Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sutan Sorik
"Pasal 22D ayat (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 menempatkan konstruksi relasi DPR dengan DPD terkait Pengawasan atas APBN tidak berimbang. Kewenangan DPD yang diberikan sangat lemah, menempatkan DPD hanya sebagai supporting system bagi DPR di Parlemen. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi perbandingan hukum dan perundang-undangan, bentuk hasil penelitian bersifat preskriptif-analitis. Hasil penelitian menemukan kewenangan formal yang dimiliki DPD dengan DPR tidak sesuai dengan teori bikameralisme dan konsep fungsi pengawasan parlemen. Secara teori bikameralisme dan konsep fungsi pengawasan parlemen, DPD yang memiliki legitimasi tinggi seharusnya memiliki kedudukan dan kewenangan pengawasan atas APBN setara dengan DPR baik secara ex ante maupun ex post. Berdasarkan perbandingan hukum yang dilakukan dengan enam negara, menempatkan kamar kedua baik secara pengawasan ex ante mapun ex post ikut terlibat dalam pengawasan APBN. Kedepan, DPR dan DPD seharusnya mempunyai kedudukan, kewenangan, serta hubungan yang setara. Langkah penguatan yang dapat ditempuh, melakukan perubahan Pasal 22D ayat (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 atau yang lebih praktis adalah dengan membentuk tata tertib hubungan kerja antara DPR dan DPD terkait pengawasan atas APBN yang memungkinkan DPD dapat terlibat dengan baik.

Article 22D paragraphs (2) and (3) and Article 23 paragraphs (2) and (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia place the construction of the relationship between the DPR and the DPD regarding Supervision of the APBN as unequal. The authority of the DPD given is very weak, placing the DPD only as a supporting system for the DPR in Parliament. This research uses a comparative study approach of law and legislation, the form of research results is prescriptive-analytical. The results of the study found that formal authority the DPD has with the DPR are not in accordance with the theory of bicameralism and the concept of the parliamentary oversight function. In theory, bicameralism and the concept of parliamentary oversight function, a DPD that has high legitimacy should have the position and authority to supervise the APBN on a par with the DPR, both ex ante and ex post. Based on legal comparisons conducted with six countries, placing the second chamber both in ex ante and ex post supervision is involved in APBN supervision. In the future, the DPR and DPD should have equal position, authority and relationship. Strengthening steps that can be taken, amending Article 22D paragraphs (2) and (3) as well as Article 23 paragraphs (2) and (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia or more practically is to form an orderly working relationship between the DPR and DPD regarding supervision over APBN which allows the DPD to be involved properly."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rusdi
"ABSTRAK
Kebebasan berekspresi yang terjadi akhir-akhir ini perkembangannya boleh dikatakan sangat memprihatikan. Norma-norma atau aturan yang dibuat dalam Deklarasi umum tentang hak asasi manusia dan aturan pendukung lainnya menjadi tidak begitu efektif, khususnya yang menyangkut kebebasan berekspresi yang berkaitan dengan agama.
Tujuan dari penelitian adalah mengetahui tentang pengaturan kebebasan berekspresi menurut Hukum Islam dan Hukum Hak Aassi Manusia Internasilan dan mengetahui konstelasi hak atas kebebasan berekspresi dalam hubungannya dengan kepercayaan dan keyakinan beragama. Metodelogi yang digunakan bersifat yuridis normatif, sedangkan pengumpulan data menggunakan metode kepustakaan, selanjutnya data diolah dengan metode kwalitatif.
Dari penelitian ini didapatkan data atau pengetahuan tentang ketentuan dan pengaturan tentang kebebasan berekspresi, baik menurut Hukum Islam dan Hukum Hak Asasi Manusia InternasionalHasil dari penelitian ini adalah ketentuan kebebasan berekspresi menurut Hukum Islam dan Hakum Hak Asasi Manusia Internasional sangatlah berbeda, disatu sisi menganut faham partikularisme di sisi lain menganut faham universalisme. Konstelasi yang berkembang dinegara Islam dan barat menunjukkan bahwa Universalisme dan partikularisme boleh dikatakan belum menunjukkan perkembangan yang signifikan.

