Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irfani Fithria Ummul M
"Pembangunan kota yang memiliki kepadatan tinggi dikalim sebagai bentuk perkotaan yang sesuai untuk membangun modal sosial. akan tetapi, hubungan antar keduanya belum banyak diinvestigasi secara empiris, sehingga terjadi berbagai hasil yang berlawanan di literatur. Studi ini bertujuan untuk menganalisa peranan bentuk fisik perkotaan terhadap pembentukan modal sosial dengan menggunakan kasus kota metropolitan di Indonesia. Riset ini juga merupakan studi yang pertama kali menganalisa hubungan bentuk perkotaan dengan modal sosial di Indonesia dengan menggunakan Regresi Logistik Multilevel.
Hasil empiris menunjukkan bahwa individu yang tinggal di wilayah padat memiliki kemungkinan untuk lebih tidak mengenal tetangganya, lebih tidak mempercayai orang lain dan kurang aktif dalam kegiatan masyarakat. Sedangkan, konektivitas jalan memiliki hubungan yang positif dengan tingkat bridging trust akan tetapi justru memiliki jaringan sosial (social network) yang lebih rendah. Selain itu, keberadaan berbagai fasilitas publik ternyata sama sekali tidak berhubungan dengan pembentukan modal sosial. Dengan data agregat, studi ini belum bisa memberikan rekomendasi kebijakan yang spesifik. Akan tetapi, para pembuat kebijakan perlu memikirkan peranan bentuk perkotaan terhadap pembentukan modal sosial.

High-density urban development is claimed as a suitable urban form in enhancing social capital. However, the relationship between those two variables has not been well empirically explored, leading to the emergence of competing results in the literature. This study aimed to investigate the role of urban physical arrangement or urban form in the social capital formation using Indonesian metropolitan cities as a case study. This research was also the first empirical study to investigate the association between urban form and social capital in Indonesia. The multilevel logistic regression was used to investigate the association between the urban form and several indicators of social capital.
The findings revealed that individuals in high residential density areas were less likely to know their neighbours, had lower levels of bridging trust, and less involved in the communitys activities. Meanwhile, street connectivity appeared to have a positive association with bridging trust but negatively related to social networks. Moreover, the land use mix did not seem to be significantly associated with any social capital variables. However, the aggregated data of urban form limited our ability of the present study to provide specific policy recommendations. Nonetheless, this study would still suggest that urban planners and policy makers should be mindful to consider that urban form features might influence the development of social capital."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rice Krisnawati
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji theory opportunistic cycles di Indonesia sebagai negara new democracy. Selain itu juga dianalisis mengenai bagaimana pengaruh fragmentasi dan akses media terhadap magnitude political budget cycle (PBC).

Dalam penelitian ini data yang digunakan pada level kabupaten/kota periode 2007-2013. Spesifikasi standar dari dynamic panel data digunakan untuk menguji peran fragmentasi dan media terhadap magnitude PBC. Model logit digunakan untuk mengestimasi mengenai dampak perubahan komposisi belanja terhadap peluang menang petahana.

Berdasarkan hasil empiris, ditemukan bukti sebagai berikut : (1) political budget cycle terjadi di Indonesia terutama pada belanja pendidikan, kesehatan, birokrasi dan sosial; (2) fragmentasi berperan dalam memperkuat terjadinya PBC terutama belanja pendidikan; (3) dampak akses media terhadap magnitude PBC cenderung memperkuat magnitude PBC belanja infrastruktur dan memperlemah magnitude PBC pada belanja birokrasi; (4) perubahan komposisi belanja kesehatan, infrastruktur dan birokrasi, serta dukungan partai politik dapat meningkatkan peluang menang petahana dalam pemilihan kepala daerah.


ABSTRACT
This paper tests the theory of opportunistic cycles in Indonesia as a new democracy. It also investigate the effect of political fragmentation as well as access to mass media on magnitude of the political budget cycle.

