Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Finda Prafianti
"Penelitian ini mengkaji tentang kontinuitas lengger lanang sebagai salah satu bagian dari seni tradisi tari Lengger Banyumas ke dalam sebuah bentuk seni pertunjukan kontemporer. Penelitian menggunakan metode etnografi meliputi pengamatan, wawancara mendalam, dan pengumpulan data sekunder. Temuan penelitian menunjukkan adanya upaya rekacipta yang dilakukan oleh para seniman lengger lanang. Upaya rekacipta tersebut dilakukan melalui proses riset, pertukaran gagasan antara dramaturg, seniman lengger lanang, para penari, dan pemusik di dalam proyek pertunjukan, serta melalui praktik residensi. Hasil dari upaya rekacipta tersebut adalah proyek tari Lengger Lanang Banyumas kontemporer yang tentu saja tetap menunjukkan unsur spiritualitas (spirit indhang dan proses peleburan nyawiji di dalam tubuh penari lengger), serta unsur pertunjukan di dalam seni tradisi Lengger Banyumas (gerak tari dan unsur musik). Selain unsur spiritualitas dan unsur pertunjukan, hasil dari rekacipta tersebut juga menunjukkan adanya gagasan isu konseptual yang berkaitan dengan lengger lanang (jender, dan marjinalitas).

This research examines the continuity of lengger lanang as a part of the Lengger Banyumas dance tradition into a contemporary form of performance art. This research was conducted through ethnographic methods including observation, in-depth interviews, and secondary data collection. Through ethnographic methods, this research found that there was recreation tradition process made by lengger lanang artists. The recreated process was made through a research process, the exchange of ideas between dramaturgists, lengger lanang artists, dancers, and musicians in a performance, as well as through residency practices. The result of the recreated tradition process is the contemporary form of Lengger Lanang Banyumas dance which, of course, still shows the elements of spirituality (indhang spirit and nyawiji process), and shows the elements of performance (dance movements and musical elements) in the traditional form of Lengger Banyumas dance. In addition to the spirituality and performance elements, the results of the invention also reveal the conceptual issues which related to lengger lanang existence (gender, and marginality)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Anoegrajekti
"Sejarah gandrung yang panjang menyisakan catatan bahwa kesenian milik komunitas Using ini selalu berhadapan dengan kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Pasar (kapitalisme), birokrasi, dan agama telah sejak larna menjadi kekuatan- kekuatan yang menghegemoni kesenian tradisi ini. Dalam lima tahun terakhir (2000-2005), saat saya melakukan penelitian etnografi untuk disertasi ini, persentuhan gandrung dengan ketiga alctor hegemoni tersebut mencapai puncak intensitasnya.
Disertasi ini membahas pertarungan antar kekuatan-kekuatan hegemoni gandrung tersebut dalam kerangka memperebutkan representasi identitas Using. Pembahasan saya mulai dengan terlebih dahulu menelaah hubungan antara gandrung dengan komunitas Using dan deskripsi mengenai pertunjukan gandrung. Ada dua kategori pertarungan yang meskipun saling berkaitan saya sajikan terpisah dalam disertasi. Pertama, pertarungan dalam menentukan teks pertunjukan menyangkut lagu, musik, tari, pembabakan, dan struktur pertunjukan. Kedua, pertarungan memperebutkan makna representasi identitas Using yang berpengaruh pada penentuan teks pertunjukan.
Dari seluruh bahasan tentang pertarungan tersebut dapat dilihat beberapa hal penting. Pertama, bahwa sebagai proses kebudayaan, kekuatan-kekuatan hegemoni itu terwujud dalam sebuah inkorporasi dengan posisi yang berbeda. Dengan merujuk pada konsep Williams, pasar sebagai yang paling mendominasi dalam hegemoni gandrung menjadi budaya dominan, konservasi tradisi sebagai budaya residual karena bertahan dengan menghidupkan kemhali makna, nilai, dan norma yang telah ditinggalkan, sedangkan Islam sebagai sesuatu yang baru menjadi emergent.
