Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asrul Harsal
"Cancer pain management: is a multidisciplinary effort, where the use of drug is often greatly beneficial for the patient. Pain assessment using the visual analog scale (VAS) is very helpful. Mild pain can be managed using acetaminophen or non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAIDs). Moderate pain can be treated using mild opioids, while severe pain is treated using strong opioids such as morphine. Administration of morphine is safe, with a dose that is titrated to reach the optimal dosage, and does not produce serious side-effects. Administration of laxatives to prevent constipation should commence since the. first administration of morphine."
2002
AMIN-XXXIV-4-OktDes2002-151
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Salma Salahuddin
"Sindrom putus obat opioid terjadi setelah penghentian konsumsi opioid secara-tiba-tiba, dengan gejala seperti hidung berair, nyeri otot, ansietas, kondisi kedinginan atau kepanasan, dilatasi pupil, menguap, gangguan gastrointestinal, dan peningkatan detak jantung. Penyalahgunaan opioid masih menjadi masalah utama di dunia, sehingga penanganan terhadap sindrom putus obat pada penyalahguna opioid yang tepat sangat diperlukan, terutama penanganan farmakologi. Penulisan review atau ulasan ini bertujuan untuk menelusuri, mengetahui, dan mengkaji manajemen pengobatan terkini yang dilakukan pada pasien yang menyalahgunakan opioid. Pemilihan dan penelusuran pada penulisan ini dilakukan pada PubMed, Sciencedirect, dan SpringerLink, dengan menggunakan kata kunci “opioid withdrawal syndrome treatment” dengan kombinasi “heroin”, “fentanyl”, “morphine”, kemudian artikel yang diterbitkan tidak kurang dari tahun 2015 dan diseleksi berdasarkan batasan yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil penelusuran literatur, ditemukan sebanyak 21 publikasi, yang umumnya merupakan penyalahguna heroin, dengan penanganan farmakologi yang dilakukan yaitu terapi utama, terapi off label, terapi tambahan, tunggal maupun kombinasi. Penatalaksanaan terapi ini dapat dilakukan secara residensial maupun tidak. Terapi utama yang dilakukan dalam menangani sindrom putus obat opioid pada penyalahguna opioid berdasarkan literatur adalah naltrekson, buprenorfin, metadon, lofeksidin, dronabinol, oksitosin, tramadol, pexacerfont, pioglitazon. Beberapa terapi simtomatik yang bisa diberikan diantaranya antiemetik, antidiare, antiansietas, antiinflamasi nonsteroid, dan sebagainya. Setiap obat yang diteliti memiliki efek yang beragam dan hampir semua obat berpengaruh besar dalam menangani sindrom putus obat opioid. Pemilihan jenis terapi farmakologi dan keinginan setiap individu untuk menerima pengobatan sindrom putus obat opioid menjadi faktor penting dalam keberhasilan terapi, yang terlihat dari penilaian putus obat opioid berdasarkan kriteria objektif, subjektif, maupun klinis

Opioid withdrawal syndrome, symptoms appeared after abrupt discontinuation of opioid, is characterized by rhinorrhea, muscle pain, yawning, anxiety, gooseflash, mydriasis, gastrointestinal upset, and increased pulse rate. Opioid abuse remain the major problem in most country. To manage withdrawal syndrome, proper management especially pharmacological treatment is needed with the intention of improving the quality of life, reducing craving and preventing another misuse. The purpose of this article review was to identify, evaluate and analyze the recent pharmacological management of withdrawal syndrome in opioid abusers published in article. This review was done with literature search from 2015, performed through PubMed, ScienceDirect, and SpringerLink using the following terms “Opioid Withdrawal Syndrome Treatment”, and additional “heroin”, “fentanyl”, “morphine”, subsequently chosen based on the specific limitation. Results were found with 21 publications, with opioid misuse mostly from heroin. Variety of pharmacological treatment available for opioid withdrawal syndrome includes main therapy, off-label, adjunct medication, with or without combinations, which can be applied for inpatient or outpatient. Literature search about opioid withdrawal syndrome management resulted in the use of naltrexone, buprenorphine, methadone, lofexidine, dronabinol, oxytocin, tramadol, pexacerfont, and pioglitazone. Some symptomatic therapies are indicated for emetic, diarrhea, anxiety, inflammation, and other purposes. Almost all medications used here improved the opioid withdrawal syndrome. Group of drugs used for treatment and willingness of getting therapy in every individual become factors for the withdrawal completion rate, which is usually seen with opioid withdrawal assessment, either in subjective, objective, or clinical"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelina Patricia Chandra
