hours per day), FIR farmers' are more active than non-FIR farmers'. Because time allocation of PIR farmers' for RT and K is less compared to that of non-PIR farmers', there is an inclination that farmers who become FIR members spend more time on FIR activities than on household activities and consumption of time.
Based on earlier assumption that each farmers has an equal productivity, it appears that there is a different of the average time allocation for a variety if' activities among food plantation farmers, rubber farming farmers, and palm farming farmers. For the average time allocation of B, palm-farming farmers are more active than food plantation farmers and rubber farming farmers.
Without including age, education and earning factors in this assumption, it seems there is a relationship between the frequency of farmers attending the information sessions with the average time allocation given to B, RT and K. Frequency of information activities of attended farmers has positive correlation with the average time allocation for B, but the negative correlation with the average time allocation for VT.
Regarding to the average amount of leisure time of .PIR and non-PIR farmers' which is 4,6 hours per day; it is more efficient if it is used for household activities and consumption of time, specifically for recreation and social activities. On the other hand it will be more efficient for to use that time for work and household activities.
Based on the above conclusion, there are some recommendations:
change their behavior of time allocation of productive activities. Therefore the members of PIR local farmers' should be pushed up.
According to the average time allocation for B, PIR farmers' are more active than non-PIR farmers'. The number of agribusiness diversification that positively influence the income level. To increase the working hour capacity of non-PIR farmers', we should enhance the diversification of business and the spending of leisure time.
Participation of farmers in the information activity has positive impact in changing farmers perception on the meaningful (important) of time; it is reflected from farmers behavior in allocating their time.
According to the correlation of farmers time allocation patterns and type of certain agribusiness, the information activities given to the farmers on time and on the right target, the informants should consider to the patterns of time allocation of farmers type of agribusiness. Leisure time is the right time to give information to farmers.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Putu Sendratari
"Asumsi dasar dalam memulai studi ini diawali dengan adanya anggapan bahwa istri petani hanyalah sebagai orang kedua dalam urusan ekonomi rumahtangga, sedangkan suami diberi tempat sebagai pencari nafkah utama/pertama. Padahal kenyataan menunjukkan bahwa sumbangan istri petani dalam kegiatan nafkah dapat dilihat secara nyata dalam berbagai kegiatan yang menghasilkan uang. Nilai yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama pada kasus dimana sebenarnya istri yang menjadi orang pertama dalam ekonomi rumahtangga jelas merupakan pemutarbalikkan fakta. Untuk meluruskan anggapan/mitos tersebut maka penelitian ini dilakukan.
Istri petani yang menampilkan sumbangan ekonomi rumahtangga dan dipilih dalam penelitian ini adalah perempuan saudagar yang ada di desa Candikuning, Tabanan, Bali. Pilihan terhadap perempuan saudagar didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka tergolong dalam kelompok wanita pedesaan yang masih luput dari perenoanaan pembangunan. Padahal mereka merupakan subyek penentu dalam menyalurkan produksi sayur yang ada di desa Candikuning. Secara budaya, mereka juga dikondisikan agar bertanggung jawab terhadap urusan rumahtangga. Tuntutan terhadap kegiatan ekonomi pasar dengan kegiatan rumahtangga jika tidak ditangani dengan baik akan dapat meniinbulkan konflik dalam diri perempuan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka menarik untuk diteliti strategi kebertahanan yang dilakukan oleh perempuan saudagar di desa Candikuning. Pertanyaan yang ingin dicari jawabannya adalah "mengapa perempuan saudagar di desa Candikuning memilih pekerjaan sebagai pedagang sayur dampai ke luar desa ?; bagaimana bentuk-bentuk strategi kebertahanan yang dilakukan dalam usaha berdagang dan kegiatan rumahtangga. ?; selanjutnya apakah dengan melakukan kegiatan berdagang akan nemberikan peningkatan otonomi bagi perempuan saudagar ?"