ABSTRACT
Nowadays The Freedom of Expression to be more concern. The norms and rules which are made under The Universal Declaration of Human Rights and other supporting rules is not effectivly applied, particularly the Freedom of Expression which related to religion,
The purpose of this research is to know about setting freedom of expression according to Islamic Law and International Human Rights Law and find the constellation right to freedom of expression in relation to beliefs and religious beliefs. This research use normatif yuridis methodology, and data is collected using library research method. The data collected is then analyzed with qualitative method. This studi obtain data and knowledge about the rules and regulation about the freedom of expression, according to both Islamic law and International human rights law is significantly diffrerent. One side embrace the particularism and the other side embrace universalim. The envolving constellation in Islamic states and western counties showed tha univarsalim and particularism arguebly has not shown the significant progress."
Universitas Indonesia, 2013
T32698
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriadi
"Politik identitas etnis adalah suatu hal yang sulit untuk dihindari didalam masyarakat, apalagi dalam negara yang multi etnis seperti Indonesia. Politik etnis sendiri sengaja dilancarkan bagi orang-orang tertentu guna mendapatkan dukungan politik terhadap sesame etnisnya. Berkenaan dengan itu, Pasal 6A ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan ketiga dari hasil amandemen mengenai syarat terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, memunculkan konsekwensi politik yang berdamapak member peluang besar bagi etnis tertentu dan menutup kesempatan terpilihnya bagi etnis yang lain menjadi Presiden. Dalam hal ini apabila terjadi pergulatan politik etnis sangat menguntungkan bagietnis mayoritas dan sebaliknya sangat merugikan etnis minoritas. Adapun ketentuan terpilihnya seseorang menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia sesuai ketentuan pasal 6A ayat 3 UUD 1945 adalah memperoleh suara lebih dari 50% dengan sebaran sedikitnya 20% (duapuluh persen) suara disetiap provinsi yang tersebar di lebihdari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia. Dengan menggunakan system pemungutan suaraone man one vote serta syarat terpilih sebagaimana dalam pasal tersebut, maka sudah sangat terang menguntungkan etnis Jawa sebagai etnis mayoritas, pada Pemilu 2009 khusus di pulau Jawa dan Madura saja persentase pemilih etnis Jawa sebesar 59.87% belum termasuk di pulau-pulau lain di Indonesia. Dari uraian diatas penulis berpendapat bahwa untuk menjaga harmoni dalam keragaman etnis bangsa Indonesia, maka seharusnya memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh etnis dalam mencapai puncak kekuasaan politik, yaitu menjadi Presiden Republik Indonesia, dengan cara amandemen UUD 1945 khususnya pasal 6A ayat 3 mengenai sebaran suara 20% diganti menjadi 50%+1setiap provinsi lebih dari ½ (setengah) provinsi di Indonesia.

Ethnic identity politics is a difficult thing to avoid in society, especially in a multi-ethnic country like Indonesia. Ethnic politics itself deliberately waged for certain people to gain political support for one another ethnicity. With regard to that paragraph 3 of Article 6A of the Act of 1945 the results of the third amendment of the amended terms on the election of President and Vice President of Indonesia, raising the political consequences berdamapak provide great opportunities for certain ethnic and closing opportunities for other ethnic election as President. In this case the ethnic political struggle is very beneficial for the ethnic majority and ethnic minorities are otherwise very detrimental. The provisions of the election of a person to be the President and Vice President of Indonesia in accordance with paragraph 3 of Article 6A of the 1945 Constitution was to obtain more than 50% with a spread of at least 20% (twenty percent) vote in every province in more than ½ (half) number of provinces Indonesia. Using a voting system one man one vote and elected terms as in the article, it is very bright as ethnic Javanese favorable majority in the 2009 elections in the island of Java and Madura a percentage turnout of 59.87% Javanese island does not include-other islands in Indonesia. From the description above authors argue that in order to maintain harmony in the ethnic diversity of Indonesia, then it should provide equal opportunities for all ethnic groups to reach the summit of political power, which is to become President of the Republic of Indonesia, by way of amendments to the 1945 Constitution, particularly Article 6A paragraph 3 regarding the distribution of sound 20 % changed to 50% +1 every province more than ½ (half) of the provinces in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33135
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Damayanti
"ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 merupakan perwujudan tanggung jawab negara untuk menjamin adanya persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dan akses terhadap keadilan (access to justice) bagi seluruh warga negara Indonesia, terutama bagi merek ayang miskin dan marginal. Penelitian ini ingin medeskripsikan pengaturan bantuan hukum yang ada UU nomor 16 Tahun 2011 serta bagaimana sinkronisasi dan harmonisasi Undang-Undang ini dengan berbagai peraturan hukum lainnya yang juga mengatur bantuan hukum. Adanya gerakan bantuan hukum struktural dan juga bantuan hukum berbasis pemberdayaan hukum yang selama ini telah dijalankan oleh berbagai pihak di Indonesia akan dijadikan tolak ukur analisadalam penelitian ini apakah Undang-Undang ini telah cukup merefleksikan pelaksanaan bantuan hukum yang telah berjalan selama ini .

