Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aghia Khumaesi Suud
"Pusat Pemulihan Aset (PPA) sebagai satuan kerja Kejaksaan Republik Indonesia, bertanggung jawab memastikan terlaksanakannya pemulihan aset di Indonesia dengan sistem pemulihan aset terpadu (Integrated Asset Recovery System) secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Dengan melakukan penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan, dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang ditangani Kejaksaan. Namun, jumlah pemulihan aset (asset recovery) hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan PPA masih sedikit dan pelaksanaannya sekarang ini hanya dilakukan setelah ada putusan pengadilan, padahal seharusnya dapat dilakukan penelusuran (asset tracking) sejak sebelum putusan. Selain itu, urgensi keberadaannya masih dipertanyakan mengingat ruang lingkupnya hampir sama dengan Labuksi KPK dan Rupbasan pada KemenkumHAM yang secara tidak langsung menimbulkan tarik menarik kewenangan antara unit aparat penegak hukum tersebut. Untuk itu, diperlukan optimalisasi PPA Kejaksaan agar aset hasil tindak pidana korupsi dapat dipulihkan secara cepat, efektif dan transparan.

The Asset Recovery Center (PPA) as the Republic of Indonesia General Attorney's unit is responsible for ensuring asset recovery is carried out in Indonesia with an integrated asset recovery system (Integrated Asset Recovery System) in an effective, efficient, transparent and accountable manner. By conducting searches, safeguards, maintenance, seizures, and returning assets resulting from criminal acts of corruption handled by the General Attorney. However, the amount of asset recovery resulting from the criminal acts of corruption carried out by PPA is still small and its implementation is currently only carried out after a court decision, even though asset tracking should have been carried out before the verdict. In addition, the urgency of its existence is still questionable considering its scope is almost the same as the KPK and Rupbasan production at the Ministry of Law and Human Rights which indirectly raises the pull of authority among the law enforcement unit units. For this reason, it is necessary to optimize the PPA of the General Attorney so that the assets resulting from corruption can be recovered quickly, effectively and transparently."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53714
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumi Danang Sufianto
"Penulisan Skripsi ini dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan mengenai pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi, yang kerap kali dinilai masih tidak
maksimal dalam pelaksanaannya, terlebih apabila terhadap harta benda tersebut dilakukan pencucian uang ke luar negeri sehingga menimbulkan permasalahan
antar jurisdiksi. Pemulihan aset tidak hanya dapat dilakukan melalui mekanisme hukum pidana saja, namun juga hukum perdata, termasuk pula kepailitan, hal mana telah diterapkan dalam beberapa kasus yang pernah terjadi di beberapa yurisdiksi,
namun belum pernah diterapkan di Indonesia. Metode penelitian pada skripsi ini adalah penelitian hukum dalam bentuk yuridis normative. Berdasarkan analisis penulis, forum kepailitan, termasuk pula kepailitan lintas batas (cross-border insolvency) dapat menjadi salah satu pilihan untuk memaksimalkan permasalahan pemulihan aset, disamping melalui penuntutan secara pidana dan gugatan perdata. Namun untuk memaksimalkan hal tersebut, Pemerintah perlu mengatur lebih lanjut mengenai kepailitan lintas batas (cross-border insolvency) serta joint bankruptcy dalam Undang-Undang Kepailitan Indonesia.

The writings of this thesis is motivated by issues regarding the recovery of
assets resulting from and related to corruptions, which are often considered to be not optimal in its implementation, especially when the particular assets are being
laundered overseas, and therefore arising an extra-jurisdiction problems. Asset Recovery is not only be done by criminal forfeiture, but also civil forfeiture,
including bankruptcy or insolvency proceedings as well, in which insolvency
proceedings has been applied in several cases in several jurisdictions, but have never been applied in Indonesia. The research method in this thesis is normative judicial legal research. Based on the writer’s analysis, bankruptcy and/or
insolvency proceedings, including the legal instrument of cross-border insolvency,
can be an option to aid and maximize to succeeds asset recovery. However, in order
to maximize its success, the Government should regulate about cross border
insolvency and joint bankruptcy and/or insolvency further , in the Indonesian
Bankruptcy Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Santoso
"

