Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rachmanto Widjopranoto, researcher
Yogyakarta: BPPS-Depsos RI , 1971
361.8 RAC p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bob Widyahartono
"One of the most significant fact about Japan is that It is the only major non-Western country that has become a thoroughly industrialized and modernized democracy. But the so-called economic miracle, however is not the only remarkable feature. Two other features of Japanese life are noteworthy. One is the way the Japanese have kept alive and actually breathed new vigor into their traditional culture?Its arts and way of life. The other is the political and social changes that have accompanied economic modernization.This economic modernization has been branded by the West as Japan Incorporated with the process of unique characteristic of Japan Incorporated with its intricate web of financial and non financial relationship between companies linking them in a pattern of formal and informal obligation and enjoying the guidance of the government in pursuing Intel-nationalization. Indonesia and Japan belong to the same hemisphere, that is Asia. While Indonesia is also a maritime country, still keeping the traditional culture and just since 1990s starting to enter economic modernization in the urban and suburban life. Most Indonesian business organizations grew from small family businesses and with no formal structure. Some of them became big business and quite a number grew into medium size enterprises. Industrial alliance with backward and forward linkages among the large ones and medium enterprises Is until nowadays still negligible. The Indonesian business society does not conduct intricate web of financial and non financial relationship with the guidance of the government as exposed by the Japanese Therefore the idea of "Indonesia Incorporated" copying from the Japanese one still remains an unfulfilled dream."
2006
MUIN-XXXV-6-Juni2006-23
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Carter, Irl
New York, NY: AldineTransaction, 2011
301 CAR h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Purwadi Eka Tjahjono
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mempelajari dan memahami tentang hubungan antara pranata sosial-ekonomi dengan kondisi kemiskinan dan pemiskinan masyarakat di desa Meok. Secara khusus penelitian ini mengkaji hubungan antara pola produksi, pola distribusi dan pola konsumsi dan kemiskinan serta pemiskinan masyarakat Desa Meok.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan teori, khususnya pada masalah-masalah antropologi pembangunan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kerangka pemikiran untuk memahami gejala-gejala sosial-budaya yang terjadi dalam proses pembangunan, sehingga dapat dibuat suatu kebijakan atau keputusan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Konsep kemiskinan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai kondisi kerentanan dan ketidakmampuan yang dialami individu atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Sedang konsep pemiskinan dirumuskan sebagai proses yang menyebabkan individu atau masyarakat menjadi miskin atau bertambah miskin. Pranata sosial-ekonomi dalam penelitian ini dirumuskan sebagai sistem hubungan sosial yang mantap yang mengatur pola produksi, pola distribusi dan pola konsumsi dalam memenuhi keperluan (kebutuhan) pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan.
Data penelitian ini dikumpulkan dengan metode pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara tak berstruktur--berfokus, artinya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada para informan tidak dengan struktur tertentu tetapi tetap terfokus kepada satuan-satuan gejala yang menjadi pokok kajian penelitian ini. Hasil wawancara ada yang. direkam ke dalam pita kaset, ada yang dicatat langsung dan ada pula yang dicatat kemudian, tergantung dari suasana dan individu yang diwawancarai.
Macam data yang dikumpulkan melalui pengamatan terlibat meliputi jenis mata pencarian, pengolahan komoditas, jenis peralatan dan cara penggunaannya, pendistribusiannya, pola konsumsinya dan kondisi lingkungan hidupnya. Untuk memperoleh gambaran yang lebih realistis maka masalah-masalah tersebut dilacak pada tingkat pendapatan keluarga, tingkat pengeluaran rata-rata perbulan (pola konsumsinya), tingkat pendidikan dan kesehatan.
Teknik wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dan infomasi mengenai pandangan-pandangan masyarakat Desa Meok yang mencakup norma-norma atau aturan-aturan yang tercermin pada pranata sosial-ekonominya, tentang pengalaman dan perasaannya yang berhubungan dengan keadaan kemiskinan dan pemiskinan.
Penelitian ini dilakukan di Desa Meok, Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu. Pemilihan desa tersebut sebagai lokasi penelitian karena Desa Meok merupakan desa yang mayoritas penduduknya terdiri dari suku bangsa Enggano, dan kondisi masyarakatnya sebagian besar masih dalam keadaan miskin.