The study used local government data in the period 2007-2013. Standard specifications of dynamic panel data are used to test the role of fragmentation and media on magnitude of PBC. The logit model is used to examine how  composition of spending affect the chances of incumbents to win election.

Based on empirical results, evidence is found as follows: (1) political budget cycle occurs in Indonesia, especially in education, health, bureaucratic and social expenditure; (2) fragmentation plays a role in strengthening the occurrence of PBCs, especially education spending; (3) the impact of media access on the magnitude of PBC tends to strengthen the PBC's magnitude of infrastructure spending and weaken the PBC's magnitude on bureaucratic spending; (4) changes in the composition of health spending, infrastructure and bureaucracy, and the support of political parties can increase the chances of winning incumbents in regional head elections."

2019
D2706
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Yudhi Supriadi
"Penulisan disertasi ini terbagi dalam 3 bagian utama: Pertama, menghitung biaya pokok penyediaan tenaga listrik tahun 2014 dibedakan menurut karakteristik pembangkit di masing-masing wilayah dan waktu (peak dan off-peak) menggunakan metode revenue requirement. Penggunaan biaya universal memperlihatkan bahwa subsidi lebih banyak dinikmati oleh wilayah Jawa, sedangkan penggunaan biaya pokok yang berbeda memperlihatkan sebaliknya. Penggunaan biaya pokok yang berbeda juga menghasilkan total alokasi subsidi yang lebih rendah dibandingkan penggunaan biaya universal. Di masa depan, penerapan biaya menurut wilayah dan waktu dalam menghitung alokasi subsidi hendaknya diikuti dengan penerapan tarif regional serta melibatkan pemerintah daerah setempat terkait cost sharing subsidi. Kedua, menghitung biaya penyediaan listrik di masing-masing kelas pelanggan dibedakan menurut wilayah menggunakan metode Long Run Marginal Cost berdasarkan rencana jangka panjang penyediaan listrik 2015-2024. Terjadi distorsi tarif (subsidi silang antar kelas pelanggan) dimana kelas pelanggan industri mensubsidi kelas pelanggan rumah tangga.
Tingginya selisih biaya penyediaan dan tarif berlaku, menyebabkan PLN kehilangan kesempatan untuk membiayai investasi ketenagalistrikan di Indonesia yang rata-ratanya per tahun mencapai US$ 6,94 miliar. Ketiga, mengaplikasikan metode Frisch untuk menghitung elastisitas permintaan terhadap harga melalui elastisitas pengeluaran. Nilai elastisitas harga yang diperoleh digunakan untuk menganalisis perubahan kesejahteraan rumah tangga, redistribusi dan inefisiensi subsidi menggunakan data triwulanan Susenas 2014 berdasarkan tiga skenario kenaikan tarif. Pencabutan subsidi untuk rumah tangga dengan daya minimal 1.300 VA dan pengurangan subsidi untuk rumah tangga dengan daya maksimal 900 VA memperlihatkan adanya penurunan kesejahteraan rumah tangga, dan peningkatan persentase penduduk miskin namun redistribusi subsidi menjadi lebih baik serta inefisiensi subsidi pada rumah tangga daya terpasang 450 VA. Sebelum kebijakan menaikkan tarif diimplementasikan hendaknya dilakukan verifikasi rumah tangga melalui pencocokan dan penelitian di lapangan dengan harapan di masa depan subsidi menjadi lebih tepat sasaran.

The writing of this dissertation is divided into three main ideas: First, calculate the cost of supplying electricity in 2014 is differentiated according to the characteristics of the plant in each region and time (peak and off-peak) using the revenue requirement method. The use of universal costs shows that more subsidies are enjoyed by the Java region, whereas the use of different basic costs shows otherwise. Different cost of use also resulted in a lower total subsidy allocation than the use of universal costs. In the future, the implementation of costs by region and time in calculating the subsidy allocation should be followed by the application of regional tariffs and involving local governments on the cost-sharing of subsidies. Second, calculate the cost of providing electricity in each class of customers differentiated by region using Long Run Marginal Cost method based on long-term plan of electricity supply 2015-2024. There is a tariff distortion (cross-subsidy between customer classes) where the class of industrial customers subsidizes the class of household customers.
