Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bella Anastasia Pratiwi
"Penelitian ini menganalisis mengenai penerapan pemberian Dokumen Perjalanan Republik Indonesia kepada Warga Negara Indonesia yang tinggal di luar negeri yang melampaui batas waktu tinggal (overstay) dan tidak memiliki dokumen (undocumented). Dalam regulasi yang berlaku saat ini, Direktorat Jenderal Imigrasi dengan banyaknya program-program khusus yang berasal dari negara tujuan belum mengakomodir istilah WNI Overstayer dan WNI Undocumented berikut dengan regulasi pemberian dokumen perjalananya di luar negeri. Pada Tanggal 24 Januari 2014 diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi No: IMI-0120-GR.01.10 Tahun 2014 Hal Pemberian Dokumen Perjalanan Bagi Warga Negara Indonesia Overstayer Tidak Terdokumentasi (WNI-OTT), dalam surat tersebut diberikan penjelasan mengenai pemberian Dokumen Perjalanan bagi WNI-OTT dengan kondisi-kondisi yakni pertama, terhadap WNI-OTT yang memegang paspor dan/atau SPLP lama, tidak memiliki kartu penduduk yan membuktikan dirinya adalah penduduk negara setempat, petunjuk, bukti, atau keterangan-keterangan lain yang menunjukkan pemohon bertempat tinggal di negara tersebut, terlebih dahulu dapat diberikan Paspor RI untuk memperoleh Surat Keterangan yang diterbitkan oleh Fungsi Konsuler Perwakilan RI di Luar Negeri. Kedua, WNI yang berada di luar negeri dan tidak memiliki paspor atau kartu identitas setempat, namun dapat membuktikan kewarganegaraan mereka melalui dokumen seperti akte kelahiran, akte perkawinan, buku nikah, ijazah, surat baptis, atau surat pewarganegaraan Indonesia, berhak untuk memperoleh paspor Republik Indonesia. Ketiga, bagi WNI yang tidak memiliki dokumen atau tidak berdokumen, maka fungsi konsuler melakukan wawancara dan penelitian untuk mengetahui identitas pemohon dan kemudian disampaikan hasilnya kepada Direktorat Jenderal Imigrasi. Berjalannya program-program pemberian dokumen perjalanan bagi WNI overstayer dan undocumented di luar negeri merupakan suatu bentuk nyata peran yang dilakukan oleh negara sebagai bentuk perlindungan bagi Warga Negaranya. Akan tetapi yang perlu diingat dan diterapkan adalah bahwa tatacara pemberian pelayanan publik tidak boleh lepas dari asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Pada saat melakukan pelayanan publik, untuk memberikan perlindungan bagi setiap penduduk dan warga negara dari penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah, diperlukan pengaturan hukum yang mendukungnya sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Seiring dengan berjalannya program-program pemulangan yang diadakan berdasarkan kerjasama antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara setempat, ditemukan kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. maka tesis ini menawarkan gagasan-gagasan ideal mengenai pengaturan pemulangan bagi WNI overstayer dan undocumented di luar negeri agar dapat memberikan manfaat dan perlindungan sebesar-besarnya bagi masyarakat.