Hasil penelitian mengungkapkan batasan pengertian kemiskinan menurut masyarakat Desa Meok sebagai berikut: bahwa orang atau rumah tangga yang dikategorikan miskin mempunyai ciri-ciri rumahnya jelek, tidak punya uang, tidak punya apa-apa, tidak pernah pergi ke Bengkulu, pekerjaannya hanya sebagai anak buah (buruh). Dalam batasan tentang kemiskinan, tidak terdapat unsur pemilikan luas lahan, tingkat pendidikan dan kesehatan, hal ini disebabkan oleh kondisi dan situasi lokalitas mereka. Dengan demikian batasan mengenai kemiskinan dapat dirumuskan sebagai kondisi individu atau rumah tangga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya; mobilitasnya rendah dan kedudukan dalam struktur pekerjaan hanya sebagi buruh.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pola produksi yang belum mampu memberikan nilai tambah yang lebih maksimal terhadap sumberdaya alam yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Meok dalam menghadapi persaingan bebas dalam pola distribusi yang cenderung mengarah kepada sistem ekonomi pasar. Rendahnya produktivitas dan kecilnya nilai tambah serta kekalahan dalam transaksi menyebabkan tingkat pendapatan rumah tangga mereka dengan sendirinya menjadi sedikit. Dengan pendapatan yang sedikit tersebut akan menjadi hambatan atau kendala bagi mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Di samping tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya mereka juga tidak punya kesempatan untuk mengakumulasikan surplus dalam rangka investasi untuk pemilikan faktor produksi.
Sikap dan perilaku masyarakat golongan miskin dalam menghadapi gejala sosial di lingkungannya ditunjukkan (diungkapkan) melalui gejala kepasrahan yang menjurus pada fatalisme dalam kehidupan sehari-hari, dan partisipasi semu dalam memberikan respon terhadap pembangunan. Sehingga tanpa mereka sadari, mereka telah membiarkan kondisi kemiskinan tersebut melembaga di dalam lingkungan sosialnya. Ini dapat diamati dalam orientasi mereka terhadap masa depan, misalnya dalam perilaku menabung atau menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi belum tampak dalam kehidupan masyarakat miskin di Meok. Juga dalam proses penerusan (pewarisan) jenis pekerjaan yang dilakukan orangtuanya kepada anak-anaknya yang mulai meningkat remaja. Jika hal ini berlangsung secara berlanjut terus menerus dari orangtua ke anak-anaknya maka besar kemungkinannya kemiskinan yang dialami oleh masyarakat di Desa Meok akan menjadi suatu gaya hidup atau way of life."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shabrina Herdiana Putri
"Latar Belakang: Kesepian adalah perasaan negatif subyektif yang berhubungan dengan pengalaman pribadi seseorang dalam kurangnya hubungan sosial dan dialami oleh sepertiga lansia. Kesepian dapat menjadi faktor risiko terjadinya depresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesepian dengan terjadinya gangguan depresi pada lansia yang tinggal di panti sosial di Jakarta dan faktor-faktor yang memengaruhi kesepian.
Metode: Desain penelitian adalah kohort prosepektif selama tiga bulan (Juli-November 2023). Kesepian diukur dengan kuesioner De Jong Gierveld Loneliness Scale yang valid dan reliabel di Indonesia. Subyek penelitian adalah lansia berusia ≥ 60 tahun yang tinggal di panti sosial di Jakarta. Pemeriksaan dilakukan dua kali, yaitu awal dan akhir evaluasi. Hubungan antara kesepian dengan terjadinya gangguan depresi diuji menggunakan uji Chi-Square. Risk relative diuji menggunakan Chi Square dan untuk analisis faktor yang memengaruhi kesepian diuji dengan bivariat dan multivariat.
Hasil: Terdapat 21,5% (40 dari 186 subyek) lansia yang mengalami kesepian berat, yang berhubungan bermakna secara statistik (p=0,002) dengan terjadinya gangguan depresi. Lansia dengan kesepian berat memiliki risiko 2,36 kali menjadi gangguan depresi. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kesepian pada lansia yang tinggal di panti sosial adalah aktivitas rutin (p=0,004), alasan tinggal (p=0,006), lama tinggal (p=0,011), dan stresor psikososial (p=0,014).