The high cost of provisioning and tariffs is prevailing, causing PLN to lose the opportunity to finance an electricity investment in Indonesia, which averaged US $ 6.94 billion per year. Third, apply the Frisch method to calculate the elasticity of demand for prices through the elasticity of expenditure. The value of elasticity of prices obtained is used to analyze changes in household welfare, redistribution, and inefficiency of subsidies using quarterly data of Susenas 2014 based on three tariff increment scenarios. The abolition of subsidies for households with a minimum power of 1,300 VA and a reduction in subsidies for households with a maximum of 900 VA shows a decrease in household welfare, and an increase in the percentage of the poor but better redistribution of subsidies and the inefficiency of subsidies in installed households of 450 VA. Before the policy of raising tariffs implemented, household verification should be conducted through matching and field research in the hope that in the future subsidies will be more targeted.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
D2446
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rulyusa Pratikto
"ABSTRAK
Tujuan utama dari disertasi ini adalah untuk mengetahui kebijakan pengendalian harga yang berperan penting dalam penanggulangan kemiskinan. Dari tujuan utama tersebut, maka disertasi ini terdiri dari tiga essai. Essai pertama berusaha untuk mengetahui kelompok komoditas mana yang jika terjadi peningkatan harga lebih merugikan kesejahteraan masyarakat miskin. Penulis menemukan bukti bahwa saat terjadi peningkatan harga makanan, maka kelompok rumah tangga miskin lebih dirugikan karena proporsi pengeluaran mereka yang relatif tinggi. Hasil tersebut kemudian dijadikan dasar oleh penulis untuk mengkaji essai kedua dan ketiga. Essai kedua mengkaji apakah pakem pengendalian inflasi yaitu kebijakan moneter memiliki peran yang penting dalam pengendalian inflasi makanan.
Temuan pada kajian kedua ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter tidak memiliki peran yang cukup signifikan dalam pengendalian inflasi makanan. Namun demikian terdapat spill-over effect dari inflasi makanan ke inflasi nonmakanan. Maka saat terjadi shock pada inflasi makanan, kebijakan moneter tetap dibutuhkan sebagai pengendali inflasi non-makanan yang mengalami tekanan karena inflasi makanan. Essai ketiga kemudian mengkaji kebiπjakan dari sisi struktural, yaitu perbaikan konektivitas domestik melalui infrastruktur transportasi darat dan laut terhadap pengendalian harga makanan. Bukti empiris pada kajian ketiga ini menunjukkan bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur transportasi berperan penting dalam pengendalian harga makanan. Secara khusus, pelabuhan dengan skala relatif besar (komersial) memiliki peran yang lebih penting, mengingat kondisi geografis Indonesia yang merupakan Negara kepulauan.

ABSTRACT
This dissertation seeks to find the price stabilization policy that have important role in poverty alleviation. Spesifically, this dissertation consists of three essays. The first essay is to find the commodity basket that when the price increases would have more adverse impact on the poor. The empirical evidence found in this essay is food is the most important commodity for the poor, since food inflation has the most detrimental effect on the poor welfare. Thus, food price stabilitzation is important in poverty alleviation. Based on this result, I investigated the role of monetary policy in stabilizing food inflation on the second essay. The evidence shows that monetary policy has relatively little role on food inflation, but relatively high on non-food inflation.
