Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahmat Hidayat
"Pola makan modern kaya karbohidrat merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya kandidiasis oral. Namun belum jelas diketahui apakah pertumbuhan C. albicans akan meningkat bila terjadi glukosa dalam medium pertumbuhan. Tujuan: Menganalisis efek penambahan glukosa 1%, 5%, 10% terhadap pertumbuhan C. albicans in vitro. Metode: Isolat C. albicans klinik dari usapan mukosa mulut pasien kandidiasis oral dideteksi pada CHROMagar dan serum. Sebagai pembanding, C. albicans strain ATCC 10231 juga dideteksi dengan cara yang sama. C. albicans yang tumbuh dibiak dalam SDA selama 2 hari, kemudian dikumpulkan dan dibiakkan kembali dalam SDB yang telah ditambah glukosa 1%, 5%, dan 10% selama 3 atau 7 hari pada suhu ruang. Sebagai kontrol adalah C. albicans yang ditumbuhkan dalam SDB tanpa penambahan glukosa. Pertumbuhan C. albicans diukur dengan menghitung CFU/ml C. albicans dalam cawan petri. Uji statistik menggunaka ANOVA dengan a 0.05. Hasil: Setelah 3 hari, pertumbuhan C. albicans isolat klinik 1%, 5%, dan 10% berturut-turut adalah 181.5, 582, dan 811 CFU/ml; sedangkan C. albicans ATCC 10231 adalah 21.5, 177.5, 375.5 CFU/ml. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol yaitu 970 (isolat klinik) dan 957 (ATCC) CFU/ml. Setelah 7 hari diperoleh pertumbuhan C. albicans isolat klinik adalah 2350, 9650, dan 9650 CFU/ml; sedangkan C. albicans ATCC 10231 adalah 5000, 5450, 3550 CFU/ml. Pertumbuhan kelompok kontrol 7 hari adalah 5000 (klinik) dan 5150 (ATCC) CFU/ml. Analisis ANOVA menunjukkan bahwa setelah 3 hari penambahan glukosa 1% menurunkan pertumbuhan C. albicans secara bermakna baik pada isolat klinik maupun strain ATCC 10231 (p < 0,05). Pada kelompok 7 hari penambahan glukosa 5% dan 10% meningkatkan pertumbuhan C. albicans isolat klinik secara bermakna (p < 0,05). Simpulan: Glukosa 5% dan 10% dapat meningkatkan pertumbuhan C. albicans in vitro. Penambahan glukosa 1% dapat menghambat pertumbuhan C. albicans pada durasi 3 hari.

High carbohydrate intake is one predisposing factor of oral andidiasis. Whether glucose addition in medium will increase the growth of Candida albicans is still unclear. Objective: Investigating the effect of 1%, 5%, 10% glucose addition on the growth of C.albicans in vitro. Methods: C. albicans sample was from oral swab of a male oral candidiasis patient. Detection of C. albicans used CHROMagar and confirmed by germ tube test. C. albicans colonies were inoculated in Sabouraud Dextrose Agar (SDA). As a comparison, C. albicans ATCC 10231 was also detected inthe same way. After 2 days the cultures were serially diluted and inoculated in Sabouraud Dextrose Broth (SDB) without glucose (control), 1%, 5%, or 10% additional glucose, kept for 3 or 7 days in room temperature, then inoculated in SDA. The Colony Forming Unit (CFU) were counted after 2 days. ANOVA with a 0.05 was used. Results: After 3 days, additional 1%, 5%, 10% glucose in media with clinical strain of C. albicans resulted in 181.5, 582, 811 CFU/ml respectively while in media with C. albicans ATCC were 21.5, 177.5, 375.5 CFU/ml. The growth of controls C. albicans were 970 (clinical strain) and 957 CFU/ml (ATCC). After 7 days, the growth of clinical strain of C. albicans with additional glucose 1%, 5%, 10% were 2350, 9650, 9650 CFU/ml respectively while the growth of C. albicans ATCC were 5000, 5450, 3550 CFU/ml. The growth of 7 days controls were 5000 (clinical strain) and 5150 (ATCC) CFU/ml. Statisticaly, additional 1% glucose for 3 days lead to significant decreased of growth of both clinical strain and ATCC 10231 C. albicans (p < 0,05). Additional 5% and 10% glucose for 7 days increased the growth of C.albicans significantly (p < 0,05). Conclusion: Additional 5% and 10% glucose for 7 days increase the growth of C. albicans in vitro. While additional 1% glucose for 3 days decrease the growth of C. albicans."