"Kanker paru-paru menduduki posisi ketiga jenis kanker tertinggi di Indonesia. Nyeri kanker adalah salah satu gejala paling umum yang terjadi pada pasien kanker. Pemberian opioid sebagai pereda nyeri memiliki banyak efek samping yang dapat bersifat fatal seiring meningkatnya dosis opioid. Oleh sebab itu, alternatif yang dapat dilakukan adalah mengombinasikan adjuvan pada terapi opioid. Gabapentin adalah antikonvulsan yang sering dipakai sebagai adjuvan terapi opioid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian gabapentin sebagai adjuvan opioid terhadap dosis opioid dan intensitas nyeri kanker pada pasien kanker paru-paru. Jumlah sampel yang diperoleh untuk kelompok terapi opioid adalah 43 pasien dan jumlah sampel yang diperoleh untuk kelompok opioid dengan gabapentin adalah 34 pasien. Tidak menemukan adanya perbedaan dosis opioid dan intensitas nyeri yang signifikan antara kelompok pasien yang menerima opioid saja dan yang menerima opioid dengan gabapentin. Mayoritas pasien (44,15%) dari keseluruhan pasien mengalami bebas nyeri pada akhir terapi. 79,06% pasien yang diterapi dengan opioid dan 88,24% pasien pada kelompok opioid dengan gabapentin mengalami penurunan intensitas nyeri > 50% pada akhir terapi. Peran gabapentin dalam menurunkan dosis opioid dan menurunkan intensitas nyeri pasien kanker paru-paru masih perlu diteliti lebih lanjut.

Lung cancer is the third most prevalent cancer in Indonesia. Cancer pain is one of the most common symptoms experienced by cancer patients. Opioids as treatment of cancer pain has numerous adverse effects which may be fatal along with the increase of its doses. Therefore, combining opioids with its adjuvant serves as an alternative to minimize its negative effects. This study aims to determine the effects of gabapentin as opioid adjuvant on opioid dose and pain intensity in lung cancer patients. The sample size obtained for the opioid group is 43 patients and 34 for the opioid with gabapentin group. No significant difference of opioid dose and pain intensity between patients who received opioid and patients who received opioid with gabapentin. The majority of patients (44,15%) of all included patients are pain-free at the end of their therapy. 79,06% of patients with opioid therapy and 88,24% patients with opioid and gabapentin have a > 50% decrease of pain intensity at the end of their therapy. The role of gabapentin in decreasing opioid dose and pain intensity in lung cancer patients need to be studied further."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hubert Andrew
"Kanker payudara adalah kanker dengan prevalensi tertinggi di Indonesia. Dengan prevalensi sebesar 30–50%, nyeri kanker adalah salah satu komplikasi kanker tersering yang dapat menurunkan mutu hidup penderitanya. Nyeri kanker, yang merupakan sejenis nyeri campuran, dapat diakibatkan oleh perjalanan penyakit atau terapi antikanker. Umumnya nyeri kanker ditangani dengan pemberian opioid dengan/tanpa adjuvan. Namun, opioid memiliki efek samping yang bersifat dose-dependent sehingga penggunaannya harus tepat guna agar memaksimalkan manfaatnya sekaligus meminimalisasi risikonya. Studi ini meneliti efek dari pemberian adjuvan gabapentin terhadap intensitas nyeri dan dosis opioid pasien dengan nyeri kanker payudara. Data rekam medis dari 58 pasien dengan nyeri kanker payudara dari dua rumah sakit rujukan di Jakarta diinklusi untuk studi kohort retrospektif ini. Data yang diambil meliputi profil klinis pasien, derajat nyeri, dan dosis opioid. Analisis statistik tidak menemukan adanya perbedaan yang signifikan dalam median intensitas nyeri maupun median dosis opioid antara kelompok pasien dengan nyeri kanker payudara yang menerima adjuvan gabapentin dengan yang tidak. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan peran gabapentin sebagai adjuvan dalam tata laksana nyeri kanker. Penelitian-penelitian selanjutnya disarankan untuk memperbanyak jumlah pasien dan mengendalikan faktor-faktor perancu seperti status opioid dan pemberian adjuvan lain.

