Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ketut Suwetra
"Anemi defisiensi besi merupakan anemi gizi yang paling sering terjadi baik di negara sedang berkembang maupun di negara maju dan terdapat terutama pada bayi dan anak-anak; yang dalam pertumbuhan cepat membutuhkan zat besi yang tinggi dan kandungan zat tersebut dalam makanan yang lebih rendah dari kecukupan kebutuhan yang dianjurkan (1). Diit kaya zat besi tidak menjamin ketersedian zat besi yang cukup bagi tubuh selama absorpsi zat besi dipengaruhi oleh bahan penghambat (inhibitor) dan pemacu (promoter) yang ada di dalam makanan. Zat besi yang terdapat di dalam Air Susu Ibu (ASI) hanya mencukupi kebutuhan akan zat besi sampai umur 6 bulan dan cadangan besi tubuh mulai menurun sejak umur 5 - 6 bulan, maka kebutuhan pada umur selanjutnya harus dipenuhi dari makanan. Di negara berkembang makanan pokok terutama terdiri dari serealia, kacang-kacangan dan sayuran dengan kualitas zat besi yang rendah serta banyak mengandung bahan penghambat absorpsi besi seperti fitat, tannin dan serat (1,2,3,4). Keadaan tersebut disertai dengan kemiskinan, ketidak-tahuan tentang makanan bergizi, adanya kepercayaan yang salah terhadap makanan tertentu (tabu), lingkungan yang masih mendukung terjadinya berbagai penyakit infeksi dan infestasi cacing khususnya cacing tambang (5).
Semua keadaan tersebut menyebabkan tingginya prevalensi anemi defisiensi besi pada bayi dan anak di negara sedang berkembang (5). Resiko terjadinya anemi defisiensi besi tertinggi adalah pada anak-anak umur kurang dari 2 tahun baik di negara maju seperti Amerika Serikat dan Perancis (6) maupun di negara berkembang seperti Argentina (7) dan Malaysia (8). Di Indonesia data anemi defisiensi besi secara nasional belum ada, namun dari beberapa peneliti yang melakukan penelitian secara terpisah dalam skala yang lebih kecil pada anak-anak dengan status g i z i baik ditemukan 37,8 - 73,0 % pada anak umur 6 bulan - 6 tahun pada kelompok social ekonomi rendah (5), 46,67 % pada anak balita yang berobat ke RSCM (9) dan 58,33% pada anak-anak umur 6 -- 18 bulan di Kelurahan Manggarai Selatan, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan (10).
Telah diketahui bahwa anemi defisiensi besi berpengaruh terhadap morfologi dan enzim-enzim yang ada kaitannya dengan metabolisme energi di dalam epitel mukosa usus. Telah diketahui pula bahwa absorpsi karbohidrat memerlukan energi. Gangguan absorpsi ada hubungan dengan penurunan kapasitas metabolisme energi di dalam epitel usus (7,11). Telah ditemukan pada anak umur 9 - 32 bulan dengan anemi defisiensi besi berat adanya gangguan absorpsi D-xilosa dan lemak (12), pada kasus yang sama ditemukan pula gangguan absorpsi D-xilosa pada subyek berumur 13 - 55 tahun (13). Di Indonesia penelitian serupa belum pernah dilakukan pada penderita anemi defisiensi besi khususnya pada anak umur kurang dari 2 tahun, merupakan faktor pendorong pelaksanaan penelitian ini."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Sari Widuri
"ABSTRAK
Latar belakang: Anemia defisiensi besi ADB pada usia 9-12 bulan dapat berdampak pada kualitas hidup anak di masa depan. Asupan zat besi, pemacu dan penghambat absorpsi besi memengaruhi kadar besi tubuh. Penelitian mengenai status zat besi dan hubungannya dengan zat pemacu dan penghambat absoprsi dalam asupan diet pada bayi usia 9 ndash;12 bulan yang disertakan dengan analisis asupan diet belum banyak dilakukan di Indonesia. Tujuan: Mengetahui prevalens gangguan status besi dan mengetahui hubungan status gizi dan kecukupan asupan besi harian terhadap kejadian defisiensi besi pada bayi usia 9-12 bulan. Metode: Studi potong lintang pada Juli 2017-Januari 2018 di Posyandu kecamatan Tanah Abang dan Jatinegara. Asupan zat besi, pemacu absorpsi besi dan penghambat absorpsi besi dinilai dengan metode food record dan diolah dengan program NutriSurvey . Subyek menjalani pengukuran antropometri dan pengambilan sampel darah darah perifer lengkap, LED, dan feritin serum . Data diolah dengan uji Pearson Chi Square dan kejadian gangguan status besi ditampilkan dalam prevalens. Hasil: Terdapat 82 subyek usia 9-12 bulan berpartisipasi dalam penelitian. Prevalens defisiensi besi sebesar 12,2 , dan ADB sebesar 26,8 . Tidak terbukti ada hubungan antara kecukupan asupan besi harian dengan gangguan status besi [p=0,064; PR=2,1 0,193-1,178 ] dan status gizi kurang dengan gangguan status besi [p=0,444; PR=0,729 0,307-1,731 ]. Terdapat perbedaan bermakna antara asupan harian besi total p=0,002 , besi heme 0,017 , kalsium p=0,006 , dan seng p=0,042 antara kelompok defisiensi besi dan non-defisiensi besi.Simpulan: Prevalens defisiensi besi dan ADB pada bayi usia 9-12 bulan berturut-turut adalah 12,2 dan 26,8 . Tidak terbukti ada hubungan antara status gizi dan kecukupan asupan besi harian dengan gangguan status besi, namun terdapat perbedaan bermakna antara asupan harian besi total, besi heme, kalsium, dan seng antara kelompok defisiensi dan non-defisiensi besi pada populasi bayi usia 9-12 bulan.