Simpulan: Terdapat hubungan antara kesepian dengan terjadinya gangguan depresi pada lansia yang tinggal di panti sosial. Orang lansia dengan kesepian berat memiliki risiko menjadi gangguan depresi sehingga perlu dilakukan deteksi kesepian dan intervensi dengan membuat program aktivitas rutin di panti sosial untuk mencegah terjadinya gangguan depresi.

Background: Loneliness is a subjective negative feeling related to a person's personal experience of lack of social relationships and is experienced by one third of elderly people. Loneliness can be a risk factor for depression. This study aims to determine the relationship between loneliness and the occurrence of depressive disorders in elderly people living in social institutions in Jakarta and the factors that influence loneliness.
Methods: This research design is a prospective cohort within three months (July-November 2023). Loneliness was measured using the De Jong Gierveld Loneliness Scale questionnaire which is valid and reliable in Indonesia. The research subjects were elderly people aged ≥ 60 years who lived in social institutions in Jakarta. The examination was carried out twice, namely at the beginning and at the end of the evaluation. The relationship between loneliness and the occurrence of depressive disorders was tested using the Chi-Square test. Relative risk was tested using Chi Square and analysis of factors influencing loneliness was tested using bivariate and multivariate.
Results: There were 21.5% (40 of 186 subjects) of elderly people who experienced severe loneliness, which was statistically significantly related (p=0.002) to the occurrence of depressive disorders. Elderly people with severe loneliness have a 2.36 times risk of developing a depressive disorder. Factors associated with loneliness in elderly people living in social institutions were routine activities (p=0.004), reason for staying (p=0.006), length of stay (p=0.011), and psychosocial stressors (p=0.014).
Conclusion: There is a relationship between loneliness and the occurrence of depressive disorders in elderly people living in social institutions. Elderly people with severe loneliness are at risk of developing depressive disorders, so it is necessary to detect loneliness and intervene by creating routine activity programs in social institutions to prevent depressive disorders.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mudjahirin Thohir
"Permasalahan yang diajukan untuk dicari jawabannya dilapangan adalah bagaimana agama yang dilihat dan ditempatkan sebagai nilai-nilai budaya yang bersifat sakral yang isinya terdiri dari pandangan hidup (worldview) dan etos untuk menginterpretasi dan menjadikannya sebagai pedoman untuk pemenuhan kebutuhan biologi, kebutuhan sosial, dan kebutuhan adab, dibakukan dan perlakukan dalam kehidupan masyarakat Bangsri Jepara. Pengertian agama dalam studi ini dilihat dalam perspektif kebudayaan. Sedang teori kebudayaan yang digunakan adalah teori ideasional yang dikembangkan oleh Clifford Geertz dan Parsudi Suparlan serta ahli lain yang sepaham.
Berdasarkan pada studi lapangan, menunjukkan bahwa: 1) Agama dalam realitas sosial pada dasamya adalah hasil tafsiran-tafsiran terhadap apa yang diyakininya sebagai bersumber dari teks-teks suci. Dari tafsiran-tafsiran itu melahirkan model-model tentang pengetahuan dan keyakinan keagamaan yang bervariasi. Model-model pengetahuan dan keyakinan keagamaan sebagai hasil tafsiran-tafsiran tersebut merupakan "warisan" yang diterimanya dari generasi-generasi sebelumnya melalui suatu proses kebudayaan, dan warisan tersebut diterima, dibakukan, dan diberlakukan oleh sejumlah orang tetapi tidak untuk sejumlah orang yang lain. Karena itu (2) dalam kehidupan sosial terdapat macam-macam komunitas keagamaan, di mana masing-masing komunitas tersebut dalam satu segi diikat oleh kesadaran kedaerahan yang diperkuat oleh kesamaan faham keagamaan, dan organisasi-organisasi sosial keagamaan tetapi dalam segi yang lain, faham keagamaan dan organisasi sosial yang berbeda-beda tadi pada saat-saat tertentu bisa memudarkan atau memperlemah ikatan-ikatan kedaerahan atau persaudaraan. Dalam konteks seperti inilah sering terjadi (3) tumpang tindih antara kepentingan agama dengan kepentingan orang beragama; antara kebenaran agama dan kebenaran yang diperjuangkan oleh lembaga. Tumpang tindih demikian semakin kelihatan ketika warga masyarakat dihadapkan oleh kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya lingkungan yang terbatas. Dalam kondisi seperti itu, nilai-nilai agama yang berisi pandangan hidup dan etos mengalami penyempitan-penyempitan makna karena ia akan ditakar disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan ukuran-ukuran kepuasan antar-kelompok keagamaan atau oleh lembaga-lembaga sosial yang menggunakan atribut-atribut keagamaan."