Breast cancer is the most prevalent cancer in Indonesia. With a prevalence of 30–50%, cancer pain is a frequent complication of cancer which may lower patient quality of life. Cancer pain, a type of mixed pain, may develop from cancer progression or anticancer therapy. Opioids with/without adjuvants are usually administered to manage cancer pain. However, opioids are associated with dose-dependent side effects. Hence, the administration of opioids should be efficient to maximize benefit and minimize risks. This research studied the effect of adjuvant gabapentin administration on the severity of pain and opioid dose of patients with breast cancer pain. This retrospective cohort study included medical records from 58 patients with breast cancer pain from two tertiary hospital in Jakarta. Patients’ clinical profile, pain severity level, and opioid doses were collected. Statistical analyses did not find a significant difference in median pain severity level and median opioid dose between patients with breast cancer pain who received gabapentin and those who do not. Further research is warranted to determine the role of gabapentin as adjuvant in the management of cancer pain. Future studies should increase the sample size and control confounders such as opioid status and the administration of other adjuvants."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Milania Djamal
"Latar Belakang Kanker nasofaring menduduki peringkat keempat kanker terbanyak di Indonesia. Di antara gejala-gejalanya, sakit kepala sering dilaporkan dan terkadang menjadi satu- satunya keluhan. Opioid telah lama menjadi pendekatan utama untuk mengatasi nyeri kanker neuropatik; namun efektivitasnya sering kali dianggap kurang optimal. Akibatnya, obat-obatan tambahan, termasuk Gabapentin, sering kali diintegrasikan ke dalam rejimen pengobatan untuk meningkatkan manajemen nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kemanjuran terapi opioid saja dan terapi kombinasi dalam pengobatan nyeri kanker. Metode Sebuah studi kohort retrospektif dilakukan dengan meninjau rekam medis dari dua rumah sakit di Jakarta, Indonesia. Penelitian ini mencakup sampel 139 pasien yang didiagnosis menderita kanker nasofaring. Ekstraksi data meliputi demografi pasien, resep opioid awal dan akhir, intensitas nyeri awal dan akhir yang dinilai dengan Numerical Rating Scale (NRS), jenis kanker nasofaring, dan peresepan gabapentin. Hasil Analisis statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam rata-rata penurunan NRS. Pasien dalam kelompok terapi kombinasi, termasuk gabapentin sebagai bahan pembantu, mengalami penurunan rata-rata skor Numerical Rating Scale (NRS) sebesar 2,141, sedangkan pasien pada kelompok opioid saja mengalami penurunan rata-rata skor NRS sebesar 0,894. Kesimpulan Studi ini menyoroti penurunan signifikan secara statistik pada rata-rata skor NRS, yang menegaskan potensi kemanjuran gabapentin sebagai bahan tambahan opioid dalam mengurangi nyeri kanker di antara pasien kanker nasofaring.