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Gigi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Rezka Nur Alima
"Periodontitis merupakan penyakit gigi dan mulut yang dipicu inflamasi kronis serta menjadi sebab utama kehilangan gigi. Bakteri Porphyromonas gingivalis merupakan komponen prominen pada etiologi periodontitis kronis yang membentuk “red complex” bersama dengan bakteri T. forysthia dan T. denticola. Porphyromonas gingivalis secara lokal dapat menginvasi jaringan periodontal dan menurunkan mekanisme pertahanan host, sementara Streptococcus sanguinis merupakan bakteri komensal oral yang berperan sebagai bakteri pioner kolonisasi bakteri pada pembentukan biofilm. Salah satu tanaman yang memiliki nilai ethnomedis dan dapat menghambat pertumbuhan bakteri adalah daun sirsak (Annona muricata L.) dengan senyawa aktif seperti alkaloid, fenol, flavanoid, dan tannin. Tujuan : Mengetahui efektivitas antibakteri ekstrak etanol daun sirsak terhadap bakteri Poprhyromonas gingivalis dan Streptococcus sanguinis. Metode : Ekstrak etanol daun sirsak disiapkan pada berbagai konsentrasi v/v (60%,50%,25%,12,5%,6,25%,3,125%), lalu dilakukan Uji Kadar Hambat Mininum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) pada bakteri P. gingivalis dan S. sangunis. Hasil Penelitian : Nilai KHM pada bakteri P. gingivalis dan S. sanguinis ditetapkan pada konsentrasi ekstrak 25% dan 12,5%, sementara KBM pada bakteri P. gingivalis dan S. sanguinis adalah 50% dan 60%. Terdapat perbedaan bermakna antara kadar hambat pada kelompok perlakuan bakteri P.gingivalis dan S.sanguinis dengan kontrol positif CHX 0,2% dengan uji Post-Hoc Tukey (p≤0.05). Kesimpulan : Ekstrak etanol daun sirsak efektif menghambat dan membunuh bakteri P. gingivalis dan S. sanguinis.

Periodontitis merupakan penyakit gigi dan mulut yang dipicu inflamasi kronis serta menjadi sebab utama kehilangan gigi. Bakteri Porphyromonas gingivalis merupakan komponen prominen pada etiologi periodontitis kronis yang membentuk “red complex” bersama dengan bakteri T. forysthia dan T. denticola. Porphyromonas gingivalis secara lokal dapat menginvasi jaringan periodontal dan menurunkan mekanisme pertahanan host, sementara Streptococcus sanguinis merupakan bakteri komensal oral yang berperan sebagai bakteri pioner kolonisasi bakteri pada pembentukan biofilm. Salah satu tanaman yang memiliki nilai ethnomedis dan dapat menghambat pertumbuhan bakteri adalah daun sirsak (Annona muricata L.) dengan senyawa aktif seperti alkaloid, fenol, flavanoid, dan tannin. Tujuan : Mengetahui efektivitas antibakteri ekstrak etanol daun sirsak terhadap bakteri Poprhyromonas gingivalis dan Streptococcus sanguinis. Metode : Ekstrak etanol daun sirsak disiapkan pada berbagai konsentrasi v/v (60%,50%,25%,12,5%,6,25%,3,125%), lalu dilakukan Uji Kadar Hambat Mininum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) pada bakteri P. gingivalis dan S. sangunis. Hasil Penelitian : Nilai KHM pada bakteri P. gingivalis dan S. sanguinis ditetapkan pada konsentrasi ekstrak 25% dan 12,5%, sementara KBM pada bakteri P. gingivalis dan S. sanguinis adalah 50% dan 60%. Terdapat perbedaan bermakna antara kadar hambat pada kelompok perlakuan bakteri P.gingivalis dan S.sanguinis dengan kontrol positif CHX 0,2% dengan uji Post-Hoc Tukey (p≤0.05). Kesimpulan : Ekstrak etanol daun sirsak efektif menghambat dan membunuh bakteri P. gingivalis dan S. sanguinis."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Andika
"Latar Belakang: Penyebab utama gingivitis adalah akumulasi plak berisi mikroorganisme yang melekat kuat pada permukaan gigi dan tidak bisa hilang dengan dibilas. Oleh karena itu, perlu bantuan mekanis yaitu menyikat gigi dengan pasta gigi dan kimiawi yaitu berkumur dengan obat kumur untuk eliminasi plak. Penambahan bahan alami seperti propolis dalam pasta gigi dan obat kumur diharapkan efektif terhadap penyakit periodontal karena ada sifat antibakteri dan antiinflamasi. Tujuan: Menganalisis efek obat kumur dan pasta gigi propolis UI terhadap indeks plak, perdarahan papila, gingiva, dan koloni bakteri aerob dan anaerob serta membandingkannya dengan penggunaan pasta gigi dan obat kumur nonpropolis. Metode: Penelitian ini terdiri dari 18 subjek yang diinstruksikan untuk menyikat gigi dua kali sehari dan berkumur setelah sikat gigi menggunakan pasta gigi dan obat kumur yang ditentukan selama 14 hari. Pemeriksaan subjek dilakukan sebelum dan sesudah penggunaan pasta gigi dan obat kumur dengan mengevaluasi indeks plak, perdarahan papila, dan gingiva. Sampel plak diambil dari permukaan bukal gigi insisif atas sebelum dan sesudah perlakukan untuk dievaluasi kuantitas bakteri aerob dan anaerob. Data kemudian dianalisis secara statistik menggunakan uji Paired t-test, Wilcoxon, Independent T-test, atau Mann Whitney. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna sebelum dan sesudah penggunaan obat kumur dan pasta gigi propolis terhadap indeks perdarahan papila (p = 0,007) dan jumlah bakteri anaerob (p = 0,028). Namun, tidak terdapat perbedaan bermakna terhadap indeks plak, gingiva, dan jumlah bakteri aerob (p≥0,05). Kesimpulan: Pasta gigi dan obat kumur propolis UI memiliki efek dalam mencegah dan menyembuhkan gingivitis sehingga dapat digunakan sebagai bahan aktif dalam obat kumur dan pasta gigi.