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan langkah- larigkah metodo logid yaitu menentukan informan secara purposive dan teknik snowball sampling. Pengumpulan data dengan ears observasi, wawancara mendalam serta penggunaan dokumen. Analisis data dilakukan sepnajang berlangsungnya penelitian dengan bertolak dari informasi empiris. Selanjutnya dibuat kategori-kategori yang dirangkai secara sistematis dan logis.
Termuat dalam penelitian ini adalah, bahwa perempuan saudagar di desa Candikuning memilih pekerjaan: sebagai pedagang disebabkan beberapa hal, pertama faktor tradisi. Masuknya beberapa perempuan dalam ekonomi pasar yaitu perdagangan, bukan hal yang baru tetapi telah didahului oleh pengalu. Mereka telah ada sebelum masuknya Jepang yaitu sekitar tahun 1920an, dengan membawa barang dagangan ke pelabuhan Buleleng. Mereka yang menjadi pengalu tidak terbatas hanya laki laki tetapi perempuan juga turut serta. Tradisi bepergian ke luar desa dilanjutkan oleh perempuan saudagar. Di samping faktor tradisi, faktor ekonomi menjadi pendorong sehingga memilih bekerja sebagai saudagar. Kehidupan yang miskin dan pilihan yang terbatas membuat informan memanfaatkan potensi alam desa Candikuning untuk menentukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan ketrampilannya. Faktor lain yang tidak bisa diabaikan adalah dukungan nilai budaya. Ditinjau dari aspek budaya Bali Tidak ditemukan adanya batasan yang tegas tentang pekerjaan yang "pantas" dan "tidak pantas" dilakukan perempuan sehingga perempuan Bali uuiumrcya tidak mengalami kesulitan jika hendak memasuki peluang kerja yang ditempat lain bisa jadi merupakan pekerjaan laki-laki (seperti di Aceh, perempuan hampir tidak diberi kesempatan untuk turut serta dalam dunia perdagangan).
Adapun bentuk-bentuk strategi kebertahanan yang dilakukan oleh informan dalam usaha berdagnag adalah berpegangan pada prinsip pasar yaitu mengadakan ikatan dengan tengkulak dan petani. Bentuk lainnya adalah melakukan kerjasama antar sesama saudagar agar usaha tetap dapat berjalan. Pengembangan modal dilakukan dengan cara arisan di pasar, merintis usaha lain seperti beternak babi. Di samping berpijak pada prinsip pasar (orientasi mencari laba) ditemukan pula strategi yang bersandar pada kekuatan supernatural yaitu dengan melakukan ritus-ritus perdagangan.
Dalam strategi kebertahanan rumahtangga dilihat berdasarkan pola hubungan dengan suami, anak dan orang-orang di lingkungan desa. walaupun terdapat berbagai variasi tentang cara mempertahankan keharmonisan dengan suami namun semua informan mnengarah ke satu pandangan bahwa sebgai istri wajar memperhatikan kesenangan suami serta beradaptasi dengan profesi suami agar bisa berjalan seiring. Terhadap anak, strategi yang ditempuh adalah menyesuaikan dengan kebutuhan anak remaja dan dewasa namun tetap dalam kontrol ibu. Terhadap orang di lingkungan desa, strategi yang ditempuh dengan cara penyesuaian terhadap adat. Dalam urusan pekerjaan rumahtangga, ada ditemukan penolakan karana sudah merasa capek bekerja mencari uang seharian tetapi gejala umum bahwa perempuan larut dengan tanggung jawab sebagai pencari nafkah sekaligus melakukan pekerjaan rumahtangga.
Dengan uang yang dimiliki dan kegiatan berdagang, perempuan saudagar bisa menentukan beberapa hal yaitu mengatur usaha, menarik maupun memberhentikan tengkulak dan buruh, mengatur keuangan rumahtangga, termasuk mempekerjakan suami. Hal ini mencerminkan bahwa perempuan saudagar memiliki kekuasaan yang bersifat ideologis, remuneratif dan punitif. Hanya raja dalam pola kekuasaan terhadap suami masih tampak bahwa perempuan dalam kondisi tersubordinasi.