Introduction Nasopharyngeal cancer ranks as the fourth most prevalent cancer in Indonesia. Among its symptoms, headaches are frequently reported and, at times, can be the sole complaint. Opioids have long been the primary approach to managing neuropathic cancer pain; nonetheless, their effectiveness is often considered suboptimal. As a result, adjuvant medications, including Gabapentin, are frequently integrated into treatment regimens to augment pain management. This study aims to compare the efficacy of opioid-only and combination therapy in the treatment of cancer pain. Method A retrospective cohort study was undertaken by reviewing medical records from two hospitals in Jakarta, Indonesia. The study encompassed a sample of 139 patients diagnosed with nasopharyngeal cancer. Data extraction included patient demographics, initial and final opioid prescriptions, initial and final pain intensity assessed by the Numerical Rating Scale (NRS), type of nasopharyngeal cancer, and the prescription of gabapentin. Results Statistical analysis demonstrated a significant difference in mean NRS reduction. Patients in the combination therapy group, including gabapentin as an adjuvant, experienced a mean reduction of 2.141 in Numerical Rating Scale (NRS) scores, while those in the opioid-only group had a mean reduction of 0.894 in NRS scores. Conclusion The study highlighted the statistically significant reduction in mean NRS scores, affirming the potential efficacy of gabapentin as an adjuvant to opioids in alleviating cancer pain among nasopharyngeal cancer patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Radityo Utomo
"ABSTRAK
Tesis ini membahas model Integrated Care Pathway (ICP) perawatan pasien
dengan penyalahgunaan NAPZA putus zat opioid sebagai salah satu kasus.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan koordinasi, komunikasi, kesinambungan dan kolaborasi
pelayanan pasien putus zat opioid belum berjalan optimal yang melibatkan
berbagai unsur disiplin keilmuan pada pelayanan yang diberikan. Model ICP
yang diusulkan agar dikembangkan kembali dengan melibatkan berbagai multi
disiplin ilmu yang terlibat di dalam pelayanan pasien dengan penyalahgunaan
NAPZA putus zat opioid di RSKO Jakarta melalui sebuah kegiatan FGD yang
melibatkan lebih banyak tenaga kesehatan yang terkait dengan layanan sehingga
dapat menghasilkan ICP yang sesuai dengan kebutuhan.

ABSTRACT
This thesis discusses the model of Integrated Care Pathway (ICP) treatment of
patients with drug abuse of opioid withdrawal as one case. This study is a
qualitative study with a descriptive design. The results show coordination,
communication, and collaboration continuity of patient care opioid withdrawal
has not run optimally involving various elements of scientific disciplines on the
service provided. ICP models are proposed for re-developed with the involvement
of a variety of multi-disciplines involved in the care of patients with drug abuse of
opioid withdrawal in RSKO Jakarta through an FGD activities that involve more
health workers associated with the service so that it can produce the ICP in
accordance with the requirements ."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T42804
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febby
"Opioid Induced Constipation (OIC) merupakan efek samping yang sering terjadi pada pasien yang mendapatkan pengobatan nyeri akibat kanker maupun non kanker. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas kombinasi terapi akupunktur dengan terapi standar untuk menangani OIC dibandingkan dengan terapi standar saja. Uji klinis acak tersamar tunggal dilakukan pada 46 yang menderita OIC sesuai dengan kriteria ROME IV. Terdapat kelompok akupunktur dengan terapi standar (AT) dan kelompok terapi standar (TS). Kelompok AT mendapatkan 3 sesi terapi akupunktur dalam 1 minggu, selama 30 menit tiap sesinya dengan titik ST25 dan ST37. Terapi standar berupa laktulose 30 mL/hari. Perubahan skor BFI dan PAC-QOL akan di catat dan analisis pada sebelum terapi, 3 hari, 6 hari setelah terapi pertama, dan tambahan pada 13 hari setelah terapi pertama untuk PAC-QOL. Penurunan BFI antar kelompok lebih unggul kelompok AT pada 3 hari (p=0,005) dan 6 hari (p=0,002). Penurunan PAC-QOL antar kelompok lebih unggul kelompok AT pada 3 hari (p<0,001), 6 hari (p=0,001), dan 13 hari (p=0,021). Intervensi akupunktur dengan terapi standar dapat menurunkan skor BFI dan memperbaiki skor PAC-QOL lebih baik dibandingkan dengan terapi standar saja sejak hari ketiga sampai tiga belas hari setelah terapi pertama.