ABSTRACT
Act Number 16/2011 ia a manifestation of state responsibility to guarantee that there is equality before the law and access to justice for all Indonesia citizens, primarily for the poor and marginalized groups. This research describe legal arrangements existing in Act Number 16/2012 and how to synchronize and harmonize the Act with other empowerment perspective which have been running by various parties in Indonesia also will be milestone to analize whether this Act had reflected the implementation of legal aid which has been running for long time in Indonesia."
Universitas Indonesia, 2013
T33140
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Paulus Genhard
"
Tesis ini membahas tentang politik hukum lembaga negara dalam
pembuatan peraturan perundangan mengenai Mahkamah Konstitusi demi
mewujudkan cita-cita Negara Hukum dimana salah satu syaratnya adalah
terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab.
Penelitian ini adalah kajian hukum normatif dengan desain deskriptif.
Berdasarkan deskripsi temuan penelitian dan hasil analisisnya dapat
disimpulkan bahwa interaksi politik dalam pembentukan Undang Undang
No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang Undang No. 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa interaksi politik dalam legislasi
undang-undang tersebut mencerminkan demokrasi elitis/oligarkis. Elitisme
legislasi tentu tidak sesuai dengan prinsip dasar demokrasi, nilai dasar
Pancasila, amandemen UUD Tahun 1945, dan keinginan masyarakat. Hasil
penelitian menyarankan agar keadilan substantif dapat tercapai tanpa
mengesampingkan keadilan prosedural serta perlu dilakukan perubahan
berupa perbaikan dalam undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi.

ABSTRACT
This thesis discusses the political laws legislator to creates legislation about The Constitutional Court in order to realize the ideals of the Rule of Law in which one prerequisite is the establishment of an independent judiciary and responsible. The study was a normative legal studies with a descriptive design. Based on the description of research finding and the analysis, it can be concluded that the political interaction in the legislation of regulation No. 8 Tahun 2011 in that political interaction in Regulation legislation reflects the elite/oligarchic democracy. That elitism of Local Regulation legislation is surely not in accordance with the basic principle of democracy, the basic values of Pancasila, 1945 Constitution amendment, and public wish. The results suggested that Justice Substantive justice can be achieved without neglecting the necessary procedural changes in the form of improvements in the law relating to the task of the constitutional court as the guardian of the constitution."
2013
T32530
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Dwianda Rildo
"ABSTRAK
Hak atas tempat tinggal merupakan hak yang wajib dipenuhi oleh negara dan di
dalam konsep negara kesejahteraan, negara turut serta dalam seluruh kegiatan
sosial, politik dan ekonomi dengan tujuan akhir menciptakan kesejahteraan umum
tidak terkecuali kesejahteraan masyarakat dalam hal kebutuhan akan papan.
Negara melalui kebijakannya perlu mengatur tentang pemenuhan hak, atas tempat
tinggal tersebut. Dalam hasil penelitian, antara lain dijelaskan mengenai
kedudukan hak atas tempat tinggal sebagai bagian dari hak asasi manusia, fungsi
negara sehubungan dengan tanggung jawabnya dalam pemenuhan hak atas tempat
tinggal dan analisa atas peraturan perundang-undangan terkait upaya negara untuk
memberikan jaminan hak atas tempat tinggal di Indonesia. Di Indonesia hak atas
tempat tinggal selain sebagai hak asasi juga merupakan hak konstitusional karena
telah dicantumkan di dalam UUD 1945. Pada dasarnya negara telah melakukan
upaya-upaya untuk memenuhi hak atas tempat tinggal, namun masih terdapat
kendala baik dari segi ketentuan di dalam peraturan, penegakkan hukum, ketidak
siapan dari segi kelembagaan maupun hambatan lainnya di lapangan. Oleh karena
itu,untuk menyelesaikan hambatan tersebut, penelitian ini antara lain
menyarankan adanya kesamaan paham dan tujuan antara pemerintah daerah dan
pemerintah pusat dan segera dibentuknya peraturan pelaksana yang diamanatkan
oleh Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman serta Undang-
Undang Rumah Susun, khususnya terkait pengenaan sanksi agar dasar untuk
penegakkan hukum atas kedua undang-undang tersebut menjadi diperkuat.

