Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andina Dian Dwi Fatma
"ABSTRAK
Tesis ini membahas pembingkaian bloggers Kompasiana terhadap banjir Jakarta
pada tahun diselenggarakannya pemilu legislatif dan pemilu presiden, serta
tipologi kritik media apa saja yang muncul dalam rangkaian posting mereka
terkait tema tersebut. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan paradigma
konstruktivis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banjir Jakarta oleh bloggers
Kompasiana dibingkai bukan hanya sebagai bencana, namun juga sebagai
komoditas berita politik; tipologi kritik media yang muncul adalah Agenda
Setting, Framing, dan Praktik Jurnalistik; dan peran bloggers sebagai pilar kelima
baru mencapai tahap awal kemunculannya (emerging).

ABSTRACT
This thesis discusses the framing Kompasiana bloggers give to Jakarta floods in
the year of legislative and presidential elections, as well as the media critics
typology appear in the series of posts related to the theme. This study is a
qualitative study with a constructivist paradigm. The results showed that the
flooding in Jakarta is interpreted not only as a common event, but also a political
news commodity; media critics typology that arise are Agenda Setting, Framing,
and Journalistic Practices; and bloggers’ role as the fifth estate has just reached
the emerging state."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42129
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridha Ahida
"Masyarakat majemuk terdiri dari beragam kelompok kultural, yang memiliki nilai dan praktek kultural yang berbeda-beda. Setiap kelompok kultural menuntut agar seluruh interes mereka diakomodasi dan diproteksi keberadaannya dalam masyarakat. Mereka juga menuntut untuk dikompensasi atas segala tindakan diskriminasi dan ketidakadilan yang telah diderita karena keanggotaan kultural mereka. Persoalan keadilan pada masyarakat majemuk inilah yang coba dilihat dari perspektif John Rawls dan Will Kymlicka, dalam satu bentuk wacana multikulturalisme. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif interpretatif dan reflektif filosofis.
Suatu masyarakat dapat menjadi masyarakat majemuk karena faktor dari dalam dan faktor dari luar. Keberagaman kelompok kultural seperti etnik, ras, agama dan gender sering menimbulkan konflik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ketidakpuasan timbul dari pola relasi di antara kelompok-kelompok kultural, yang cenderung ditentukan oleh kelompok kultur mayoritas dan penguasa, seperti asimilasi dan integrasi. Untuk itu, kelompok-kelompok kultur minoritas menuntut agar pemerintah memperhatikan kondisikondisi spesifik mereka yang berbeda-beda, agar diakomodasi, diproteksi dan dikompensasi atas ketidakadilan-ketidakadilan yang diderita karena identitas kultural mereka. Mereka menuntut hak kultural yang dapat terkait langsung dengan praktek kultural atau secara tidak langsung, yang diberikan karena keanggotaan kultural yang dimiliki. Inilah yang menjadi cita-cita multikulturalisme, yaitu bagaimana menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada secara setara dalam satu bentuk masyarakat multikultural.
John Rawls mengemukakan konsep keadilannya sebagai satu konsep yang netral kultur. Menurut Rawls, untuk mewujudkan satu masyarakat yang teratur, maka prinsip-prinsip keadilan yang dilaksanakan harus bersifat fair. Prinsip keadilan tersebut harus menguntungkan setiap orang dan berdasarkan kesepakatan dari semua orang. Untuk itu, Rawls mengandaikan satu posisi asali, ditandai dengan kebebasan, kesamaan dan rasionalitas orang-orang yang ada di dalamnya diselubungi oleh satu ketidaktahuan terhadap hal-hal spesifik, kecuali hak-hak yang bersifat umum. Dengan demikian mereka dapat berpikir secara objektif, berpikir untuk keuntungan semua orang, untuk kebebasan dan kesamaan di antara semua pihak dalam masyarakat. Dengan prinsip egalitariannya, Rawls sangat menginginkan kesamaan di antara individu-individu, namun ia tidak menutup kemungkinan adanya ketidaksamaan-ketidaksamaan. Untuk itu ia menyikapinya dengan strategi maksimum, di mana ketidaksamaan terutama harus menguntungkan pihak yang paling tidak beruntung, tanpa merugikan pihak yang sudah beruntung dan semua posisi dan jabatan terbuka untuk semua orang.
