Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sayidin Abdullah
"Keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO) membawa konsekuensi hukum tersendiri, berupa kewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan kesepakatan-kesepakatan WTO, termasuk didalamnya yaitu Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs) dan General Agreement on Trade in Services (GATS). Pembentukan peraturan nasional di bidang penanaman modal, serta pertambangan bidang batubara, selain tidak dibenarkan bertentangan dengan prinsip-prinsip perdagangan internasional yang terkait dengan penanaman modal yaitu National Treatment dan Most Favour Nations, juga tidak boleh bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi dalam Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, untuk keperluan penyesuaian ini, perlu diteliti bagaimanakah kesesuaian prinsip-prinsip perdagangan internasional dengan prinsip perlakuan sama dalam ketentuan penanaman modal asing (PMA) di bidang pertambangan batubara, serta bagaimanakah pengaturan kebijakan dan hukum PMA bidang batubara diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yang bersifat deskriptifanalisis, analisa data dengan pendekatan bersifat kualitatif yaitu menguraikan dan menganalisa mengenai pengaturan hukum nasional penanaman modal asing di bidang batubara. Data yang digunakan adalah data sekunder dengan alat pengumpulan data berupa studi dokumen atau bahan pustaka, yang didukung dengan wawancara kepada narasumber pada Dirjen Pertambangan Batubara, BKPM dan PT. KPC Kutai Timur.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa di satu sisi Indonesia telah menyesuaikan pengaturan PMA dalam bidang batubara, yakni UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara dengan prinsip-prinsip GATT/WTO mengenai national treatment dan most favour nations. Demikian pula penerapan demokrasi ekonomi dalam UU No. 4 Tahun 2009, ini telah diterapkan cukup baik melalui pengaturan kewajiban menjaga kedaulatan negara atas pengelolaan dan pengusahaan sumber daya alam. Pemerintah sebagai badan publik sudah tidak lagi bersanding sejajar secara perdata dengan pelaku usaha di dalam kontrak pertambangan.
Namun di lain sisi, sesungguhnya UU tersebut telah bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi, karena demokrasi ekonomi menghendaki terpenuhinya hak-hak dasar setiap individu tanpa kecuali, sedangkan ketentuan liberalisasi perdagangan WTO dilandasi oleh pemikiran kapitalisme membatasi hak-hak dasar individu dan hanya mereka yang mampu bersaing dapat menikmati keuntungan dari perdagangan internasional tersebut.

Indonesia's participation as a member of the World Trade Organization (WTO) legal consequences of its own, such as the obligation to adjust its national legislation with WTO agreements, including the Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs) and the General Agreement on Trade in Services (GATS). Establishment of national regulations in the field of investment, as well as coal mining areas, besides not justified contrary to the principles of international trade-related investment that National Treatment and Most Favour Nations, also must not conflict with the principles of economic democracy in Article 33 of the 1945 Constitution. Therefore, for the purposes of this adjustment, need to be investigated how the suitability of the principles of international trade with the principle of equal treatment in terms of foreign direct investment (FDI) in the mining of coal, and how policies and legal arrangements FDI coal fields stipulated in legislation Indonesia.
This study uses normative research, descriptive analysis, data analysis with a qualitative approach that describes and analyzes the law setting national foreign investment in the coal fields. The data used are secondary data by means of data collection in the form of study or reference documents, supported by interviews with speakers at the Directorate General of Coal Mining, the Investment Coordinating Agency (BKPM) and PT. KPC East Kutai.
Based on the results of this study concluded that on the one hand have to adjust the settings Indonesia FDI in the coal fields, namely Law No. 25 of 2007 on Investment and Law No. 4 of 2009 on Mineral and Coal with the principles of GATT / WTO on national treatment and most favor nations. Similarly, the application of economic democracy in Law No. 4 of 2009, it has been applied quite well through setting an obligation to maintain the sovereignty of the state over the management and utilization of natural resources. Government as a public entity is no longer a civil biting parallel with businesses in the mining contract.
But on the other hand, the Act actually been contrary to the principles of economic democracy, because democracy requires the fulfillment of the economic fundamental rights of every individual without exception, while the provisions of the WTO trade liberalization based on the ideas of capitalism restrict the basic rights of individuals and only those who are able to compete can enjoy the benefits of international trade provisions contained in the WTO.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35314
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiesnawati Wahyuningsih
"Tesis ini membahas mengenai penerapan Pasal 2.1 dan Pasal 2.2 TBT Agreement sebagai acuan dalam penyelesaian sengketa antarnegara, yaitu Indonesia dengan kasus Sale of Clove Cigarettes, Tuna and Tuna Products, dan Certain Country of Origin Labelling. Klaim Indonesia kepada Amerika Serikat tidak ditanggapi, karena AS menggunakan isu kesehatan melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) untuk menghambat perdagangan rokok beraroma dalam negerinya. Sedangkan dalam kasus Tuna and Tuna Products, Meksiko mengajukan klaim kepada AS yang telah melakukan embargo terhadap tuna asal Meksiko. Disini AS menggunakan isu lingkungan melalui Marine Mammal Protection Act 1972 (MMPA) dengan label dolphin-safe. Kasus yang terakhir, Certain Country of Origin Labeling Requirement dengan Kanada. Dalam kasus ini AS menggunakan isu asal barang dengan aturan Rules of Origin yang mewajibkan negara pengekspor mencantumkan informasi komoditi dan asal barang. Terhadap ketiga kasus tersebut Amerika dianggap melanggar Pasal 2.1 dan Pasal 2.2 TBT Agreement sebagai klaim utama para anggota WTO.

