Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farida Falaivi
"ABSTRAK
Latar belakang: Salah satu lesi prekursor terjadinya kanker kolorektal KKR adalah polip kolon. Polip hiperplastik PH masuk dalam kategori non neoplastik bersama polip inflamasi dan hamartoma. Sedangkan polip serrated PS dan adenoma konvensional masuk kedalam golongan polip neoplastik. World Health Organization WHO pada tahun 2010 memasukkan PH kedalam subtipe PS bersama dengan Sessile serrated adenoma SSA/P dan Traditional serrated adenoma TSA . Ketiga polip diatas harus dapat dibedakan secara morfologik, karena prognosis, terapi, serta survelain endoskopi yang berbeda. Beberapa penelitian terakhir mengemukakan Annexin A10 ANXA 10 dapat digunakan sebagai penanda SSA/P, untuk membedakannya dengan polip lainnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan ekspresi ANXA 10 pada PH, SSA/P dan Adenoma. Bahan dan cara kerja: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik menggunakan desain potong lintang. Sampel terdiri dari 16 kasus PH, 16 kasus SSA/P dan 16 kasus adenoma konvensional. Dilakukan pulasan ANXA 10 dan penilaian dilakukan menggunakan H score. Hasil: Titik potong H score pada ekspresi ANXA 10 didapatkan pada 215,05 71,6 dengan sensitivitas 81,3 dan spesifisitas 81,2 . Ekspresi ANXA 10 tinggi didapatkan pada 13 kasus SSA/P dan 3 kasus PH, sedangkan pada 16 kasus adenoma konvensional umumnya memiliki ekspresi ANXA 10 yang rendah p < 0,001 . Kesimpulan: Terdapat perbedaan ekspresi ANXA 10 pada PH, SSA/P dan adenoma konvensional. Pulasan ANXA 10 berpotensi digunakan sebagai penanda untuk membantu mendiagnosis SSA/P.
ABSTRACT Background One of precursor lesion of colorectal cancer CRC is colon polyps. Hyperplastic polyp HP is one of non neoplastic polyps category along with inflammatory polyp and hamartomas. While serrated polyps SP and conventional adenomas categorized as neoplastic polyp. World Health Organization WHO in 2010 divided SP into hyperplastic polyps HP , Sessile Serrated adenomas SSA P and Traditional Serrated adenomas TSA . We must be able to distinguish this polyps, because they have different prognosis, therapy and endoscopic surveillance. Several recent studies have suggested that Annexin A10 ANXA 10 can be used as a marker of SSA P, to distinguish it from other polyps. The aim of this study is to know the difference of expression of ANXA 10 on HP, SSA P and conventional adenoma.Materials and methods This was a cross sectional study with 16 cases of HP, 16 cases of SSA P and 16 cases of Adenoma. All cases stained by ANXA 10 antibody and evaluated using H score. Results The cut off point H score on ANXA 10 expression was obtained at 215.05 71.6 with 81.3 sensitivity and 81.2 specificity. High ANXA 10 expression was obtained in 13 cases of SSA P and 3 cases of PH, while in 16 cases of conventional adenomas were generally have low expression of ANXA 10 p "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Prisscila
"Keganasan pankreas merupakan keganasan dengan angka kematian yang tinggi, dengan Adenokarsinoma Duktal Pankreas/Pancreatic Ductal Adenocarcinoma (PDAC) mencakup 85-90% kasus. PDAC memiliki perjalanan penyakit yang sangat agresif, dan seringkali baru terdiagnosis pada stadium lanjut. Penegakan diagnosis pasti PDAC seringkali hanya dapat dilakukan melalui sediaan terbatas baik berupa biopsi maupun endoscopic ultrasound-guided fine-needle aspiration/EUS-FNA. Salah satu tantangannya adalah membedakan PDAC dari jaringan pankreas non-neoplastik/reaktif. Penelitian ini akan membahas mengenai peran von Hippel-Lindau gene product/pVHL dalam membedakan PDAC dengan jaringan pankreas non-neoplastik, serta hubungannya dengan profil klinikopatologiradira PDAC. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain cross-sectional pada kasus PDAC dan jaringan pankreas non-neoplastik yang dilakukan di RSCM pada sampel yang diperoleh pada bulan Januari 2012 hingga September 2023. Sampel penelitian dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu kelompok PDAC dan pankreas non-neoplastik. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan simple random sampling dari kasus-kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi. Dilakukan pulasan imunohistokimia pVHL dan perhitungan Histoscore/H-score serta penentuan cut-offnya untuk membagi ekspresi pVHL menjadi tinggi dan rendah dan hubungannya dengan PDAC dan non-neoplastik, serta profil klinikopatologi pada kelompok PDAC. Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan ekspresi pVHL pada kelompok PDAC dan non-neoplastik, dan staging pN memiliki hubungan bermakna dengan ekspresi pVHL pada PDAC. Ekspresi pVHL yang rendah lebih banyak ditemukan pada PDAC berdiferensiasi sedang, tidak ditemukan invasi limfovaskular maupun invasi perineural, memiliki batas sayatan yang tidak bebas, memiliki staging pT2, pN0, M0, dan kesintasan > 7 bulan. Sebaliknya, ekspresi pVHL yang tinggi juga lebih banyak ditemukan pada PDAC berdiferensiasi sedang, ditemukan invasi limfovaskular, tidak ditemukan invasi perineural, status batas sayatan yang bebas, staging pT2 dan pT3, pN1 dan pN2, M0, dengan kesintasan ≤ 7 bulan. Temuan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang mendapati hilangnya ekspresi pVHL pada tumor PDAC, dan sebaliknya pada duktus pankreas non-neoplastik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan klon antibodi yang digunakan pada penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Klon antibodi yang digunakan adalah VHL40, sedangkan penelitian-penelitian sebelumnya menggunakan klon FL-181 yang berikatan dengan asam amino yang berbeda dan memiliki klonalitas yang berbeda pula. Selain itu, pada PDAC dapat terjadi mutasi pada gen VHL yang menghasilkan protein VHL yang non-fungsional yang kemungkinan masih dapat terdeteksi dengan ikatan antigen-antibodi pada penelitian ini. 

Pancreatic malignancy is a malignancy with a high mortality rate, with Pancreatic Ductal Adenocarcinoma (PDAC) accounting for 85-90% of cases. PDAC has a very aggressive disease course, and is often only diagnosed at an advanced stage. Establishing a definite diagnosis of PDAC can often only be done through limited sample from biopsy or endoscopic ultrasound-guided fine-needle aspiration/EUS-FNA. In such limited sample, differentiating PDAC from non-neoplastic/reactive pancreatic tissue can be challenging. This research will discuss the role of von Hippel-Lindau gene product/pVHL in PDAC and non-neoplastic pancreatic tissue, as well as their relationship with PDAC pathological factors. This research is an analytical observational study with a cross-sectional design on cases of PDAC and non-neoplastic pancreatic tissue conducted at RSCM on samples obtained from January 2012 to September 2023. The research samples were divided into 2 large groups, namely the PDAC and non-neoplastic pancreatic groups. Sample selection was carried out using simple random sampling from cases that met the inclusion criteria and were not included in the exclusion criteria. Immunohistochemistry of pVHL was performed along with calculation of Histoscore/H-score and determination of cut-offs to divide pVHL expression into high and low and its relationship with PDAC and non-neoplastic, as well as pathological factors in the PDAC group. This study shows that there is no difference in pVHL expression in the PDAC and non-neoplastic groups, and pN staging has a significant relationship with pVHL expression in PDAC. Low pVHL expression is more often found in moderately differentiated PDAC, no lymphovascular invasion or perineural invasion, non-free incision margins, staging pT2, pN0, M0, and survival > 7 months. In contrast, high pVHL expression was also found more frequently in moderately differentiated PDAC, lymphovascular invasion was found, no perineural invasion was found, free incision margin status, pT2 and pT3 staging, pN1 and pN2, M0, with survival ≤ 7 months. This finding is different from previous studies which found loss of pVHL expression in PDAC tumors, and vice versa. This difference in results is likely due to differences in the antibody clones used in this study compared to previous studies. The antibody clone used was VHL40, whereas previous studies used the FL-181 clone which binds to different amino acids and has different clonality. In addition, in PDAC there is a mutation in the VHL gene which may produce a non-functional VHL protein that still be detectable by antigen-antibody binding in this study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Yulianti
"Pendahuluan: Kanker prostat merupakan penyebab utama kedua kematian kanker pada laki-laki di seluruh dunia, menyebabkan 258.000 kematian pada tahun 2008 dan saat ini terjadi kecenderungan peningkatan insiden kanker prostat. Dikhawatirkan insiden makin meningkat seiring dengan peningkatan populasi laki-laki berusia >50 tahun, penanganan dan terapi yang diberikan tidak tepat. Efek samping akibat pengobatan medis dan mahalnya biaya yang dibutuhkan menyebabkan banyak penderita beralih ke pengobatan alternatif seperti penggunaan obat herbal. Ekstrak daun Annona muricata Linn. mengandung annonaceous acetogenins yang potensi aktivitas sitotoksik dan mampu menekan viabilitas sel kanker. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak metanol daun sirsak terhadap viabilitas terhadap galur sel kanker independen hormonal ( sel PC3).