Kedua, bahwa hegemoni adalah wilayah pertarungan yang berlangsung dinamis dan tidak stabil. Dominasi sebagai posisi terpenting dalam hegemoni akan tidak dikenali ketika penetrasinya semakin meluas dan tekanan dari kekuatan yang lain terus meningkat. Ketiga, bahwa representasi identitas merupakan wilayah pertarungan pemaknaan yang kemudian menyebabkan identitas itu sendiri lebih merupakan konstruksi dan proyek (politik) penciptaan yang karena itu diskursif retak, dan terus berubah.
Akhirnya, dengan pembahasan tentang pertarungan memperebutkan representasi identitas Using, disertasi ini telah menjelaskan bagaimana politik kebudayaan beroperasi di tingkat mikro, tempat hegemoni, resistensi, invensi dan konstruksi mewujudkan diri. Disertasi juga telah menunjukkan bagaimana sebuah kesenian berkembang di tengah kebudayaan plural dan masyarakat multi-etnis yang berada dalam perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Saya juga menunjukkan bagaimana politik identitas dibangun dan diartikulasikan di ruang publik yang kompleks.

The long history of Gandrung has left notes that this art, which belongs to the Using Community, is always faced with forces beyond itself Market (capitalism), bureaucracy, and religion have long become the hegemonic forces that dominated this traditional art. For the last tive years (2000 - 2005), while I was doing the ethnographic research for this dissertation, the contact between Gandrung and those three hegemonic actors reached its highest intensity.
This dissertation is aimed to analyze the battle among those hegemonic forces of Gandrung in the framework of struggling over the representation of Using identity. My analysis is started by exploring the relationship between Gandrung and the Using community and by describing the performance of Gandrung. There are two struggling categories which are related to each other. However, I represent them separately in this dissertation. First is the battle in determining the text of the performance including the songs, music, dances, stages, and the structure of the performance.
Second is the struggle over meaning in the representation of Using identity which influences the determination of the text of the performance.
There are several important things that can be seen from the whole analysis about those battles. First, as a cultural process, those hegemonic forces are formed in incorporation within various positions. Referring to the concept proposed by Williams, the market as the most dominant forces in Gandrung hegemony becomes the dominant culture; the conservation of tradition becomes the residual culture because it survives by reviving meaning, values and norms that have been left; while Islam as a new thing becomes the emergent culture.
Second, hegemony can be seen as a dynamic and unstable battleield. Domination as the most important position in a hegemony will not be easy to recognize when its penetration becomes larger and the forces from other parties become stronger. Third, the representation of identity is also a field for the struggle over meaning which causes the identity itself can be seen more as a construction and creating project (politics) so that it becomes discursive, cracked and unstable. In the end, by analyzing the struggle over the representation of Using identity, this dissertation has explained how the politics of culture operates in the micro level, where hegemony, resistance, invasion, and construction form themselves. This dissertation has also shown how an art develops within a plural culture and multi-ethnics community which exists in the social, economic and cultural changes. I have also shown how the political identity is built and articulated in a complex public space."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
D604
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pudentia Maria Purenti Sri Suniarti Karnadi
"Mak Yong yang diajukan dalam disertasi mi adalah salah satu jenis kesenian yang terdapat di daerah Riau, khususnva di daerah I3intan Timur yang menggabungkan unsur-unsur ritual, cerita, tari, nyanyi, clan musik. Dalam pertunjukannya, Mak Yong mempertemukan pemain dan pcmentasannya dengan penonton dalam ruing waktu dan tempat yang sama. Untuk melakukan kajian Mak Yong terlebih dahulu diperlukan deskripsi yang "lengkap" yang diharapkan dapat menjembatani pemain dan pertunjukannya dengan penonton selaku penikmat dan pendukungnya. Deskripsi pertunjukan semacam ini menghadapi masalah yang kontradiktif. Di sate pihak, sebuah pertunjukan pada dasarnya bersifat "satu kali", tetapi di lain pihak dapat muncul suatu keperluan untuk melihat kenrbali pertunjukan itu yang sudah tidak ada. Deskripsi seakan-akan membekukan peristiwa, waktu, dan prang sebuah pertunjukan dalam bentuk rangkaian kata dan berbagai bentuk rekaman suara dan gambar.