This thesis discusses about the application of Article 2.1 and Article 2.2 TBT Agreement as a reference in the resolution of the disputes between countries about Sale of Clove Cigarettes (Indonesia?s case), Tuna and Tuna Products (Mexico?s case), and Certain Country of Origin Labelling (Canada?s case). United States did not respond to Indonesia's claim because the U.S. uses health issues based on Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) to restrain flavored cigarettes trading. In the case of Tuna and Tuna Products, Mexico filed a claim to the U.S. about embargo that has made to counter the tuna from Mexico. In this case, the U.S. using environmental issues based on Marine Mammal Protection Act (MMPA) 1972 about the dolphin-safe label. The last case is about The Origin Labeling Requirements. In this case the U.S. using the rules about Rules of Origin which requires exporting countries for attaching the label information about the origin of goods and commodities. Against these cases, the U.S considered to violate Article 2.1 and Article 2.2 TBT Agreement as the main claims of the members of the WTO."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35299
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Stephanie Rebecca Magdalena R.
"Hukum intenasional tidak mengatur sejauh mana batasan norma terhadap kegiatan intelijen yang dapat dilakukan dalam hubungan antar negara. Tidak adanya pengaturan spionase di masa damai dalam hukum internasional, dimaksudkan untuk menjaga stabilitas politik dan kerjasama dalam hubungan antarnegara. Spionase merupakan kebutuhan bagi pertahanan negara untuk membela diri dari bahaya sekecil apapun yang mungkin datang. Penelitian ini menyarankan agar Pemerintah Indonesia memperkuat kemampuan intelijennya untuk mendukung negara dalam setiap kerjasama internasional dan pemberantasan kejahatan transnasional.

International law does not regulate the norm limit the extent to which intelligence activities to do in the relations between states. This lack of regulation of espionage in peacetime international law, intended to maintain political stability and cooperation in the relations between states. Espionage is a necessity for national defense to defend themselves from the slightest danger that might come up. This study recommends that the Government of Indonesia to strengthen its intelligence capabilities to support the country in any international cooperation and combating transnational crime.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T41377
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Gita Agnestasia
"Wartawan yang berada di wilayah konflik bersenjata internasional memegang peranan penting, yaitu untuk menyampaikan informasi kepada dunia mengenai peristiwa yang terjadi dalam konflik langsung dari tempat kejadian. Namun dalam melaksanakan pekerjaan mereka tersebut, wartawan dan pekerja media yang melakukan liputan di wilayah konflik bersenjata internasional seringkali menghadapi berbagai resiko berbahaya. Mereka dapat menjadi korban dalam serangan militer ataupun tindakan kekerasan lainnya. Skripsi ini akan membahas mengenai perlindungan yang diberikan terhadap wartawan dalam konflik bersenjata internasional berdasarkan hukum humaniter internasional serta penerapannya. Wartawan yang berada dalam wilayah konflik bersenjata internasional memperoleh perlindungan sebagai warga sipil. Hukum humaniter internasional memberikan perlindungan bagi wartawan dalam konflik bersenjata internasional ke dalam dua konsepsi. Pertama, perlindungan terhadap wartawan perang (war correspondents) dalam Pasal 4A ayat (4) Geneva Convention III 1949, relative to the Treatment of Prisoners of War, yang kedua, perlindungan terhadap wartawan yang melaksanakan misi-misi profesional yang berbahaya dalam Pasal 79 Additional Protocol I 1977. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dimana sumber data diperoleh dari data sekunder dan dianalisis secara kualitatif.