Backgrounds: The main cause of gingivitis is the accumulation of plaque containing microorganisms which stays on the teeth surface and cannot be rinsed off. Therefore, mechanical cleaning like toothbrushing with toothpastes and chemical cleaning using mouthwashes are needed for plaque elimination. The addition of natural products which is propolis in toothpastes and mouthwashes is expected to have an effect towards periodontal disease because of its antibacterial and antiinflamation properties. Aim: to analyze the effect of mouthwashes and toothpastes containing propolis on plaque index (PI), papilary bleeding index (PBI), gingival index (GI), and colony of aerobic and anaerobic bacteria compare to the use of nonpropolis toothpastes and mouthwashes. Methods: Eighteen subjects were used in this study. Subjects were asked to brush their teeth twice a day and followed by gargling using propolis or nonpropolis toothpastes and mouthwashes for 14 days. The patients were examined before and after using toothpastes and mouthwashes to evaluate plaque index (PI), papilary bleeding index (PBI), and gingival index (GI). Plaque samples were collected from buccal surface upper incisors before and after using toothpastes and mouthwashes for aerobic and anaerobic bacterial counts. Data collected were analyzed statistically using Paired t-test or Wilcoxon and Independent T-test or Mann Whitney. Results: There was statistically difference between before and after in papilary bleeding index (p = 0.007) and anaerobic bacteria counts (p =0.028). Meanwhile, there were no statistically difference on plaque index, gingival index, and aerobic bacteria counts. (p≥0,05). Conclusion: The use of propolis toothpastes and mouthwashes at the same time have an effect against gingivitis so it can be used as an active property in toothpastes and mouthwashes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasinta Ayuning Dyah
"Latar Belakang: Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah tanaman berkhasiat obat asli Indonesia dan merupakan tanaman obat unggulan untuk dikembangkan menjadi obat herbal terstandar. Pada beberapa penelitian, ekstrak etanol temulawak (EET) telah terbukti berkhasiat sebagai antimikroba, namun belum diketahui keamanannya terhadap jaringan mukosa mulut. Tujuan: Mengetahui sitotoksisitas ekstrak etanol temulawak (EET) terhadap sel fibroblas gingiva manusia (in vitro). Metoda: Model sel fibroblas gingiva diperoleh dari kultur primer jaringan gingiva manusia. Ekstrak etanol temulawak (1%, 2,5%, 5%, 10%, 20%, 40%) dipaparkan pada sel fibroblas gingiva dengan durasi paparan 1 jam, 3 jam, dan 24 jam. Viabilitas sel pasca paparan EET dianalisis dengan uji MTT (3-(4,5-dimethyl-thiazol-2-yl)-2,5-diphenyl-tetrazolium bromide) dan sitotoksisitas ditetapkan berdasarkan Inhibition Concentration 50% (IC50). Sedangkan, jumlah sel pasca paparan EET dievaluasi dengan metoda exclusion dye/trypan blue. Hasil: Model sel fibroblas gingiva dapat diperoleh dari kultur primer jaringan gingiva dan secara morfologi teridentifikasi sebagai sel fibroblas. Berdasarkan nilai IC50, EET pada konsentrasi >20% pasca paparan 1 dan 3 jam dan konsentrasi ≥10% pasca paparan 24 jam sitotoksik terhadap sel fibroblas gingiva. Jumlah sel fibroblas gingiva menurun sesuai dengan peningkatan konsentrasi pada durasi paparan 24 jam. Kesimpulan: Ekstrak etanol temulawak memiliki efek sitotoksik terhadap sel fibroblas gingiva. Sitotoksisitas ekstrak etanol temulawak dipengaruhi oleh konsentrasi dan durasi paparan.

