Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Faal
Jakarta: Pradnya Paramita, 1991
345 FAA p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Oomen, C.P.Chr.M.
Deventer: Kluwer, 1970
BLD 345.05 OOM v
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Joni Wijaya
"Pasal 23 huruf c UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur
bahwa salah satu lingkup diskresi adalah “peraturan perundang-undangan tidak lengkap
atau tidak jelas”. Lingkup dimaksud terdiri atas 3 (tiga) unsur, yaitu (1) peraturan
perundang-undangan masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut; (2) peraturan yang
tumpang tindih (tidak harmonis dan tidak sinkron); dan (3) peraturan yang membutuhkan
peraturan pelaksanaan, tetapi belum dibuat. Terdapat hubungan yang kontraproduktif dan
penyusunan yang tidak sistematis apabila 3 (tiga) unsur tersebut dilihat menurut
perspektif UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Penelitian ini dilakukan melalui 2 (dua) metode, yaitu pendekatan perundang-
undangan dan pendekatan konsep. Norma-norma dalam UU Nomor 12 Tahun 2011
merupakan konstruksi yang memberikan pedoman agar regulator membentuk peraturan
perundang-undangan secara paripurna, namun hal tersebut seolah dikesampingkan karena
interpretasi Pasal 23 huruf c UU Nomor 30 Tahun 2014. Walaupun sistem hukum
nasional hendak bertransformasi ke arah progresif, namun tujuan kepastian hukum harus
tetap dijaga. Guna menghindari munculnya keputusan dan/atau tindakan subjektif dari
pejabat pemerintahan, maka Pasal 23 huruf c UU Nomor 30 Tahun 2014 perlu ditinjau
ulang.

Article 23 letter c of Law No. 30 of 2014 on Government Administration states that one
of the scopes of discretion is "incomplete or unclear regulation". It consists of three
elements, namely (1) statutory regulations need further explanation; (2) overlapping
regulations (disharmonious and out of sync); and (3) regulations require implementing
regulation, but it has not been made. Based on perspective of Law No. 12 of 2011 on
Establishment of the Regulation Legislation, the elements of "incomplete or unclear
regulation" have some anomalies. This research was conducted through two methods,
namely the statute approach and the conceptual approach. The norms of Law No. 12 of
2011 as guidance in legislative forming seem to be set aside by the interpretation of
Article 23 letter c of Law No. 30 of 2014. The principle of legal certainty must be
prioritized, even though Indonesia’s legal system is transforming into progressive law
paradigm. In order to avoid the government’s subjective decisions and/or actions, Article
23 letter c of Law No. 30 of 2014 needs to be reviewed
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasa Tohjiwa
"ABSTRAK
Diskresi adalah kewenangan berdasar hukum untuk tidak menindak atau menindak pelanggaran atas suatu ketentuan hukum pidana positip, yang harus dilakukan dengan syarat, batas dan cara tertentu sesuai penilaian sendiri, demi kepentingan umum dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal itu berkaitan dengan profesionalisme yang intinya pelayanan, standar tehnis dan moral. Tetapi kemaxnpaun tim-tim Sat Gasus yang menjaga, mengatur dan men indak pelanggaran lalu lintas di perempatan Halim Baru Cawang tidak seimbang dengan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya, dimana dukungan, imbalan, pengawasn dan koordinasinya sangat lemah, sehingga peran yang sudah dapat difahaminya tidak dapat dilaksanakan seperti demikian, dikalahkan situasi rutinitas, akal sehat dan kepraktisan yang berkembang, sehingga menutupi kemampuannya, menyesuaikan din dengan keadaan yang dihadapi dan memuaskan ketaatannya pada tugas, maka diambil taktik yang bernuansa diskresi, yang karena kurang dimengerti, terikat tradisi dan desakan kepentingan tertentu, maka pelaksanaannya cenderung menimbulkan ekses yang bersifat legal, professional and etical misconducts. "
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Setyowibowo
"ABSTRAK
Policy of budget management of the State General Treasurer of Others Expenditure Budget (BA 999.08) is one of the policies that taken by the Minister of Finance of Indonesia as fiscals manager to execute one of the State Treasurer function in the management of the state budget as the purpose of provisions in the Package of Act on Finance State along with the operational regulations. Because of the characteristics that are different from the general state budget management, Minister of Finance has given the authority to regulate further discretionarie policy related to budget management of the State General Treasurer of Others Expenditure Budget. The implementation of policy in the management of the General Treasurer of Others Expenditure Budget needs to be done according to the rules of the legislation and adhere to the General Principles of Good Governance (AUPB) also the principles of public finance management in order to meet the state budget management aspects of effective and efficient, transparent, fair, professional, and also accountable in the corridors of state law."