This research analyzes the application of granting Republic of Indonesia Travel Documents to Indonesian Citizens living abroad who have exceeded the overstay period and do not have documents (undocumented). In the current regulations, the Directorate General of Immigration, with its many special programs originating from destination countries, has not yet accommodated the terms Overstayer Indonesian Citizens and Undocumented Indonesian Citizens along with the regulations on providing travel documents abroad. On January 24 2014, a Circular Letter from the Director General of Immigration was issued No: IMI-0120-GR.01.10 of 2014 regarding the Provision of Travel Documents for Indonesian Citizens, Undocumented Overstayers (WNI-OTT), in this letter an explanation was given regarding the provision of Travel Documents for Indonesian Citizens. -OTT with conditions, namely first, for WNI-OTT who hold an old passport and/or SPLP, do not have a residence card which proves that they are a resident of the local country, instructions, evidence, or other information that shows the applicant resides in the country Firstly, an Indonesian Passport can be given to obtain a Certificate issued by the Consular Function of the Indonesian Representative Abroad. Second, Indonesian citizens who are abroad and do not have a passport or local identity card, but can prove their citizenship through documents such as birth certificates, marriage certificates, marriage certificates, diplomas, baptism certificates, or Indonesian citizenship letters, have the right to obtain a Republic of Indonesia passport. . Third, for Indonesian citizens who do not have documents or are undocumented, the consular function is to conduct interviews and research to find out the applicant's identity and then submit the results to the Directorate General of Immigration. The running of programs to provide travel documents for overstayed and undocumented Indonesian citizens abroad is a concrete form of the role carried out by the state as a form of protection for its citizens. However, what needs to be remembered and applied is that procedures for providing public services cannot be separated from the general principles of good governance (AUPB). When providing public services, to provide protection for every resident and citizen from abuse of authority by the government, legal regulations that support it are needed in accordance with the provisions in Article 4 of Law Number 25 of 2009 concerning Public Services. As the repatriation programs carried out based on cooperation between the Government of the Republic of Indonesia and local state governments progressed, policies were discovered that were not in accordance with the provisions of existing laws and regulations. So this thesis offers ideal ideas regarding repatriation arrangements for overstayed and undocumented Indonesian citizens abroad so that they can provide maximum benefits and protection for the citizen."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adji Kurniawan
"Perencanaan tata ruang wilayah merupakan salah satu aspek penting dalam pengelolaan dan pengembangan suatu daerah. Kota Palembang, sebagai salah satu kota besar di Indonesia, memerlukan perencanaan tata ruang yang komprehensif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan adanya peraturan daerah yang mengatur rencana tata ruang wilayah untuk periode tahun 2023-2043. Tujuan dari rancangan peraturan daerah ini adalah untuk menetapkan kebijakan dan strategi dalam penataan ruang wilayah Kota Palembang selama dua dekade ke depan. Hal ini mencakup pengaturan penggunaan lahan, pengembangan infrastruktur, serta pelestarian lingkungan hidup. Penelitian ini akan menganalisis lebih dalam melalui pertanyaan “Apakah proses pembentukan peraturan daerah pada Rancangan Peraturan Daerah Kota Palembang tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2023-2043 telah sesuai prosedur?” dan “Bagaimanakah Prosedur Peralihan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2024 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palembang Menjadi Peraturan Daerah Kota Palembang Tahun 2023-2043?” Analisis prosedur peralihan dari Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2024 menjadi Peraturan Daerah Kota Palembang dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Metode ini melibatkan kajian dokumen hukum, wawancara dengan pemangku kepentingan terkait, serta analisis kebijakan publik. Hasil Analisis menunjukan bahwa, proses peralihan dimulai dengan penyusunan draft oleh Pemerintah Kota Palembang berdasarkan pedoman dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Draft tersebut kemudian dibahas dalam rapat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Setelah melalui tahap konsultasi publik dan revisi sesuai masukan dari berbagai pihak, draft final disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palembang menjadi peraturan daerah. Lalu implementasi peraturan daerah ini melibatkan berbagai instansi terkait di tingkat kota dan provinsi untuk memastikan keselarasan dengan rencana pembangunan nasional. Sayangnya, Penyusunan Peraturan daerah tentang RTRW Kota Palembang belum berjalan sesuai prosedur karena memakan waktu lebih lama daripada waktu yang seharusnya, meskipun dalam proses pembuatan Perda RTRW ini telah melibatkan berbagai pihak terkait, seperti pemerintah daerah, akademisi, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya, dengan tujuan untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan mencerminkan aspirasi dan kebutuhan seluruh stakeholders. Rancangan Peraturan Daerah Kota Palembang tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2023-2043 merupakan langkah strategis dalam mengelola pertumbuhan kota secara terintegrasi dan berkelanjutan. Prosedur peralihannya dari peraturan menteri menjadi peraturan daerah menunjukkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam mewujudkan tata kelola ruang yang efektif.