Background: Javanese turmeric (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) is a herbal plant native to Indonesia and is a superior herbal plant to be developed into a standardized herbal medicine. In some studies, Curcuma xanthorrhiza ethanolic extract (CXEE) had been reported to have antimicrobial effect. However, its safety has not been evaluated for oral mucosal tissue. Objective: To evaluate the cytotoxicity of Curcuma xanthorrhiza ethanolic extract to human primary gingival fibroblast cells (in vitro). Method: Gingival fibroblast cells model were cultured from human primary gingival tissues. CXEE (1%, 2,5%, 5%, 10%, 20%, 40%) was added into gingival fibroblast culture for 1 h, 3 hrs, and 24 hrs. Cells viability after treatment of EET was analized with the 3-(4,5-dimethyl-thiazol-2-yl)-2,5-diphenyl-tetrazolium bromide (MTT) assay and determined by Inhibition Concentration 50% (IC50). Meanwhile, cell density of treated cells was determined by exclusion dye/Trypan Blue. Result: Primary culture of human gingival tissue was able to produce gingival fibroblast cells model that was morphologically identified. Based on IC50, CXEE was cytotoxic againts gingival fibroblast cells at >20% of final concentration after 1 hr and 3 hrs treatment and at ≥10% of final concentration after 24 hrs treatment. Cell density of gingival fibroblast cells showed reduction as the increase of extract concentration in 24 hrs treatment. Conclusions: Curcuma xanthorrhiza ethanolic extract shows cytotoxic effect againts gingival fibroblast cells and is affected by concentration and duration of treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Timothy Aholiab Dien
"Latar Belakang: Kesehatan gigi dan mulut masih menjadi suatu permasalahan utama di Indonesia. Menurut Riskesdas tahun 2018 sebanyak 57,6% orang Indonesia memiliki permasalahan gigi dan mulut.Dalam risetnya, Prevalensi karies di Indonesia mencapai 88,8%. Faktor utama yang dapat menyebabkan permasalahan ini ialah bakteri patogen dalam rongga mulut, salah satunya yang paling patogenik ialah Streptococcus mutans. Karies terjadi ketika terjadi disbiosis dalam rongga mulut, yaitu ketika jumlah Streptococcus mutans berlebih sehingga menyebabkan kondisi asam pada rongga mulut. Tidak hanya menguntungkan bagi Streptococcus mutans, bakteri non-patogenik seperti Staphylococcus aureus akhirnya dapat memperburuk kondisi karies. Secara kimiawi, obat kumur Klorheksidin telah dimanfaatkan sebagai antibakteri yang secara akut dapat mengurangi jumlah bakteri rongga mulut. Tetapi dalam pemakaiannya ternyata klorheksidin menyebabkan efek samping jika dipakai untuk jangka panjang. Maka saat ini diperlukan pengembangan dari agen menggunakan herbal atau bahan alam. Salah satu bahan alam yang dapat digunakan sebagai agen antibakteri adalah Paku Acel. Kandungan yang terdapat daun paku acel yaitu terdapat flavonoid, terpenoid, tanin, saponin, dan alkanoid yang dapat berperan sebagai antibakteri. Tujuan: Mengetahui dan menganalisis efektivitas ekstrak daun paku acel (Nephrolepis cordifolia) dalam menghambat pertumbuhan dan membunuh koloni bakteri Streptococcus mutans dan Staphylococcus aureus serta membandingkan efektivitas ekstrak daun paku acel dengan chlorhexidine (kontrol positif). Metode: Efektivitas ekstrak daun paku acel terdapat bakteri Streptococcus mutans dan Staphylococcus aureus dilihat dari uji Kadar Hambat Minimum (KHM) mikrodilusi dengan ELISA Reader dan uji Kadar Bunuh Minimum (KBM) dengan konsentrasi ekstrak daun paku acel yang digunakan adalah 50%, 25%,12,5%, 6,25%, 3,25% Selanjutnya hasil tersebut dianalisis dengan uji statistik One Way Anova. Hasil: Ekstrak daun paku acel (Neprolephis cordifolia) dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dan Staphylococcus aureus dengan nilai KHM 12,5% dan 6,25% secara berurutan. Melalui uji statistik One Way Anova didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan bermakna pada efektivitas ekstrak daun paku acel dengan chlorhexidine (p < 0,05). Kesimpulan: Ekstrak daun paku acel (Nephrolepis cordifolia) dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dan Staphylococcus aureus sehingga dapat menjadi agen antibakteri yang efektif terhadap karies gigi tetapi kemampuannya masih dibawah klorheksidin