Opioid Induced Constipation (OIC) is a side effect that often occurs in patients receiving pain medication due to cancer or non cancer. The purpose of this study was to determine the effectiveness of a combination of acupuncture therapy with standard therapy to treat OIC compared to standard therapy alone. A single-blind randomized clinical trial was conducted in 46 patients with OIC according to ROME IV criteria. There is an acupuncture group with standard therapy (AT) and a standard therapy group (TS). The AT group received 3 sessions of acupuncture therapy in 1 week, for 30 minutes each session with points ST25 and ST37. Standard therapy is lactulose 30 mL/day. Changes in BFI and PAC-QOL scores will be recorded and analyzed before therapy, 3 days, 6 days after the first therapy, and an additional 13 days after the first therapy for PAC-QOL. The decrease in BFI between groups was superior to the AT group at 3 days (p=0.005) and 6 days (p=0.002). The reduction in PAC-QOL between groups outperformed the AT group at 3 days (p<0.001), 6 days (p=0.001), and 13 days (p=0.021). Acupuncture intervention with standard therapy can reduce BFI scores and improve PAC-QOL scores better than standard therapy alone from the third day to thirteen days after the first therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Omega
"Latar belakang: Relaksasi otak saat pembukaan dura merupakan aspek yang penting pada operasi kraniotomi tumor. Secara teori, lidokain dapat menurunkan metabolisme otak (CMRO2), menurunkan CBF dan CBV, sehingga berpotensi menurunkan ICP dan menghasilkan relaksasi otak yang baik. Lidokain juga diketahui memiliki efek analgesia dan antiinflamasi. Hingga saat ini, belum ada penelitian yang meneliti mengenai efek infus lidokain intravena kontinu intraoperatif terhadap relaksasi otak saat pembukaan dura, kebutuhan opioid intraoperatif dan kepuasan operator pada pasien dewasa yang menjalani operasi kraniotomi.
Metode: Penelitian ini merupakan randomized controlled trial dengan pengambilan sampel secara Consecutive sampling. Sebanyak 60 subjek yang akan menjalani operasi kraniotomi tumor dimasukkan ke dalam penelitian. Subjek penelitian akan diberikan lidokain (2%) intravena bolus 1,5 mg/kg saat induksi dilanjutkan rumatan 2 mg/kg/jam hingga selesai jahit kulit (kelompok lidokain) atau diberikan NaCl 0,9% dengan volume yang sama (kelompok Plasebo). Relaksasi otak saat pembukaan dura dinilai oleh operator Bedah Saraf dengan skala 4 derajat, kebutuhan opioid fentanyl intraoperatif dalam mcg dan mcg/kg/menit, serta kepuasan operator dengan skala 4 derajat.
Hasil: Enam puluh subjek, dengan 30 subjek pada tiap kelompok, mengikuti penelitian hingga selesai. Infus lidokain intravena kontinu intraoperatif menghasilkan relaksasi otak yang baik saat pembukaan dura sebesar 96,7% (vs plasebo sebesar 70%, p = 0,006), kebutuhan opioid fentanyl intraoperatif sebesar 369,2 mcg (vs plasebo sebesar 773,0 mcg, p < 0,001) atau sebesar 0,0107 mcg/kg/menit (vs plasebo sebesar 0,0241 mcg/kg/menit, p < 0,001), dan menghasilkan kepuasan operator yang puas sebesar 96,7% (vs plasebo sebesar 70%, p = 0,006). Tidak ada efek samping lidokain yang tampak selama penelitian.
Simpulan: Infus lidokain intravena kontinu intraoperatif dibandingkan plasebo dapat meningkatkan proporsi relaksasi otak yang baik saat pembukaan dura, menurunkan kebutuhan opioid intraoperatif, dan meningkatkan proporsi kepuasan operator yang puas pada pasien dewasa yang menjalani operasi kraniotomi tumor.

Background: Brain relaxation after dural opening is important aspect in craniotomy tumor removal operation. Theoretically, lidocaine can decrease brain metabolism (CMRO2), decrease CBF and CBV, and has potential to decrease ICP and resulting excellent brain relaxation after dural opening. Lidocaine also has analgesic and anti-inflammatory effect. Until now, there is no study analyze continous intravenous Lidocain infussion effect to brain relaxation, intraoperative opioid consumption and surgeon’s satisfactory in adult population undergo craniotomy tumor removal operation.