Will Kymlicka mengatakan bahwa individu adalah pelaku otonom dan untuk mewujudkan otonomi pada individu harus dijamin keberadaan kelompok kulturalnya. Kultur sangat berpengaruh terhadap konteks pilihan yang tersedia bagi individu dalam bertindak, dan individu bukan suatu keberadaan yang terasing tapi memiliki ketertanaman pada kelompok kulturnya. Untuk menjamin keberadaan kelompok-kelompok kultural pada masyarakat multikultural, maka setiap kelompok kultural berhak mendapat hak-hak kultural seperti hak pemerintahan sendiri, hak polietnis dan hak perwakilan khusus.
Dilihat dari perspektif Rawls tampak bahwa ketidaksamaan-ketidaksamaan di antara orang-orang, di antara kelompok-kelompok kultural, harus disikapi dengan melakukan redistribusi nilai-nilai sosial yang terutama menguntungkan kelompokkelompok kultural yang telah tidak diuntungkan sebelumnya, tanpa merugikan kelompok kultural yang telah beruntung. Konsep keadilan Rawls sangat relevan untuk diterapkan pada ketidaksamaan-ketidaksamaan di bidang sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh keanggotaan kultural. Sementara, konsep keadilan Kymlicka bertujuan untuk memberikan kekuatan politik kepada kelompok-kelompok kultur minoritas agar mereka dapat mengatur dan menyuarakan sendiri interes-interes kelompoknya ke wilayah publik. Konsep keadiian Rawls dan Kymlicka juga relevan digunakan dalam menyikapi keberadaan dari keberagaman kelompok kultural di Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
D548
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Selu Margaretha Kushendrawati
Depok: Universitas Indonesia, 2006
D601
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Monik Agustin
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui panoptisisme dalam proses konstruksi wacana tubuh normal pada perempuan gemuk khalayak iklan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mendeskripsikan proses konstruksi wacana tubuh normal pada perempuan gemuk, mendeskripsikan dan mengidentifikasi permainan kebenaran atas wacana tubuh normal perempuan, mengidentifikasi mengidentifikasi konsep diri yang dihasilkan dari proses konstruksi sosial atas realitas tubuh normal, dan mengidentifikasi pemain-pemain permainan kebenaran yang dihasilkan dari konsep diri hasil konstruksi sosial atas realitas tubuh normal. Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir Michel Foucault mengenai panoptisisme, disiplin tubuh, hubungan relasi kuasa dan wacana, konstruksi realitas sosial dari Berger-Luckman dan interaksionisme simbolik yang dikembangkan Cooley-Mead. Paradigma dalam penelitian ini adalah konstruksionisme kritis dan merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam terhadap 6 perempuan gemuk.
Hasil penelitian ini berhasil mengidentifikasi Panoptisisme Patriarki yang ada dalam proses konstruksi wacana tubuh normal, permainan kebenaran atas wacana tubuh normal di media, hadir dalam bentuk wacana tubuh normal dan wacana sehat dalam tampilan media, seperti postingan akun media sosial, tayangan di televisi, iklan cetak di majalah, iklan di billboard, dan iklan televisi, panoptisisme wacana tubuh normal melalui iklan terjadi ketika wacana bersemayam dan mendisiplinkan tanpa terlihat, tanpa disadari dan tanpa paksaan melalui media, proses konstruksi wacana tubuh normal melalui media menghasilkan 3 kategori konsep diri, yaitu normative-confident self, alternative-confident self, dan low-confident self, dan konsep diri tersebut menghasil pemain-pemain permainan kebenaran yang terdiri a...