Jakarta: Direktorat Pelaksanaan Anggaran, 2018
336 ITR 3:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Soekisno
"Kearifan tradisional masyarakat desa Tenganan di permukiman yang melestarikan lingkungan hidup, baik lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatannya merupakan dambaan bagi setiap warga untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Permukiman desa Tenganan adalah salah satu kawasan permukiman tua di Bali, terletak di Kecamatan Manggis, Karangasem, Bali. Dibangun sebelum masuknya Majapahit ke Bali, dikenal dengan sebutan desa Bali Aga atau Bali Mula, sedangkan desa-desa di Bali lainnya dibangun setelah pengaruh Majapahit berkembang, dan disebut sebagai Bali Dataran, dimana desadesa di Bali Dataran ini merupakan mayoritas kawasan permukiman di Bali sekarang ini.
Sebagai kawasan permukiman, desa Tenganan ini memiliki ciri khas yang tidak ditemui di desa Bali yang lain, yaitu:
1. Masyarakat desa ini memeluk agama Hindu aliran Indra, dengan tradisi berbeda dibandingkan masyarakat Bali pada umumnya.
2. Desa ini memiliki awig awig (peraturan adat) desa Tenganan, yang mengupayakan pelestarian lingkungan hidup.
3. Masyarakat desa ini memiliki keahlian merajut kain dengan teknik dobel ikat, salah satu dari dua desa di dunia yang memiliki keahlian ini, yang dipergunakan untuk keperluan upacara, namun sekarang dalam jumlah terbatas sudah mulai diproduksi untuk konsumsi wisatawan.
Dengan demikian, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana masyarakat desa Tenganan mengupayakan pelestarian fungsi lingkungan hidup melalui adat dan budaya setempat. Sedangkan manfaat penelitian dapat memberikan masukan pada pengelolaan pariwisata di Bali yang mengembangkan potensi wisata pedesaan, dan dapat mengembangkan pemikiran tentang "etika lingkungan" masyarakat desa Tenganan yang didasarkan pada norma budaya yang ada.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana nilai-nilai tradisi masyarakat desa Tenganan yang melestarikan fungsi lingkungan hidup masih berjalan hingga saat ini, dan bagaimana persepsi masyarakat desa ini terhadap kegiatan wisata dan teknologi.
Penelitian dilakukan dengan metoda deskriptif, tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, nyata dan akurat, dan mempelajari masalah masalah yang ada di masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam situasi tertentu di masyarakat, termasuk yang harus diamati adalah hubungan, pandangan, kegiatan kegiatan, sikap sikap, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena (Nazir, 1988: 63-65).
Sampel diambil dan ketiga Banjar Desa yang berpenduduk 605 orang dalam 233 KK, diambil jumlah responden sekitar 10% dari jumlah KK, yaitu sebanyak 26 KK. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling, mengingat ketiga banjar merupakan masyarakat desa yang homogen. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara terstruktur, wawancara mendalam, pengambilan foto dan data data primer serta studi literatur. Data data setelah dikelompokkan dianalisa secara deskriptip.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan hasil sebagai berikut :
1. Awig awig desa Tenganan Pagringsingan yang ditulis kembali tahun 1925 teryata hanya mengatur upaya pelestarian lingkungan alam dan lingkungan sosial, sedangkan upaya pelestarian lingkungan buatan tidak tersentuh oleh awig . awig tersebut. Untuk mengatasi kesenjangan ini, masyarakat desa ini membuat peraturan khusus tentang tata cara perluasan atau perbaikan rumah pada tahun 1987, namun tampaknya tidak sepenuhnya berhasil, karena beberapa perubahan fisik tetap dilakukan warga desa.
2. Persepsi masyarakat desa ini terhadap unsur unsur pembaharuan dibidang pendidikan, kesehatan, pariwisata dan teknologi ternyata ditanggapi positif, meskipun disadari bahwa ekses negatip yang muncul akibat kedatangan wisatawan tetap ada.
3. Unsur pendidikan ternyata menjadi unsur pokok yang merubah pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap nilai-nilai tradisi yang melestarikan lingkungan hidup.