Regional spatial planning is an important aspect in the management and development of a region. Palembang City, as one of the large cities in Indonesia, requires comprehensive spatial planning to support sustainable economic, social and environmental growth. Therefore, there is a need for regional regulations that regulate regional spatial planning for the 2023-2043 period. The aim of this draft regional regulation is to establish policies and strategies for spatial planning in the City of Palembang for the next two decades. This includes regulating land use, infrastructure development, and environmental preservation. This research will analyze more deeply through the question "Is the process of forming regional regulations in the Draft Regional Regulations for the City of Palembang concerning the 2023-2043 Regional Spatial Planning according to procedures?" And "What is the procedure for transitioning the Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of the National Land Agency of the Republic of Indonesia Number 5 of 2024 concerning the Palembang City Regional Spatial Planning Plan into the Palembang City Regional Regulation for 2023-2043?" Analysis of transition procedures from the Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of the National Land Agency of the Republic of Indonesia Number 5 of 2024 to the Regional Regulation of the City of Palembang was carried out using a qualitative approach. This method involves reviewing legal documents, interviews with relevant stakeholders, and public policy analysis. The results of the analysis show that the transition process began with the preparation of a draft by the Palembang City Government based on guidelines from the Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency. The draft was then discussed in a coordination meeting between the central and regional governments. After going through the public consultation stage and revisions according to input from various parties, the final draft was approved by the Regional People's Representative Council (DPRD) of Palembang City to become a regional regulation. Then the implementation of these regional regulations involves various relevant agencies at the city and provincial levels to ensure alignment with national development plans. Unfortunately, the preparation of regional regulations regarding the Palembang City RTRW has not proceeded according to procedures because it took longer than it should have, even though the process of making this RTRW Regional Regulation has involved various related parties, such as local government, academics, the community and other stakeholders, with The aim is to ensure that the resulting policies reflect the aspirations and needs of all stakeholders. The Draft Regional Regulations for the City of Palembang concerning Regional Spatial Planning for 2023-2043 is a strategic step in managing city growth in an integrated and sustainable manner. The transition procedure from ministerial regulations to regional regulations shows the synergy between the central and regional governments in realizing effective spatial governance."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhardi Fonger
"Tesis ini menganalisis dua asas yang sama-sama memiliki kepentingan dalam kebijakan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut terkait dengan kegiatan usaha Hutan Tanaman Industri di Indonesia yaitu asas pencegahan dan asas non retroaktif dengan menggunakan teori pembobotan terhadap asas dari Ronald Dworkin. Dalam teori ini, asas yang memiliki bobot kepentingan yang lebih kuat akan mengabaikan asas yang bobotnya lebih lemah. Namun tidak berarti ada asas yang benar atau asas yang salah, kedua asas ini tetap diakui sebagai bagian dari sistem hukum. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asas pencegahan dalam kasus ini memiliki bobot kepentingan yang lebih besar daripada asas non retroaktif sehingga kebijakan pemerintah dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut terkait Hutan Tanaman Industri di Indonesia telah tepat. Untuk meminimalisir kerugian bagi bagi pihak yang terimbas dari dikalahkannya asas non retroaktif, maka penting untuk dilakukan upaya penyeimbangan balancing . Namun hasil pembobotan dari asas-asas tersebut tidak dapat diterapkan secara sama dalam semua kasus, Oleh karena itu, jika asas-asas yang digunakan tersebut muncul dalam kasus yang lain, maka asas-asas tersebut kembali memiliki bobot yang sama.