Pertunjukan Nlak Yong yang akhirnya dideskripsikan ini memperlihatkan kecairan dan kepekatan kelisanan yang amat menarik. Kecairan mendukung fungsi hiburan dan resistensi rakyat terhadap penguasanya, kepekatan mendukung fungsi pengajaran dan pengukuhan nilai. Selain itu, hal lain yang menarik adalah interaksi antara dunia kelisanan dan keberaksaraan dalam menghasilkan sebuah pertunjukan. Adanya birokrasi yang tidak tampak jelas, peranan panitia yang sangat kuat, kebijakan penguasa mengenai seni, dan sistem latihan dalam sanggar mewarnai perjalanan sebuah tradisi menembus masa kini. Kajian ini adalah ""cerita"" mengenai perjalanan sebuah pertunjukan tradisi Iisan di dalam masyarakatnya yang masih mengandalkan kelisanan dan di luar masyarakatnya yang sudah memasuki dunia keberaksaraan dalam suatu masa kejayaan orde politik tertentu di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
D1804
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Risma Margaretha
"Penelitian ini berangkat dari marginalisasi ulun Lampung. Sebagai etnik lokal, mereka kurang dihargai oleh pendatang. Di ranah eksternal, ulun Lampung mendapat stigma, karena berbagai tindakannya sering di luar konteks Piil Pesenggiri. Pada dasarnya, Piil Pesenggiri berhubungan dengan makna positif seperti keramahtamahan terhadap tamu, menjunjung martabat dan harga diri, namun sebaliknya yang tampil adalah kekerasan, malas, arogan dan tindakan lainnya yang dalam pandangan pendatang diasosiasikan dengan Piil Pesenggiri. Penelitian ini bertujuan menjelaskan strategi ulun Lampung dalam merevitalisasi nilai Piil Pesenggiri sebagai modal budaya dalam mempertahankan identitasnya dan kesetaraan dengan pendatang.
Saat ini, mereka merevitalisasi kembali Piil Pesenggiri menjadi modal dan strategi untuk keluar dari dominasi pendatang dan mengubah stigma yang dilekatkan kepada mereka. Ulun Lampung menguatkan kesadaran kolektif untuk sejajar dengan pendatang melalui revitalisasi dan reartikulasi Piil Pesenggiri sebagai representasi identitas. Penelitian ini juga menemukan, bahwa reproduksi Piil Pesenggiri adalah bentuk resistensi terhadap ketidaksetaraan dengan pendatang, juga upaya ulun Lampung untuk diakui dan dihargai sebagai etnis lokal. Salah satu contoh adalah dengan menggelar begawi adok, yaitu ritual pemberian gelar kehormatan kepada orang luar (pendatang) sebagai tanda hubungan persaudaraan atau sebagai pertukaran.

This study begins from the marginalization of ulun Lampung. As a local ethnic group, they areunder-appreciated by outsiders or migrants coming to Lampung. In the external domain, ulun Lampung are stigmatized, because their actions are of ten not in line with Piil Pesenggiri context. Basically, Piil Pesenggiri is associated with positive characteristics such as such hospitality towards guests, keeping the dignity and self-esteem, but ulun Lampung appear to display violence, laziness, arrogance and other attitudes which are viewed by migrants to be associated with Piil Pesenggiri. This study aims to explain the strategy to revitalize PiilPesenggiri values of ulun Lampung as cultural capital in maintaining their identity and equality with the migrants.