ABSTRACT
This study aimed to identify panopticism in the construction process of normal body discourse to obese women who were Advertisement Audience. In addition, this study also aimed to describe the construction process of normal body discourse, identify the truth game of the normal body discourse in the media, identify the self-concept, and identify the truth-game players of the discourse. This study uses a framework of Michel Foucault on panopticism, body discipline, power relations and discourse relations, the construction of social reality of Berger-Luckman and symbolic interactionist developed by Cooley and Mead. The paradigm of this research is critical constructionism and is a descriptive qualitative research. Data collection techniques used are depth interviews with 6 obese women.
The results of this study have identified Patriarchy Panopticism in the process of normal body discourse construction, a game of truth above normal body discourse in the media, is present in the form of discourse and the discourse of normal healthy body in appearance media, social media accounts such postings, on television shows, print ads in magazines, advertising in billboards, and television commercials, panopticism of normal body through advertising occurs when discourse and discipline resides invisibly, without realizing it and without coercion through the media, the process of normal body discourse construction through the media of self-concept resulted in 3 categories, namely normative self-confident, alternative-self confident, and low self-confident, and self-concept that produces the truth game players consisting of...
"
2014
D1935
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naniek Poerwito Setijadi
"Goffman (1967) mendefinisikan face (muka) sebagai sebuah nilai sosial positif yang secara efektif diklaim oleh seseorang untuk dirinya sendiri sejalan dengan anggapan orang lain mengenai dirinya pada saat kontak tertentu. Muka seseorang adalah indikator langsung harga dirinya selama interaksi dan oleh karena itu merupakan bagian penting dari proses komunikasi. Facework (Ting-Toomey, 1988) adalah strategi komunikasi yang digunakan individu untuk mengemukakan muka dirinya (self-face) untuk mendukung atau menentang muka diri orang lain (other-face). Individu dari latar belakang dan budaya yang berbeda menegosiasikan strategi muka berbeda ketika konflik dan ketidakpastian terjadi.
Menggunakan pendekatan interpretif kualitatif etnometodologi, penelitian ini mengkaji strategi muka individu dalam dinamika komunikasi virtual kelompok antar budaya. Subyek yang diamati dalam penelitian ini adalah sebuah kelompok virtual, kolaborasi dari tiga universitas (satu dari Indonesia dan dua dari Amerika Serikat) yang secara teratur menggunakan Skype video conferencing untuk bertemu. Interaksi yang terjadi dalam kolaborasi pengambilan keputusan menjadi fokus untuk menganalisis muka. Analisis Percakapan dipakai untuk menganalisa bagaimana peserta mengkonstruksikan percakapan mereka, dan perspektif sosial budaya pada muka diperhitungkan dalam menganalisa data. Sebagai kerangka teori, Teori Face-Negotiation dari Ting-Toomey (1988; 2005) digunakan untuk menjelaskan konsekuensi dari proses komunikasi kelompok virtual, khususnya bagaimana strategi muka individu dilakonkan dalam proses kolaboratif.
Hasil penelitian ini adalah pemetaan strategi facework individu dari budaya-budaya individualistik (Amerika Serikat) dan kolektivistik (Indonesia). Studi ini menunjukkan hasil, yang bertentangan dengan asumsi umum, bahwa perbedaan dalam strategi facework individu dari budaya individualistik dan kolektivistik tidaklah sekontras seperti hitam dan putih. Ada wilayah 'abu-abu' di mana individu-individu dari kedua budaya melindungi atau mempertahankan muka dirinya (self-face defensive) sendiri namun pada saat yang sama juga saling menghormati muka satu sama lain (mutual-face) demi solidaritas kelompok. Sikap mindfulness individu mempengaruhi strategi facework yang dilakukan dalam proses kolaborasi. Pemetaan strategi negosiasi muka berbasis budaya yang dihasilkan dari penelitian ini dapat membantu ilmuwan memahami bagaimana individu menegosiasikan muka mereka dalam kolaborasi virtual antarbudaya. Karenanya, hasil dari penelitian ini merupakan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan Teori Negosiasi Muka.