This thesis analyzes two principles which both have interest in peat ecosystem protection and management policies related to Industrial Forest Plantation business activity in Indonesia, namely prevention principle and non retroactive principle by using the weighting theory from Ronald Dworkin. In this theory, principles that have stronger weight of importance will ignore principles that are weaker in weight. But it does not mean that there is a right principle or a wrong principle, both of these principles are remain recognized as part of the legal system. Data collection methods are carried out by literature study. The result of this study indicates that the precautionary principle in this case has a greater importance than non retroactive principles, so that government policies in peat ecosystem protection and management policies related to Industrial Forest Plantation business activity in Indonesia are appropriate. Making a balancing effort for those who affected by the defeat of the non retroactive principle is important to minimize their losses. The weighting of these principles cannot be applied equally in all cases. Therefore, if these principles appear in other cases, then the principles return to have the same weight."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T52088
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Partahi Gabe Uli
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai penerapan Pertanggungjawaban Negara atas kebakaran hutan di Kota Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya Nomor 118/Pdt.G/LH/2016/PN Plk. Pertanggungjawaban Negara atas kebakaran hutan tersebut dikaitkan dengan teori hukum nasional dan hukum internasional. Penelitian ini mengidentifikasi perbedaan Tanggung Jawab Negara State Responsibility dengan Tanggung Gugat Negara State Liability serta menganalisis keterkaitan antara Tanggung Jawab Negara State Responsibility dengan Tanggung Gugat Negara State Liability dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Penelitian ini juga mengidentifikasi dan menganalisis perihal penerapan Tanggung Jawab Negara State Responsibility dan Tanggung Gugat Negara State Liability dalam kasus kebakaran hutan dan lahan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya Nomor 118/Pdt.G/Lh/2016/Pn Plk.

ABSTRACT
This research discusses the application of State Responsibility law during the forest fire in Palangka Raya City of the Kalimantan Tengah Province based on the Decision of the Palangka Raya District Court Number 118 Pdt.G LH 2016 PN Plk. The state rsquo s responsibility for forest fire is related to the theory of national and international law. This research identifies not only the differences between State Responsibility and State Liability but also analyzes the connection between the two in the scope of land and forest fire. It also identifies and analyzes the state responsibility and state liability in land and forest fire based on the Decision of the Palangka Raya District Court Number 118 Pdt.G LH 2016 PN Plk. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T52086
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gilang Widia
"Pasca berlakunya Pasal 97B Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memberikan legalitas atas pelaksanaan pemanfaatan teknologi informasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang tentunya diharapkan dapat memperbaiki kualitas peraturan di Indonesia. Kementerian Keuangan selaku salah satu kementerian yang memprakarsai suatu peraturan, meresponnya dengan menerbitkan aturan yang mengakomodir mengenai pembentukan peraturan menteri secara elektronik dan membangun sistem yang digunakan untuk memproses pembentukan peraturan menteri secara elektronik. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang perlu diteliti lebih lanjut adalah bagaimana implementasi pemanfaatan teknologi informasi dalam pembentukan peraturan menteri (e-government) di Kementerian Keuangan serta bagaimana pemanfaatan teknologi informasi dalam pembentukan peraturan menteri (e-government) di Kementerian Keuangan guna mewujudkan good governance? Dengan menggunakan metode penelitian hukum doktrinal diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi informasi dalam pembentukan Peraturan Menteri (e-government) di Kementerian Keuangan telah tersedia meliputi seluruh tahapan pembentukan peraturan, namun demikian terdapat hambatan dalam implementasinya. Pemanfaatan teknologi informasi dalam pembentukan Peraturan Menteri sebagai penerapan e-government perlu dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance sehingga cita-cita besar bangsa untuk mewujudkan tujuan nasional dapat tercapai.