Background: Dental and oral health is still a major problem in Indonesia. According to Riskesdas in 2018 as many as 57.6% of Indonesians had dental and mouth problems In his research, the prevalence of caries in Indonesia reached 88.8%. The main bacterial factors that can cause this problem are pathogens in the oral cavity, one of the most pathogenic is Streptococcus mutans. Caries occur when dysbiosis occurs in the oral cavity, namely when the amount of Streptococcus mutans is excessive, causing an acidic condition in the oral cavity. Not only beneficial for Streptococcus mutans, but non-pathogenic bacteria such as Staphylococcus aureus can also finally oppose caries conditions. Chemically, Clorhexidine mouthwash has been used as an antibacterial which can acutely reduce the number of bacteria in the oral cavity. But in its use it turns out that Clorhexidine causes side effects if used for the long term. So at this time it is necessary to develop agents using herbs or natural ingredients. One of the natural ingredients that can be used as an antibacterial agent is Erect Sword Fern. Erect Sword Fern or Nephrolepis cordifolia has many benefits in the medical field, one of which is as an antibacterial agent. Objectives: To determine and analyze the effectiveness of acel nail extract (Nephrolepis cordifolia) in inhibiting the growth and killing of Streptococcus mutans and Staphylococcus aureus bacteria colonies and to compare the effectiveness of acel nail extract with chlorhexidine (positive control). Method: The effectiveness of acel fern leaf extract contained Streptococcus mutans and Staphylococcus aureus as seen from the microdilution Minimum Inhibitory Concentration (MIC) test with ELISA Reader and Minimum Bactericidal Concentration (MBC) test with the concentration of acel fern leaf extract used was 50%, 25%, 12.5%, 6 .25%, 3.25% Then the results were analyzed with the One Way Anova statistical test. Results: Leaf extract of Erect Sword Fern (Neprholepis cordifolia) only can inhibit growth Streptococcus mutans and Staphylococcus aureus bacteria with MIC values ​​of 12,5% and 6,25%. Through the One Way Anova statistical test, it was found that there was a significant difference in the effectiveness of Erect Sword Fern leaf extract and Clorhexidine (p <0.05). Conclusion: Erect Swordfern leaf extract (Nephrolepis cordifolia) can inhibit bacterial growth Streptococcus mutans and Staphylococcus aureus bacteria so that it can be an effective antibacterial agent against dental caries but its ability is still below Clorhexidine
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gracia Abygail Jasmine
"Latar Belakang: Karies merupakan kondisi yang terjadi akibat plak pada permukaan
gigi yang menetap dan menumpuk dalam jangka waktu yang panjang. Salah satu bakteri
early colonizers biofilm yang berperan besar dalam karies adalah Streptococcus mutans.
Bakteri ini telah lama dianggap sebagai agen penting dalam perkembangan karies. Selain
bakteri, organisme lain seperti fungi Candida albicans juga dapat membentuk biofilm
multi-/lintas-spesies pada permukaan gigi. C. albicans dan S. mutans diketahui dapat
berinteraksi secara sinergis dalam proses terjadinya karies. Saat ini, golden standard obat
kumur untuk mencegah dan mengangani karies adalah Chlorhexidine gluconate, namun
penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping lokal dan iritasi mukosa.
Propolis merupakan salah satu bahan alami yang dapat menjadi alternatif untuk
digunakan dalam produk perawatan mulut karena memiliki sifat antikaries dan antiplak.
Tujuan: Menganalisis dampak pemberian obat kumur propolis 5% terhadap kuantitas S.
mutans dan C. albicans pada biofilm dual-spesies, in vitro. Metode: Dilakukan uji
pembentukan biofilm dual species S. mutans (ATCC 25175) dan C. albicans (ATCC
10231) yang dipaparkan obat kumur propolis 5% kemudian diinkubasi selama 24 jam.
Uji q-PCR dilakukan untuk melihat jumlah S. mutans dan C. albicans pada biofilm dualspesies.
Hasil: Jumlah C. albicans dan S. mutans pada biofilm-dual spesies yang
diberikan perlakuan propolis lebih banyak dibandingkan pada kelompok kontrol yang
diberikan perlakuan aquades. Kesimpulan: Obat kumur propolis 5% tidak memiliki efek
positif yang cukup dalam menghambat pertumbuhan C. albicans dan S. mutans pada
biofilm dual-spesies.

Background: Caries is a condition that occurs due to plaque on the tooth surface that
persists and accumulates over a long time. One of the biofilms early colonizers bacteria
that play a major role in caries is Streptococcus mutans. This bacterium has long been
considered an important agent in the development of caries. Apart from bacteria, other
organisms such as Candida albicans can also form multi-/cross-species biofilms. C.
