Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
S. J. K. Juniarti Hatta
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk menilai, apakah tolok ukur prabedah yang selama ini dipergunakan untuk memperkirakan keberhasilan tindakan bedah ganti katup aorta di RSJHK sudah cukup memadai. Penelitian bersifat studi retrospektif terhadap semua penderita Regurgitasi Aorta yang dilakukan penggantian katup aorta di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta pada periode Februari 1986 s.d. 31 Desember 1989.
Terdapat 31 penderita yang memenuhi kriteria penelitian, terdiri atas 9 penderita wanita dan 22 pria,umur berkisar antara 10-60 tahun, rata rata 33,77±14,58 tahun.
Empat belas variabel prabedah dan tiga variabel intrabedah .diteliti untuk melihat pengaruhnya terhadap kematian bedah dan perbaikan kelas fungsionalnya (NYHA) pascabedah. Dari hasil tindakan bedah penderita dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu kelompok A (hasil kurang baik) dan kelompok B (hasil baik). Kelompok A penderita yang mengalami kematian bedah atau penderita dengan kelas fungsional menetap atau bahkan memburuk (n : B). Kelompok B penderita yang hidup dan kelas fungsionalnya meningkat satu tingkat atau lebih dinilai secara kriteria NYHP (n : 23).
Angka kematian bedah 16.12%. Dari 14 variabel prabedah tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dari kelompok A dan kelompok B, dari 3 variabel intrabedah terdapat satu variabel yang berbeda bermakna yaitu lama klem aorta.
Kelompok A dengan rata rata 185±221,56 menit dan kelompok B 80,69±22,01 menit ( p:0.03 ).
Sebagai kesimpulan penelitian ini belum dapat mencari variabel prabedah mana yang berpengaruh terhadap kematian bedah ,pada tindakan bedah ganti katup aorta pada penderita Regurgitasi Aorta. Dengan tolok ukur yang lama tampaknya seleksi penderita prabedah sudah cukup ketat oleh karena nilai dari rata-rata tolok ukur dibawah nilai risiko tinggi yang dianjurkan peneliti sebelumnya.
Suatu penelitian prospektif dan jangka panjang perlu dilakukan agar dapat dicari variabel prognostiknya dan angka ketahanan hidup dari penderita Regurgitasi Aorta pascabedah ganti katup aorta di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta."
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rus Munandar
"ABSTRAK
Untuk menentukan variabel prediktor terhadap ketahanan hidup penderita pascainfark dilakukan penelitian secara retrospektif terhadap 174 orang penderita yang dirawat di RSJHK dalam periode 1 Januari 1986 sampai dengan 31 Desember 1987. Pengamatan penderita dilakukan sampai tanggal 28 Februari 1989.
Sebanyak 16 variabel diuji secara univariat dengan uji Log-Rank dan selanjutnya dengan 'Step-wise variable selection' untuk analisis multivariat. Terbukti secara bermakna 5 variabel yang mempengaruhi angka ketahanan hidup yaitu: jenis kelamin (X2 = 15,70; p < 0,00), riwayat infark terdahulu (X2 = 6,55; p < 0,025), riwayat penyakit diabetes mellitus (X2 = 7,82; p t 0,01), riwayat gagal jantung selama perawatan (X2 = 14,58; p < 0,005) dan adanya blok cabang berkas kanan His (X2=15,29; p< 0,005). Dan 4 diantaranya, kecuali riwayat penyakit DM merupakan faktor rediktor yang independen
Angka ketahanan hidup secara keseluruhan yang diperoleh dengan cara Kaplan Meir adalah sebesar 89,6 ± 2,36 % selama pengamatan 3 tahun. Diperlukan tindakan yang agresif terhadap penderita dengan faktor-faktor tersebut untuk memperbaiki ketahanan hidup penderita pascainfark berikut kualitas hidupnya.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Aspar Mappahya
"Pemeriksaan invasif dengan arteriografi koroner selektif dapat memberi informasi akurat tentang lokasi dan luasnya proses aterosklorosis sekaligus memungkinkan visualisasi kolateral. Dengan pemeriksaan ventrikulografi kiri dapat diketahui kemampuan kontraksi ven trikel kiri dengan menganalisa kontraktilitasnya baik Secara regional maupun global.