However, monetary policy response is still needed in the event of food inflation shock. This is because there is significant evidence that food inflation propagated into non-food inflation. The second essay result implies that Indonesia needed structural policy to maintain the food price. One of the structural factors that has been contributing to the high cost economy in Indonesia is domestic connectivity problem. Thus, the third essay main purpose is to determine whether increasing the quality and quantity of transportation infrastructure can have important role in food price stabilization. The empirical results show that this is true. In particular, increases in quality and quantity of commercial ports relatively has higher role in this matter. The geographical characteristic of Indonesia that is an archipelago supported the argument.
"
2015
D2130
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sartika Djamaluddin
"Studi ini bertujuan untuk mengukur nilai kualitas hidup kota berdasarkan besarnya kompensasi yang bersedia dibayarkan rumah tangga terhadap kenyamanan fasilitas publik kota. Pengukuran kenyamanan dilakukan dengan menggunakan model Hedonik Berger-Blomquist-Hoehn yang dikembangkan. Hasil pengukuran tersebut digunakan untuk Menganalisis perkembangan nilai kualitas hidup kota, mengidentifikasi sektor-sektor publik yang menjadi sumber perubahan kenyamanan kota serta menganalisis variasi kenyamanan antar kota. Pengukuran dilakukan terhadap 28 kota di Pulau Jawa tahun 2002 dan 2005. Pengukuran indeks kualitas hidup menggunakan basis data Survei Ekonomi Nasional (susenas) core dan Potensi Desa (podes). Jumlah total individu yang libatkan pada estimasi model hedonik upah adalaha sebesar 30.007 individu tahun 2002 dan 34.760 individu tahun 2005. Adapun otal rumah tangga ang dilibatkan adalah sebesar 21.439 rumah tangga pada tahun 2002 da 24.530 rumah tangga pada tahun 2005. Hasil pengukuran IKH menunjukkan bahwa kualitas hidup kota di Pulau Jawa pada tahun 2002 dan tahun 2005 sangat bervariasi. Beberapa kota mengalami peningkatan kualitas hidup seperti Kota Tangerang, Magelang, Surakarta, Salatiga dan Semarang. Penurunan kualitas hidup hampir terjadi di semua kota besar diantaranya kota-kota di DKI Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Malang mengalami penurunan kualitas hidup. Perbedaan kualitas hidup antar kota berpotensi mendorong terjadinya migrasi. Rumah tangga cenderung pindah menuju kota yang kualitas hidupnya tinggi. Guna membatasi masuknya migran, pemerintah kota dapat mengenakan kebijakan (sejenis pajak) kepada migran maksimum senilai perbedaan kualitas hidup antar kota tujuan dan asal migrasi. Sebaliknya jika beniat mendorong masuknya migran, pemerintah dapat mengenakan kebijakan (sejenis subsidi), minimun sebesar perbedaan kualitas hidup antar kota tujuan dan asal migrasi. Selain mengetahui nilai kenyamanan kota secara total, analisis dekomposisi memungkinkan pemerintah mengidentifikasi sektor-sektor apa saja yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perubahan kualitas hidup suatu kota, baik secara menyeluruh maupun parsial. Analisis tersebut juga mampu menunjukkan pergeseran peranan masing-masing sektor publik antara waktu. Sebagai studi aplikasi pertama yang mengukur nilai kualitas hidup atau kenyamana kota di Indonesia, penulis berharap studi-studi lanjutan dapat dikembangkan di masa akan datang guna menganalisis hubungan antara kualitas hidup dengan variabel-variabel ekonomi lainnya, seperti migrasi, investasi daerah, pertumbuhan kota.