The Traditional Discretion and Sustainable Environment (The Case Study at Tenganan Pagringsingan Villages, Karangasem, Bali)The traditional discretion at the habitat which is conserve living environment, weather nature environment, social environment and human made environment is every people deire for getting a better life for him and his family. The traditional villages of Tenganan, is one of oldest habitat area in Bali, they are at Manggis Distract, Karangasem, Bali. Tenganan it was built before the Majapahit people come to Bali which is called as Bali Aga village or Bali Mula, but the other villages in Bali was built after the Majapahit influence have been grown, and called as Bali Dataran, where the Bali Dataran villages is the majority of the habitat area in Bali nowdays.
As the Tenganan villages has a specific caracteristic which is can't found in other village in Bali, that is :
1. The people in this village embraces the Indra Hindus religion, different with the Bali society.
2. This village have awig awig (the traditional rules), which is trying to conserve environment.
3. They have skill todo a textile with a double bundle technique, which one out of two village in the world has this skill, used for the ceremonial. Nowdays, in limited addition have been produce for tourist consumption.
Indeed the goal of this studies is to know how the people of Tenganan Pagringsingan village conserving the living environment function through its culture and tradition. On the other hand, the using of this study has made an input to Bali tourism center, which is to open tourist potention in the village, and also to expend the mind about "environment ethics" of Tenganan Pagringsingan villagers, which is based on cultural ethics.
The problem of this study is how the traditional discretion of Tenganan people to sustained on living environment function still running in this days, and how this villagers perception to tourism activity and technology.
The study being established by descriptive method, the goals of this study is to make description, sistematic, phenomena description, real and accurate, and to study problems within the society and action has been done at specific situation, including the study of relationship, the view, activities, manners, and the running process also the impact of a fenomena.
Samples taken form the three banjar village, which have 605 peoples in 233 families, and the respondent about 26 families. Sample has been taken with purposive sampling, knowing that the three banjar villagers is homogen. Data gathered which structured interview, inside interview, photo and primer data also literatures study. The data being analize descriptively.
The result of study and examination shows as follows :
1. The awig awig of Tenganan villages was rewriten in 1925, actualy only to organize nature and social conservation. But the human made concervation not writen on it. To solve this, the villager made a special rule, which is about how to maintance home in 1987, but it is not fully work, because some of phisical changes still been done by the villagers.
2. Villagers perception about some changes in education, health, tourism and technology has positive feed back, although it is realized also has a negative side due to tourist visitors.
3. Education turn up to be the main elemen transformed to knowladge, attitude and people behavior to traditional vallues which is conserves living environment.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Setyawan
"ABSTRAK
Tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 adalah tindak pidana yang mempunyai karakteristik sebagai tindak pidana yang white collar crime hal ini berhubungan dengan pelaku yang mempunyai kekuatan ekonomi ataupun kekuatan politik , subyek atau pelaku tindak pidana individu sebagai manusia dan juga dapat sebuah korporasi, berbentuk organitation crimes berkaitan dengan lintas batas wilayah negara atau transnational. Dalam melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang diatur dalam KUHAP, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan surat-surat Keputusan Kapolri yang merupakan petunjuk lapangan dan petunjuk teknis, serta Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. Selanjut memberikan aturan melakukan tindakan lain sesuai dengan penilaian kualitas individu dan untuk kepentingan umum yang diatur dalam pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP dengan dibatasi persyaratan a).tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b).selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; c). tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d). atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; e).menghormati hak asasi manusia. Selanjutnya dalam pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, mengatur juga kewenangan diskresi. Makna dikresi dikaitkan dengan penyidikan adalah kewenangan yang diberikan .berdasarkan asas kewajiban {plichmatigheids beginsel) sebagai tindakan individu dari penyidik dengan dibatasi dengan norma-norma professional, norma hukum, norma moral dan kemasyarakatan, karena tidak adanya perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya sehingga dapat mengatur semua prilaku manusia, adanya keterlambatan-keterlambatan untuk menyesuaikan perundang undangan dengan perkembangan- perkembangan dalam masyarakat