albicans and S. mutans are known to have synergistic interactions in the process of caries
formation. Currently, the golden standard mouthwash for preventing and treating caries
is Chlorhexidine gluconate, but long-term use can cause local side effects and mucosal
irritation. Propolis is one of the natural ingredients that can be an alternative for use in
oral care products because it has anti-caries and anti-plaque properties. Aim: To analyze
the effect of 5% propolis mouthwash on the quantity of S. mutans and C. albicans in dualspecies
biofilms. Methods: Biofilm formation test of dual-species S. mutans (ATCC
25175) and C. albicans (ATCC 10231) was performed which were exposed to 5%
propolis mouthwash and then incubated for 24 hours. RT-PCR test was performed to
analyze the number of S. mutans and C. albicans in dual-species biofilms. Results: The
number of C. albicans and S. mutans in biofilm-dual species treated with propolis was
higher than in the control group treated with distilled water. Conclusion: 5% Propolis
mouthwash did not have enough positive effects on inhibiting the growth of C. albicans
and S. mutans in dual-species biofilms.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila
"Hubungan sinergistik antara bakteri etiologi karies Streptococcus mutans dan jamur patogen Candida albicans merupakan salah satu faktor yang berperan dalam memperparah penyakit karies. Ekstrak propolis memiliki kandungan fenolat dan flavonoid yang tinggi dan menunjukkan aktivitas antibakteri yang lebih kuat. Telah diobservasi bahwa propolis mampu menginhibisi pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dan jamur Candida albicans Tujuan: Menganalisis dan mengetahui pengaruh pemberian obat kumur propolis 5% terhadap pertumbuhan biofilm dan interaksi bakteri Streptococcus mutans dan jamur Candida albicans. Metode: Dilakukan uji pembentukan biofilm dual species Streptococcus mutans ATCC 25175 dan Candida albicans ATCC 10231. Kemudian biofilm diinkubasi dengan durasi 24 jam. Uji massa biofilm dilakukan dengan menggunakan crystal violet assay. Pengamatan inverted mikroskop setelah inkubasi 0 jam, 3 jam, dan 24 jam untuk melihat kepadatan biofilm. Hasil: Jumlah massa biofilm dual spesies Streptococcus mutans dan Candida albicans yang diukur menggunakan crystal violet pada kelompok kontrol aquades menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan propolis. Hal ini juga didukung oleh pengamatan melalui inverted microscope yang menunjukan pembentukan biofilm yang lebih padat pada kelompok kontrol aquades dibandingkan kelompok perlakuan propolis. Kesimpulan: Terdapat indikasi jika pemberian obat kumur propolis menghambat pertumbuhan biofilm Streptococcus mutans dan Candida albicans tetapi obat kumur propolis tidak mempengaruhi interaksi sinergis antara bakteri Streptococcus mutans dan jamur Candida albicans.

The synergistic relationship between the caries etiology bacteria Streptococcus mutans and the pathogenic fungus Candida albicans is one of the factors that play a role in exacerbating caries disease. Propolis extract has a high content of phenolics and flavonoids and shows stronger antibacterial activity. It has been observed that propolis is able to inhibit the growth of Streptococcus mutans and Candida albicans fungi. Objective: Analyze and determine the effect of 5% propolis mouthwash on biofilm growth and the interaction of Streptococcus mutans and Candida albicans fungi. Methods: Biofilm formation test of dual species Streptococcus mutans ATCC 25175 and Candida albicans ATCC 10231 was performed. Then the biofilm was incubated for 24 hours. Biofilm mass test was carried out using crystal violet assay. Inverted microscopy observations after 0 hours, 3 hours, and 24 hours of incubation to see the density of the biofilm. Results: The total mass of biofilms of dual species Streptococcus mutans and Candida albicans as measured using crystal violet in the distilled water control group showed higher results compared to the propolis treated group. This was also supported by observations through an inverted microscope which showed a denser biofilm formation in the aquades control group than the propolis treatment group. Conclusion: There are indications that propolis mouthwash inhibits Streptococcus mutans and Candida albicans biofilm growth but propolis mouthwash does not affect the synergistic interaction between Streptococcus mutans bacteria and Candida albicans fungi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heidy Diandra Ciptaninggita
"Latar Belakang: Stunting merupakan salah satu bentuk dari malnutrisi dengan prevalensi paling tinggi. Kondisi ini terjadi di berbagai negara salah satunya di Indonesia dengan prevalensi terbesar berada di NTT. Dampak dari stunting bermacam-macam seperti meningkatkan resiko penyakit non-communicable pada saat dewasa, serta meningkatkan resiko obesitas pada saat dewasa. Pertumbuhan dipengaruhi oleh berbagai hormon, salah satunya adalah leptin. Leptin dapat diproduksi dalam jumlah sedikit pada kelenjar saliva mayor. Namun, penelitian yang menunjukan hubungan stunting dengan kadar leptin masih terbatas khususnya dalam penelitian yang menggunakan saliva sebagai sampel. Tujuan: Menganalisis perbedaan kadar leptin pada saliva anak usia 6-8 tahun pada anak-anak berkategori stunting dan non-stunting serta menganalisis korelasinya. Metode: Penelitian ini menggunakan 84 sampel saliva anak usia 6-8 tahun di NTT yang dikategorikan menjadi stunting dan non-stunting. Saliva diteliti menggunakan BioEnzy© ELISA kit untuk melihat kadar leptin lalu dilakukan kuantifikasi menggunakan ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm. Dari pembacaan tersebut didapatkan nilai absorbance dan konsenterasi sampel saliva. Selanjutnya konsenterasi leptin sampel saliva dianalisis secara statistik menggunakan SPSS untuk mengetahui nilai komparasi dan korelasi dengan status stunting dan non-stunting. Hasil: Rata-rata kadar leptin saliva anak-anak 6-8 tahun stunting ditemukan lebih tinggi daripada anak-anak non-stunting. Terdapat hubungan linear negatif sedang yang bermakna antara kadar leptin saliva anak 6-8 tahun dengan status stunting (r = -0,287, p < 0,05). Kesimpulan: Terdapat perbedaan dan hubungan antara kadar leptin pada saliva anak usia 6-8 tahun dengan status stunting dan non-stunting. Hal ini dapat terlihat dari rata-rata kadar leptin pada saliva yang lebih tinggi pada anak-anak berstatus stunting daripada non-stunting.