Currently, they are reviving Piil Pesenggiriinto capital and an exit strategy against the domination of the migrant sand are changing the stigma which has been attached to them. Ulun Lampung streng then their collective consciousness to stand at an equal position as the migrants through revitalization and re-articulation of Piil Pesenggirias the representations of their identity. The study also found that reproduction of Piil Pesenggiriis a form of resistance against inequality with the migrants and the effort of ulun Lampung to be recognized and appreciated as a local ethnic group. One example is they hold begawi adok, aritual of awarding an honorary degreeto outsiders (immigrants) as a sign of brotherhood or as an exchange."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Roro Yvonne Triyoga Hoesodoningsih
"Fokus penelitian ini adalah untuk memahami kekuasaan yang implisit dalam politik ritual di Pondok Ranggon dikonstruksi oleh relasi dualitas pelaku seni pertunjukan dan pelaku ritual hajat bumi dengan struktur masyarakat Jakarta. Untuk dapat memahami kekuasaan itu bekerja, penelitian ini menggunakan metode etnografi yang dielaborasi dengan etnokoreologi Konstruksi kekuasaan pada penelitian ini bermuara pada transformasi dan komodifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan transformasi pada seni pertunjukan Topeng Betawi, seni pertunjukan Wayang Golek, seni pertunjukan Tanjidor, seni pertunjukan Ondelondel serta terdapat transformasi pada proses ritual hajat bumi Pondok Ranggon meliputi ritual awal dan akhir dari Arak-arakan serta transformasi Baritan. Komodifikasi terjadi pada seni pertunjukan Topeng Betawi, seni pertunjukan Wayang Golek, seni pertunjukan Tanjidor, seni pertunjukan Ondel-ondel serta komodifikasi pada proses ritual hajat bumi Pondok Ranggon yang melingkupi Komodifikasi ruang sarana dan prasarana, Komodifikasi Panjat Pinang serta Komodifikasi Paradoks.
Temuan penelitian ini memperkaya teori-teori strukturasi Anthony Giddens dengan memaparkan contoh kasus relasi dualitas pelaku dengan struktur, yaitu relasi dualitas pelaku seni pertunjukan serta pelaku ritual hajat bumi Pondok Ranggon dengan kondisi struktur masyarakat Jakarta yang mengkonstruksi kekuasaan. Temuan penelitian ini juga memperkaya pemahaman mengenai batas-batas dualitas, yaitu dengan menunjukkan bahwa relasi dualitas pelaku dengan struktur yang mengkonstruksi kekuasaan hadir dan sekaligus memproduksi transformasi dan komodifikasi.

This research focus to understand implicit power in ritual politic located in Pondok Ranggon constructed by duality relation between performing art actor and Hajat Bumi ritual actor with structure of Jakarta society. To conceive how such power works, this research utilizes ethnographic method elaborated with etnochoreology. Power construction in this research results transformation and commodification.
Research results show transformation in Topeng Betawi performing art, Wayang Golek performing art, Tanjidor performing art, Ondelondel performing art and also occurred in the Hajat Bumi ritual process including initial and the end of Arak-arakan also Baritan transformation. Commodification can be found in Ondel-ondel performing art along with Hajat Bumi ritual process Pondok Ranggon consist of Facility Room Commmodification, Panjat Pinang Commodification, and also Paradox Commodification.
Research product enrich Anthony Giddens? structure theories with explaining an example of duality relation between actor and structure, in this case relation between performing art actor and Hajat Bumi ritual actor with structure of Jakarta society, constructing power. Result of this research enlighten also duality boundaries, specifically showing that duality relation between actor and structure constructing power exist and simultaneously producing transformation and commodification."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
D2169
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Alfian Syahmadan
"Disertasi ini merupakan hasil penelitian terhadap dua ritual mangampar ruji, yaitu mangampar ruji Sitamiang dan mangampar ruji Pargarutan Baru di wilayah adat Batak Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatra Utara. Penelitian dilaksanakan untuk melihat bagaimana teks, formula, simbol dan narasi ritual yang dilaknsakan sebagai bagian ari upacara perkawinan pada masyarakat Batak Angkola tersebut dapat diwariskan ke generasi yang akan dating. Disertasi ini menggunakan gabungan metode etnografi (Spreadly) dengan teori formula (formulaic theory Parry-Lord). Penelitian ini adalah penelitian lapangan dan sebagian besar data yang diperoleh adalah data lapangan. Sebagai data pendukung, penulis juga melakukan penelitian dan studi pustaka. Tahapan-tahapan pengambilan data dilakukan secara etnografis secara berkala dan berulang-ulang melalui survey, wawancara, dengan informan kunci dari pelaku tradisi lisan lokal, sumber data primer pada ritual mangampar ruji dan data sekunder dengan mengumpulkan data lapangan, menganalisis data. Setelah itu, peneltian ini menggunakan teori formulaik Parry-Lord terutama pada konsep transmisi, pewarisan, formula, oralitas, piranti mnemonik (alat pengingat) dan pembentuk tema. Kesimpulan yang menarik yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa ritual mangampar ruji, sacara adat dan diyakini secara sadar oleh masyarakat Batak Angkola, mengawali hubungan interpersonal suami – istri, mengawali hubungan pemberi istri – pengambil istri, menjadi dasar hubungan interpersonal dalam extended family, dan menjadi faktor utama pembentuk dan pemberi sifat pada hubungan sosial dalam pergaulan sehari-hari masyarakat Batak Angkola. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa ritual tersebut adalah dasar dari pembentukan dalihan natolu, falasafah manat mardongan tubu, somba, marhulahula, dan elek marboru, tiga tujuan hidup; hamoraon, hagabeon, dan hasangapon, serta etika dan etiket masyarakat batak Angkola.