Methods: This study is randomized controlled trial with Consecutive sampling. Sixty subject scheduled for craniotomy removal tumor were enrolled. Subject received either a dose of lidocaine (2%) intravenous bolus 1.5 mg/kg before induction followed by an infussion at a rate 2 mg/kg/h until skin closure (Lidocaine group) or the same volume of NaCl 0.9% (Placebo group). Brain relaxation was evaluated by Neurosurgeon with a four-point scale, total intraoperative opioid consumption in mcg and mcg/kg/minutes, and surgeon’s satisfactory with a four-point scale.
Results: All of sixty subjects completed the study. Lidocaine group resulting good brain relaxation after dural opening in 96.7% subject (vs 70% subject in placebo group, p < 0.006), intraoperative fentanyl consumption was 369.2 mcg (vs 773.0 mcg in placebo group, p < 0,001) or 0.0107 mcg/kg/minutes (vs 0.0241 mcg/kg/minutes in placebo group, p < 0,001), and resulting good surgeon’s satisfactory in 96.7% subject (vs 70% subject in placebo group, p = 0.006). There is no side effect of lidocaine infussion was observed during this study.
Conclusions: Continous lidocaine intravenous infussion intraoperatively can increase proportion of good brain relaxation after dural opening, decrease intraoperative opioid consumption, and increase proportion of good surgeon’s satisfactory compared to Placebo in adult population undergo craniotomy tumor removal operation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aghazi Agustanzil
"Latar belakang. Laparaskopi adalah tindakan invasif minimal yang walaupun diketahui tidak menyebabkan nyeri, namun masih dapat menyebabkan derajat nyeri sedang – berat pada periode awal pasca operasi. Magnesium sulfat (MgSO4) memiliki efek analgetik yang dapat mengurangi kebutuhan opioid dan mengurangi derajat nyeri pasca operasi. Namun penggunaan MgSO4 untuk manajemen nyeri belum umum digunakan karena kurangnya data mengenai dosis yang aman untuk menghasilkan efek analgesia yang adekuat, serta keamanannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian MgSO4 dalam menurunkan kebutuhan opioid intraoperatif serta derajat nyeri 24 jam pascaoperasi. Metode. Penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar ganda yang melibatkan 50 pasien berusia 18-65 tahun yang menjalani operasi laparaskopi dalam anestesia umum. Pada kelompok perlakuan diberikan 50 mg/kgBB MgSO4 intravena 15 menit praoperasi dan dilanjutkan dosis rumatan 10 mg/kgBB/jam selama periode operasi. Kelompok kontrol dilakukan pemberian placebo menggunakan NaCl 0.9%. Hasil. Pada kelompok perlakuan maupun kontrol, tidak terdapat perbedaan bermakna dalam konsumsi opioid intraoperatif, dan pada derajat nyeri pascaoperasi. Keterbatasan pada penelitian ini antara lain adanya perbedaan durasi operasi yang cukup beragam dan perbedaan jenis operasi yang dapat merupakan faktor signifikan pada derajat nyeri pada populasi yang diikutsertakan dalam penelitian ini. Simpulan. Pemberian MgSO4 pada operasi laparaskopi tidak menurunkan jumlah konsumsi opioid intraoperatif maupun derajat nyeri pascaoperasi. Walaupun manfaat MgSO4 sangat bervariasi tergantung jenis operasi.