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data awal tentang gambaran morfologi arteri koronaria termasuk distribusi, lokasi dan derajat stenosis serta hubungannya dengan beberapa parameter yang berkaitan erat pada penderita Penyakit Jantung Koroner di Indonesia umumnya dan di Rumah Sakit Jantung Hara pan Kita khususnya; dan menilai peranan sirkulasi kolateral pada penderita infark miokard anterior dengan obstraksi total dan subtotal pada arteri desendens anterior kiri.
Dilakukan penelitian retrospektif terhadap 821 penderita yang dirujuk ke Unit Pelaksana Fungsionil Invasif RSJHR dengan suspek atau pasti menderita PIK selama periode 1 Januari 1986 sampai dengan 31 Desember 1988. Terdapat 126 penderita dengan arteri koronaria yang normal dan sisanya, 695 penderita dianalisa lebih lanjut. Secara keseluruhan dari 821 penderita ditemukan 44,7% distribusi dominan kanan, 40,1% distribusi seimbang, dan 15,2% distribusi dominan kiri. Dari perhitungan berat dan luasnya stenosis ditemukan korelasi bermakna (p <0,01) antara skor stenosis cara AHA dan jamlah pembuluh yang sakit cara GLH. Dari segi umur tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara kelompok umur dengan rata-rata keseluruhan (p>0,05). Tetapi ada perbedaan bermakna (
p <0,05) antara kelompok dibawah 39 tahun dan kelompok 40-69 tahun. Juga tidak ada perbedaan bermakna (p >0,05) diantara kelompok umur pada mereka dengan penyakit satu maupun dua dan tiga pembuluh.Berdasarkan jenis kelamin tidak banyak perbedaan distribusi jumlah pembuluh yang sakit. Obstruksi total lebih banyak dijumpai pada ke tiga arteri koronaria utama dibanding obstruksi subtotal pada semua kelompok umur kecuali pada kelompok diatas 70 tahun untuk Cx terjadi sebaliknya. Secara umum hipotesis tentang makin banyaknya faktor risiko koroner makin tinggi skor stenosisnya tidak terbukti pada penelitian ini dan hanya hipertensilah satu-satunya terbukti mempunyai pengaruh jelas terhadap beratnya stenosis . Dari gambaran radiologis, terbukti bahwa berat stenosis merupakan salah satu penyebab yang penting untuk timbulnya kardiomegali; selain itu adanya kardiomegali pada penderita PJX bisa meramalkan adanya asinergi dengan sensitivitas 64% dan spesifitas 57%. Berdasarkan gambaran EKG penderita yang diteliti lebih banyak yang telah mengalami infark (56,7%) dibanding yang tanpa infark; dan ada kecenderungan persentase penyakit satu pembuluh lebih dominan pada penderita tanpa infark dan persentase penyakit tiga pembuluh lebih dominan pada penderita infark, sementara penyakit dua pembuluh paling tinggi persentasenya pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara penderita infark transmural dan penderita infark non-Q meskipun skor stenosis pada infark transmural lebih tinggi. Stenosis bermakna pada LMCA lebih banyak ditemukan pada penderita PJK tanpa infark (55%) dibanding yang telah infark, juga persentase bermakna pada LMCA lebih banyak dijumpai.pada penyakit tiga pembuluh. Terdapat 5 (20,8%) dari penderita dengan aneurisma ventrikel yang menunjukkan elevasi. ST dan hany,a 11 (45,8%) yang disertai kolateral. Hasil ULJB pada 267 penderita memperlihatkan kecenderungan hasil positif ringan lebih banyak pada penyakit satu pem buluh dan hasil positif berat lebih banyak pada penyakit tiga pembuluh; sensitivitas pemeriksaan ULTB adalah 85%. Dari beberapa parameter yang berhubungan dengan ventrikulografi terlihat gambaran asinergi lebih sering dijumpai pada penyakit yang lebih luas sedangkan normokinesis lebih sering pada mereka dengan stenosis yang tidak begitu luas. Tnsufisiensi mitral sering dijumpai pada pemeriksaan ventrikulografi dan pada penelitian ini lebih banyak dijumpai (40,8%) pada asinergi inferior; juga paling sedikit ditemukan pada penyakit satu pembuluh.