Goffman (1967) defined face as 'the positive social value a person effectively claims for himself by the line others assume he has taken during a particular contact'. An individual's face is a direct indicator of hir/her self-esteem during interactions and it is therefore an important part of communication processes. Facework (Ting-Toomey, 1988) is a communication strategy used by a person to express his/her self-face to support or oppose other person's face. Individuals from different backgrounds and cultures negotiate face strategies differently when conflict and uncertainty occur.
Using the qualitative interpretive approach of ethnomethodology, this study examines face negotiation strategies in the dynamics of intercultural virtual group communication. The subjects observed in this study is a virtual group, a collaboration of three universities (one from Indonesia and two from the USA) that regularly use Skype video-conferencing for meetings. Interaction that occurs during decision making is the focus for analyzing face. Conversation Analysis is used to analyze how participants construct their conversation, and the sociocultural perspective of the face is considered in analyzing the data. As a theoretical framework, Ting-Toomey's Face Negotiation Theory (1988; 2005) is used to explain the consequences of the virtual group communication process, particularly the face strategy of individuals in collaborative processes.
The result of this study is a mapping of facework strategies from cultures identified as either 'individualistic' (such as the USA) or 'collectivistic' (such as Indonesia). This study shows how, contrary to common assumption, the differences in the facework strategy of individuals from individualistic and collectivistic cultures are not so 'black and white'. There are many 'gray areas' where individuals from both cultures protect or defend his/her own face (self-face defensive) while at the same time also still honoring each other's face (mutualface) for the sake of group solidarity. This means that an individual's mindfulness affects facework strategies undertaken in the process of collaboration. The mapping of culture-based face negotiation strategies produced from this study can help scholars understand how individuals negotiate their face in intercultural virtual collaboration. Results from this study is therefore a significant contribution to the expansion of Face Negotiation Theory.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D2281
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vitria Ariani Soedjiarto
"Disertasi ini bertujuan untuk menganalisa secara kritis pariwisata sebagai gaya hidup manusia modern dengan sistem kapitalisme dalam budaya teknorasi yang membuat manusia menjadi teralienasi dan terkungkung dalam satu dimensi. Melalui pemikiran dari salah satu tokoh Frankfurt Schule Herbert Marcuse, pariwisata akan ditelaah secara mendalam melalui kaca mata manusia satu dimensi yang tergiring dengan adanya teknologi dan materi sebagai agen pemiskinan dimensi dalam dirinya. Gaya hidup berwisata dengan konsep pariwisata massal dan hedonisatik menjadi tujuan yang harus diberlakukan sebagai cara mencapai eksistensi hidup manusia satu dimensi ini.
Disertasi ini juga akan menemukan pariwisata dalam arti sesungguhnya yaitu berupa suatu kegiatan bagi manusia untuk dapat keluar dari kungkungan dirinya untuk memeperkaya dimensi-dimensi lain dalam hidupnya, bukan sebaliknya menjadikan manusia menjadi miskin terkerucutkan dimensinya dengan hanya berpijak pada dimensi ekonomis belaka. Pemikiran Marcuse membantu peneliti untuk membedah pariwisata massal hasil revolusi industri dengan industrialisasinya yang berpijak pada konsep satu dimensi dan pada akhirnya memberikan satu solusi dan jalan tengah bagi praktik-praktik pariwisata berbasis ekonomi kepada suatu bentuk pariwisata alternatif yang merupakan bentuk dari pariwisata multi dimensi yang mengembalikan pariwisata kepada akar sesungguhnya tanpa menghilangkan aspek ekonomisnya.