Metode: Desain penelitian adalah eksperimental laboratorik in vitro menggunakan galur sel kanker prostat PC3 yang dibagi 5 kelompok yaitu kelompok sel tanpa perlakuan (kontrol negatif), kelompok perlakuan dengan ekstrak metanol daun sirsak konsentrasi 6,25; 12,5 dan 25 ug / mL dan kelompok doksorubisin dosis 15 µg/ml (sebagai kontrol positif). Untuk mengetahui viabilitas sel dilakukan pengujian MTT dan pengamatan morfologi terhadap kelompokkelompok perlakuan dengan waktu inkubasi 0 dan 24 jam. Viabilitas sel diketahui dengan menganalisis nilai OD yang merupakan nilai absorbansi dari hasil pembacaan menggunakan menggunakan ELISA reader dengan panjang gelombang (λ) 595 nm. Seluruh data dianalisis dengan uji statistik ANOVA.
Hasil: Hasil analisis menunjukkan adanya kecenderungan penurunan nilai OD pada kelompok EMDS 6,25 dan 12,5 µg/ml dibandingkan kelompok kontrol (0,63 dan 0,63 vs 0,67). EMDS konsentrasi 12,5 µg/ml mempunyai kemampuan menghambat viabilitas paling tinggi dibandingkan kelompok perlakuan lainnya, walaupun secara statistik tidak berbeda bermakna. Adanya penurunan viabilitas ini didukung oleh perubahan morfologi sel yang menunjukkan peningkatan morfologi sel mati.
Kesimpulan: Ekstrak metanol daun sirsak dapat menurunkan viabilitas galur sel kanker prostat PC3 dengan kemampuan daya hambat tertinggi pada konsentrasi 12,5 µg/ml.

Introduction: Prostate cancer is the second leading cause of death in men in the entire world. It caused 258,000 death in 2008 and have a tendency to keep increase until now. It is feared that the incidence is increasing along with the increase in the male population more than fifty years old, and unappropriate handling and tretament. Side effects due to the high cost of medical treatment caused many patients turn to alternative treatments such as herbal therapy. Soursop leaves contain Annonaceous Acetogenins active compounds that have a cytotoxic effect on cancer cells and have a potency to decrease the viability of cancer cell. The aim of this study is to determine the effect of soursop leaf extract on the viability and the increase in inhibitory rate on the hormonal-independent of prostate cancer cell line PC3.
Methods: The study design was an experimental in vitro study. Subjects were 5 groups of PC3 cell line: cell control group, the group treated with methanol extract of soursop leaves with the concentrations of 6.25, 12.5 and 25 µg/ml and the doxorubicin group as a posotif control. The groups were tested using the MTT cell viability assay at 0 and 24 hours of incubation followed by PC3 cell morphology examination. Cell viability was determined by analyzing OD value which is the absorbance value obtained by using ELISA reader with λ 595 nm. Data were analyzed by ANOVA statistical test.
Results: The OD value tend to decrease in 6.25 and 12.5 µg/ml soursop extracttreated group compared to control cell group (0.63, 0.63, and 0.67 respectivelly) even not different statistically (p < 0.05). The 12.5 mg / ml soursop extract-treated group showed the highest ability in inhibiting cell viability compared to the other groups, even not different statistically (p < 0.05). A decrease in viability is supported by morphological changes which indicate cell death.
Conclusion: The methanol extract of soursop leaves may reduce the viability of PC3 prostate cancer cell lines with the highest inhibitory ability at a concentration of 12.5 µg/ml."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T59166
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Afriani
"ABSTRAK
Kanker kolorektal merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas ketiga terbanyak pada laki-laki maupun perempuan di seluruh dunia. Penelitian ekspresi HER2 pada kanker kolorektal memiliki rentang yang cukup jauh yaitu 0-83% dan belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi HER2 pada kanker kolorektal serta dihubungkan dengan parameter prognostik histopatologi berupa jumlah mitosis per 10 LPB, kedalaman invasi sel kanker, dan invasi sel kanker di limfovaskuler. Penelitian menggunakan desain retrospektif terhadap 51 sediaan blok parafin kanker kolorektal rentang tahun Januari 2011-Desember 2012. Penilaian karakteristik sampel diambil dari rekam medis dan penilaian parameter prognosis histopatologi dinilai dari sediaan HE pasien kanker kolorektal. Pulasan imunohistokimia HER2 menggunakan antibodi poliklonal anti HER2(DAKO). Rata-rata usia penderita adalah 57.8±13.54 tahun, 58.8% penderita adalah laki-laki dan 41.2% perempuan. Hitung mitosis per 10 LPB didapatkan median 11 mitosis dengan rentang 3-34 mitosis per 10 LPB. Berdasarkan grading histopatologi, ditemukan low grade sebanyak 39(76.5%) dan high grade sebanyak 12(23.5%) kasus. Invasi sel kanker di limfovaskuler ditemukan sebanyak 37(72.5%) kasus. Ekspresi HER2 positif ditemukan sebanyak 5(9.8%) kasus. Semua kasus positif terdapat pada invasi sel tumor sedalam serosa (pT3). Dari penelitian ini dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara ekspresi HER2 dengan derajat diferensiasi (p=0.663), mitosis (p=0.354), kedalaman invasi (p=0.983), dan invasi limfovaskuler (p=0.790).