Penilaian peranan sirkulasi kolateral terhadap PJK umumnya terlihat tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) persentase pemendekan hemi dan longaxis diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral pada 38 penderita PIK dengan obstruksi total dan subtotal -
tanpa infark anterior. Juga tidak ada perbedaan bermakna dalam hal FE, TDAVK dan VDA pada kelompok ini. Adapun pada kelompok penderita yang telah mengalami infark anterior, ternyata ada perbedaan persentase pemendekan hemi dan longaxis yang bermakna, (p<0.01 ), khususnya aksis yang sesuai dengan perfusi LAD, sehingga dapat disimpulkan bahwa makin baik kualitas kolateral makin baik pula fungal ventrikel kiri, meskipun persentase pemendekan tersebut masih lebih rendah dibanding yang ditemukan pada kelompok kontrol. Demikian pula ada perbedaan bermakna (p 0,01) dalam hal FE,dan TDAVK diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral yang selanjutnya memperkuat kesimpulan diatas.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa peranan sirkulasi kolateral pada penderita PJK baik yang belum maupun yang telah mengalami infark sangat penting dalam menilai hubungannya dengan fungsi ventrikel k iri serta sangat berguna untuk menentukan tindak lanjut baik yang bersifat konservatif maupun yang bersifat intervensi angioplasti dan bedah pintas koroner.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T 4126
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Augustine Purnomowati
"Beberapa peneliti telah berusaha menentukan penderita mitrai stenosis yang “ideal” untuk
BMV tetapi belum ada keseragaman pendapat mengenai variabel prediktor keberhasilan
dini BMV; sedangkan kepustakaan di Indonesia mengenai hal ini masih sedikit.
Untuk mengetahui variabel-variabel prediktor keberhasilan dini BMV, diteliti ulang hasil
dini BMV pada 228 penderita stenosis mitrai yang menjalani BMV selama periode tahun
1993 dan 1994.
Mereka terdiri dari 74.6% perempuan dan 25.4% laki-laki, berusia rata-rata 36.8 tahun
dengan lama gejala rata-rata 23.7 bulan ( median 12 bulan ).
Hipertensi pulmonal terdapat pada 95% kasus, 51,3% diantaranya menunjukkan
hipertensi pulmonal berat.
Fungsi jantung NYHA kias 1,11,III dan IV berturut-turut ditemukan pada 4.4%, 58,3%,
32,9% dan 2.2%.
Gambaran EKG menunjukkan irama sinus normal pada 54.8% dan 45.2% fibrilasi atrium.
Skor mitrai 8 terdapat pada 67.8% (97 dari 143 penderita) dan > 8 pada 32.2 % ( 46
dari 143 penderita ).
Sesuai dengan kriteria penelitian, sebanyak 52.6% kasus menunjukkan hasil dini BMV
optimal, sub-optimal pada 46% dan gagal pada 1.3% kasus.
Pencapaian hasil dini BMV optimal adalah sebanding dengan peneliti lain bila memakai
kriteria sesuai peneliti yang bersangkutan.
Segera pasca-BMV terjadi perubahan hemodinamik yang sangat bermakna ( p < 0.001).
Melalui analisa logistik regresi ganda terdapat 4 variabel yang bermakna yaitu : EKG,
penebalan katup mitrai, tekanan rata-rata atrium kiri pra-BMV dan regurgitasi mitrai pra-BMV sebagai variabel prediksi keberhasilan dini BMV.
Dibandingkan peneliti-peneliti lain, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pendapat mengenai variabel prediktor keberhasilan dini BMV.