Prosedur penyitaan menjadi gagasan baru yang dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam upaya mengembalikan kerugian korban, khususnya dalam kasus money laundering. Umumnya, penyitaan dilakukan oleh POLRI pada tahap penyidikan. Namun, karena adanya batas waktu dalam penyidikan, maka pada prakteknya seringkali tidak efektif dalam melakukan penyitaan aset. Oleh karena itu, Jaksa Penuntut Umum dapat membantu penyitaan tersebut apabila terdapat aset yang ditemukan dan belum disita. Selain itu, penyitaan juga menjadi salah satu faktor dalam pemulihan aset. Diharapkan pemulihan aset tersebut dapat dikembalikan kepada korban. Salah satu kasus yang melakukan penyitaan pada tahap proses persidangan adalah kasus perkara Indosurya atas putusan nomor 2113K/Pid.Sus/2023. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode penelitian normatif-yuridis. Lalu, penelitian ini bersifat deskriptif dengan didukung data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan analisis penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, penyitaan terhadap aset hasil Money Laundering tidak hanya dilakukan oleh Penyidik POLRI, namun juga dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada saat proses persidangan. Pasal 81 UUU TPPU memberikan kewenangan aktif kepada hakim untuk memerintahkan jaksa melakukan penyitaan, tetapi pada praktiknya seringkali kurang dimanfaatkan. Kedua, putusan nomor 2113K/Pid.Sus/2023 menunjukkan isu keabsahan penyitaan oleh Jaksa Penuntut Umum, terutama ketidakmampuan POLRI dalam menyita aset. Meskipun hakim tidak menggunakan Pasal 81 UU TPPU, Jaksa tetap mengajukan penyitaan pada tahap kasasi untuk mencapai keadilan hukum. Selanjutnya, prosedur penyitaan aset selama persidangan menunjukkan pengakuan hakim terhadap langkah Jaksa Penuntut Umum yang memperjuangkan dan memberikan dasar untuk pemulihan aset korban.


The confiscation procedure is a new idea that can be carried out by the Public Prosecutor in an effort to recover victims’ losses, especially in money laundering cases. Generally, confiscation is carried out by the Indonesian National Police at the Investigation stage. However, due to time limits in investigations, in practice it is often not effective in confiscating assets. Therefore, the Prosecutor can assist with the confiscation if there are assets found that have not been confiscated. Apart from that, confiscation is also a factor in asset recovery. It is hoped that the recovery of these assets can be returned to the victims. One of the cases involving confiscation at the trial stage was the Indosurya case regarding decision number 2113K/Pid.Sus/2023. This research was studied using normative-juridical research methods. Then, this research is descriptive in nature, supported by secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials which are analyzed qualitatively. Based on the analysis of this research, several conclusions can be drawn. First, confiscation of assets resulting from money laundering is not only carried out by POLRI investigators, but can also be carried out by the Prosecutor during the trial process. Article 81 of UU TPPU gives active authority to judges to order prosecutors to carry out confiscations, but in practice it is often underutilized. Second, decision number 2113/K/Pid.Sus/2023 shows the issue of the legality of confiscation by the Prosecutor, especially the inability of the POLRI to confiscate assets. Even though the judge did not use Article 81 of the UU TPPU, the prosecutor still proposed confiscation at the cassation stage to achieve legal justice. Furthermore, the asset confiscation procedure during the trial shows the judge’s recognition of the Public Prosecutor’s steps in fighting for and providing a basis for the recovery of the victim’s assets.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nobertus Danun
"ABSTRAK

