Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 130 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rachmad M. Firmansyah
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22609
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Misael Soter Himpal
"Tulisan ini menganalisis bagaimana konsep gugatan sederhana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Pelaksanaan Gugatan Sederhana (Perma TCPGS) No. 2 tahun 2015 jo. Peraturan Mahkamah Agung tentang Perubahan Tata Cara Pelaksanaan Gugatan Sederhana (Perma PTCPGS) no. 4 tahun 2019, khususnya dalam pelaksanaan terhadap sengketa yang berhubungan dengan tanah sebagai objek yang dikecualikan untuk mengajukan gugatan sederhana. Lembaga peradilan diharapkan mampu untuk mengikuti perkembangan ekonomi masyarakat, sehingga Mahkamah Agung membentuk suatu peraturan tentang Gugatan Sederhana sebagai suatu respon atas hal tersebut. Gugatan sederhana berdasarkan Perma TCPGS jo. Perma PTCPGS secara khusus mengecualikan sengketa hak atas tanah dari Gugatan Sederhana, hal ini berlaku untuk gugatan cidera wanprestasi ataupun gugatan perbuatan melawan hukum dan merupakan syarat mutlak supaya suatu gugatan dapat diterima dalam tata cara gugatan sederhana. Namun dalam pelaksanaannya dalam perkara no. 5/Pdt.G.S/2020/PN Bik di Pengadilan Negeri Biak, ditetapkan bahwa gugatan wanprestasi yang diajukan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Kantor Cabang Biak tidak dapat diterima dengan alasan bahwa di dalam perkara tersebut terdapat objek terkait atas barang milik tergugat berupa sebidang tanah. Hal ini dikarenakan ketentuan mengenai sederhana atau tidaknya suatu gugatan serta sederhana atau tidaknya suatu pembuktian dalam Perma TCPGS Jo. PTCPGS belum diatur dengan jelas. Idealnya ditinjau dari tujuan hukum, maka perlu adanya definisi atau acuan mengenai sengketa hak atas tanah yang jelas, ketentuan sederhana tidaknya suatu gugatan yang dibuat secara objektif, ketentuan yang mengharuskan hakim untuk memeriksa pokok perkara cidera janji, serta ketentuan pembuktian sederhana terhadap sengketa yang berkaitan dengan tanah sebagai objek.

This paper analyzes how the concept small claim court is regulated in the Supreme Court Regulation on Procedures for Implementing small claim court (Perma TCPGS) No. 2 of 2015 Jo. Supreme Court Regulation concerning Amendments to Procedures for Implementing small claim court (Perma PTCPGS) no. 4 of 2019, especially in the implementation of disputes related to land as an object that is excluded from filing a small lawsuit. Judicial institutions are expected to be able to follow the economic development of society, so that the Supreme Court forms a regulation regarding small claim court to respond the expectation. Small claim court based on Perma TCPGS Jo. The PTCPGS Perma specifically excludes land rights disputes, this applies to lawsuits for breach of contract or lawsuits for unlawful acts and is an absolute requirement for a lawsuit to be accepted in the small claim court procedure. However, in its implementation in case no. 5/Pdt.G.S/2020/PN Bik at the Biak District Court, it was determined that the breach of contract lawsuit filed by PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Biak Branch Office cannot be accepted on the grounds that in the case there is an object related to the defendant's property in the form of a plot of land. This is due because the rule regarding whether a claim is simple or not and whether the proof is simple or not in Perma TCPGS Jo. Perma PTCPGS have not been clearly regulated. Ideally, in terms of legal objectives, there needs to be a clear definition or reference in Perma TCPGS Jo. Perma PTCPGS regarding land rights disputes, an objective rule on whether or not a claim is small claim, a rule that requires the judge to examine the subject matter of breach of contract, as well as a rule for simple proof related to land as an object."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Rizki
"Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban membawa perubahan baru dalam pemulihan hak-hak korban, khususnya mengenai pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat, terutama Pasal 7 ayat (3) UU No.13 Tahun 2006 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam PP No.44 Tahun 2008. Pengaturan mengenai kompensasi ini sebelumnya telah diatur pula oleh Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, terutama Pasal 35 UU No.26 Tahun 2000 serta diatur lebih lanjut dalam PP No.3 Tahun 2002. Proses peradilan terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat selama ini dilakukan dengan menggunakan UU No.26 Tahun 2000 dan UU No.8 Tahun 1981.