Segera pasca-BMV terjadi penurunan tekanan rata-rata arteri pulmonalis yang sangat
bermakna (p < 0.001 ). Analisa logistik regresi ganda menunjukkan tekanan rata-rata
arteri pulmonalis pra-BMV sebagai variabel prediktor penurunan tekanan rata-rata arteri
pulmonalis pasca-BMV. Mengenai variabel prediktor penurunan tekanan arteri
pulmonalis ini, sayang sekali belum ditemukan kepustakaan yang dapat dijadikan
pembanding.
Komplikasi yaitu regurgitasi mitrai teijadi pada 24.5% kasus, angka ini lebih rendah
dibandingkan peneliti-peneliti lain yang mendapatkan angka MR pasca-BMV sebesar 35-
46%.
Seperti halnya peneliti lain, melalui analisa logistik regresi ganda tidak ditemukan variabel
prediktor regurgitasi mitrai pasca-BMV.
Komplikasi lain yaitu udem paru akut pada 1.7% dan 1.3% tamponade jantung yang
teijadi segera setelah pungsi transeptal.
Melihat perubahan hemodinamik yang sangat bermakna pasca-BMV dan frekwensi
komplikasi yang relatif kecil, maka BMV merupakan terapi alternatif yang cukup efektif dan aman bagi penderita mitrai stenosis simtomatis tertentu.
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kejadian restenosis, mengevaluasi peijalanan klinik penderita dengan regurgitasi mitrai pasca BMV dan hipertensi pulmonal
yang menetap."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendarmin Syafei
"ABSTRAK
Telah di lakukan penelitian evaluasi variabel yang mempengaruhi keberhasilan kardioversi ('Direct Current Cardioversion') AF pasca-bedah katup mitral dan BMV, sel ama periode Pebruari 1987-November 1989 di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita-Jakarta. Variabel yang dimaksud adalah. data klinik, ekokardiografik, rontgenologik dan penyadapan jantung pra-bedah atau BMV. Merupakan evaluasi keberhasilan kardioversi jangka menengah (3tahun).
Keberhasilan kardioversi AF dinyatakan sebagai Angka bebas AF (satuan persen) keseluruhan (bedah dan BMV), dihitung sejak tindakan kardioversi dan Angka bebas AF dihubungkan dengan variabel-variabel tersebut di atas. Perhitungan secara metode tabel kehidupan menurut 'Kaplan Meir' dan.analisa multivariat model Regresi Cox.
Terdapat 58 penderita AF pra dan pasca-bedah atau BMV, yang diajukan ikut penelitian. Dua penderita langsung masuk ke irama sinus sebelum kardioversi, karena efek sulfas kinidin. Sehingga terdapat 56 penderita yang ikut penelitian (31 kelompok bedah, 25 kelompok BMV). Energi listrik yang digunakan rata-rata 241 ± 52 joule. Hasil awal kardioversi (irama sinus menetap selama 24 jam) adalah 43 penderita (77 %, 43 dari 56). Terdiri dari 25 kelompok bedah (81 %, 25 dari 31) dan 18 kelompok BMV (72 %, 18 dari 25). Pada akhir penelitian hanya 18 penderita yang tetap dalam irama sinus (12 kelompok bedah, 6 kelompok BMV).
Angka bebas AF jangka menengah secara keseluruhan 32 ±3,5 %. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara Angka bebas AF kelompok bedah dibanding kelompok BMV (37 +5 % vs 24 ±4%, p C 0,05).
Bila dihubungkan dengan lama AF, Angka bebas AF kelompok lama AF C 12 bulan lebih besar dibanding dengan kelompok lama AF 3 12 bulan (51 --8/. vs 21 +3Z, p C 0,05)- Angka bebas AF kelompok dimensi (anteroposterior) atrium kin i < 50 mm lebih besar dibanding kelompok dimensi atrium kiri ? 50 mm (42 +6Z vs 17 + 3 Z, p < 0,05). Angka bebas AF kelompok MVP 3 0,6 cm2 lebih besar dibanding kelompok MVP C 0,6 (39 + 5 Z vs 14 ± 3 Z, p < 0,05). Akan tetapi dalam perhitungan analisa multivariat, hanya lama AF yang bermakna, sebagai prediktor independen (p=0,0308).