This dissertation aims to critically analyze tourism as a lifestyle of modern man with the capitalist system in technocracy culture that makes people become alienated and trapped in one dimension value. Adapting from Frankfurt School critical thinker Herbert Marcuse, tourism will be explored in depth through the lens of one-dimensional human beings who are led by the technology and materials as agents of impoverishment dimension within himself. Lifestyle is traveled with the concept of mass tourism and hedonistic value as a goal that must be applied as a way of achieving human life existences.
This dissertation will also discover the true meaning of tourism in the form of an activity for human beings to be able to get out of the confines himself to enrich other dimensions of his life, not the other way that reduce dimensions by simply rests on mere economic dimension. Marcuse help researchers to dissect the mass tourism industry revolution as the results of industrialization which is based on the concept of onedimensional and ultimately provide a middle ground for solutions and practices of tourism-based economy to an alternative form of tourism. This new form of tourism defines as multi-dimensional tourism that giving multi dimensional value of tourism without losing its economic aspects.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
D1870
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herdito Sandi Pratama
"ABSTRAK
Disertasi ini membahas penggunaan individualisme metodologis dalam Ilmu ekonomi yang menjadikan individu sebagai unit analisis ekonomi. Pilihan metodologi ini mereduksi kenyataan ekonomi ke dalam pengertian individual, dan diekspresikan dalam teori pilihan rasional. Penggunaan individualisme metodologis dalam ilmu ekonomi dimulai secara sistematis oleh kelompok Austrian school sebelum menyebar menjadi praktik keilmuan ekonomi yang lazim. Disertasi ini mengeksplisitkan cara kerja, asumsi-asumsi metodologis yang berlaku dalam individualisme metodologis, komitmen ontologisnya terhadap sistem pasar, serta menghasilkan kritik terhadapnya. Kritik itu ditujukan dalam hal ketidakcukupan individualisme metodologis dalam menghasilkan teori-teori ekonomi yang lebih kaya menggambarkan fenomena ekonomi. Implikasi filosofisnya adalah urgensi studi filsafat ekonomi dan metodologi ekonomi dalam mengembangkan pemahaman dan metodologi ilmu ekonomi yang lebih baik.

ABSTRACT
This dissertation discusses the use of methodological individualism in economics science which sees the individual as a unit of analysis. Such choice of methodology reduces the reality in economy into the individual sense, and had been expressed in rational choice theory. The use of methodological individualism began systematically in Austrian School and spread over as common economic scientific practices. This dissertation explicate procedures, methodological assumptions in methodological individualism, its ontological commitment upon market system, and generate critics towards it. The critic is especially about insufficiency of methodological individualism in order to produces good economic theories. The philosophical implication of this research is about the urgency in the study of philosophy of economic and its methodology in order to develop better methodology and understanding in economic science.
"
2015
D2140
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudyanto Soesilo
"Arsitektur Postmodern yang mulai berkembang pada tahun 1970an, merupakan bagian yang penting dan tak terpisahkan dari Fenomena Postmodern sebagai pergerakan budaya pada akhir abad XX. Setelah Postmodernisme berkembang di dunia sastra, maka perkembangan ini menjalar ke sektor-sektor lain terutama ke sektor postmodern 'par-excellence", yaitu arsitektur. Pada tahun 1975, seorang sejarawan dan teoritikus Amerika. Charles Jencks dalam bukunya The Language of Post Modern Architecture telah mengalihkan istilah Postmodern dari sastra ke arsitektur. Sampai sekarang arsitektur merupakan bidang yang menonjol dalam wacana mengenai modernitas dan postmodernitas, sehingga tak dapat dipungkiri, bahwa arsitektur mempunyai peran yang penting dalam pergerakan Postmodern sebagai fenomena abad XX.