This dissertation is the result of research on two rituals of mangampar ruji, namely mangampar ruji Sitamiang and mangampar ruji of Pargarutan Baru in the Batak Angkola traditional area in South Tapanuli Regency, North Sumatra Province. The research was carried out to see how the texts, formulas, symbols and ritual narratives that were carried out as part of the marriage ceremony in the Angkola Batak community could be heir on to the next generations. This dissertation is conducting by using a combination of ethnographic methods (Spreadly) with the formulaic theory by Parry-Lord. This research is a field research and most of the data obtained is field data. As supporting data, the writer also conducted research and literature study. The stages of data collection are carried out ethnographically periodically and repeatedly through surveys, interviews, with key informants from local oral tradition actors, primary data sources on the mangampar ruji ritual and secondary data by collecting field data, analyzing data. After that, this research uses Parry-Lord's formulaic theory, especially on the concepts of transmission, inheritance, formulas, orality, mnemonic devices and forming themes.
An interesting conclusion that can be drawn from this research is that the mangampar ruji ritual initiates the interpersonal relationship between husband and wife, initiates the relationship between wife and wife, becomes the basis for interpersonal relationships in the extended family, and become the main factor forming and characterizing social relations in the daily interactions of the Angkola Batak people. In the end it can be concluded that the ritual is the basis for the formation of dalihan natolu, the philosophy of manat mardongan tubu, somba, marhulahula, and elek marboru, the three goals of life of Batak Angkola (hamoraon, hagabeon, and hasangapon), as well as etics and etiquettes of the Angkola Batak community.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Trismaya
"Disertasi ini mendiskusikan gejala sosial kembalinya kebaya sebagai busana nasional setelah mengalami masa ‘kehilangan’ seusai reformasi tahun 1998 akibat terjadinya perubahan struktur sosial politik bersamaan dengan keruntuhan Orde Baru. Struktur sosial politik berperan penting dalam perjalanan eksistensi kebaya sehingga ketika negara tidak hadir dalam pemosisian kebaya, maka para aktor yang berasal dari masyarakat mengambil alih peran ini. Salah satu aktor-aktor ini adalah perancang mode yang merancang kebaya berdasarkan selera pasar dan cenderung tidak mematuhi pakem. Di tengah kondisi ini, muncul para perempuan yang mendirikan komunitas kebaya dengan visi mengembalikan kebaya sebagai busana nasional dan mengenalkannya kembali ke masyarakat.  Penelitian ini dilakukan di Jakarta dan sekitarnya. Data penelitian ini dikumpulkan dengan metode observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan kajian pustaka. Penelitian ini menunjukkan bahwa kembalinya kebaya dalam masyarakat modern saat ini dilatarbelakangi perubahan sosial politik pasca reformasi di Indonesia dan peran para aktor yang mengubah bentuk dan fungsi kebaya. Aksi para perempuan dalam proses retradisionalisasi kebaya mengatasnamakan nasionalisme namun tidak semua memiliki visi yang sama karena kebaya juga menjadi media mengekspresikan diri para perempuan dari komunitas kebaya.  