Background. Laparascopy is a minimally invasive procedure that is known to produce minimal to no pain, however previous findings have shown that a moderate to severe pain is found during the early hours postoperatively. Magnesium sulphate (MgSO4) has an analgetic effect that may reduce opioid consumption and postoperative pain. However, usage of MgSO4 for pain management has not yet been applied to everyday practice due to the lack of data regarding the dosage to produce adequate analgetic effect, and its safety. This research is to understand the effect of MgSO4 to reduce intraoperative opioid consumption and 24 hours postoperative pain. Methods. This is a double blinded randomized clinical trial involving 50 patients aged 18-65 undergoing laparscopic surgery under general anesthesia. Treatment group is given a 50 mg/kgBB intravenous MgSO4 15 minutes preoperatively, followed by a maintenance dose of 10mg/kgBB/hour through the surgery. Control group is given a placebo using an NaCl 0.9%. Results. Findings have shown that there was no significant difference of intraoperative opioid consumption nor postoperartive pain within the treatment group and control group. Limitations of the study includes the variety of surgery duration and different types of surgery that is a significant factor in pain intensity. Conclusion. Application of MgSO4 did not cause reduction of intraoperative opioid consumption nor the postoperative pain. However, MgSO4 may be beneficial depending on the type of surgery in which it is applied to. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Natasya Nur Faradila Hr
"New Psychoactive Substances (NPS) adalah kelompok zat yang kompleks dan beragam yang sering dikenal sebagai obat perancang atau sintetis, atau dengan istilah sehari-hari yang lebih populer tetapi menyesatkan yaitu legal highs. Menurut Permenkes No. 5 Tahun 2020, terdapat 78 senyawa NPS yang teridentifikasi. Saat ini salah satu golongan senyawa NPS yang beredar di pasar gelap dan banyak pecandunya karena memiliki aktivitas tinggi adalah Fentanil. Senyawa NPS memiliki 13 golongan yaitu senyawa katinon, kanabinoid, fentanil, piperazin, fenetilamin, ketamine & pheniccyclidine, benzodiazepin, barbiturat, opioid sintetis, aminoindan, triptamin, plant-based substances, other substances. Dilakukan prediksi aktivitas secara in silico senyawa-senyawa NPS terhadap makromolekul μ-opioid reseptor menggunakan AutoDock dengan parameter ukuran gridbox 60x60x60 unit dan energi evaluasi medium (2.500.00). Reseptor μ-opioid digunakan karena reseptor ini memiliki aksi agonis langsung terhadap golongan fentanil dan opioid sintetis sehingga ingin diteliti lagi bagaimana aktivitas reseptor μ-opioid terhadap golongan NPS lainnya. Visualisasi interaksi yang dilakukan dengan program PyMOL dan LigPlot+ terhadap makromolekul μ-opioid reseptor menunjukkan golongan NPS yang memiliki energi ikatan mulai dari afinitas dari -5,00 hinga -14,00 kkal/mol. Berdasarkan hasil, pada golongan katinon sintetik, fenetilamin, triptamin, ketamin & phenicylidine, barbiturat, dan aminoindan. Senyawanya menghasilkan frekuensi terbanyak pada rentang energi -5 sampai -7,49 kkal/mol yang menunjukkan aktivitas sedang. Pada golongan Kanabinoid sintetik, fentanil, opioid sintetis, benzodiazepin, plant-based substance dan other substance. Senyawanya menghasilkan frekuensi terbanyak pada rentang -7,5 sampai -10 kkal/mol yang menunjukkan aktivitas tinggi.

(NPS) are complex and diverse group substance often known as either designer or synthetic drugs, or by popular but misleading colloquial term of legal highs. According to Law no. 5 of 2020, there are 78 NPS compounds identified. Currently, there is one class of NPS compounds circulating on the black market, namely Fentanyl. Its availability and ease of accessibility on the black market resulted in many addicts because they have a high activity. NPS compounds have 13 groups, namely cathinones, cannabinoids, fentanyl, piperazine, phenethylamine, ketamine & pheniccyclidine, benzodiazepines, barbiturates, synthetic opioids, aminoindan, tryptamine, plant-based substances, and others. In silico activity prediction of NPS compounds against -opioid receptor macromolecules was performed using AutoDock with grid box size parameters 60x60x60 Ã…and medium evaluation energy (2.500.00). The Î¼-opioidreceptor is used because this receptor has a direct agonist action against the fentanyl group and synthetic opioids, so it is necessary to further investigate how the Î¼-opioid receptor activity against other NPS groups. Interaction visualization performed with PyMOL and LigPlot+ programs on -opioid receptor macromolecules showed NPS groups with binding energies ranging from -5.00 to -14.00 kcal/mol. As a result, In the synthetic cathinone group, phenethylamine, tryptamine, ketamine & phenicylidine, barbiturates, and aminoindan. The compound produces the highest frequency in the energy range of -5 to -7.49 kcal/mol which indicates moderate activity. In the synthetic cannabinoids, fentanyl, synthetic opioids, benzodiazepines, plant-based substances and other substances. The compound produces the highest frequency in the range of -7.5 to -10 kcal/mol which shows high activity. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library