Temuan lain menunjukkan bahwa perempuan saudagar belum pernah mendapat pembinaan secara khusus tentang pengelolaan usaha berdagang. Padahal kenyataan menunjukkan masih banyak saudagar di desa Candikuning menghadapi masalah di sekitar Cara mengatasi persaingan, cara meningkatkan modal. Bahkan gangguan kesehatan masih mewarnai kehidupan perempuan saudagar."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Woro Dyah Edining Palupi
"Permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah adanya suatu gejala dalam masyarakat yang menganggap bahwa usaha sapi perah adalah "bidang laki-laki", sehingga banyak menimbulkan masalah bagi perempuan desa pada umumnya dalam partisipasinya sebagai tenaga kerja di bidang peternakan sapi perah. Padahal kenyataan menunjukkan bahwa perempuan juga mampu mengelola usaha sapi perah sebagaimana halnya laki-laki asal diberi kesempatan dan adanya kemauan perempuan itu sendiri.
Perempuan peternak sapi perah yang dipilih dalam penelitian ini adalah perempuan yang ada di desa Sruai, kecamatan Musuk, kabupaten Boyolali. Pilihan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka mampu mengelola usaha sapi perah yang sebelumnya juga dikelola oleh laki-laki. Di samping itu desa Sruni merupakan desa penghasil susu terbesar di Kabupaten Boyolali bahkan di Jawa Tengah di mana usaha sapi perah tersebut merupakan usaha yang eksklusif dikelola oleh perempuan.
Penelitian kehidupan perempuan peternak sapi perah dimaksudkan untuk memperoleh gambaran profil nimah tangga perempuan petemak sapi perah dilihat dari besarnya skala usaha serta untuk mengetahui kehidupan perempuan peternak sapi perah dalam usaha dan rumah tangga dan bagaimana berdampak dalam hubungan suami istri sebagai akibat adanya pergeseran pembagian kerja beternak dari laki-laki ke perempuan. Berdasarkan studi ini, diharapkan diperoleh informasi yang dapat dipakai untuk merekomendasikan pengembangan program peternakan sapi perah di tempat lain dengan memperhatikan potensi perempuan sebagai sumberdaya manusia yang patut diperhitungkan.
Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan di atas, digunakan pendekatan kuantitatif untuk mengetahui profil rumah tangga dan pendekatan kualitatif untuk mengetahui kehidupan perempuan peternak sapi perah. Dalam pendekatan kuantitatif digunakan wawencara berstruktur, sedangkan dalam pendekatan kualitatif digunakan wawancara mendalam dan pengamatan terlibat dalam pengumpulan data Pendekatan kualitatif yang dipilih dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus.