2002
D405
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Diah Parwati
"Penyandang Disabilitas Mental di Panti Sosial mengalami viktimisasi kekerasan berupa pemasungan. Meskipun peraturan terkait larangan pemasungan telah dikeluarkan oleh pemerintah, tetapi tidak menghentikan terjadinya praktik pemasungan di Panti Sosial. Institutionalisasi di Panti Sosial menjadikan Panti Sosial sebagai tempat yang memiliki aturan sendiri sehingga membenarkan terjadinya praktik pemasungan dengan berbagai alasan. Dengan menggunakan analisis Routine Activity Theory dapat dilihat bahwa ketiga elemen RAT (a suitable target, a motivated offender, the absence of capable guardian) terjadi dalam satu ruang dan waktu sehingga viktimisasi kekerasan berupa pemasungan terjadi pada Penyandang Disabilitas Mental.

People with mental disabilities in social institutions experience violence victimization in the form of shackling. Even though regulations regarding the prohibition of shackling have been issued by the government, this has not stopped the practice of shackling in social institutions. Institutionalization in social institutions makes social institutions a place that has its own rules, thus justifying the practice of shackling for various reasons. By using Routine Activity Theory analysis, it can be seen that the three elements of RAT (a suitable target, a motivated offender, the absence of capable guardian) occur in one space and time so that violent victimization in the form of shackling occurs in Persons with Mental Disabilities.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Daly Erni
"Penelitian "Kajian Dokumen Tentang Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Penegakan Hukum Lingkungan", bertujuan untuk mendapatkan deskripsi analitis mengenai ketentuan beracara dalam perkara perdata yang berkaitan dengan lingkungan hidup dimana LSM bertindak sebagai penggugat, selain itu juga mendapatkan data dan informasi mengenai peran LSM dalam penegakan hukum lingkungan beserta hambatannya. Dalam hukum acara perdata dikenal istilah point d'interet point d 'action, dimana hanya pihak-pihak yang berkepentingan sajalah yang berhak mengajukan gugatan perdata lingkungan berdasarkan perbuatan melawan hukum. Pihak-pihak tersebut adalah pihak-pihak yang secara langsung menderita kerugian dalam kaitannya dengan perkara lingkungan akibat perusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi. Dalam hukum acara perdata juga terdapat asas bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu wajib membuktikan kebenaran dalil-dalilnya. Hal ini tentunya perlu diteliti lebih jauh mengenai peranan LSM dalam mengajukan gugatan perdata lingkungan dan asas bahwa penggugatlah yang harus membuktikan kebenaran dalil-dalil yang diajukan di persidangan.
Metodologi penelitian ini adalah penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan kualitatif. Langkah awal ialah dengan melakukan persiapan penelitian termasuk didalamnya studi literatur. Langkah berikutnya menyusun format pedoman pertanyaan yang diperlukan untuk wawancara dengan narasumber. Berkanaan dengan terbatasnya dana dan waktu, penelitian ini berupa pengamatan terhadap berbagai dokumen yang ada sehubungan dengan kasus-kasus yang pernah diajukan di dalam sidang pengadilan pada umumnya.
Selain itu penelitian ini juga menggali berbagai sumber tulisan atau dokumen yang pernah ada. Dengan demikian penelitian ini melakukan kajian ke berbagai instansi atau institusi yang terkait dengan permasalahan lingkungan seperti: Bapedal, LSM yang pernah menggugat, dan pengadilan. Setelah memperoleh data yang cukup, data tersebut diolah dan dianalisis guna pembuatan laporan. Perolehan hasil studi bahwa setelah tahun 1989 berdasarkan praktek pengadilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang pelestarian lingkungan hidup dianggap cakap dan memiliki kewenangan hadir sebagai penggugat di muka pengadilan di istilahkan dengan Standing to Sue in Conversation atau Standing to Sue in Environmental Litigation. Hal ini dikuatkan dengan diundangkannya UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 38.