The objective of the study is to measure the quality of life according to the amount a household is willing to pay as a compensation for the public facilities in their cities. The level of amenities is measured by using Hedonic Model developed by Berger-Blomquist-Hoehn. The result will be used in analyzing the progress of the quality of life in each town, identifying certain public sectors which drive changes in amenities level as well as analyzing the amenities variation among the cities. The study, which measures the quality of life of 28 cities in Java during 2002 and 2005, is making use of data from National Social Economic Survey (susenas) and Village Potential Statistics (podes). In total, thc number of individual observation involved in hedonic wage model estimation was 30,007 in 2002 and 34,760 in 2005. ln addition, the number of households being involved in 2002 and 2005 amounted to 21,439 and 24,530 households respectively. The result of the quality of life index measurement shows that quality of life in cities in Java both in 2002 and 2005 quite vary. Among the cities which experienced an improved quality of life including Tangerang, Magelang, Surakarta, Salatiga and Semarang. In the contrary, a decrease in quality of life almost took place in all other big cities such as Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Malang and all cities in Jakarta Provinces. In fact, the difference level of quality of life among the cities may potentially drive migration in which people tend to move to other city with higher quality of life. ln order to restrict migration to their town, the local government CBI) apply certain policy (such as tax) to the migrants as much as maximum the quality of life?s difference between the migrants? city and the destination city. However if local government wants to attract migrants coming to their towns, they can apply a favorable policy such as certain subsidy to the migrants at least as much as the quality of life?s difference between the migrants? city and the destination city. Through decomposition analysis, the government may not only able to know the city?s quality of life in total but also able to identify each sector?s contribution to the quality of life?s changes within the city. The analysis can show any changes in each public sector's role every year. As the first study which measures quality of life index in Indonesia, the author is expecting some relevant studies which take in to account other variables such as migration, regional investment and city?s growth to be done in the near fiiture."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
D969
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Sufrian
"Studi ini memiliki dua tujuan utama. Tujuan penelitian pertama adalah mengevaluasi pencapaian keadilan pelayanan Kesehatan di Indonesia dan mengkaji dimensi geografis ketimpangan menggunakan ukuran ketimpangan yang dapat didekomposisi secara sempurna yaitu Theil Indeks. Studi ini melakukan perbandingan sebelum dan sesudah perubahan tingkat desentralisasi di Indonesia. Selain itu, studi ini juga melakukan perbandingan periode dengan krisis ekonomi dan periode tanpa krisis ekonomi. Data yang digunakan adalah data sekunder cross-sectional berasal dari Survei Sosial Ekonomi Indonesia (Susenas) tahun 1996, 1998, 2000, 2002, 2005, 2008, 2011, dan 2014. Selanjutnya, indeks Theil didekomposisi menjadi antar- dan dalam-wilayah di tingkat provinsi dan kabupaten/Kota. Indeks Theil ketimpangan layanan kesehatan memberikan gambaran dinamika ketimpangan layanan kesehatan selama periode tahun 1996-2014. Ketimpangan layanan kesehatan cenderung memburuk selama krisis ekonomi tahun 1998. Selain itu ketimpangan cenderung membaik terutama selama fase kedua desentralisasi dan adanya kebijakan jaminan kesehatan sosial pada periode 2005-2014. Kombinasi desentralisasi administratif, desentralisasi politik dan adanya jaminan kesehatan sosial di Indonesia terkait dengan menurunnya tingkat ketimpangan secara keseluruhan, ketimpangan dalam wilayah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam provinsi dan ketimpangan antar kabupaten/kota untuk layanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap. Ketimpangan dalam wilayah berkontribusi signifikan terhadap ketimpangan total. Oleh