ABSTRACT
The right to housing is one of human right which has to be fulfilled by the state. In
accordance with the welfare state concept the state is involved in social, political
and economic activities to achieve social welfare with no exception on citizen
housing needs. By its policies and regulations, states need to set up about the
fulfillment of such right. In Indonesia the realization on citizen right to housing
runs into several issues but the state from time to time always seeking to fix such
issues and enhance its role of service. This thesis describes the position of the
right to housing as part of human rights, the state function with respect to its
responsibilities in the realization of the right to housing and analysis of legislation
related to state efforts to guarantee the right to places to stay in Indonesia among
other things. In Indonesia, right to housing is not only considered as a part of
human right but also as a constitutional right which stated in its constitution.
Basicly, Indonesia has put some efforts to satisfy the right to housing, however
there are constraints in terms of policy, law enforcement, institutional issues and
another problems found in practice. Therefore, to solve issues mentioned in this
thesis, this study suggests the achievement of understanding and objectives
between local and central govermnent and the prompt establishment of executive
regulations mandated by Housing Act and Flats Act, specifically related to
imposition of sanctions in order to strenghten the law enforcement."
2014
T39260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widi Megantoro
"Tesis ini membahas tentang Peran Bawaslu dan Dinamika Hubungan
Kelembagaannya Dalam Proses Pengawasan Pemilu Pasca Reformasi di
Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif, pendekatan
dengan menggunakan teori Kedaulatan Rakyat, teori Lembaga Negara, dan teori
Partisipasi. Serta penggunaan konsep-konsep tentang pemilihan umum,
pengawasan pemilu, dan masyarakat. Untuk memperoleh kesimpulan dari tujuan
penelitian hal-hal yang disampaikan adalah meliputi sejarah pengawasan pemilu
di Indonesia, kedudukan dan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
pasca reformasi, mekanisme penyelesaian sengketa, dan dinamika hubungan
kelembagaan Bawaslu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa peran Bawaslu dalam
pengawasan pemilu pasca reformasi menunjukkan hasil yang cukup baik, meski
masih terdapat banyak kekurangan. Kedudukan Bawaslu diperkuat dari yang
semula lembaga adhoc menjadi tetap dan mandiri. Kewenangannya pun ditambah
sebagai penyelesai sengketa pemilu. Dalam praktiknya terjadi dinamika hubungan
kelembagaan Bawaslu, KPU, selaku penyelenggara pemilu dan DKPP sebagai
lembaga yang menegakkan kode etik penyelenggara pemilu. Dinamika hubungan
kelembagaan tersebut mengakibatkan terhambatnya tahapan pemilu dan terjadi
ketidakpastian hukum sebagai akibat putusan DKPP yang menyentuh ranah
tahapan pemilu yang bukan menjadi kewenangannya

ABSTRACT
This Thesis will discuss the Role of BAWASLU and the Dynamic Instituional
Relationship of BAWASLU in the General Election (PEMILU) Monitoring
Process Post- Reform in Indonesia. This paper uses a normative juridical
research method, as well as the Popular Sovereignty theory, State Institutions
theory and Participation theory as approach. Last but not least, concepts related
to General Election, General Election Monitoring and the society is also included
in the research. In order to draw a conclusion from the research objectives, the
points that will be addressed includes the history of General Election Monitoring
in Indonesia, the Position and Authority of BAWASLU Post – Reformasi era, the
General Election Commition (KPU) and the Election Organizers Ethics Council
(DKPP).
Based on the results, the role of BAWASLU in monitoring general election during
post-reform era shows decent results, nothing that improvements are still needed.
The position of BAWASLU is reaffirmed with its transition from and adhoc
institution into and independent and permanent institution. BAWASLU was also
granted authority to settle disputes related to the general election. However, in its
practice, tensions and dynamic institutional relationships among BAWASLU,
KPU and DKPP arises. The dynamic institutional relationship has hindered the
general election process and causes uncertainty due to DKPP’S authority to pass
out a decision outside its original authority and functions."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susilo Yanuardi
"Sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu/DKPP) adalah sebuah dewan etik independen yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan memutuskan ada atau tidaknya dugaan pelanggaran kode etik, berikut memberikan sanksi atau rehabilitasi. Dalam prakteknya, DKPP tidak hanya membuat keputusan terkait dengan etika pelanggaran, sanksi, dan rehabilitasi tetapi juga memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Daerah untuk meninjau ulang atau mengubah Keputusan tentang penetapan peserta pemilukada, sementara kewenangan untuk meninjau ulang atau mengubah susbstansi keputusan tata usaha Negara oleh KPUD adalah Pengadilan Tata Usaha.
Fokus tesis ini adalah pemilihan gubernur di Provinsi Jawa Timur sebagai contoh dimana Putusan DKPP memerintahkan KPUD untuk mengubah keputusan mereka terkait penetapan peserta pemilukada yang sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi peserta pemilukada oleh KPUD. Perintah DKPP semacam ini tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Putusan DKPP tidak mengubah prinsip-prinsip dan mekanisme pengujian sebuah keputusan tata usaha Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang TUN.
Mekanisme penyelesaian sengketa TUN terkait pemilukada di PTUN yang tidak sejalan dengan proses dan tahapan pemilukada telah mengakibatkan DKPP menjadi pilihan bagi calon peserta pemilukada untuk mendapatkan keadilan. Dari sudut pandang penulis, perlu dibentuk suatu mekanisme khusus penyelesaian sengeketa TUN terkait pemilukada di lingkungan peradilan TUN yang sejalan dengan keberadaan, tugas, dan kewenangan DKPP.