ABSTRACT
Kanker kolorektal merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas ketiga terbanyak pada laki-laki maupun perempuan di seluruh dunia. Penelitian ekspresi HER2 pada kanker kolorektal memiliki rentang yang cukup jauh yaitu 0-83% dan belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi HER2 pada kanker kolorektal serta dihubungkan dengan parameter prognostik histopatologi berupa jumlah mitosis per 10 LPB, kedalaman invasi sel kanker, dan invasi sel kanker di limfovaskuler. Penelitian menggunakan desain retrospektif terhadap 51 sediaan blok parafin kanker kolorektal rentang tahun Januari 2011-Desember 2012. Penilaian karakteristik sampel diambil dari rekam medis dan penilaian parameter prognosis histopatologi dinilai dari sediaan HE pasien kanker kolorektal. Pulasan imunohistokimia HER2 menggunakan antibodi poliklonal anti HER2(DAKO). Rata-rata usia penderita adalah 57.8±13.54 tahun, 58.8% penderita adalah laki-laki dan 41.2% perempuan. Hitung mitosis per 10 LPB didapatkan median 11 mitosis dengan rentang 3-34 mitosis per 10 LPB. Berdasarkan grading histopatologi, ditemukan low grade sebanyak 39(76.5%) dan high grade sebanyak 12(23.5%) kasus. Invasi sel kanker di limfovaskuler ditemukan sebanyak 37(72.5%) kasus. Ekspresi HER2 positif ditemukan sebanyak 5(9.8%) kasus. Semua kasus positif terdapat pada invasi sel tumor sedalam serosa (pT3). Dari penelitian ini dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara ekspresi HER2 dengan derajat diferensiasi (p=0.663), mitosis (p=0.354), kedalaman invasi (p=0.983), dan invasi limfovaskuler (p=0.790)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lontoh, Susy Olivia
"ABSTRAK
Latihan fisik intensif dan berkepanjangan menimbulkan adaptasi sistem kardiovaskuler
berupa hipertrofi ventrikel kiri (Left ventricle hypertrophy = LVH), yang
merupakan ciri khas respons adaptasi atau kompensasi jantung terhadap
peningkatan tekanan maupun volume berlebih pada ventrikel kiri. Hipertrofi
ventrikel kiri ini dikategorikan sebagai athlete’s heart dan dianggap sebagai
remodeling jantung yang fisiologis, tetapi beberapa penelitian menganggap
perubahan ini juga dikaitkan dengan konsep maladaptif hipertrofi jantung.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh latihan fisik anaerobik dan
detraining terhadap morfologi miokardium ventrikel kiri jantung tikus Wistar.
Penelitian ini menggunakan tikus galur Wistar jantan (8 minggu), dibagi menjadi
2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan perlakuan. Kelompok perlakuan latihan
fisik anaerobik dibagi menjadi kelompok perlakuan latihan fisik anaerobik 4
minggu, 12 minggu, 4 minggu latihan anaerobik detraining 4 minggu dan 12
minggu latihan anaerobik detraining 4 minggu. Latihan anaerobik dilakukan
selama 4 minggu dan 12 minggu dengan kecepatan kecepatan 35 m/mnt selama
15 menit dengan diberikan selang waktu istirahat selama 90 detik setiap 5 menit
berlari. Pada akhir perlakuan dilakukan pemeriksaan morfometrik dan struktur
histopatologi miokardium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa latihan anaerobik
selama 4 maupun 12 minggu serta kelompok detraining menyebabkan perubahan
morfologi miokardium ventrikel kiri tikus Wistar .

ABSTRACT
Regular physical training induces cardiovascular adaptation such as left
ventricular hypertrophy (LVH), which is a characteristic adaptive response of the
heart towards pressure or volume overload. This left ventricular hypertrophy is
called “athlete’s heart” and also determines physiologic remodelling heart, but in
a few study findings myocardial hypertrophy was maladaptive forms of
hypertrophy. The purpose of this experiment is to study the morphologic changes
of the left ventricular myocardium in anaerobic physical training and detraining.