ABSTRACT
Background Iron deficiency anemia IDA in 9 12 month old babies could affect their quality of life. Intake of iron containing food, enhancer and inhibitor of iron absorption affects iron body level. Study about iron profile and its correlation with enhancers and inhibitors of iron absorption in baby rsquo s daily dietary intake whose analyzed by food record method is still infrequent in Indonesia. Aim To measure the prevalence of iron deficiency and IDA and to know the correlation of nutritional status and adequacy of daily iron intake with iron deficiency status in 9 12 month old babies. Methods A cross sectional study was conducted on July 2017 January 2018 in Posyandu in Tanah Abang and Jatinegara district. Dietary iron intake, enhancer and inhibitor were obtained using a 3 day food record method and analyzed with NutriSurvey program. Subjects underwent anthropometry measurement. Complete blood count, ESR, and ferritin serum were also examined. Results A total of 82 babies aged 9 12 months were studied. Prevalence of iron deficiency and IDA were 12,2 and 26,8 . There were no evidence of relationship between adequacy of daily iron intake p 0,064 and undernourished condition p 0,444 with iron deficiency status. There were statistically significant differences in total iron p 0,002 , heme iron p 0,017 , calcium p 0,006 , and zinc p 0,042 daily intakes between iron deficiency group and non iron deficiency group.Conclusion The prevalence of iron deficiency and IDA were 12,2 and 26,8 . There were no evidence of relationship between adequacy of daily iron intake nor undernourished condition with iron deficiency status. There were statistically significant differences in total iron, heme iron, calcium, and zinc daily intakes between iron deficiency group and non iron deficiency group in 9 12 month old babies."
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Natalia Kurniadi
"Besi adalah mineral esensial yang dibutuhkan dalam pembuatan protein penting tubuh, seperti hemoglobin yang berfungsi sebagai pembawa oksigen. Anemia defisiensi besi (ADB) di Indonesia menjadi masalah kesehatan yang perlu diperhatikan. Pencegahan dan pengobatan ADB dilakukan dengan pemberian fortifikasi besi pada makanan dan terapi oral besi. Keduanya dilakukan menggunakan sediaan garam besi, seperti ferro fumarat. Pada penelitian ini, pembuatan ferro fumarat dilakukan dengan mereaksikan besi bivalen dan disodium fumarat. Besi bivalen diperoleh dari pasir besi yang melimpah di pantai Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh metode pembuatan ferro fumarat dari pasir besi dan asam fumarat, mengetahui kadar besinya, serta mengetahui kemampuan penyerapannya melalui uji permeasi in vitro menggunakan sel difusi Franz dan peningkatan berat badan tikus. Metode pembuatan ferro fumarat diperoleh dengan mereaksikan ferro sulfat dan disodium fumarat. Penetapan kadar dilakukan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom. Uji permeasi in vitro menggunakan sel difusi Franz dengan pembanding ferro sulfat. Uji efek peningkatan berat badan tikus pada 3 kelompok tikus dilakukan selama 14 hari. Perolehan rata-rata rendemen ferro fumarat adalah 62,17%. Hasil rata-rata kadar besi ferro fumarat adalah 162,66 mg/g. Hasil uji permeasi in vitro menunjukkan ferro sulfat terpenetrasi lebih baik dibandingkan ferro fumarat dengan jumlah kumulatif zat berpenetrasi tiap satuan luas membran sebesar 9079,29 μg/cm2 dan laju penetrasi atau fluks sebesar 3026,43 μg cm-2 jam-1. Keadaan ferro sulfat steady state diperkirakan tercapai pada jam ke-18 dengan fluks sebesar 1548,49 μg cm-2 jam-1 . Pada uji efek peningkatan berat badan tikus, kelompok ferro fumarat menunjukkan peningkatan berat badan tidak signifikan (p>0,05) dibandingkan kelompok ferro sulfat.

Iron is an essential mineral needed by the body to make important proteins, such as hemoglobin, which function as oxygen carriers. In Indonesia, anemia due to iron mineral deficiency (IDA) is a health problem that needs attention. Prevention and treatment can be carried out by adding iron fortification in food and administering oral iron therapy, respectively. Both are carried out using iron salt preparations, such as ferrous fumarate. In this study, ferrous fumarate was produced by reacting bivalent iron and disodium fumarate. Bivalent iron was obtained from iron sands which are abundant on the coast of Indonesia. This study aimed to obtain a method of making ferrous fumarate from iron sand and fumaric acid, determined its iron content assay, and determined its absorption ability through in vitro permeation test using Franz diffusion cells and increase in body weight of rats’ test. The method of making ferrous fumarate was obtained by reacting ferrous sulfate and disodium fumarate. The assay was carried out using an Atomic Absorption Spectrophotometer. The permeation test was carried out using a Franz diffusion cell with ferrous sulfate as a comparison. The increase in body weight of rats’ test on 3 groups of mice was carried out for 14 days. The average yield of ferro fumarate was 62.17%. The average iron assay of ferrous fumarate was 162.66 mg/g. The result of the in vitro permeation test was that ferrous sulfate penetrated better than ferrous fumarate with the cumulative amount of substance penetrating per unit area of the membrane of 9079.29 μg/cm2 and the penetration rate or flux of 3026.43 μg cm-2 hours-1. The steady state of ferrous sulfate was estimated to be reached at 18 hours with a flux of 1548,49 μg cm-2 hour-1. In the increase in body weight of rats’ test, the ferrous fumarate group showed an insignificant increase in body weight (p>0.05) compared to the ferrous sulfate group."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library