In accordance with Law No. 15 Year 2011 on the General Election Implementers, Election Organizers Ethics Council is an independent ethic council that has authority to investigate and decide on complaints of alleged violations of code of conduct,which include sanctions or rehabilitations,committed by election organizers (included in the governor/regional elections). In practice, DKPP not only make decisions related to ethic violations, sanctions, and rehabilitations but also order the election organizers to review and/or change the Regional Election Commission decision. Whereas reviewing and changing KPUD decisions is Administrative Court authority.
This thesis focus on governor election in East Java Province as an example area which DKPP verdict compelled KPUD to alter their decision related to electoral candidates, who previously ruled ineligible, could participate in the election. This mechanism is not in line with Law No. 15 Year 2011. DKPP verdict should not change the principles and mechanisms of test administrationin Administrative Court asstipulatedin Administrative law.
Mechanism of election dispute in PTUN is not in line with election process in the regional level. Therefore, DKPP be a favourable option for election candidates to gain justice. From author perspective, it is necessarry to establish special administrative resolution mechanisms in administrative court which it should be along with the existence of DKPP.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41606
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asyifa Mastura
"

Penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu bagi masyarakat Aceh begitu penting untuk segera dirumuskan dan dilaksanakan. Kepentingan tersebut tidak hanya untuk menjawab hak korban yang mengalami pelanggaran HAM berat ataupun mengadili pelakunya, namun penting untuk menata kembali masa depan masyarakat Aceh. Penelitian ini disusun sebagai penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, sejarah dan perbandingan.  Dengan melihat perspektif sejarah, pengetahuan atau teori yang sudah ada mengenai pelaksanaan kebijakan Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di Provinsi Aceh, hingga saat ini tidak ada kemajuan apapun dalam penaganan kasus pelanggaran HAM di Aceh. Dianulirnya Undang-Undang KKR Tahun 2004 dan penundaan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, membuat Qanun No. 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh tidak jelas keberadaanya. Keberadaan KKR Aceh, hendaknya menjadi solusi dari kekerasan yang panjang sekaligus jalan hukum demi menegakkan keadilan, dimana setiap permasalahan yang dihadapi harus dicarikan solusi bijak, bukan malah menunda-nunda untuk diselesaikan. Presiden sebagai Kepala Negara seharusnya memberikan akan kejelasan terhadap batas waktu Penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa lalu agar terciptanya kepastian hukum bagi para korban pelanggaran HAM berat itu.

 

 


The resolution of past gross human rights violations for the Acehnese people is so important to be formulated and implemented immediately. The importance is not only to answer the rights of victims who experience gross human rights violations or try the perpetrators, but it is important to reorganize the future of the Acehnese people. It is a normative study, using a legal, conceptual, historical, and comparison approach. By looking at the existing historical, knowledge or theoretical perspectives on the implementation of the policy of resolving cases of the gross human rights violations in Aceh Province, until now there has been no progress in handling cases of human rights violations in Aceh. The annulment of the 2004 The Truth and Reconciliation Commission (KKR) Law and the postponement of the establishment of the Truth and Reconciliation Commission make the existence of Qanun (Islamic Bylaw) No. 17 of 2013 concerning KKR Aceh is not clear. The existence of the Aceh KKR should be a solution to long violence as well as a legal way to uphold justice, where every problem faced must be found a wise solution rather than delaying it to be resolved. The President as Head of State should provide clarity on the deadline for completing violations of human rights in the past in order to create legal certainty for victims of gross violations.

"
2019
T52676
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>