This dissertation is discussing about social symptoms of the reappearance of kebaya as national dress, temporarily ‘disappeared’ after reformation era in 1998, due to social and politic structural changes, along with the collapse of the New Order era. The social and political structures play an important role in the journey of kebaya existence, when there is non-existence of government’s presence in positioning of kebaya, all artists that came from society, take over this role. These artists are fashion designers, they design kebaya based on market taste and they tend not to comply with the standard. In this condition, a group of women established a kebaya community with the vision to restore kebaya as a national dress and re-introduce it to the society.  This research is conducted in Jakarta and surrounding sites. The data is collected based on participated observation method, and literature review. This research shows that the re-appearance of kebaya in modern society this time is motivated by social and political changes post reformation in Indonesia, and the roles of the artists that transform the shape and function of kebaya. The action of women in the process of kebaya retraditionalization on behalf of nationalism, but not all of them have a same vision, because kebaya is also becomes a media to self expression to those women from kebaya community."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sondakh, Sonya Indriati
"Masyarakat Minahasa memiliki tradisi panen yang sudah bertahan sangat lama. Ketika masih mempraktikkan religi tradisionalnya, masyarakat Minahasa melaksanakan fosso rumages (ritual persembahan) yang dipersembahkan kepada Opo Empung Wailan Wangko (Tuhan Yang Maha Besar) dan Opo Wananatas (leluhur). Ketika masyarakat Minahasa sudah menerima agama Kristen yang telah diperkenalkan selama ratusan tahun di Minahasa oleh para misionaris, muncul tradisi panen dalam bentuk baru yang melibatkan gereja yang dikenal sebagai Pengucapan Syukur. Mengucap syukur adalah inti ajaran Kristen dan ajaran ini sejalan dengan banyak kepercayaan tradisional masyarakat agraris yang melaksanakan ritual bersyukur atas panen sesuai dengan masa panen tanaman pangan tertentu. Seperti juga tradisi panen di tempat lain yang melibatkan makanan, tradisi panen Minahasa ini berfokus pada makanan tradisional yang dimakan bersama dalam perayaan Pengucapan Syukur di rumah warga. Penelitian ini bertujuan memahami dan mengungkap transformasi atau perubahan yang terjadi pada tradisi panen ini mulai dari periode kepercayaan tradisional hingga periode kepercayaan Krissten. Di samping itu, penelitian ini juga akan mengungkap bagaimana masyarakat Minahasa dapat mengelola, mempertahankan, dan kemudian mewariskan ritual-ritual dalam tradisi panen ini. Menggunakan pemikiran Schechner tentang konsep Pertunjukan dalam kaitannya dengan ritual, penelitian ini memperlakukan ritual-ritual sebagai Pertunjukan yang melibatkan dua kutub: kemujaraban (efficacy) dan hiburan (entertainment). Sebagai penelitian kualitatif, penelitian ini menggunakan metode etnografi untuk dapat menangkap dan merekam kegiatan-kegiatan sehari-hari yang menjadi bagian penting dalam pelaksanaan perayaan Pengucapan Syukur.

The people of Minahasa has been practicing a harvest tradition for so long. When they were still practicing their traditional religion, the Minahasans perfomed fosso rumages (offering ritual) which was offered to the God Almighty and their ancestors. When the Minahasans accepted a new faith, Christianity, which was introduced by the Europeans (especially the Dutch missionaries) for centuries, emerged a harvest tradition in a new form involving Christian church called Pengucapan Syukur (Thanksgiving). To be always grateful is one of the Christians teachings which seemingly shares the same spirit with so many agrarian traditional communities who practice rituals to express their gratefulness for the abundant harvest of particular crops. As all the harvest traditions in other places, both in Indonesia and around the world, involving food, this harvest tradition of Minahasans focuses on their traditional foods that they eat togehter in the celebration of Thanksgiving at people’s house. This research aims at understanding and uncover how this thanksgiving tradition has survived from the period of traditional faith to Christian faith. Furthermore, this research is also to reveal how the Minahasans were able and are still able to manage, preserve and transmit the rituals of this particular harvest tradition. Utilizing Schechner’s concept of Performance in its relation to rituals, this research treats rituals as Performance in its polarity between efficacy and entertainment. As a qualitative research, this investigation uses ethnographic method in order to grasp and record the daily life activities that are of great importance in the celebration of thanksgiving of the people of Minahasa.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library