Tahap-tahap pengumpulan data. dilakakan dengan cara. sebagai berikut: (1) Wawancara berstruktur terhadap 66 responden dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui profil rumah tangga perempuan petenaak sapi perah yang meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan, penguasaan lahan pertanian, penguasaan sapi perah serta pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Profil rumah tangga perempuan peternak sapi perah bisa dipakai untuk mengetahui sejauh mana tingkat pendidikan, usia, pekerjaan suami, pemilikan lahan dan penguasaan sapi perah menentukan sukses mereka sebagai peternak sapi perah dilihat dari besarnya skala usaha. Profil ini juga memberikan gambaran mengenai sumbangan dari usaha sapi perah untuk kehidupan rumah tangga. Temuan menunjukkan bahwa: (a) potensi perempuan sebagai petemak sapi perah pada semua skala usaha tidak tergantung dari tingkat pendidikan, karena perempuan yang berpendidikan SD pun bisa menjadi peternak sapi perah yang sukses, (b) ada hubungan antara usia responden dengan sukses mereka sebagai peternak sapi perah karena respondenpada semua skala usaha ada pada usia produktif (c) ada hubungan antara pekerjaan suami dengan sukses mereka sebagai peternak sapi perah karena responden dari skala usaha besar mempunyai akses terhadap dana/modal dilihat dari penghasilan suami sebagai pedagang, pegawai negeri/swasta, (d) ada hubungan antara penguasaan tanah dengan besarnya skala usaha sapi perah, di mana semakin besar penguasaan tanah semakin besar skala usaha sapi perah, (e) ada hubungan antara besarnya skala usaha dengan besarnya pendapatan total nnnah tangga, di mana semakin besar skala usaha semakin besar sumbangan pada pendapatan total rumah tangga walaupun perbedaannya tidak menonjol, (2) Untuk menjelaskan kehidupan perempuan peternak sapi perah diperlukan pemahaman yang lebih mendalam. Untuk itu diteliti melalui studi kasus 6 rumah tangga perempuan peternak sapi perah, yang masing-masing terdiri atas 2 rumah tangga yang mewakili petemak berskala usaha besar, berskala usaha sedang dan berskala usaha kecil. Kriteria informan pada masing-masing skala usaha ialah perempuan menikah, mempunyai suami dan anak dengan umur 10 tahun keatas dan mempunyai suami dan anak dengan umur 10 tahun ke bawah, (3) Data untuk menjawab masalah penelitian dapat dilakukan pula dengan cara pengamatan terlibat Peneliti melakukan pengamatan terlibat untuk memperoleh pemahaman cara informan melaksanakan kegiatan, baik dalam kegiatan rumah tangga seperti memasak, mencuci, mengambil air, mengasuh anak dan membersihkan rumah maupun dalam kegiatan usaha sapi perah yang meliputi: membuat dan memberikan konsentrat, memberi rumput, membersihkan kandang, memerah susu, mencuci peralatan, menyetorkan susu, memandikan sapi, memotong rumput, mengangkut kotoran dan memberi jamu
Simpulan penelitian adalah sebagai berikut : (1) Faktor utama yang mendorong informan mengelola usaha sapi perah yaitu mencukupi kebutuhan keluarga dan biaya pendidikan anak Faktor lain adalah untuk memperoleh pengalaman, mendapat teman dan agar tidak tergantung pada suami, (2) Perubahan pembagian kerja yang nyata dalam usaha sapi perah dari laki-laki ke perempuan mempunyai dampak terhadap sistem nilai jender ten-tang pembagian kerja seksual sebagai berikut : a) pekerjaan yang dulu dianggap pantas untuk laki-laki saja sekarang dianggap lebih cocok untuk perempuan dengan alasan yang berhubungan dengan nilai feminitas yang umum berlaku, b) nilai mengenai perempuan sebagai pencari nafkah tidak berubah karena informan tetap diatom hanya membantu mencukupi kebutuhan keluarga walaupun informan dapat mengkontribusi pendapatan rumah tangga lebih besar dari suami, c) nilai peran sebagai ibu rumah tangga adalah tetap peran utama searang perempuan, hanya dalam kegiatan rumah tangga bukan lagi tugas yang selalu harus diutamakan, d) pekerjaan yang secara tradisi dilakukan oleh laki-laki dan dianggap cocok untuk laki-laki, setelah diambil alih oleh perempuan juga dianggap membutuhkan sifat-sifat yang biasanya dimiliki perempuan, (3) status informan relatif meningkat setelah menjadi peternak sapi perah namum masih belum setara dengan suami.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erna Witoelar
"Ringkasan
Permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi manusia semakin
banyak, Iuas, dan kompleks, karenanya semakin mendesak pula
peningkatan partisipasi semua orang dalam pemecahan masalahnya.
Solusi Iingkungan tidak saja harus Iebih holistik, juga perlu ditangani
secara Iintas wilayah/negara, lintas sektoral, Iintas disiplin llmu, dan
oleh seluruh Iapisan masyarakat. Tanggung jawab lingkungan tidak saja global, nasional, lokal dan komunal, melainkan juga sudah harus
disertai tanggung jawab perorangan.