Di antara tahun 1960-an dan 70-an Postmodernism menyebarkan pengaruhnya pada seni dan arsitektur. Hal itu telah dimulai sejak tahun 1961 oleh buku yang spektakuler yang ditulis oleh Jane Jacobs The Death and Life of American Cities yang menjelaskan tentang pengaruh modernisme dan politik welfare state yang menciptakan kantong-kantong perumahan untuk kaum miskin, kebijaksanaan yang anti urban dan anti human yang pola-pola gridnya telah memotong mekanisme sosial dari pola urban neighbourhood yang telah secara tradisional hidup dalarn masyarakat.
Tahun 1966 Robert Venturi, seorang arsitek, kritikus dan teoritikus arsitektur meluncurkan buku Complexity and Contradiction in Architecture yang menekankan bahwa komunikasi arsitektural membutuhkan kompleksitas bukan simplisitas dan bahkan membutuhkan kontradiksi. Slogan dari kaum modernis "less is more" akan menjurus pada "less is a bore". Pendekatan gaya modernis dan pendekatan sosial yang uniform, teknokratik, dan solusi top down telah ditinggalkan.
Istilah postmodern kemudian dipakai secara menyebar sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1975 Charles Jencks menggunakannya dalam arsitektur. Pada akhir tahun 1970-an tiga buah buku menegaskan Postmodernisme sebagai sebuah pergerakan : The Language of Post-Modern Architecture (1977) oleh Charles Jencks, La Condition Postinoderne : rapport sur le savoir (1979) oleh Jean-Francois Lyotard dan Philosophy and the Mirror of Nature (1979) oleh Richard Rorty.
Walaupun sulit untuk merumuskan arti postmodemisme, bukan saja banyaknya hal-hal yang dilabeli postmodernisme tetapi karena para postmodemis sendiri menyangkal bahwa mereka mempunyai doktrin dan teori tertentu. Tetapi walau bagaimanapun harus dilakukan suatu pemahaman yang kurang lebih dapat dicatat, sbb : Adanya tema-tema besar ataupun ide yang muncul dalam karya-karya post-modernisme, adanya berbagai klaim para postmodemis dan adanya isu-isu yang membagi postmodernisme.
Arsitektur Post-Modern kemudian berkembang pesat dengan beberapa doktrin-doktrinnya, di antaranya dikenal : Historicism, Straight-revivalism, Neo-vernacular, Adhocism Urbanist, Metaphor Metaphysical, Post-modern space Masing-masing mempunyai ciri fisik arsitektural tersendiri dan secara keseluruhan mengandung makna pluralistis serta mengindahkan masa lalu.
Arsitektur sering disebut sebagai Applied Art salah satu cabang seni-guna. Sesuai perkembangannya sebagai applied-art, karena harus bisa digunakan, Arsitektur harus ditopang oleh teknologi (building-engineering) dan fisibilitas ekonomi. Dalam perkembangan terakhir, Arsitektur didekati dari berbagai cabang ilmu, misalnya: ilmu-ilmu perilaku (behavioural sciences) seperti: Psikologi, Sosiologi dan Antropologi, di?."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
D489
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Embun Kenyowati Ekosiwi
"Disertasi ini meneliti persoalan ilusi dalam seni, khususnya pada seni visual. Berangkat dari gagasan ilusi dalam seni visual (lukis, gambar, patung dll.) sebagai bagian dari apresiasi terhadap karya seni, disertasi ini mencoba melihat sisi positif dan kebaikan ilusi dalam seni visual sebagai fakta ontologis, sebagai bentuk kreativitas dari persepsi dan pikiran, sebagai cara berbeda dalam melihat realitas visual dan melihat dunia. Penelitian terhadap seni visual melalui teori teori seni visual ( Gombrich, Arnheim dan Langer) dan diikuti dengan teori-teori seni secara umum (dari mimesis hingga ke simulasi), dimaksudkan untuk menemukan sisi positif dari ilusi, untuk membuktikan dua tingkat ilusi dalam pengalaman visual maupun dalam persepsi dan kognisi, yang ikut membentuk pandangan dunia yang berbeda di antara individu manusia. Dua tingkatan ilusi ini dibuktikan keduanya dapat digunakan sebagai sarana pendidikan dan politik berbasis perbedaan estetik.