karena itu, perhatian yang lebih besar terhadap penurunan ketimpangan dalam wilayah akan berkontribusi pada penurunan ketimpangan secara keseluruhan. Selanjutnya, tujuan penelitian kedua adalah mengevaluasi indikasi dampak kebijakan desentralisasi administrasi dan politik (pemilihan langsung di tingkat daerah) dan jaminan kesehatan sosial terhadap ketimpangan pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota di Indonesia. Dalam hal ini variabel ketimpangan pelayanan kesehatan dua kelompok layanan kesehatan yaitu layanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap diukur dengan Theil indeks. Berdasarkan dataset pseudo-panel tingkat kabupaten/kota dari tahun 1996 hingga 2014, hasil estimasi fixed effect menunjukkan bahwa kombinasi desentralisasi administratif desentralisasi politik dan jaminan kesehatan sosial berkontribusi pada penurunan ketimpangan layanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap. Mekanisme transmisi indikasi dampak desentralisasi pada pengurangan ketimpangan layanan kesehatan terjadi melalui efek langsung kebijakan desentralisasi dan kebijakan jaminan kesehatan sosial maupun melalui efek interaksi antara kebijakan desentralisasi dan kebijakan jaminan kesehatan sosial dengan penyediaan sumber daya kesehatan maupun efek langsung. Desentralisasi administratif saja belum memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan rawat jalan dan cenderung meningkatkan ketimpangan layanan kesehatan rawat inap. Sedangkan, desentralisasi administratif yang dikombinasikan dengan kebijakan jaminan kesehatan sosial memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap. Kombinasi kebijakan desentralisasi administratif, demokratisasi di tingkat pemerintah kabupaten/kota dan kebijakan jaminan kesehatan sosial memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan terbesar dibanding kondisi lainnya. Secara rata-rata, penyediaan sumber daya kesehatan memberikan efek terhadap penurunan ketimpangan layanan kesehatan. Penyediaan sumber daya kesehatan pada kondisi kombinasi kebijakan desentralisasi administratif yang ditambah dengan kebijakan desentralisasi politik serta adanya kebijakan jaminan kesehatan sosial memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan rawat jalan maupun ketimpangan layanan kesehatan rawat inap yang terbesar dibandingkan kondisi lainnya. Efek penyediaan sumber daya kesehatan menjadi lebih besar terhadap penurunan ketimpangan layanan kesehatan seiring peningkatan nilai indeks sumber daya kesehatan. Secara keseluruhan, efektivitas penyediaan sumber daya kesehatan bervariasi antar pemerintah daerah. Berdasarkan analisis marginal effect, dibutuhkan suatu batas minimum penyediaan sumber daya kesehatan untuk bisa memberikan dampak penurunan ketimpangan layanan kesehatan. Terdapat batasan nilai minimum (threshold) bagi penyediaan sumber daya kesehatan agar dapat memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan yaitu 12 untuk memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan rawat jalan dan 27 untuk memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehaan rawat inap. Pada tahun 2014, terdapat variasi yang besar untuk nilai indeks sumber daya kesehatan di tingkat kabupaten/kota. Nilai terendah adalah 9,16 dengan nilai tertinggi adalah 74,67 dengan rata-rata 34,49. Dengan demikian, masih ada kabupaten/kota yang ketersediaan sumber daya kesehatannya belum cukup untuk dapat memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan. Terkait dengan penyediaan sumber daya kesehatan, Pemerintah Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 2 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM). Peraturan pemerintah ini standar layanan minimum di sektor kesehatan. Selanjutnya, Menteri Kesehatan juga telah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 4 tahun 2019 tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. Penyediaan sumber daya kesehatan merupakan elemen penting bagi pencapaian standar pelayanan minimum yang diatur dalam peraturan Menteri Kesehatan ini. Oleh karena itu, implementasi peraturan Menteri Kesehatan No 4 tahun 2019 secara konsisten penting untuk menurunkan ketimpangan layanan kesehatan di suatu wilayah kabupaten/kota dan selanjutnya berkontribusi pada penurunan ketimpangan layanan kesehatan secara keseluruhan.