Skripsi ini mengkaji bagaimanakah mekanisme pemberian kompensasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat menurut UU No.26 Tahun 2000 dan PP No.3 Tahun 2002 sebagai peraturan pelaksananya serta menurut UU No.13 Tahun 2006 dan PP No.44 Tahun 2008 sebagai peraturan yang terbaru. Skripsi ini juga akan mengkaji bagaimanakah pelaksanaan pemberian kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM berat yang telah berkekuatan hukum tetap.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan ditambah dengan wawancara dengan narasumber. Dengan adanya ketentuan pemberian kompensasi yang dilakukan secara bertahap, maka akan menghambat pemulihan hak-hak korban terhadap kapan pelaksanaan putusan kompensasi ini akan dijalankan. Berdasarkan uraian dalam skripsi ini ternyata banyak persoalan yuridis yang membuat proses pemberian kompensasi tidak dapat diterapkan secara cepat, tepat dan layak demi perlindungan hak-hak korban.
Problem-problem tersebut muncul karena tidak jelasnya pengaturan mengenai kompensasi serta tidak adanya itikad baik dari negara untuk memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Pelaksanaan pemberian kompensasi bagi korban dalam kasus Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura ternyata tidak satupun yang memberikan kompensasi bagi korban pelanggaran HAM berat di Indonesia, walaupun berbagai upaya hukum telah ditempuh hingga sampai pada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22408
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aida Rosa Meinar
"Penyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial
dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara
dalam pengadilan. Berkaitan dengan masalah pembuktian
maka penelitian ini pada dasarnya ingin mengetahui (1)
Bagaimanakah proses pembuktian dalam Pengadilan
Hubungan Industrial? (2)Kendala-kendala apa yang
dihadapi oleh pihak pekerja dalam mengajukan saksi dan
alat bukti lainnya dalam perkara pemutusan hubungan
kerja? (3)Apakah sistim pembuktian yang digunakan dalam
Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial sudah
melindungi kepentingan pekerja khususnya dalam perkara
pemutusan hubungan kerja? Untuk menjawab permasalahan
tersebut maka telah dilakukan penelitian dengan
menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dari
penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa
proses pembuktian yang digunakan dalam Pengadilan
Hubungan Industrial adalah seperti proses pembuktian
sebagaimana digunakan dalam peradilan umum. Proses
pembuktian ini seringkali menjadi kendala bagi para
pekerja yang mengajukan gugatan ke pengadilan karena
ketidakpahaman terhadap proses pembuktian yang
diterapkan. Untuk itu sistim pembuktian yang digunakan
dalam Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial belum
seluruhnya melindungi kepentingan pekerja khususnya
dalam perkara pemutusan hubungan kerja."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2008
S22415
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
Siagian, Moraldo H.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S22406
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Okta Rini
"Pasal 83 KUHAP yang mengatur mengenai upaya hukum terhadap putusan praperadilan, pada ayat (1) nya menyatakan bahwa terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding sedangkan ayat (2) nya menyatakan bahwa terhadap putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Pada kenyataannya, masih ada putusan praperadilan yang bukan menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan upaya hukum. Hal inilah yang terjadi dalam kasus Lam Yenny Lamengan VS Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya. Melihat kasus ini, maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana pengaturan mengenai upaya hukum terhadap putusan praperadilan di Indonesia menurut peraturan perundang-undangan yang ada serta (2) permasalahan apa yang timbul dalam praktek penerapan praperadilan terkait upaya hukum dikaitkan kasus penerimaan permintaan banding dalam kasus Lam Yenny Lamengan VS Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan metode kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian ini berupa penjabaran mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan praperadilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada dan analisis mengenai permasalahan yang timbul dalam praktek penerapannya dikaitkan dengan kasus Lam Yenny Lamengan VS Kepala Kepolisian Wilayah Besar Kota Surabaya.
Article 83 Code of Criminal Procedure, regulates about the legal remedies against the decision of praperadilan, in paragraph (1) states that the decision of praperadilan cannot be appealed, while in paragraph (2) states that the decision of praperadilan which establish the invalidity of the termination of investigation or prosecution may be requested for the final decision in the High Court of Justice in the jurisdiction concerned. In fact, there is still a decision of praperadilan which not establish the invalidity of the termination of investigation or prosecution proposed for legal remedies such as in the case of Lam Yenny Lamengan vs Head of Surabaya?s Police District. The questions in this research are (1) how the arrangement of legal remedies against the decision of praperadilan according to the regulation that exist in Indonesia and (2) what is the problem that arise from the practical application of praperadilan related to legal remedies in the case of Lam Yenny Lamengan vs Head of Surabaya?s Police District. This research is a normative legal research using literatures and interview. The result in this research is a description of legal remedies that can carried out on the decision of praperadilan based on the regulation that exist in Indonesia and also the analysis of the problem that arise from the practical application of praperadilan related to legal remedies in the case of Lam Yenny Lamengan vs Head of Surabaya?s Police District."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S573
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>