Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Christina Angie Wulandari
"Penelitian ini bertujuan untuk menjawab mengapa Korea Selatan bersedia untuk membuka sektor agrikulturnya kepada Amerika Serikat di bawah skema KORUS FTA. Padahal pada perjanjian perdagangan bilateral sebelumnya, Korea Selatan tidak memasukkan sektor agrikultur ke dalam klausul setiap perjanjiannya. Untuk memahami perubahan tersebut, penelitian ini menggunakan kerangka analisis two-level game dari Robert Putnam. Metodologi yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan analisis eksplanatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada Level I, Amerika Serikat memiliki posisi tawar menawar yang lebih tinggi dan menuntut Korea Selatan untuk membuka sektor sensitifnya sebagai bentuk liberalisasi perdagangan dan negosiator Korea Selata yang US-centered menjadikan strategi negosiasi tidak transparan dalam kesepakatan KORUS FTA. Pada Level II determinan I, terdapat upaya dari organisasi bisnis yang berperan dalam politik domestik Korea Selatan dan mendorong pengesahan KORUS FTA. Pada Level II determinan II, semakin besarnya otonomi badan eksekutif Korea Selatan dan badan legislatif diisi oleh politisi-politisi yang memiliki visi sama dengan eksekutif, sehingga preferensi eksekutif mendominasi dalam proses pengesahan kesepakatan. Untuk itu, KORUS FTA merupakan bentuk perjanjian untuk memperdalam keterikatan baik dari segi ekonomi maupun politik bilateral Korea Selatan dan Amerika Serikat agar mampu beradaptasi di kawasan Asia Timur yang dinamis dan beriorientasi dalam perdagangan internasional. Maka dari itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa kesediaan Korea Selatan dalam membuka sektor agrikulturnya terhadap Amerika Serikat di bawah skema FTA merupakan bentuk jaminan dari kompleksitas hubungan Korea Selatan dan Amerika Serikat yang tidak hanya dicapai melalui perekonomian melainkan terdapat unsur keamanan yang saling bergantung dengan negara yang lebih besar.
This study aims to answer why South Korea is willing to open its agricultural sector to the United States under the KORUS FTA scheme. Whereas in the previous bilateral trade, South Korea did not include the agricultural sector in the clause of every agreement. To understand these changes, this study uses a two-level game analysis framework from Robert Putnam. The methodology used is a qualitative approach with explanative analysis. The results of this study indicate that at Level I, the United States has a higher bargaining position and demands South Korea to open its sensitive sector as a form of trade liberalization and the US-centered South Korean negotiators made the negotiation strategy not transparent in the KORUS FTA agreement. At Level II determinant I, there are efforts from business organizations that play a role in South Korean domestic politics and encourage the ratification of the KORUS FTA. At Level II determinant II, the greater autonomy of the South Korean executive and the legislative is filled with by politicians who have the same vision as the executive, therefore the executive preference dominates in the process of ratifying the agreement. For this reason, the KORUS FTA is a form of agreement to deepen ties both from economic and bilateral political aspects of South Korea and the United States, hence both countries are able to adapt to the dynamic of East Asia region oriented towards international trade. Thus, this study concludes that South Korea’s willingness to open its agricultural sector to the United States under the FTA scheme is a form of guarantee of the complexity of the relationship between South Korea and the United States not only achieved through economic relations, but there is a security matters that is interconnected with a larger country."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Farihah Nishfah Lailah
"BIT Indonesia-Singapura yang disetujui tahun 2020 sempat menuai kontroversi karena BIT telah terbukti mengancam kedaulatan negara dengan adanya klausul yang memungkinkan investor asing menggugat langsung negara ke arbitrase internasional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis alasan Indonesia dalam menyetujui BIT dengan Singapura tahun 2020. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pengambilan data berupa wawancara, korespondensi dengan Kementerian, serta penelitian berbasis internet. Hasil penelitian dengan menggunakan analisis teori permainan dua tingkat adalah Indonesia menyetujui BIT dengan Singapura tahun 2020 karena terdapat keselarasan kepentingan antara Indonesia dan Singapura yang saling menguntungkan serta didukung oleh mayoritas aktor domestik Indonesia (Kementerian Luar Negeri, Kementerian Investasi, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Sembcorp Development Ltd dan PT Jababeka Tbk). Kepentingan Indonesia yakni ingin memperbarui BIT untuk mengantisipasi kemungkinan adanya gugatan investor terhadap negara ke arbitrase internasional serta ingin meningkatkan jumlah investasi yang masuk ke Indonesia. Adapun kepentingan Singapura yakni ingin memberikan kepastian hukum bagi investor dan ingin memiliki DTAA (Double Tax Avoidance Agreement) untuk meningkatkan kredibilitas dan daya saing sebagai investment hub. Meskipun terdapat perbedaan preferensi dalam proses negosiasi BIT Indonesia Singapura tahun 2020, yakni adanya penolakan BIT dari Indonesia for Global Justice (IGJ), namun ukuran win-set nya tetap besar sehingga mendukung ratifikasi perjanjian tersebut.
The Indonesia-Singapore BIT which was approved in 2020 caused controversy because the BIT has been proven to threaten the country's sovereignty with a clause that allows foreign investors to sue the country directly in international arbitration. This research aims to analyze Indonesia's reasons for agreeing to the BIT with Singapore in 2020. The method used in this research is qualitative by collecting data in the form of interviews, correspondence with the Ministry, and internet-based research. The results of research using two-level game theory analysis are that Indonesia agreed to the BIT with Singapore in 2020 because there is a mutually beneficial alignment of interests between Indonesia and Singapore and supported by the majority of Indonesian domestic actors (Ministry of Foreign Affairs, Ministry of Investment, Ministry of Finance, Ministry of Industry, Ministry of Coordinator for Economic Affairs, Sembcorp Development Ltd and PT Jababeka Tbk). Indonesia's interests are to update the BIT to anticipate the possibility of investor lawsuits against the state in international arbitration and to increase the amount of investment entering Indonesia. Singapore's interests are that it wants to provide legal certainty for investors and wants to have a DTAA (Double Tax Avoidance Agreement) to increase credibility and competitiveness as an investment hub. Even though there are differences in preferences in the 2020 Singapore Indonesia BIT negotiation process, such as the rejection of the BIT from Indonesia for Global Justice (IGJ), the size of the win-set remains large, thus supporting the ratification of the agreement. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library