This experiment uses young adult Wistar rats (8 weeks old) and were divided into
2 groups: control group and anaerobic exercise group. Each anaerobic exercise
group was divided into 4 weeks exercise, 4 weeks exercise followed by 4 weeks
detraining, 12 weeks exercise and 12 weeks exercise followed by detraining
respectively. The anaerobic group was exercised on a treadmill with a speed of 35
m/minutes for 15 minutes, with a 90 seconds period of rest after 5 minutes
running. The morphometric and histopathologic myocardial structures were
examined, then conclusion anaerobic physical training during 4 and 12 weeks
exercise with detrain group have caused morphologic changes of the left
ventricular myocardium"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59163
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fili Sufangga
"ABSTRAK
Latar belakang: Fundic gland polyp (FGP) merupakan salah satu polip gaster
yang sering ditemukan pada saat endoskopi. Penggunaan proton pump inhibitor
(PPI) jangka panjang dianggap berpengaruh terhadap perkembangan FGP.
Hipergastrinemia/hiperplasia sel G dan hiperplasia sel ECL dapat terjadi pada
penggunaan PPI jangka panjang. Efek trofik dari hiperplasia sel G ini yang
kemudian menyebabkan proliferasi sel parietal hingga berkembang menjadi FGP,
bahkan dapat menyebabkan terjadinya tumor karsinoid pada tikus. Untuk
mengkonfirmasi adanya sel G dilakukan pulasan imunohistokimia gastrin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hiperplasia sel G ditinjau dari
ekspresi gastrin pada mukosa antrum kasus-kasus FGP yang dihubungkan dengan
riwayat penggunaan PPI.
Bahan dan cara kerja: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Sampel
terdiri atas 40 kasus FGP yang terbagi menjadi 25 kasus dengan riwayat
penggunaan PPI jangka panjang dan 15 kasus dengan riwayat penggunaan PPI
jangka pendek di RSCM dari tahun 2016-2017. Dilakukan pulasan gastrin untuk
menilai sel G pada mukosa antrum. Kondisi hiperplasia sel G dinilai melalui ekspresi
gastrin apabila terdapat lebih dari 40 sel terpulas positif dalam 10 kelenjar antrum.
Hasil: Didapatkan 13 kasus dengan hiperplasia sel G dan 27 kasus tanpa hiperplasia.
Sebelas dari 13 kasus dengan hiperplasia sel G memiliki riwayat penggunaan PPI jangka
panjang, sedangkan 2 kasus dengan penggunaan PPI jangka pendek. Uji Fisher's exact
menunjukkan perbedaan bermakna antara hiperplasia sel G pada penggunaan PPI jangka
panjang dan pendek dengan nilai p<0,05.
Simpulan: Secara statistik terdapat perbedaan bermakna antara hiperplasia sel G pada
FGP dengan riwayat penggunaan PPI jangka panjang dan pendek.

ABSTRACT
Background: Fundic gland polyps is one of gastric polyps often found at
endoscopy. Long-term proton pump inhibitors (PPIs) use is considered to
influence the development of FGP. Hypergastrinemia/G cell hyperplasia and
ECL cell hyperplasia can occur in long-term PPI use. This trophic effect of G cell
hyperplasia causes proliferation of parietal cells that then develop into FGP, and
can even cause carcinoid tumors in mice. To confirm the presence of G cells, we
can use gastrin immunohistochemistry. This study aims to determine the presence
of G cell hyperplasia based on gastrin expression in mucosa of FGP associated
with a history of PPI use.
Method: This study uses a cross-sectional design. Samples consisted of 40 cases
of FGP which were divided into 25 cases with long-term use of PPI and 15 cases
with short-term use of PPI at RSCM from 2016-2017. We performed gastrin
staining to assess G cells in the antrum mucosa. Hyperplasia of G cells is
considered if there were more than 40 cells with positive staining to gastrin in 10
antrum glands.
Result: There were 13 cases with G cell hyperplasia and 27 cases without
hyperplasia. Eleven of 13 cases with G cell hyperplasia had a history of long-term
PPI use, while 2 cases with short-term PPI use. The Fisher's exact test showed a
significant difference between G cell hyperplasia in the use of short and long-term
PPIs with p value <0.05.
Conclusion: Statistically there are significant difference between G cell
hyperplasia in FGP with a history of long and short term PPI use."