Kesimpulan kardioversi AF penderita pasca-bedah katup mural dan BMV merupakan tindakan praktis, sebagai upaya mengubah AF ke irama sinus. Kesempatan irama sinus dapat dipertahankan pascakardioversi sampai jangka menengah 3 tahun, dari 56 penderita sebesar 32%.
Lama AF dapat dianggap sebagai prediktor independen, bahwa dapat bertahannya irama sinus dalam jangka menengah. Bila lama AF < 12 bulan, kesempatan di pertahankannya irama sinus sampai 3 tahun, cukup besar (51 %). Sebaliknya bila lama AF 3 12 bulan, kesempatannya, 21.
Tetapi sebaiknya bila tidak ada indikasi kontra, kardioversi AF terhadap penderita pasca-bedah katup mitral maupun BMV sebaiknya diberikan kesempatan. Walaupun lama AF telah berlangsung kronik, karena bila berhasil harapan dapat dipertahankannya irama sinus tetap ada. "
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Prasetyo Andriono
2006
T22684
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Mei Lestari
"Tindakan bedah perlu dilakukan pada semua penderita Tetralogi Fallot (TF) untuk melakukan koreksi kelainan anatomi. mengatasi simptom serta memperbaiki status hemodinamik. Keberhasilan bedah total koreksi tidak hanya terlihat pada berkurangnya tekanan pada ventrikel kanan, tidak adanya defek residual, tapi juga preservasi miokardium yang merupakan hal penting untuk morbiditas dan mortalitas. Timbulnya radikal bebas pada saat iniuri reperfusi adalah salah satu penyebab menurunnya fungsi ventrikel yang terjadi sewaktu pembedahan pada penderita TF. Pada percobaan binatang terdapat hubungan antara diet asam lemak tak jenuh dengan produksi radikal bebas. Timbul pemikiran apakah ada hubungan antara komposisi asam lemak tak jenuh atau rasio asam arakidonat (AA) dan asam ekosapentanoat(EPA) plasma dengan produksi radikal bebas dan fungsi ventrikel pascabedah jantung TF Dilakukan penelitian cross sectional terhadap 26 penderita TF yang menjalani bedah koreksi di RS Jantung Harapan Kita periode Mei s/d November 1997, dari jumlah ini 6 orang dikeluarkan dari penelitian oleh karena telah menjalani bedah pirai sebelumnya dan saturasi oksigen> 85%. Terdapat 20 penderita terdiri 10 laki-laki dan 10 wanita dengan usia 74,20±56,20 bulan. Analisa stasistik dilakukan dengan cara Wilcoxon dan Spearman rank Correlation. Hasil penelitian didapatkan kadar AA 17,34±11,15 µg. kadar EPA 1,25±0,9 pg dan rasio AA/EPA 16,62±9,42. Terdapat peningkatan yang bermakna dari lipid peroksida selama tindakan operasi ( 0,29±1,03 vs 0,61±0,28 µM, p= 0,0001) Tidak terdapat hubungan antara rasio AA/EPA dengan peningkatan radikal bebas Terdapat hubungan antara peningkatan radikal bebas darah dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (r-0,45 dan t= 2,4) Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara rasio AA/EPA plasma dengan peningkatan radikal bebas, dan terdapat hubungan antara peningkatan radikal bebas darah dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57314
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Fadjri AS
"Adesi dan agregasi pletelet serta pembentukan trombin merupakan rangkaian proses pembentukan trombus yang mendasari sindrom koroner akut (SKA). Oleh karena itu terapi utama SKA adalah heparin dan anti agregasi platelet, disamping obat anti iskemia. Heparin berat molekul rendah (low molecular weight heparin LMWH) memiliki profil farmakokinetik yang lebih baik jika dibandingkan dengan heparin tak terfraksinasi (unfractionated heparin / UFH). Dari berbagai jenis LMWH, hanya enoxaparine yang memperlihatkan keuntungan jika dibandingkan dengan UFH dalam mencegah kematian, infark miokard dan angina berulang pada SKA. Manfaat tersebut mungkin bukan hanya disebabkan oleh efeknya terhadap pembentukan trombin tetapi juga oleh pengaruhnya terhadap adesi dan agregasi platelet melalui interaksi dengan faktor von Willebrand (vWF). Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek UFH dan enoxaparine terhadap peningkatan nilai vWF pada akhir terapi dan 48 jam setelah penghentian terapi pada penderita APTS atau IMA non-Q. Pada penelitian ini nilai vWF diperiksa dengan menggunakan teknik double antibody sandwich ELISA Penelitian dilakukan terhadap 37 subyek yang terdiri dari 19 subyek yang diterapi UFH dengan target APTT 1,5 - 2 x kontrol dan 18 subyek diterapi enoxaparine 1 mg/kg BB subkutan, 2 x sehari. Dilakukan pemeriksaan nilai vWF pada awal terapi (vWF1), akhir terapi (vWF2) dan 48 jam setelah penghentian terapi (vWF3). Terdapat efek penekanan. terhadap peningkatan nilai vWF hingga saat penghentian terapi secara bermakna oleh enoxaparine (192,1 ± 57,5 % menjadi 172,8 ± 63,0 %, rerata lama terapi 4,8 ± 1,0 hari, p=0,23), tetapi tidak demikian halnya dengan UFH (165,4 ±42,1 % menjadi 216,1 ±66,5 % rerata lama terapi 52,0 hari, p= 0,009). Terdapat perbedaan bermakna peningkatan nilai vWF pada awal hingga saat penghentian terapi (A vWF2-1) antara kedua kelompok tersebut (p =0,01). Dengan menggunakan data yang dapat dilengkapi hingga pemeriksaan nilai vWF 48 jam setelah penghentian terapi (UFH n=9 dan Enoxaparine n-13) masih dijumpai efek penekanan oleh enoxaparine terhadap peningkatan nilai vWF. Efek tersebut tidak dijumpai pada subyek yang diterapi dengan UFH."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57290
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hananto Andriantoro
"Percutaneous transluminal coronary angioplasty ( PTCA) is
known as the mechanical alternative intervention for
revascularization of coronary artcry stenosis.
Unfortunately reocclusion and coronary spasm is seen on quite a
number of patients. This process is said due to an imbalance of
vasoactive substances at the cellular endothelial level which cause vasoconstriction of the smooth muscle cells. It's believed that endothelin and lipid peroxidc ( oxigen frec radicals) has a significant role in this process. This study is designed to prove the hypothesis that there is an
increase of endothclin and lipid peroxide concomitantly
immediately after PTCA proseduce. On 37 patients with stenosis at left coronary artery, local plasma endothelin and lipid peroxide were measured before and after PTCA. Blood was obtained at side of coronary sinus. Endothelin was measured by specific competitive protein binding radioimmunoassay ( RIA Technique ), while lipid peroxide was measured by using Malonaldehyde (MDA) concentration. Local plasma MDA was measured by fuorosense spectrofotometri.
The results showed a significant increase of local plasma endothelin after PTCA (5,28+1-3,33 to 8,53 +1- 4,5 . Pglml, p = 0,0001) and a significant increase of local plasma MDA concentration after PTCA ( 0,540+1-0,279 to 0,868+1-0,438. Umol/L, p = 0,0001). There was no correlation found between the increase of local plasma endothelin with the duration of balloon inflation, peak pressure of balloon inflation, diameter of the balloon, length of the balloon, the number of balloon inflation. This finding suggest that beside endothelial injury during PTe" other unknown factor contribute to the increasing level of endothelin. However correlation was found between the increase of local plasma MDA and the number of the balloon inflation.
Conclusions: Local plasma endothelin and lipid peroxide were significantely increased immediately after PTCA, and there was correlation between the increase of local plasma lipid peroxide with the number of the balloon inflation."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>