After the enactment of Article 97B of Law Number 13 of 2022 concerning the Second Amendment to Law Number 12 of 2011 concerning the Formation of Legislative Regulations, it provides legality for the implementation of the use of information technology in the formation of statutory regulations which is of course expected to improve the quality of regulations in Indonesia. The Ministry of Finance, as one of the ministries that initiated a regulation, responded by issuing regulations that accommodate the formation of electronic ministerial regulations and building a system used to process the formation of ministerial regulations electronically. Based on this, the problem that needs further research is how to implement the use of information technology in the formation of ministerial regulations (e-government) in the Ministry of Finance and how to use information technology in the formation of ministerial regulations (e-government) in the Ministry of Finance in order to realize good governance? By using the doctrinal legal research method, results were obtained which showed that the use of information technology in the formation of Ministerial Regulations (e-government) in the Ministry of Finance was available covering all stages of regulation formation, however there were obstacles in its implementation. The use of information technology in the formation of Ministerial Regulations as an implementation of e-government needs to be carried out by applying the principles of good governance so that the nation's great aspirations to realize national goals can be achieved."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Surianti Sutomy
"Pengaturan cuti dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang tidak secara jelas diatur menunjukan keberadaan undang-undang tersebut tidak mengatur mengenai cuti, terlebih pengaturannya justru masih menginduk pada undang-undang sebelumnya. Hal tersebut pula menunjukan adanya kelemahan dalam UU ASN. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketiadaan pengaturan cuti dalam UU ASN berkaitan dengan hak kepegawaian, serta menganalisis pelaksanaan ketentuan cuti dengan ketiadaan pengaturan dalam UU ASN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan fenomena yang melekat permasalahan. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk menjawab permasalahan hukum dengan pendekatan atas norma atau kaidah yang didalamnya juga termasuk juga peraturan perundang-undangan. Penelitian bersifat deskriptif analisis dengan analisis menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketiadaan pengaturan cuti dalam UU ASN yang secara formal tidak mendapat pengaturan mengenai cuti dan hanya mengaitkan keberadaan cuti dengan alasan yuridis keberadaan Pasal 75, yang menyatakan keberadaan aturan yang terdapat dalam UU ASN beserta aturan turunannya. Hasil lain dari penelitian ini adalah cuti adalah sebuh hak yang pelaksanaannya harus diatur dalam undang-undang ASN. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah tidaklah benar ketiadaan cuti dalam UU ASN, serta ketiadaan tersebut akan menghilangkan kepastian hukum.

The regulation of leave in Law Number 20 of 2023 concerning the State Civil Apparatus (UU ASN) which is not clearly regulated shows that the existence of the Law does not regulate leave, moreover the regulation is still subordinate to the previous law. This also shows weaknesses in the ASN Law. This study aims to analyze the absence of leave regulations in the ASN Law relating to employee rights, as well as to analyze the implementation of leave provisions with the absence of regulations in the ASN Law. This research is a descriptive study, namely describing the phenomenon that is inherent in the problem. A normative legal approach is carried out to answer legal problems with an approach to norms or rules which also include laws and regulations. The research is descriptive analysis with analysis using qualitative methods. The results of the study show that the absence of leave regulations in the ASN Law which formally does not receive regulations regarding leave and only links the existence of leave with the legal reasons for the existence of Article 75, which states the existence of regulations contained in the ASN Law and its derivative regulations. Another result of this study is that leave is a right whose implementation must be regulated in the ASN law. The conclusion in this study is that it is not true that there is no leave in the ASN Law, and its absence will eliminate legal certainty."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qurrota A`Yuni
"Pengelolaan dana haji di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan, yang semula dikelola oleh Kementerian Agama beralih di kelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji. Penelitian ini akan mengkaji tentang penataan kelembagaan berdasarkan prinsip good governance, perbandingan Kelembagaan pengelolaan dana haji pada Kementerian Agama dan Badan pengelola Keuangan Haji, serta penerapan good governance dalam pengelolaan dana haji. Bentuk penelitian ini adalah penelitian doktrinal. Hasil penelitian adalah Kemandirian lembaga pengelola dana haji merupakan aspek penting dalam memastikan pengelolaan dana yang efektif, efisien, dan transparan. Untuk mencapai kemandirian ini, lembaga harus memperhatikan prinsip-prinsip good governance. Secara keseluruhan perubahan pengelolaan dana haji menjadi di bawah Badan Pengelolaan Keuangan Haji sangat diperlukan untuk memastikan pengelolaan yang lebih efektif, efisien, transparan dan akuntabel dengan tujuan memberikan manfaat yang optimal bagi para calon Jemaah haji dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pengeloaan dana haji. Dalam praktiknya, pengelolaan dana haji oleh Badan Pengelola Keuangan Haji menunjukan peningkatan nilai manfaat yang lebih dibandingakan dengan pengelolaan oleh Kementerian Agama dengan implementasi prinsip good governance dan akuntabilitas yang lebih ketat dan efisien.