Sedangkan mengenai asas pembuktian dalam praktek perkara perdata lingkungan dikenal asas Strict Liability atau tanggung jawab mutlak dimana dalam kasus pencemaran lingkungan tidak lagi didasarkan atas kesalahan (liability based on fault) dimana penggugat bare akan memperoleh ganti rugi apabila berhasil membuktikan adanya kesalahan. Asas ini juga dianut dalam UU No 23 tahun 1997 pasal 35 meskipun tidak secara penuh hanya bagi usaha dan kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan panting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sumardi
"ABSTRAK
Kewang adalah lembaga sosial di desa-desa Pulau Saparua, yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap tindakan semena-mena dari penduduk luar desa maupun penduduk desa itu sendiri, terhadap segala yang tumbuh dan hidup di atas tanah-tanah desa yang merupakan lumbung alami dari masyarakat itu sendiri. Salah satu usaha Kewang dalam melaksanakan fungsinya, ialah menetapkan Sasi. Sasi adalah larangan untuk memetik hasil atau panenan dalam kurun waktu tertentu. Tujuannya agar tanaman dapat memberikan hasil yang optimal. Dalam melaksanakan fungsinya, Kewang berpedoman pada norma-norma pengendali (adat istiadat).
Lembaga social ini sudah ada sebelum bangsa-bangsa Eropa (Portugis, 1512; Belanda, 1599) menguasai Saparua. Maka tradisi Kewang ini sebenarnya telah lama berakar dalam masyarakat Saparua. Peranannya dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan juga tidak diragukan lagi. Tetapi seiring dengan perkembangan di dalam masyarakat, maka efektivitas fungsi Kewang ini terus merosot, sehingga banyak desa-desa di pulau Saparua yang meninggalkan tradisi Kewangnya.
Salah satu desa di pulau Saparua yang cukup lama mempertahankan fungsi Kewangnya adalah desa Ihamahu. Malahan atas keberhasilannya dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan di desanya, pada peringatan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 1982, Korps Kewang Ihamahu memperoleh penghargaan Lingkungan Hidup Nasional berupa pahatan Kalpataru tiga dimensi berlapiskan emas murni. Tampaknya saat itulah puncak keberhasilan Kewang desa Ihamahu, karena pada masa-masa berikutnya efektivitas fungsinya terus merosot, menyusul kewang-kewang lainnya di banyak desa desa dalam wilayah pulau Saparua.
Kenyataan sebagaimana diuraikan di atas telah mengundang pertanyaan, faktor-faktor apa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap makin melemahnya efektivitas fungsi Kewang di Pulau Saparua.
Dengan menggunakan desain survai dalam telaah korelasi, dipilih enam variabel yang akan diamati kaitan fungsionalnya. Variabel-variabel itu ialah: Tingkat Pendidikan, Kontak-kontak Dengan Dunia Luar, Fertumbuhan Penduduk, Efektivitas Fungsi Norma Pengendali, Sikap Pimpinan Desa, dan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
- Tingkat Pendidikan, Kontak-kontak Dengan Dunia Luar, dan Pertumbuhan Penduduk, tidak berkorelasi secara signifikan dengan Efektivitas Fungsi Norma Pengendali.
- Efektivitas Fungsi Norma Pengendali tidak berkorelasi secara langsung dengan Efektivitas Fungsi Kewang, tapi melalui Sikap Pimpinan Desa.
Maka dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan: Bahwa norma pengendali atau adat-istiadat tidak selalu dapat melakukan pengendalian sosial terhadap masyarakat. Sebaliknya keputusan-keputusan pimpinan formallah yang justru memegang peranan penting.
Berkenaan dengan itu, usaha pelestarian kemampuan lingkungan di desa oleh masyarakat tidak akan dapat diandalkan tanpa peranan aktif pimpinan desa. Berdasarkan kenyataan tersebut betapapun kedudukan dan peranan pimpinan formal yang didukung oleh sistem pemerintahan nasional masih lebih penting daripada pimpinan adat, walaupun seringkali kehadiran pimpinan formal itu menimbulkan kecemburuan sosial.

ABSTRACT
Kewang is a social institution in the villages of Pulau Saparua which functions as a controlling agent toward arbitrary action of inhabitants living outside the village as well as inhabitants of the village itself, toward all what grows and lives on village land which forms a natural rice-barn of the society itself. One of the efforts of Kewang in the performance of its function is to determine Sasi. Sasi is a prohibition to collect harvest in certain periods. The objective thereof is to facilitate the vegetation to provide its optimal yield.