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Eka Saputra
"

Latar belakang: Kista dan tumor odontogenik adalah lesi yang terjadi pada rahang dan berasal dari sisa epitel pembentuk gigi. EGFR adalah salah satu reseptor growth factor yang penting sebagai regulator proliferasi dan diferensiasi sel, diantaranya perkembangan dan morfogenesis gigi. EGFR juga dikenal  sebagai proto onkogen yang menginisiasi signalling pathway pada terjadinya beberapa tumor ganas. Penelitian melaporkan adanya peningkatan ekspresi EGFR pada beberapa kista dan tumor odontogenik sebagaimana yang terjadi pada tumor ganas. Tujuan: Untuk melihat dan membuat suatu profil ekspresi EGFR pada kista dan tumor odontogenik. Metode penelitian: 73 blok parafin kista dan tumor odontogenik didapatkan secara consecutive sampling dari data spesimen pada Departemen Patologi Anatomi FKUI/RSUPN-CM selama periode November 2015 – November 2019. Seluruh sampel diperiksa secara imunohistokimia menggunakan antibodi EGFR.  Hasil: Didapatkan 7 jenis lesi odontogenik: kista radikular (4), kista dentigerous (5), OKC (5), ameloblastoma (54), AOT (1), CEOT (2), ameloblastic carcinoma (2). Seluruh sampel memberikan ekspresi EGFR yang positif, dengan lokasi ekspresi pada sitoplasma. Skor EGFR bervariasi antara 1-2 dengan rerata 1,34. Intensitas beragam terdiri dari 41 % sampel lemah, 48% sampel sedang dan 11% sampel kuat.  Kesimpulan: EGFR berperan dalam terjadinya kista dan tumor odontogenik. Lokasi pulasan yang dominan terjadi pada sitoplasma sesuai dengan karakteristik kista dan tumor odontogenik yang tumbuh dan berkembang lambat.

 


Background: Odontogenic cysts and tumors are lesions that occur in the jaw and derived from the remnants of tooth-forming epithelium. EGFR is one of  the growth factor receptors that is important as a regulator of cells proliferation and differentiation, including the development and morphogenesis of the tooth.  EGFR is also known as a protooncogen which initiates signalling pathway in the occurrence of several malignant tumors. Recent studies have reports an increase EGFR expression on odontogenic cysts and tumors as occurs in malignant tumors. Objective: This study aims to observe and make an expression profile of odontogenic cysts and tumors. Method: 73 paraffin blocks were collected through consecutive sampling from speciment data in Pathological Anatomy Department FKUI/RSUPN-CM during 2015 – 2019 period. The EGFR expression were detected using immunohistochemistry. Results: There were 7 types of odontogenic lesion: radicular cyst (4), dentigerous cyst (5), OKC (5), ameloblastoma (54), AOT (1), CEOT (2), ameloblastic carcinoma (2). All samples showed positive expression of EGFR and staining location on cytoplasm. EGFR score was vary between 1 – 2 with a mean of 1,34. Intensity of staining were consisted of 41% samples have weak staining, 48% samples have moderate staining and 11% sampels have strong staining Conclusion: EGFR have a role in the occurance of odontogenic cysts and tumors. All the staining location occurs in the cytoplasm was appropriate to the characteristics of these lessions that grows and develops slowly.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lydia Kencana
"Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan penyakit kronik dan relapsing yang mempengaruhi kualitas hidup pasien. Hingga saat ini penegakkan diagnosis IBD masih menjadi persoalan. Calprotectin merupakan biomarker yang dapat dideteksi di jaringan (intramukosal) dan dinilai memiliki potensi dalam membantu penegakkan diagnosis IBD. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi calprotectin intramukosal pada IBD, kolitis non-IBD dan kontrol. Penelitian bersifat retrospektif analitik. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif pada sediaan biopsi kolorektal yang didiagnosis IBD, kolitis non-IBD, serta sediaan reseksi dengan bagian kolon tanpa kelainan patologik bermakna dari arsip Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM tahun 2017-2020. Dilakukan pulasan imunohistokimia untuk menilai ekspresi calprotectin (rerata jumlah sel/LPB) pada tiap kelompok. Dari 45 sampel IBD dan 45 sampel non-IBD, sebagian besar menunjukkan peradangan aktif, derajat keaktifan ringan. Ekspresi calprotectin intramukosal pada kelompok IBD dan non-IBD lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,001). Kasus dengan peradangan aktif memiliki ekspresi calprotectin yang lebih tinggi dibandingkan pada peradangan inaktif (p<0,001). Peningkatan ekspresi calprotectin memiliki hubungan bermakna dengan adanya peradangan namun belum dapat direkomendasikan untuk menjadi dasar penentuan etiologi IBD dan non-IBD.