Tesis ini membahas tentang strategi penanggulangan tindak pidana pajak secara represif pada Direktorat Jenderal Pajak terkait tindak pidana pencucian uang pada kasus pidana pajak. Menyadari bahwa ancaman tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan serius yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan serta mengancam kepentingan nasional, berdampak luas dan membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka upaya pencegahan dan pemberantasan harus dilakukan melalui langkah-langkah konseptual dengan cara represif menggunakan asset tracing dan asset recovery. Tesis ini juga mengangkat sebuah kasus tentang penerbitan faktur fiktif yang dilakukan oleh RAS untuk memperkaya dirinya sendiri dengan melakukan pidana pajak yang sudah merugikan negara dan masyarakat. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa, dalam upaya pelaksanaan Strategi Penanggulangan Pidana Pajak Secara Represif Pada Direktorat Jenderal Pajak Terkait Tindak Pidana Pencucian Uang yang efektif, maka kerjasama yang sangat baik diantara instansi terkait yang meliputi penyedia jasa keuangan, PPATK, otoritas lembaga keuangan, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Penelitian selanjutnya perlu mendalami keterlibatan narasumber dari instansi-instansi lain di luar instansi primer yang peneliti. Terbatasnya dokumen yang membahas tentang kasus tindak pidana pajak melalui penegak hukum dan pemulihan aset, penelitian berikutnya perlu membandingkan kasus-kasus tindak pidana yang lebih relevan.


ABSTRACT


This thesis discusses about the strategy of prevention of tax crime act repressively at Directorate General of Taxation related to crime of money laundering in tax crime case. Recognizing that the threat of money laundering as a serious crime that could disrupt the economic stability and integrity of the financial system and threaten the national interest, has a wide-ranging impact and endangers the joints of the life of the community, nation and state, the prevention and eradication must be done through the steps conceptual in a repressive way using asset tracking and asset recovery. The thesis also raises a case concerning the issuance of fictitious invoices by the RAS to enrich itself by tax crimes that have harmed the state and society. The results of this study suggest that, in the effort of implementing Criminal Countermeasures Strategies in Repressive at the Directorate General of Taxes Related to the Effective Money Laundering Act, the excellent cooperation among related agencies including financial service providers, PPATK, the authority of financial institutions, Police, Attorney and the Court. Subsequent research needs to deepen the involvement of resource persons from other agencies outside the primary institution of the researcher. Limited documents concerning tax crime cases through law enforcement and asset recovery, subsequent research should compare more relevant cases of tax crime offenses.

"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihite, Muhamad Idris Froyoto
"Penelitian ini bertujuan mengkaji kebijakan pemulihan aset hasil korupsi yang ditempatkan di luar negeri dengan pendekatan deskriptif-kualitatif dan menggunakan metode studi kasus. Berdasarkan identifikasi dan interpretasi data dengan kerangka kebijakan kriminal Hoefnagels (1969) dan konseptualisasi negara sebagai korban dalam perspektif viktimologi, merujuk pada konsep oleh Frieberg (1988) dan prisma kejahatan oleh Lenier dan Henry (2004). Konseptualisasi tersebut kemudian disebut dalam temuan penelitian ini sebagai negara sebagai korban tersamar kejahatan korupsi.
Penelitian ini menemukan bahwa Indonesia perlu memperkuat kerjasama berupa mutual legal assistance (MLA) dan informasi transaksi keuangan dengan negara tujuan penggelapan aset untuk melacak, merampas dan membekukan aset koruptor. Pemerintah membutuhkan kerangka hukum baru berupa undang-undang perampasan aset yang didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) penegak hukum yang memadai untuk mempermudah proses pemulihan aset hasil korupsi di luar negeri. Pemerintah juga perlu mereformasi wajah birokrasi dan penegakan hukum nasional yang transparan, humanis, profesional dan responsif terhadap isu korupsi. Kemauan politik Indonesia untuk secara timbal-balik memberikan bantuan kepada negara lain dalam proses asset recovery sangat dianjurkan. Pemerintah pun perlu mereformasi Pusat Pemulihan Aset (PPA) sebagai lembaga independen sembari memperkuat kapasitas SDM para anggota.