The management of Hajj funds in Indonesia has undergone several changes, transitioning from being managed by the Ministry of Religious Affairs to being handled by the Hajj Fund Management Agency (BPKH). This study examines institutional arrangements based on the principles of good governance, comparing the institutional management of Hajj funds under the Ministry of Religious Affairs and the Hajj Financial Management Agency, and the implementation of good governance in Hajj fund management. The form of this research is doctrinal research. The findings indicate that the independence of the Hajj fund management institution is crucial to ensuring effective, efficient, and transparent fund management. To achieve this independence, the institution must adhere to good governance principles. Overall, the change in Hajj fund management to the Hajj Fund Management Agency is necessary to ensure more effective, efficient, transparent, and accountable management, with the goal of providing optimal benefits to prospective Hajj pilgrims and increasing public trust in Hajj fund management. In practice, the management of Hajj funds by the Hajj Fund Management Agency has shown an increase in benefits compared to management by the Ministry of Religious Affairs, with the implementation of stricter and more efficient good governance and accountability principles."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Prasetyawan
"Pelaksanaan kewajiban divestasi saham sebesar 51% bagi pemegang izin usaha di bidang pertambangan mineral dan Batubara yang sahamnya dimiliki asing kepada Peserta Indonesia yakni Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD serta Badan Usaha swata secara berjenjang  merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) beserta peraturan pelaksanaannya.  Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pelaksanaan Divestasi saham juga diwajibkan bagi pemegang kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan Batubara yang berlaku sebelum rezim izin berlaku sesuai dengan UU Minerba. Sebagai salah satu contoh yaitu pelaksanaan divestasi saham PT Vale Indonesia yang merupakan pemegang Kontrak Karya Tahun 1968 dan terakhir diamandemen pada Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa Divestasi Saham PT Vale Indonesia kepada peserta Indonesia hanya sebesar 40%. Perbedaan antara keberlakuan pelaksanaan divestasi saham PT Vale Indonesia dalam kontrak karya dengan UU Minerba tentu harus dipertimbangkan beberapa asas yakni asas kebebasan berkontrak dalam kontrak karya yang telah ada sebelum UU Minerba berlaku sesuai Pasal 1338 KUH Perdata, serta asas hak menguasai negara atas sumber daya alam yang terkandung di Indonesia dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Adapun ketentuan pelaksanaan divestasi saham PT Vale Indonesia dalam kontrak karya merupakan salah satu pertimbangan bagi Pemerintah untuk dapat memberikan perpanjangan Kontrak Karya menjadi IUPK Sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, namun demikian dalam UU Minerba maupun peraturan pelaksanaannya pelaksanaan divestasi bukanlah persyaratan untuk dapat diberikannya perpanjangan kontrak menjadi IUPK Sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian.