yang dapat menimbulkan ketidakpastian, kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undangundang, adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus, atau memperluas atau mengisi kekosongan hukum, sehingga penerapan diskresi oleh penyidik akan lebih baik untuk mengurangi kekurangan dari peraturan-peraturan yang tertulis dalam pelaksanaan di masyarakat. Penerapan diskresi yang menyimpang dalam penyidikan tindak pidana pada umumnya dan khusus untuk tindak pidana pencucian uang di Bareskrim Mabes Polri dikaitkan dengan pelanggaran Kode Etik Profesi yang diatur dalam Peraturan Kepala Polisi RI No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian RI (yang sebelumnya diatur dalam Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/32/VII/2003) dan dibentuk Komisi Rode Etik Kepolisian RI berdasarkan Peraturan Kepolisian RI No. Pol. 8 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Rode Etik Kepolisian RI (yang sebelumnya diatur dalam Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/321VII/2003),dengan "peraturan kepolisian" yang dapat juga merupakan kontrol dari masyarakatlmedia massa atau tidak mempengaruhi dalam hal-hal yang melanggar Mode Etik Profesi Kepolisian RI, sehingga penerapan diskresi dalam penyidikan tindak pidana terutama tindak pidana pencucian uang dapat dikontrol dan'pengawasan baik dari luar maupun dari dalam, misalnya kasus Brigjen Pol. Drs. Samuel Ismoko, yang telah melakukan penyimpangan penerapan diskresi dianggap melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian RI melalui proses Sidang Komisi, Komisi Kode Etik Kepolisian RI, dengan dinyatakan tidak layak menjalankan Profesi Kepolisian sebagai penyidik pada fungsi Reserse seiama 1 Tahun, selanjutnya terdapat dorongan dari masyarakat (melalui media massa) karena adanya tindak pidana maka diproses secara hukum pidana.

ABSTRAK
Criminal act of money laundering as had been provided with Laws No. 15 year 2002 on Criminal Act of Money Laundering as had been revised by Laws No. 25 year 2003 is that of having characteristics as white collar crimes, it is pertained to such criminal actor who has economic or political power, subject or individual actor as human or even corporation as national or international organized crimes. In doing investigation for criminal act of Money Laundering as had been provided with Criminal Code, Laws No.2 year 2002 on Police Republic Indonesia and which of decrees of Head of Police Department of Republic of Indonesia as instructional and technical guidance and Laws No. 15 year 2002 on Criminal Act of Money Laundering as had been revised by Laws No. 25 year 2003. Thereafter, it had set out other commitment in accordance with individual quality evaluation and for public interests had been regulated in Article 7 paragraph (1), letter j Criminal Code by limited requirements, i.e.,: a). it had not contradicted with legislation; b). in line with legal obligation which requires occupational acts; c). such acts should be proper and reasonable and included in occupational area; d). and by proper consideration based on forcing condition; e). respect to human rights. Subsequently, in article 18 paragraph (1) Laws No. 2 year 2002 regarding Police of Republic of Indonesia, also it set out discretional authority. The meaning of discretion being correlated with investigation is authority based on - obligation principles (plichmatigeheids beginsei) as individual act of investigator limited by professional, legal, moral and society norms, as result of no legislation being complete to regulate all human behavior, the delays to adjust legislation. with society changes that may result in uncertainty, lack of budget for applying -law wished by legislator (s), individual
"
2007
T19209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Purnamasari
"ABSTRAK
Satuan Polisi Pamong Praja atau biasa disingkat dengan Satpol PP adalah sebuah organisasi yang dibentuk oleh pemerintah daerah untuk menjalankan tujuan sebagai penjaga keamanan dan keyamanan dan ketertiban umum di lingkungan daerah dan juga sebagai penegak Peraturan Daerah. Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana Satpol PP dalam menjalankan sebuah aturan sebagai pelayanan publik, saat berhadapan dengan keadaan empiris di lapangan. Penelitian ini menggunakan metode etnografi yang bertempat di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Depok. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa dalam sebuah organisasi yang dibuat oleh pemerintah sekalipun dapat terjadi diskresi, diskresi dilakukan untuk mejalankan aturan secara cepat.

ABSTRACT
satpol PP is an organization formed by the local government to carried out in public security order in the local area Peraturan Daerah. This study discusses how Satpol PP in implementing a rule as a public service, when with empirical conditions. This study uses ethnographic method which is located in Kantor Satpol PP Kota Depok. The results of this study indicate that even in an organization created by the government discretion can occur, discretion is carried out to execute the rules fast.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"This timely and insightful book provides the key elements needed to understand the nature and prevalence of corruption in public governance, as well as the devastating public policy consequences."