This dissertation examined illusion in art, especially on visual art. Starting from the idea of illusion in visual art (paintings, drawings, sculpture, etc.) as a part of appreciation to works of arts, this dissertation tries to promote and prove the positive side and the beneficial of illusion of visual art as an ontological facts, as creativity of the perception and mind, as the different way of seeing the visual reality and the world. The examinations on visual arts through visual arts theory (Gombrich, Arnheim, Langer) followed by examination on theories of art in general (from mimesis to simulation) is meant to find out the positive side of illusion, to find out two levels of illusions in the experience of the visual realm and also in perception and cognition, which constructs a different world view amongst individuals. Two levels of illusion is proven can both be used as tools of education and politics based on aesthetic differences."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
D00639
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Santoso
"[ABSTRAK
Pesatnya pertumbuhan media sosial membawa banyak perubahan. Dengan
karakternya yang berbeda dengan media lama, media sosial membuka banyak
kemungkinan, termasuk bagi representasi identitas lokal. Seperti komunitas
Banyumas, mereka menjadikan media sosial sebagai ruang baru untuk
menunjukkan identitasnya. Sebuah pertanyaan mengemuka, apakah kehadiran
media sosial yang berkarakter global akan melemahkan identitas lokal, atau
sebaliknya justru memperkuatnya.Penelitian ini mencoba melihat transformasi
identitas komunitas Banyumas dari ranah offline ke online, dengan melihat
bagaimana realitas kontemporer praktik kebahasaan orang Banyumas dalam
kehidupan sehari-hari dan di media sosial. Pengamatan praktik kebahasaan di
media sosial dikhususkan pada pesan-pesan terpilih di blog, Twitter, dan
Facebook. Analisis dilakukan dengan menggunakan teori Pierre Bourdieu yang
melihat identitas sebagai sebuah kontestasi dalam sebuah ranah dinamis. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa karakter dasar orang Banyumas seperti cablaka,
penjorangan, dan dopokan, tergambar kuat dalam berbagai pesan di media sosial.
Uniknya, pesan-pesan ini banyak yang ditampilkan secara kreatif, sebagai bentuk
adaptasi karakter media sosial. Sebagai sebuah kontestasi, representasi identitas
lokal dipengaruhi oleh relasi antara ranah, habitus, dan modal. Ranah
menunjukkan setting media sosial itu sendiri. Sedangkan habitus ditunjukkan oleh
kecenderungan yang berbeda di antara para pengguna Banyumas dengan latar
belakang yang beragam. Sementara modal, ditandai kepemilikan modal yang
berbeda, baik yang berupa modal sosial, budaya, simbolik, maupun modal
ekonomi. Secara teoritis, hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan nilai dan
kekuatan modal, antara realitas offline dan online. Jika di ranah online, modal
ekonomi menjadi dominan perannya, maka di ranah online, modal simbolik lebih
berperan. Secara praktis, hasil penelitan ini menumbuhkan optimisme bahwa
identitas lokal akan terus bertahan, bahkan menguat, di era media sosial.;

ABSTRACT
The rapid growth of social media brings many changes. Distinguishing characters
with the old one, social media opens many possibilities, including the
representation of local identity. For instance, Banyumas community uses social
media as a new space to show their identity. A question arose whether the
presence of social media which has global character may weaken or strengthen
their local identities instead. This study tries to figure out the transformation of
identity of Banyumas community from offline to online field, by paying more
attention on how the contemporary reality of Banyumas people‟s linguistic
practices in their daily life and in social media is. The Observation on linguistic
practices in social media particularly focuses on the selected messages available in
blogs, Twitter, and Facebook. The analyses were conducted using Pierre Bourdieu
theories that viewed identity as a contestation within a dynamic field. The results
showed that the basic characters of the Banyumas people, such as cablaka,
penjorangan, and dopokan, were strongly reflected in various messages available
in social media. These messages were uniquely displayed in creative ways, as
forms of character adaptation in social media. As contestation, the representation
of local identity was influenced by the relationship between field, habitus, and
capitals. Field showed the setting of social media itself. Habitus were shown by
the different tendencies among users of Banyumas with different backgrounds.