Background: Stunting is a form of malnutrition with the highest prevalence. This condition occurs in various countries, one of which is Indonesia, with the greatest prevalence in NTT. The impact of stunting varies, such as increasing the risk of non-communicable diseases as adults and increasing the risk of obesity as adults. Growth is influenced by various hormones, one of which is leptin. Leptin can be produced in small amounts in the major salivary glands. However, research showing the relationship between stunting and leptin levels is still limited, especially in studies using saliva as a sample. Objectives: Analyzing the differences between salivary leptin levels in children aged 6-8 years in the stunting and non-stunting groups and analyzing the correlation between salivary leptin levels in children aged 6-8 years with stunting. Method: This study used 84 saliva samples of children aged 6-8 years in NTT who were categorized as stunting and non-stunting. Saliva was examined using the BioEnzy© ELISA kit to see leptin levels and then quantified using an ELISA reader with a wavelength of 450 nm. From the readings, the absorbance and concentration values of the saliva samples were obtained. Furthermore, the leptin concentration of saliva samples was analyzed statistically using SPSS. Results: The average salivary leptin level of stunted children aged 6-8 years was found to be higher than the non-stunted children. There was a significant negative linear correlation between salivary leptin levels in children aged 6-8 years and stunting status (r = -0.287, p <0.05). Conclusion: There is a significant difference between leptin levels in the saliva of children aged 6-8 years with stunting and non-stunting status. There is also a significant correlation between leptin levels in the saliva of children aged 6-8 years with stunting and non-stunting status. This can be seen from the average leptin level in saliva which is higher in stunted children than non-stunted children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hudzaifah Muhammad
"Latar Belakang: ECC merupakan penyakit multifactorial pada anak.
Tujuan: menganalisis korelasi antara viskositas saliva, frekuensi menyikat gigi dan asupan karbohidrat dengan skor dmft pada anak ECC usia 3 – 5 tahun.
Metode: viskositas saliva, frekuensi menyikat gigi, dan asupan karbohidrat dari 21 subjek dianalisis korelasinya dengan skor dmft menggunakan regresi linier.
Hasil: koefisien korelasi (r): antara asupan karbohidrat dengan skor dmft adalah 0,569; viskosita saliva dengan skor dmft adalah 0,389; dan frekuensi menyikat gigi dengan skor dmft adalah – 0,179. Korelasi dari ketiga faktor diperoleh F-hitung = 3,19 > F-tabel (0,05) = 2,43743.
Kesimpulan: ketiga faktor berkorelasi terhadap skor dmft dengan asupan karbohidrat menunjukkan korelasi yang kuat untuk terjadinya ECC.

Background: ECC is a multifactorial desease in children.
Aim: analyzed the correlation between the viscosity of saliva, tooth brushing frequency and carbohydrate intake with dmft score in ECC aged 3 – 5 years.
Methods: the correlation from 21 data viscosity of saliva, tooth brushing frequency, and carbohydrate intake were analyzed with dmft score using linear regression
Results: the correlation coefficient (r): between carbohydrate intake with dmft score was 0.569; the viscosity of saliva with dmft score was 0.389; and the frequency of tooth brushing with dmft score was – 0.179. Correlation of three factors obtained F-count = 3.19 > F-table (0,05) = 2.43743.
Conclusion: The three factors correlate to dmft score with carbohydrate intake showed a strong relationship to the ECC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kalya Zahra Nurfatimah
"Pendahuluan
Periodontitis adalah penyakit pada jaringan penyangga gigi yang dikategorikan sebagai inflamasi tidak menular dan berkaitan dengan keadaan disbiosis biofilm. Penyakit tersebut memengaruhi seluruh jaringan periodontal dan dapat menyebabkan destruksi progresif pada tulang alveolar. Periodontitis dapat dipicu oleh bakteri seperti Aggregatibacter actinomycetemcomitans yang selanjutnya mempengaruhi osteoklastogenesis dan terjadinya kerusakan jaringan. Internalisasi dan proliferasi bakteri A. actinomycetemcomitans di dalam sel osteoklas dapat meningkatkan faktor virulensi seperti lipoposakarida (LPS) yang berperan dalam diferensiasi osteoklas yang ditandai dengan gen penanda, salah satunya Cathepsin K (CTSK). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis diferensiasi osteoklas melalui analisis ekspresi gen penanda diferensiasi osteoklas yaitu CTSK.