This study aims to examine the policy for the recovery of assets resulting from corruption placed abroad with a descriptive-qualitative approach and using a methods case study. Based on the identification and interpretation of data with a policy framework criminal Hoefnagels (1969), conceptualization of the state as victim, referring to Frieberg (1988) and crime prism by Lanier and Henry (2004). Current research propose the concept of the state as invisible victim of corruption as a result.
It was found that Indonesia needed to strengthen cooperation in the form of mutual legal assistance (MLA) and information on financial transactions with the country for which the assets were embezzled track, seize and freeze the assets of corruptors. The government needs a framework for new law in the form of an asset confiscation law that is supported by the availability of resources adequate human resources (HR) of law enforcers to facilitate the recovery process assets resulting from corruption abroad. The government also needs to reform the face of the bureaucracy and transparent, humanist, professional, and responsive to national law enforcement issues corruption. Indonesian political will to reciprocally provide assistance to other countries in the asset recovery process is highly recommended. The government also needs to reform the Asset Recovery Centre (PPA) as an independent institution while strengthening the human resource capacity of the members.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tania
"Aset hasil tindak pidana adalah tujuan utama pelaku kejahatan bermotif ekonomi melakukan perbuatannya. Oleh karena itu upaya penghilangan akses dan hak pelaku terhadap hasil kejahatan beserta perolehannya dapat menjadi salah satu cara yang efektif dalam upaya pemberantasan tindak pidana bermotif ekonomi. Kelahiran rezim anti pencucian uang di Indonesia telah memperkenalkan metode pendekatan baru yaitu follow the money dimana penegakan hukum tidak lagi hanya terfokus kepada pelaku kejahatan tetapi pada aset hasil tindak pidananya. Selain bertujuan untuk menghilangkan motif pelaku kejahatan, metode ini dapat menjadi harapan pemulihan bagi korban kejahatan yang merasakan kerugian finansial. Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebenarnya telah memberikan instrumen yang cukup mumpuni bagi para penegak hukum untuk melakukan upaya pemulihan aset bagi korban kejahatan, namun hal ini tidak terlihat pada kasus First Travel dimana majelis hakim menjatuhkan pidana penjara kepada para pelaku dan menyatakan seluruh aset First Travel dirampas untuk negara sehingga korban tidak mendapatkan pemulihan sama sekali. Penelitian ini berusaha untuk menjawab beberapa permasalahan yaitu terkait pengaturan upaya pemulihan aset di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang serta terkait penerapan upaya pemulihan aset di dalam kasus First Travel. Penelitian ini mendasarkan kepada penelitian hukum yuridis normatif, sehingga menggunakan sumber data sekunder berupa bahan hukum dan non-hukum. Wawancara terstruktur dan terpandu juga dilakukan untuk mengkonfirmasi interpretasi atas peraturan perundang-undangan dan penerapannya dalam praktek. Hasil penelitian membuktikan bahwa instrumen hukum pemulihan aset yang termaktub dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang telah memfasilitasi upaya pemulihan aset bagi korban kejahatan namun belum mengatur secara jelas mekanisme pemulangan aset kepada korban kejahatan yang dapat menjadi hambatan apabila korban kejahatan tidak sedikit. Dalam implementasinya terlihat bahwa penegak hukum masih terfokus hanya kepada pembuktian unsur atau pemenuhan unsur tindak pidana, sehingga mengakibatkan hasil penelusuran aset yang tidak maksimal serta terdapat kebingungan atas mekanisme pemulangan aset kepada korban sehingga pada akhirnya upaya pemulihan aset tidak dapat menjangkau actual victim.