Journalists covering an international armed conflict play an important role, as they are the one who can be on the spot to look for information and communicate it to the public.Journalists covering armed conflicts have always had to face dangerous situations, they are exposed to the phyisical danger of war, they can be the victims of the direct effects of hostilities and arbitrary acts. The aim of this thesis to elucidate the legal protection granted to journalists in international armed conflict according to international humanitarian law. International humanitarian law gives protection to journalists in two different ways. First, the Third Geneva Conventions relative to the Treatment of Prisoners of Wars covers war correspondents. Secondly, th 1977 Additional Protocol I to the Geneva Conventions delas specifically with journalists engaged in dangerous professionaal missions in areas of armed conflict. Both treaties apply to international armed conflicts. A journalist covering an international armed conflict is considered a civilian, therefore an attack toward journalist in armed conflict is a grave breach.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S26225
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andries Yody Ravelino Maramis
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S26219
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Samosir, Neyni
Depok: Universitas Indonesia, 2010
S26259
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rininta Dewi Saraswati
"Penelitian ini membahas mengenai kedudukan Genetically Modified Organism (GMO) di dalam perdagangan internasional. Pembahasan akan mengkaji mengenai GMO di dalam perjanjian-perjanjian internasional secara umum maupun secara khusus di dalam perjanjian-perjanjian mengenai perdagangan internasional. Pada khususnya akan dibahas mengenai status perdagangan produk GMO di WTO dengan mengacu pada perjanjian-perjanjian WTO dan sengketa mengenai produk GMO yang pernah diajukan ke Dispute Settlement Body WTO.
Selanjutnya, dianalisis mengenai dampak dari penyelesaian sengketa di DSB WTO tersebut terhadap perdagangan produk GMO. Sengketa EC-Biotech (WTO 2006) memiliki dampak terkait penerapan prinsip kehati-hatian dalam upaya perlindungan terkait dengan produk GMO dan kebijakan mengenai perdagangan produk GMO.

This research examines the position of Genetically Modified Organism (GMO) in international trade. The study will examine about GMO in general in international treaties and specifically in international treaties of international trade. The trade status of GMO will be specifically discussed in accordance with the agreements of the WTO and the case made before the WTO Dispute Settlement Body.
Furthermore, the implications of the case in the WTO Dispute Settlement Body towards trade of GMO products are also analysed. The EC-Biotech Case (WTO 2006) has implications towards the application of the precautionary principle in relation with protection measures of GMO products and in trade policies involving GMO products.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S26274
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Hanum Ariana
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S26267
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Stephanie Johana
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S26255
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alifia Qonita Sudharto
"Hak untuk hidup dalam hukum internasional merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional, yang kemudian dimasukkan ke dalam Pasal 6 International Covenant on Civil and Political Rights, Pasal 2 Charter of Fundamental Rights of the European Union, dan Pasal 4 American Convention on Human Rights. Ketiga instrumen hak asasi manusia internasional tersebut menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup. Namun, Swiss, Belanda, Indonesia, dan Oregon, Amerika Serikat memiliki peraturan perundang- undangan yang memperbolehkan dilaksanakannya sebuah tindakan yang dapat menyebabkan seseorang meninggal dunia, yaitu hukuman mati, eutanasia, dan aborsi. Perdebatan bermunculan terkait apakah ketiga tindakan tersebut dapat berlaku berdampingan dengan perlindungan hak untuk hidup, atau ketiga tindakan tersebut merupakan pelanggaran perlindungan hak untuk hidup yang diamanatkan hukum internasional.
Right to life in international human rights is a part of customary international law, which was subsequently incorporated in Article 6 of the International Covenant on Civil and Political Rights, Article 2 of the Charter of Fundamental Rights of the European Union, and Article 4 of the American Convention on Human Rights. These international instruments of human rights declared that every person has right to life. However, the Swiss Confederation, the Kingdom of the Netherlands, the Republic of Indonesia and the State of Oregon in the United States of America have specific legislation which consent to the performance of actions which may cause the death of an individual, such as the death penalty, euthanasia, and abortion. It is still a debate whether those actions may be performed in line with the protection of right to life, or those actions are forms of violation of the protection of right to life as mandated by international law."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S577
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>