Inflammatory bowel disease is a chronic relapsing disease affecting patients’ quality of life. To date, IBD diagnosis remains a challenge. Calprotectin is a biomarker that can be detected in tissue (intramucosal) and is considered as a potential marker of IBD. This study aims to determine intramucosal calprotectin expression in IBD, non-IBD colitis and control. Analytic retrospective study including consecutively sampled colorectal biopsy specimens diagnosed as IBD, non-IBD colitis and resection specimens with normal colon mucosa recorded in archives of Anatomical Pathology Department, FKUI/RSCM in 2017-2020. Calprotectin expression (cell/HPF) was detected by immunostaining and evaluated for every group. Most of the samples from IBD and non-IBD group (45 samples each) showed mild active inflammation, with higher mucosal calprotectin expression than that of control group (p<0.001). Subjects with active inflammation showed higher calprotectin expression compared to those with inactive inflammation (p<0.001). The increase of calprotectin expression showed significant association with the presence of inflammation, with higher expression found in active inflammatory conditions. However, the use of calprotectin to determine inflammatory etiology (IBD vs non-IBD) has yet to be recommended."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendro Anthonious Sunjaya
"Latar Belakang: Kista dan tumor odontogenik merupakan aspek yang sering dibahas dan cukup penting dalam bidang bedah maupun patologi oral dan maksilofasial. Secara radiografi gambaran kista dentigerous, odontogenic keratocyst (OKC), dan ameloblastoma unikistik memiliki kemiripan berupa lesi radiolusen unilocular. Pada hasil pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaaan hematoksilin eosin ketiga lesi ini dapat dibedakan, namun banyak ahli patologi yang mengalami misdiagnosa dikarenakan kemiripannya. Calretinin merupakan protein pengikat kalsium yang sudah banyak digunakan untuk penanda keganasan pada jaringan tubuh manusia, dikarenakan perannya dalam apoptosis sel yang menyebabkan terjadinya proliferasi sel. Tujuan: untuk melihat dan membandingkan ekspresi Calretinin pada kista dentigerous, OKC, dan ameloblastoma unikistik. Metode: 34 blok parafin kista dentigerous, OKC dan ameloblastoma unikistik didapatkan secara consecutive sampling dari data rekam medik di Divisi Bedah Mulut RSCM yang telah dilakukan konfirmasi hasil histopatologinya di Departemen Patologi Anatomi RSCM selama periode 2015- 2019. Seluruh sampel dilakukan pemeriksaan imunohistokimia menggunakan antibodi Calretinin. Hasil: didapatkan 13 sampel kista dentigerous (38,2%), 6 sampel OKC(17,6%), dan 15 sampel ameloblastoma unikistik(44,2%). Yang terintepretasi positif Calretinin sebanyak 1 sampel kista dentigerous (2,9%) dan 11 sampel ameloblastoma unikistik(32,3%), namun tidak ada sampel OKC (0) yang terintepreatsi positif. Secara statistik dengan uji chi-square didapati hasil berbeda bermakna(p=0,001) dengan odd ratio (OR) sebesar 49,5 antara kelompok ameloblastoma unikistik dan kelompok bukan amleoblastoma unikistik. Kesimpulan: Calretinin terekspresi pada kista dentigerous dan ameloblastoma unikistik dengan persentase yang berbeda, namun tidak pada OKC. Calretinin dapat dijadikan penanda spesifik untuk ameloblastoma unikistik.

Background: Odontogenic cysts and tumors are aspects that often discussed and quite important in the field of either oromaxillofacial surgery or pathology. Radiographically, the dentigerous cyst, odontogenic keratocyst (OKC), and unicystic ameloblastoma have a similar appearance in the form of unilocular radiolucent lesions. As a results of histopathological examination with hematoxylin eosin staining, these three lesions can be distinguished, however, many pathologists are misdiagnosed because of their similarity. Calretinin is a calcium binding protein that has been widely used for markers of malignancy in human tissues, due to its role in cell apoptosis which causes cell proliferation. Objective: This study aims to observe and compare Calretinin expression in dentigerous cysts, OKC, and unicystic ameloblastoma. Methods: 34 paraffin blocks of dentigerous cysts, OKC and unicystic ameloblastoma were obtained by consecutive sampling from medical record data in RSCM, Oral Surgery Division which had confirmed histopathological results at the Department of Anatomical Pathology RSCM during the period 2015-2019. All samples were subjected to immunohistochemical staning using Calretinin antibodies. Results: 13 samples of dentigerous cysts, 6 samples of OKC, and 15 samples of unicystic ameloblastoma were obtained. The positive interpretation of Calretinin was 1 sample of dentigerous cyst and 11 samples of unicystic ameloblastoma. Conclusion: Calretinin was expressed in dentigerous cysts and unicystic ameloblastoma with different percentages, but not in OKC. Calretinin can be used as a marker for unicystic ameloblastoma"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ignasia Andhini Retnowulan
"Latar belakang: Karsinoma sel hati (KSH) merupakan jenis keganasan primer hati
tersering dengan gambaran histologik menunjukkan diferensiasi sel hepatoselular. Selain
insiden yang tinggi, beban yang berat dari keganasan ini adalah prognosis yang sangat
buruk dengan angka rekurensi yang tinggi. Terdapat banyak faktor resiko secara
klinikopatologik yang telah diketahui mempengaruhi prognosis KSH, seperti kadar alfa
fetoprotein, derajat diferensiasi, dan invasi mikrovaskular. Secara molekular, mutasi p53
dan β-catenin merupakan dua mutasi tersering dalam KSH. β-catenin merupakan protein
multifungsi yang dikode oleh gen CTNNB1 yang dapat ditemukan pada 3 kompartemen
sel, yaitu di membran sel, sitoplasma dan inti. Jalur Wnt/β-catenin meregulasi proses
seluler yang terkait inisiasi, pertumbuhan, survival, migrasi, diferensiasi, dan apoptosis.