Capitals were marked by the possession of different capitals, either in the form of
social, cultural, symbolic, or economic capital. Theoretically, the results of this
study showed differences in values and capital powers, between offline and online
reality. If in online field, the economic capital had the dominant roles, the
symbolic capital had more roles. Practically, the results of this study grow
optimism that local identity will surely survive and even be stronger in the era of
social media.;The rapid growth of social media brings many changes. Distinguishing characters
with the old one, social media opens many possibilities, including the
representation of local identity. For instance, Banyumas community uses social
media as a new space to show their identity. A question arose whether the
presence of social media which has global character may weaken or strengthen
their local identities instead. This study tries to figure out the transformation of
identity of Banyumas community from offline to online field, by paying more
attention on how the contemporary reality of Banyumas people‟s linguistic
practices in their daily life and in social media is. The Observation on linguistic
practices in social media particularly focuses on the selected messages available in
blogs, Twitter, and Facebook. The analyses were conducted using Pierre Bourdieu
theories that viewed identity as a contestation within a dynamic field. The results
showed that the basic characters of the Banyumas people, such as cablaka,
penjorangan, and dopokan, were strongly reflected in various messages available
in social media. These messages were uniquely displayed in creative ways, as
forms of character adaptation in social media. As contestation, the representation
of local identity was influenced by the relationship between field, habitus, and
capitals. Field showed the setting of social media itself. Habitus were shown by
the different tendencies among users of Banyumas with different backgrounds.
Capitals were marked by the possession of different capitals, either in the form of
social, cultural, symbolic, or economic capital. Theoretically, the results of this
study showed differences in values and capital powers, between offline and online
reality. If in online field, the economic capital had the dominant roles, the
symbolic capital had more roles. Practically, the results of this study grow
optimism that local identity will surely survive and even be stronger in the era of
social media., The rapid growth of social media brings many changes. Distinguishing characters
with the old one, social media opens many possibilities, including the
representation of local identity. For instance, Banyumas community uses social
media as a new space to show their identity. A question arose whether the
presence of social media which has global character may weaken or strengthen
their local identities instead. This study tries to figure out the transformation of
identity of Banyumas community from offline to online field, by paying more
attention on how the contemporary reality of Banyumas people‟s linguistic
practices in their daily life and in social media is. The Observation on linguistic
practices in social media particularly focuses on the selected messages available in
blogs, Twitter, and Facebook. The analyses were conducted using Pierre Bourdieu
theories that viewed identity as a contestation within a dynamic field. The results
showed that the basic characters of the Banyumas people, such as cablaka,
penjorangan, and dopokan, were strongly reflected in various messages available
in social media. These messages were uniquely displayed in creative ways, as
forms of character adaptation in social media. As contestation, the representation
of local identity was influenced by the relationship between field, habitus, and
capitals. Field showed the setting of social media itself. Habitus were shown by
the different tendencies among users of Banyumas with different backgrounds.
Capitals were marked by the possession of different capitals, either in the form of
social, cultural, symbolic, or economic capital. Theoretically, the results of this
study showed differences in values and capital powers, between offline and online
reality. If in online field, the economic capital had the dominant roles, the
symbolic capital had more roles. Practically, the results of this study grow
optimism that local identity will surely survive and even be stronger in the era of
social media.]"
2015
D2104
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>