This study has two main objectives. The first research objective is to evaluate the achievement of healthcare equty in Indonesia and to examine the geographical dimension of inequity using a perfectly decomposable measure of inequality, the Theil Index. This study uses outpatient and inpatient healthcare as healthcare variables. This study compares before and after changes in the level of decentralization in Indonesia. In addition, this study also compares periods with economic crises and periods without economic crises. The data used are secondary cross-sectional data from the Indonesian Socio-Economic Survey (Susenas) in 1996, 1998, 2000, 2002, 2005, 2008, 2011, and 2014. Furthermore, the Theil index is decomposed into inter- and intra-regional at the provincial and district/city levels. Theil Index of Healthcare Inequity provides an overview of the dynamics of healthcare inequity dynamics during the period 1996-2014. Healthcare inequity tended to worsen during the economic crisis of 1998. In addition, healthcare inequity tended to improve especially during the second phase of decentralization and the introduction of social health insurance policies in the period 2005-2014. The combination of administrative decentralization, political decentralization, and the introduction of social health insurance in Indonesia is associated with a decline in overall healthcare inequity, intra-regional (provincial and district/city) disparities within provinces, and inter-district/city inequity for outpatient and inpatient healthcare. Intra-regional inequity contributes significantly to total inequity. Therefore, greater attention to reducing intra-regional inequity will contribute to a decline in overall healthcare inequity. Furthermore, the second research objective is to evaluate the indication of the impact of administrative and political decentralization policies (direct elections at the regional level) and social health insurance on healthcare inequity at the district/city level in Indonesia. In this case, the healthcare variable of two groups of healthcare, namely outpatient and inpatient healthcare, is measured by the Theil index. Based on the pseudo-panel dataset at the district/city level from 1996 to 2014, the results of the fixed effect estimation show that the combination of administrative decentralization, political decentralization, and social health insurance contribute to reducing outpatient and inpatient healthcare inequity. The transmission mechanism of the indication of the impact of decentralization on reducing healthcare inequity occurs through the direct effects of decentralization policies and social health insurance policies as well as through the interaction effects between decentralization policies and social health insurance policies with the provision of health resources and direct effects. Administrative decentralization alone has not provided an effect on reducing outpatient healthcare inequity and tends to increase inpatient health services inequity. Meanwhile, administrative decentralization combined with social health insurance policies provides an effect on reducing outpatient and inpatient healthcare inequity. The combination of administrative decentralization policies, democratization at the district/city government level, and social health insurance policies has had the greatest effect in reducing healthcare inequity compared to other conditions. On average, the provision of health resources reduces healthcare inequity. The provision of health resources in conditions of a combination of administrative decentralization policies coupled with political decentralization policies and the existence of social health insurance policies has the greatest effect on reducing inequality in outpatient health services and inequality in inpatient health services compared to other conditions. The effect of the provision of health resources becomes greater on reducing healthcare inequity as the value of the health resource index increases. Overall, the effectiveness health resources provision varies between local governments. Based on the marginal effect analysis, a minimum limit of the provision of health resources is needed to be able to have an impact on reducing inequality in health services. There is a minimum value limit (threshold) for the provision of health resources to be able to provide an effect on reducing inequality in health services, namely 12 to provide an effect on reducing outpatient healthcare inequity and 27 to provide an effect on reducing inpatient healthcare inequity. In 2014, there was a large variation in the value of the health resource index at the district/city level. The lowest score was 9.16 with the highest score being 74.67 with an average of 34.49. Thus, there are still districts/cities whose health resource availability is not sufficient to be provide an effect on reducing healthcare inequity. Regarding the provision of health resources, the Government of Indonesia has stipulated Government Regulation No. 2 concerning Minimum Service Standards (SPM). This government regulation is the minimum service standard in the health sector. Furthermore, the Minister of Health has also stipulated Regulation of the Minister of Health No. 4 of 2019 concerning Technical Standards for Fulfilling Basic Service Quality in Minimum Service Standards in the Health Sector. The provision of health resources is an important element for achieving the minimum service standards regulated in this regulation of the Minister of Health. Therefore, consistent implementation of the Regulation of the Minister of Health No. 4 of 2019 is important to reduce healthcare inequity in a district/city area and further contribute to reducing healthcare inequity as a whole."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library