Implementation of the obligation to share divestment of 51% for business license holders in the mineral and coal mining sector whose shares are owned by foreigners to Indonesian Participants namely the Central Government, Regional Government, BUMN, BUMD and private business entities in stages is an obligation that must be implemented in accordance with Article 112 Law Number 3 of 2020 concerning amendments to Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal mining (UU Minerba) and its implementing regulations. This article was prepared using doctrinal research methods. Implementation of share divestment is also mandatory for holders of work contracts or coal mining business work agreements that were in effect before the permit regime came into effect in accordance with the Minerba Law. As one example, namely the implementation of the divestment of shares in PT Vale Indonesia, which is the holder of the 1968 Contract of Work and was last amended in 2014, which stated that the divestment of PT Vale Indonesia shares to Indonesian participants was only 40%. The difference between the implementation of PT Vale Indonesia's share divestment in a work contract and the Minerba Law must of course take into account several principles, namely the principle of freedom of contract in the work contract which existed before the Minerba Law came into force in accordance with Article 1338 of the Civil Code, as well as the principle of the state's right to control over natural resources. contained in Indonesia are controlled by the state and utilized for the greatest prosperity of the people in accordance with Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. The provisions for implementing the divestment of PT Vale Indonesia shares in the work contract are one of the considerations for the Government to be able to grant an extension of the Work Contract to become an IUPK As a Continuation of Contract/Agreement Operations, however, in the Minerba Law and its implementing regulations, the implementation of divestment is not a requirement for a contract extension to become an IUPK as a Continuation of Contract/Agreement Operations."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Candra Budi Utama
"Tulisan ini menganalisis bagaimana pelindungan yang diberikan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang melaksanakan kewajiban melaporkan pelanggaran atau tindak pidana korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal serta pendekatan perbandingan ketentuan jaminan pelindungan whistleblower berstatus pegawai negeri di negara lain yaitu Korea Selatan, Ghana, Malaysia dan Amerika Serikat dengan mengambil best practices bentuk pelindungan yang disediakan oleh negara tersebut. PNS yang melaksanakan kewajiban melaporkan pelanggaran atau tindak pidana korupsi telah diatur ketentuan pelindungan kerahasiaan identitas dan materi laporan, pelindungan hukum, pelindungan fisik, penghargaan, akan tetapi PNS yang mengalami tindakan pembalasan terhadap pekerjaannya dikarenakan mengungkap tindak pidana korupsi tidak terdapat ketentuan pelindungannya. Dalam praktiknya PNS yang melaporkan tindak pidana korupsi ke KPK memang dilindungi kerahasiaan identitas dan materi laporan, hukum, fisik dan diberikan penghargaan. Namun PNS yang mengalami tindakan pembalasan terhadap pekerjaannya harus berupaya sendiri untuk memulihkan pekerjaannya melalui mekanisme upaya administratif kepegawaian dikarenakan tidak terdapat ketentuan pelindungan tindakan pembalasan terhadap pekerjaan bagi whistleblower yang berstatus PNS. Adapun di Korea Selatan, Ghana, Malaysia dan Amerika Serikat memiliki pengaturan pelindungan whistleblower berstatus public official atas tindakan pembalasan atau tindakan merugikan terhadap pekerjaannya melengkapi pelindungan kerahasiaan identitas dan materi laporan, pelindungan hukum, pelindungan fisik dan penghargaan. Dalam praktiknya pelindungan tindakan pembalasan terhadap pekerjaan bagi whistleblower berstatus PNS sangat dibutuhkan agar terbentuk jaminan pelindungan menyeluruh sebagaimana semangat yang terdapat dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)

This paper analyzes how protection is provided for Civil Apparatus (PNS) who carry out the obligation to report violations or corruption crimes of the Corruption Eradication Commission (KPK). By using doctrinal research methods and a comparative approach to the provisions of the guarantee of protection for whistleblowers with civil apparatus status in other countries, namely South Korea, Ghana, Malaysia and the United States by taking best practices in the form of protection provided by the country. PNS who carry out the obligation to report violations or corruption crimes have been regulated by provisions on the protection of the confidentiality of identity and report materials, legal protection, physical protection, awards, however, PNS who experience retaliation