Meski sudah banyak diketahui beberapa jalur patofisiologi molekular
hepatokarsinogenesis, hubungan dengan aplikasi klinik membutuhkan pemahaman lebih
mengenai hubungan sifat molekuler dan sifat fenotip tumor, terutama dalam penentuan
faktor prognosis dan pengembangan terapi target. Penelitian ini bertujuan untuk menilai
ekspresi β-catenin pada KSH dan hubungannya dengan berbagai faktor prognosis yaitu
AFP, derajat diferensiasi dan invasi mikrovaskular.
Bahan dan cara: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Sampel terdiri atas
35 kasus KSH yang sudah ditegakkan diagnosisnya berdasarkan pemeriksaan
histopatologik dan/atau imunohistokimia di RSCM dari Januari 2013 sampai September
2019. Dilakukan pulasan β-catenin dan analisis statistik dengan uji komparatif terhadap
berbagai karakteristik klinikopatologik dan faktor resiko berupa AFP, derajat diferensiasi
dan invasi mikrovaskular.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna ekspresi β-catenin terhadap AFP (p=0,037) dan
derajat diferensiasi (p=0,043) pada KSH. Ekspresi β-catenin pada inti dengan/tanpa
sitoplasma lebih sering ditemukan pada kasus KSH dengan kadar AFP rendah dan derajat
diferensiasi baik-sedang. Tidak ditemukan perbedaan bermakna ekspresi β-catenin
terhadap invasi mikrovaskular pada KSH (p=1,000).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna ekspresi β-catenin terhadap AFP dan derajat
diferensiasi pada KSH.

Background: Hepatocellular carcinoma (HCC) is the most common primary liver
cancer, displaying histologically hepatocellular differentiation. In addition to its high
incidence, the disease burden of HCC is due to its poor prognosis with high recurrence
rate. Some of the previously known clinicopathologic prognostic factors of HCC include
alpha-fetoprotein (AFP) level, tumor grade and microvascular invasion. At molecular
level, p53 and β-catenin are the two most common driver mutations in HCC that are
mutually exclusive. β-catenin is a multifunction protein that is encoded by CTNNB1 gen.
It is found in 3 compartments of cells, which are membrane cell, cytoplasm and nucleus.
Wnt/ β-catenin pathway regulates cellular process which is related to initiation, growth,
survival, migration, differentiation and apoptosis. Although molecular pathogenesis
pathways of hepatocarcinogenesis are known, clinical application warrants more
understanding in terms of molecular characteristic and tumor phenotype, especially in
determining prognosis and target therapy development. This current study aims to analyze
the expression of β-catenin and its association with prognostic factors, such as AFP,
tumor grade and microvascular invasion.
Material and method: A cross-sectional study was conducted comprising 35 samples of
surgically resected HCCs between January 2013 to September 2019 in Cipto
Mangunkusumo General Hospital. The cases were diagnosed based on histopathological
and immunohistochemical findings and was then performed β-catenin staining. β-catenin
expression was analyzed with statistical tests to determine expression difference between
AFP level, tumor grade and microvascular invasion.
Result: There were statistically significant difference of β-catenin expression in AFP
level and tumor grade (p=0.037 and 0.043, respectively). Nuclear with/without
cytoplasmic expression of β-catenin was more frequently found in HCC with low AFP
level and well-to-moderately differentiated tumors. No significant difference was
observed in β-catenin expression between HCC with and without microvascular invasion
(p=1.000).
Conclusion: β-catenin expression was significantly different in AFP level and tumor
grade."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>