In performing its function Kewang is guided by controlling norms based on customs and traditions.
This social institution existed already before European nations (Portuguese, 1512; Dutch, 1599), governed Saparua. Therefore this Kewang tradition is in fact rooted in the Saparuan society since a long time ago.
Its role the management of natural resources and environment is also not to be doubted any more. In line with the development in the society, however, the effectiveness of the Kewang function is ever declining so that many villages in Saparua leaves their Kewang tradition. One of the villages in Pulau Saparua which has maintained the Kewang function long enough is the village of Ihamahu. For its success in managing natural resources and environment .in its village, at the commemoration of Life Environment Day on 5 June 1982 Ihamahu Kewang Corps has obtained National Life Environment appreciation in the form of a Kalpataru three dimensioned carving with a lining of pure gold. It seems that it was the peak of successful Kewang achievement in the village of Ihamahu because at the therafter following periods the effectiveness of its function is ever declining, following other Kewang in many villages in the Pulau Saparua region.
The fact as described above has raised the question; what factors are really responsible for the weakening of the effectiveness of the Kewang function in Pulau Saparua. In the application of a survey design in a correlation research six variables were chosen of which the functional correlation ship will be observed. Mentioned variables are: Level of Education, Contact with the Outside World, Population Growth, Effectiveness of the Controlling Norm Function, attitude of the Village Headman, and the Kewang Effectiveness Function.
The investigation result shows that:
- Levels of Education, Contacts with the Outside World, and Population Growth have no significant correlation with Controlling Norm Effectiveness Function.
- Controlling Norm Effectiveness Function has no direct correlation with Kewang Effectiveness Function, but is the case via (through) the attitude of village headman.
Hence from the mentioned investigation result can be concluded that a Controlling Norm or Customs and Tradition is not always in a position to perform a social control on society. Contrariwise the decisions of the formal leading authority just play an important role. In connection thereof the effort to make an everlasting environment in the village by the society cannot be relied on without the active role of the village headman. Based on mentioned fact, however that may be, the position and the role of the formal leading authority backed (supported) by a national government system is more important than a backing adat authority, although the pretence of a formal leading authority often cause a social suspicion.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Adlin Sila
"ABSTRAK
Disertasi ini mengkaji secara sosiologis lembaga keuangan mikro berbasis syariah (LKMS) atau lazim disebut BMT. Dengan berpijak pada kerangka teori institusional baru (new institusionalism), disertasi ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dalam pengumpulan datanya. Disertasi memilih LKMS di Cipulir, Jakarta dan Banda Aceh sebagai sasaran penelitian karena perbedaan lingkungan sosial budaya dan ekonomi masyarakatnya. Disertasi ini menemukan bahwa sistem bagi hasil dalam teknologi keuangan syariah bersifat hybrid karena merupakan institusi sosial informal yang diadopsi kemudian dikontekstualisasikan dalam sebuah makna dan kondisi tertentu sebagai sebuah sistem teknologi keuangan LKMS yang khas. Secara teoritis, mekanisme hiybrid ini membantu institusi-institusi sosial informal untuk bisa operasional dan kompatibel dengan sistem keuangan moderen seperti pada LKMS. Kepada pemerintah, disertasi merekomendasikan untuk membuat kebijakan yang kondusif bagi perkembangan lembaga keuangan mikro yang sesuai dengan sistem sosial budaya dan agama masyarakat setempat.

ABSTRACT
This dissertation studies sociologically a syariah-based microfinance institute (LKMS) which is usually known as BMT. By applying the framework of new institutionalism, this dissertation utilizes qualitative approach in its data collection. This dissertation chose LKMS in Cipulir, Jakarta and Banda Aceh as its object of study because of socio-cultural and economic differences of both society. This dissertation found that the profit and loss sharing system at the LKMS is regarded hybrid as it was previously adopted from traditional institution and recontextualized in a new meaning and certain condition. Theoretically, this hybrid mechanism will help tradisional and informal institution to become applicable and operational with the moderen finance system of LKMS. This dissertation recommends the government to carry out a policy which is condusive to the development of microfinance institutes fitting with the local culture and religion."
Depok: 2009
D622
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>