United Kingdom: Emerald, 2017
e20469456
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Danis Hidayat Sumadilaga
"Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk meneliti/menyelidiki faktor yang berkaitan dengan Perceived Managerial Discretion (PMD) dalam hubungannya dengan Risk Taking Behavior (RTB) dan kinerja organisasi pemerintah. Desain/metodologi/pendekatan: Penelitian ini menggunakan kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan menggunakan diskusi kelompok terfokus (FGD) untuk memilih variabel kunci yang mempengaruhi PMD dan memvalidasi temuan penelitian. Metode kuantitatif dilakukan menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) untuk menguji delapan hipotesis yang dikembangkan melalui FGD dan studi literatur. Dari 340 kuesioner yang disebarkan, sebanyak 260 yang dikembalikan dan dianggap valid untuk analisis SEM, yang mencerminkan suatu tingkat respon yang memuaskan dari 76%.
Temuan: Enam faktor PMD yang teridentifikasi adalah quasi legal constraint (QLC), Powerful Outside Forces (POF), Inertial Forces (IF), Powerful Inside Forces (PIF), Power Base (PB), dan Political Acumen (PA). Analisis SEM menyatakan QLC, PIF, PB, dan PA meningkatkan PMD sementara IF cenderung menghambat PMD. Dengan sistem insentif yang ada saat ini dan PMD yang biasa saja, responden cenderung menampilkan perilaku risk averse, sementara sebagaimana diperlihatkan dalam studi ini, RTB yang lebih tinggi dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja organisasi. Beberapa temuan penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya tetapi beberapa lainnya tidak.
Penelitian Implikasi/Keterbatasan: Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah validitas eksternal, yaitu temuan hanya berlaku untuk organisasi yang memiliki karakteristik serupa dengan organisasi pemerintah yang digunakan sebagai studi kasus. Oleh karena itu, temuan ini harus digunakan dengan hati-hati untuk jenis organisasi publik yang berbeda.
Implikasi praktis: Berdasarkan hasil penelitian, maka perlu dilakukan: (1) mengenalkan sistem reward-punishment yang lebih baik dengan target yang lebih tegas bagi pengambil keputusan untuk bekerja yang yang terbaik, (2) mengkaji dan menghapus peraturan yang kurang tegas yang membatasi PMD, (3) merampingkan birokrasi, (4) menetapkan peraturan yang memungkinkan lebih banyak ruang untuk inovasi dan kebijakan, (5) menjelaskan tugas dan tanggung jawab para pengambil keputusan, dan (6) mengurangi perubahan-perubahan kebijakan sesaat dengan mendorong pengawasan dan pemberitahuan yang tepat.

Purpose: This study investigates pertinent factors in perceived managerial discretion (PMD) in association with risk-taking behavior (RTB) and organizational performance within government organizations.
Design/methodology/approach: This study used a mix of qualitative methods?using focus group discussions (FGDs) to select key variables affecting PMD and to validate the research findings?and quantitative methods?using structural equation modeling (SEM) to test eight hypotheses developed from FGDs and from a literature review. Out of 340 questionnaires sent out to potential participants, 260 were returned and deemed valid for SEM analysis, reflecting an impressive response rate of 76%.
Findings: A total of six factors affecting PMD were identified: quasi-legal constraint (QLC), powerful outside forces (POFs), inertial forces (IFs), powerful inside forces (PIFs), power base (PB), and political acumen (PA). The SEM analysis indicated that QLC, PIF, PB, and PA enhance PMD, while IFs tend to inhibit PMD. Given the existing incentive system and a mediocre PMD level, respondents tend to exhibit risk averse behavior while, as demonstrated by this study, a greater RTB would be necessary to improve organizational performance. All the presented findings are partially consistent with prior findings, with some notable contradictions.
Research implications/limitations: The primary limitation of this study was its limited external validity, as these findings can only be extended to organizations with similar characteristics of those of the government institution used as the case study. These findings must be used with care for different types of public organizations.
Practical implications: These findings support taking the following steps:
(1) introduce improved reward-punishment systems with more assertive targets for decision makers to work toward excellence, (2) review and remove equivocal regulations that could restrain PMD, (3) streamline bureaucracy, (4) establish regulations that allow more space for innovation and discretion, (5) delineate the tasks and responsibilities of decision makers, and (6) discourage abrupt policy changes, promoting proper scrutiny and notice."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
D2161
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>