against their work due to exposing corruption crimes do not have any protection provisions. In practice, PNS who report corruption crimes to the KPK are indeed protected by the confidentiality of their identity and report materials, legal, physical and are given awards. However, PNS who experience retaliation against their work must make their own efforts to restore their jobs through the mechanism of administrative efforts for employees because there are no provisions on the protection of retaliation against work for whistleblowers with civil apparatus (PNS) status. Meanwhile, in South Korea, Ghana, Malaysia and the United States, there are regulations for protecting whistleblowers with public official status from retaliation or detrimental actions against their work, complementing the protection of confidentiality of identity and report materials, legal protection, physical protection and awards. In practice, protection of retaliation against work for whistleblowers with civil apparatus (PNS) status is very much needed in order to form a comprehensive protection guarantee as stated in the spirit of the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Muhammad Adli Az
"Penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik di Indonesia sangat penting bagi pelaku usaha tambang agar seluruh proses penambangan yang dimulai dari kegiatan eksplorasi, eksploitasi, pengolahan mineral, reklamasi dan pascatambang dapat dilaksanakan sesuai dengan standar, norma dan regulasi yang berlaku. Penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik bertujuan untuk mendukung kegiatan penambangan yang selalu menjaga kelestarian lingkungan, menjamin keselamatan makhluk hidup sekitar area tambang dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses penambangan untuk memperoleh manfaat yang optimal dengan meminimalisir dampak negatif dan kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang. Penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik terdiri dari lima aspek yaitu aspek teknis pertambangan, konservasi mineral, pengelolaan lingkungan, keselamatan pertambangan dan usaha jasa pertambangan yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan untuk mendukung kegiatan operasional tambang. Pelanggaran yang masih sering terjadi pada area operasi tambang disebabkan tidak optimalnya pengawasan internal perusahaan dan kurangnya audit lapangan yang dilakukan oleh instansi berwenang sehingga memberikan kesempatan kepada beberapa oknum pelaku usaha tambang untuk tidak taat dan patuh kepada ketentuan regulasi yang berlaku sehingga mengakibatkan terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan dan meningkatnya resiko operasi yang dapat membahayakan keselamatan pekerja tambang. Pemerintah Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam melakukan fungsi pengawasan dan pemberian sanksi tegas kepada para pelaku usaha tambang yang tidak bertanggung jawab sehingga dapat menjadi pelajaran yang dapat menumbuhkan keasadaran bagi seluruh pelaku usaha tambang untuk selalu disiplin dan taat dalam menjaga kelestarian lingkungan dan keselamatan kerja.

The implementation of good mining practice in Indonesia is very important to support mining business actors so that the entire mining process starting from exploration, exploitation, mineral processing, reclamation and post-mining activities can be carried out in accordance with applicable standards, norms and regulations. The implementation of good mining practice aims to support mining activities that always maintain environmental sustainability, ensure the safety of organism around the mining area and increase the efficiency and effectiveness of the mining process to obtain optimal benefits by minimizing negative impacts and environmental damage due to mining activities. The implementation of good mining practice consists of five aspects namely mining technical aspects, mineral conservation, environmental management, mining safety and mining service businesses which must always be fulfilled and implemented to support mining operational activities. Violations that still frequently occur in mining operations areas are due to non-optimal internal company supervision and lack of field audits carried out by authorized agencies, thus giving several mining business actors the opportunity to disobey and not comply with applicable regulatory provisions, resulting in environmental pollution or damage and increasing operational risks that could endanger the safety of the mine workers. The Indonesian government has a very important role in carrying out supervisory functions and providing strict sanctions to irresponsible mining business actors so that it can be a lesson learned that can raise awareness for all mining business actors to always be disciplined and obedient in maintaining environmental sustainability and work safety."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>