Metode
Osteoklas (OC) diperoleh dari kultur primer bone marrow macrophage (BMM), yang dipaparkan dengan nuclear factor kappa-B ligand (RANKL) selama 3 hari. Kemudian diinfeksikan dengan bakteri A. actinomycetemcomitans (ATCC 29522) dengan perbandingan MOI 1:1 dan 1:5. Selanjutnya dievaluasi 1,5 jam dan 18 jam pasca infeksi (hpi) menggunakan RT-qPCR dengan teknik Livak (2-∆∆Ct).
Hasil
Ekspresi relatif gen CTSK pada BMM dengan perlakuan MOI 1:1 pada 1,5 hpi (2-∆∆Ct = 1,00) dan 18 hpi (2-∆∆Ct = 0,99), serta perlakuan MOI 1:5 pada 1,5 hpi (2-∆∆Ct = 1,00) dan 18 hpi (2-∆∆Ct = 1,04) cenderung tidak menunjukan adanya perubahan. Sedangkan pada OC dengan MOI 1:1 pada 1,5 hpi (2-∆∆Ct = 1,00) dan 18 hpi (2-∆∆Ct = 1,64), serta perlakuan MOI 1:5 pada 1,5 hpi (2-∆∆Ct = 1,00) dan 18 hpi (2-∆∆Ct = 3,27) cenderung menunjukan adanya peningkatan pada 18 hpi. Perbandingan kelompok OC 18 hpi pada perlakuan MOI 1:5 (2-∆∆Ct = 4,26) menunjukkan peningkatan ekspresi gen CTSK sekitar 4 kali dibanding perlakuan MOI 1:1 (2-∆∆Ct = 1,00).
Kesimpulan
Peningkatan ekspresi gen CTSK pada osteoklas berkorelasi positif dengan jumlah bakteri yang menginfeksi dan waktu paparan bakteri dengan sel osteoklas. Peningkatan ekspresi CTSK tersebut diduga berhubungan dengan terjadinya internalisasi bakteri kedalam sel osteoklas.

Introduction
Periodontitis is a disease affecting the supportive tissues of the teeth, categorized as a non-communicable inflammation associated with dysbiosis of the biofilm. This disease impacts the entire periodontal tissue and can cause progressive destruction of alveolar bone. Periodontitis can be triggered by bacteria such as Aggregatibacter actinomycetemcomitans, subsequently affecting osteoclastogenesis and tissue damage. The internalization and proliferation of A. actinomycetemcomitans bacteria inside osteoclast cells can directly increase virulence factors such as lipopolysaccharide (LPS), playing a role in osteoclast differentiation marked by genes, including Cathepsin K (CTSK). This study aims to analyze osteoclast differentiation through the analysis of the marker gene expression for osteoclast differentiation, namely CTSK.
Methods
Osteoclasts (OC) were obtained from primary cultures of bone marrow macrophages (BMM), exposed to nuclear factor kappa-B ligand (RANKL) for 3 days. They were then infected with A. actinomycetemcomitans bacteria (ATCC 29522) with a ratio of MOI 1:1 and 1:5. Subsequently, they were evaluated at 1.5 hours and 18 hours post-infection (hpi) using RT-qPCR with the Livak method (2-∆∆Ct).
Results
The relative expression of CTSK gene in BMM cells with MOI 1:1 treatment at 1.5 hpi (2-∆∆Ct = 1.00) and 18 hpi (2-∆∆Ct = 0.99), as well as MOI 1:5 treatment at 1.5 hpi (2-∆∆Ct = 1.00) and 18 hpi (2-∆∆Ct = 1.04), tended to show no significant changes. In OC with MOI 1:1 treatment at 1.5 hpi (2-∆∆Ct = 1.00) and 18 hpi (2-∆∆Ct = 1.64), as well as MOI 1:5 treatment at 1.5 hpi (2-∆∆Ct = 1.00) and 18 hpi (2-∆∆Ct = 3.27), there was a tendency to increase at 18 hpi. The comparison of OC groups at 18 hpi with MOI 1:5 (2-∆∆Ct = 4.26) showed a fourfold increase in CTSK gene expression compared to MOI 1:1 treatment (2-∆∆Ct = 1.00).
Conclusion
The increased expression of the CTSK gene in osteoclasts positively correlates with the number of infecting bacteria and the duration of bacterial exposure to osteoclast cells. This heightened CTSK expression is presumed to be associated with the internalization of bacteria into osteoclast cells.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>