Konsumerisme hijau adalah suatu fenomena sosial yang tumbuh
dengan pesat pada dekade 1980an sebagai artikulasi tanggung iawab
perorangan tersebut. Dalam fungsinya sebagai konsumen, semua orang
mempunyai hak atas Iingkungan hidup yang bersih dan sehat. Selain itu
semua konsumen juga mempunyai tanggung jawab akan dampak
konsumsinya terhadap kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan.
Tanggung jawab konsumen ini dapat diartikulasikannya dalam kegiatan
yang secara populer disebut 4R, yaitu reuse (penggunaan kembali),
recycle (daur ulang), reduce (pengurangan konsumsi) dan replace
(mengganti konsumsi dengan yang lebih ramah lingkungan).
Dilaksanakan oleh banyak orang, 4R dapat mendorong peningkatan
tanggung jawab lingkungan para produsen.
Di Indonesia, proses daur ulang limbah secara tradisional telah
berlangsung cukup Iama. Program PEDULl 92 yang diprakarsai Dana
Mitra Lingkungan di Jakarta mencoba melalui berbagai intervensi
meningkatkan kondisi dan kemampuan para pelapak (penampung
limbah dari pemulung) dan bandar (penampung dari pekapak) untuk
mengelola limbah daur ulang lebih baik.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah dengan
intervensi seperti Program PEDULI 92 dapat ditingkatkan kuantitas dan
kualitas Iimbah yang didaur ulang. lngin diketahui apakah dalam jangka panjang adanya intervensi semacam ini ini beban lingkungan dapat dikurangi, penghasilan pemulung dapat ditingkatkan sebagai upaya mengangkat kemiskinan, dan daur ulang limbah dapat menjadi titik masuk pengembangan konsumerisme hijau di Indonesia.
Penelitian dilakukan terhadap 109 responden pelapak dengan sampling
secara acak dan proporsional berdasarkan distribusi populasi di 5
wilayah DKI Jakarta. Penelitian berbentuk wawancara menggunakan
kuesioner dan pengamatan langsung. Juga diadakan penelitian
retrospektif dengan menelaah dokumen-dokumen yang ada serta studi
literatur mengenai konsumerisme hijau dan daur ulang di berbagai
negara.

Abstract
Environmental problems facing humankind have become more diverse
and complicated, demanding increased popular participation in
implementing solutions. The solutions should be approached not only
holistically, but also : cross-sectoral, transending national boundaries
as well as scientific disciplines and at all levels of community. There
should be individual responsibility as well as global, national, local,
and communal concerns to deal with the issues.
Green consumerism is a social phenomena that emerged rapidly in the
80s as articulation of this individual responsibility. As consumers,
everybody has the right to a clean and healthy environment. At the
same time everybody has responsibility for the impacts of consumption
that could lead to the deterioration of environmental quality.
The consumers' responsibility can be articulated into their daily
activities, which is popularly known as 4R (reuse, recycle, reduce,
and replace). If implemented by a substantial numbers of people,
4R can certainly push environmental responsibility of producers.
ln Indonesia, traditional waste recycling processes has been
present for a long time. PEDULI 92 Program which was initiated by
Dana Mitra Lingkungan in Jakarta, through various means endeavours
to improve conditions and capabilities of the pelapak (a person
who collects waste from scavengers) and bandar (a person who
collects waste from pelapaksl in managing waste recycling).
The main objective of this research is to observe whether the
intervention of a program such as PEDULI 92 in traditional waste
recycling processes can increase the quality and quantity of waste to
be recycled. lt is also to ascertain whether in the long run this
intervention can reduce environmental burden & increase scavengers'
income to improve their quality of life; and whether waste recycling
can become the entry point of green consumerism in Indonesia.
This research involved 109 pelapaks using purposive proportional size
sampling, based on scavengers' population distribution in 5
municipalities of Jakarta."
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>