Illegal asset is the main objective of criminals who carry out their action with economic motives. Therefore, eliminating their access and rights to the proceeds of crime can be an effective way of eradicating economic crimes. The deveopment of Anti money laundering regime in Indonesia has introduced a new approach method namely ‘follow the money’ allowing law enforcement to focus not only on criminals but also illegal assets. Besides aiming to eliminate the motives, this method can give hope to actual victim to the crime to get recovery. The anti money laundering law has actually provided a fairly qualified instrument for law enforcement officers to conduct asset recovery for the actual victims, but this is not found in the First Travel case where the judges sentenced the perpetrators to imprisonment and ordered all assests to be confiscated by State. Hence, actual victims left without any remedies. This study seeks to answer several regulatory gaps related to the Anti Money Laundering Law and their implementation particularly in the First Travel case. It is based on normative juridical law research using secondary data sources of legal and non-legal materials. Selective structured and guided interviews with experts were conducted to confirm the interpretation of related laws and regulation as well as their application on practices. The study higlighted that Anti Money Laundering Law has provided legal basis for asset recovery for victims; Nevetheless, it lacks of clear mechanism for returning assets to victims. This indeed can be an obstacle particularly involving massive victims. In practice, it appears that law enforcement still focuses only on proving the elements of crime rather than thingking about recovering assets. This way of working leads to inadequate asset tracing results. It can also create confusion over the mechanism of returning assets. In the end, ultimately asset recovery efforts can not provide adequate remedies to victim."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Sonora Gokma
"Pemulihan aset adalah serangkaian proses penelusuran aset, pengamanan aset, pengelolaan aset, perampasan aset, dan pengembalian aset kepada korban atau negara yang berhak. Pengaturan pemulihan aset tindak pidana di Indonesia belum sinergis sehingga menghasilkan peraturan yang tidak harmonis dan tumpang tindih. Proses pemulihan aset dilaksanakan oleh beberapa instansi sehingga menimbulkan ego sektoral dan koordinasi yang lama. Hal ini mengakibatkan pemulihan aset tindak pidana di Indonesia sebagai upaya untuk mengembalikan kerugian dari tindak pidana menjadi tidak optimal. Penelitian ini bertujuan untuk merekomendasikan strategi pemulihan aset tindak pidana di Indonesia agar menghasilkan pemulihan aset yang efisien. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menggunakan analisis peraturan perundang-undangan, analisis perbandingan, analisis konsep, dan analisis kasus. Hasil penelitian menemukan bahwa ketidakharmonisan dalam pengaturan pemulihan aset tindak pidana di Indonesia merupakan kelemahan dalam hukum pidana di Indonesia. Mekanisme pemulihan aset tindak pidana di Amerika Serikat, Inggris, dan Italia yang dinilai efisien dapat diterapkan di Indonesia. Berdasarkan perspektif economic analysis of law (EAL) dengan metode cost benefit analysis (CBA) maka strategi pengaturan pemulihan aset tindak pidana di Indonesia seharusnya bersinergis agar dapat tercapai kesejahteraan sosial dengan standar maksimum melalui RUU KUHAP. Kejaksaan layak menjadi koordinator pemulihan aset tindak pidana di Indonesia karena Kejaksaan merupakan penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan penyidikan, penuntutan, pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan pemulihan aset untuk semua tindak pidana di bidang ekonomi.

General process of asset recovery consists of asset tracing, asset securing, asset management, asset forfeiture, and asset returns to victims or countries that are entitled to them. Regulations of asset recovery on criminal acts in Indonesia are not yet synergistic, resulting in disharmony and overlapped regulations. The asset recovery process was carried out by several agencies, giving rise to sectoral egos and long coordination. It has resulted in the asset recovery of criminal acts in Indonesia as an effort to return losses from criminal act is not optimal. This research aims to recommend asset recovery strategy on criminal acts in Indonesia to produce efficient asset recovery. The research method used is normative juridical by using law analysis, comparative analysis, concept analysis, and case analysis. The results of this study found that disharmony in the regulation of asset recovery on criminal acts in Indonesia is a weakness on criminal law in Indonesia. The mechanisms of asset recovery on criminal acts in the United States, United Kingdom, and Italy that are considered efficient can be implemented in Indonesia. Based on the perspective of economic analysis of law (EAL) and the cost-benefit analysis (CBA) method, the strategy for regulating the recovery of criminal assets in Indonesia should synergize so that maximum social welfare can be achieved through the amendment of KUHAP. The Attorney General's Office of Indonesia deserves to be the coordinator in asset recovery on criminal acts in Indonesia because this institution is a law enforcement agency that has the authority to carry out investigations, prosecutions, execution court decisions that have permanent legal force, and asset recovery for all types of economic crimes."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library