Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 122745 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ana Rosida
"Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan struktur dua buah puisi: Night oleh Blake dan She Walks in Beauty oleh Byron. Ada tiga fokus penelitian, yakni tema, majas, dan pencitraan. Peneliti menggunakan penelitian kualitatif dan juga teori pendekatan struktural. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyair tersebut menggunakan tema, majas, dan pencitraan. Ada banyak jenis majas dan pencitraan dalam puisi tersebut. Pada puisi Night, hanya ada empat majas, yaitu (a) simile, (b) personifikasi, (c) metafora, dan (d) hiperbola dan menggunakan (1) visual, (2) auditory, (3) taktil, dan (4) kinestetik sebagai pencitraan. Pada puisi She Walks in Beauty, Byron menggunakan (a) simile, (b) personifikasi, dan (c) litotes sebagai majas dan pencitraannya adalah (1) visual dan (2) kinestetik. Puisi Night dan She Walks in Beauty menunjukkan perbedaan dan persamaan yang berkaitan dengan gaya penulisan penyairnya. Blake adalah penyair yang subjektif sedangkan Byron adalah penyair yang objektif dalam menulis. Kedua penyair tersebut menggunakan alam dengan cara yang berbeda untuk membangun tema, majas, dan pencitraan. Blake menggunakan alam untuk menggambarkan dua tempat yang berbeda dan Byron menggunakan alam untuk menggambarkan karakter wanita."
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017
810 JEN 6:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Elly Nursamsiah Danardono
"Puisi adalah salah satu jenis sastra di samping prosa dan drama. Pada mulanya, puisi merupakan alat untuk menyatakan segala sesuatu yang patut diketahui oleh manusia, misalnya mantra-mantra, asal-usul para dewa atau nenek moyang, cara-cara bercocok tanam, hidup bermasyarakat, dan seterusnya. Dengan demikian puisi merupakan suatu teknik ingatan lisan. Tetapi di dalam perjalanan sejarah manusia, puisi mengalami perkembangan. Untuk alasan-alasan yang jauh melampaui kegunaan puisi sebagaimana telah disebutkan di atas, para penyair menjadikan alat tadi esensi dari suatu kreasi.
Puisi pada umumnya dapat dikatakan sebagai pemakaian bahasa secara khusus. Pemakaian bahasa secara khusus ini bertujuan untuk menyatakan atau nensugestikan sesuatu melalui irama, rima, citraan, dan lain-lain. Keanekaragaman bentuk dan fungsi pemakaian bahasa tersebut menimbulkan kesulitan di dalam mendefinisikan puisi.
Paul Claudel (1868-1955), seorang penyair dan penulis drama Perancis, berpendapat bahwa puisi merupakan suatu komposisi yang memberi nilai tambah pada kebahagiaan manusia sebagaimana yang dikatakannya berikut ini:
La poesie est composition et c'est grace A la composition qu'elle procure A I'oreille et au coeur de I'auditeur le plaisir qui lui est propre. Ce plaisir nett en effet du rapprochement, du contact, et de I'amalgame, par le moyen de seas canfie a la vibration, d'idthes appartenant aux ordres les plus divers, qui naus procure le sentiment dune extention heureuse, penetrante et Presque divine, de nos pouvairs.
Puisi adalah komposisi. Komposisi ini memindahkan emosi yang terkandung di dalamnya kepada pendengar melalui telinga dan kalbunya. Emosi ini memang lahir dari kedekatan, kontak, dan pembauran, melalui pancaindera yang peka terhadap getaran, melalui gagasan-gagasan yang berasal dari tatanan-tatanan yang sangat berbeda. Sarana tersebut memberikan kepada kita suatu rasa perluasan dari kemampuan--kemampuan kita, rasa perluasan yang membahagiakan, merasuk, dan hampir bersifat Illahi.
Mengenai Janis sastra ini, Lamartine (1790-1869) salah seorang penyair besar romantik Perancis, mengatakan:
"La poesie sera de la raison chantee, voila sa destine pour longtemps; eIle sera philosophique, religieuse, politique, sociale, comme les epoques que le genre humain va traverser; elle sera intime surtout, personnelle, meditative et grave: non plus un }eu de I'esprit, un caprice melodieux de la pensee leg&re et superficielle, mais I'echa profond, reel, sincere, des plus hautes conceptions de I'int!Iligence, des plus mysterieuses impressions de I'gme."
Puisi akan merupakan akal budi yang disenandungkan, itulah pembawaan puisi untuk waktu yang lama; puisi akan bersifat filsafat, agama, politik, sosial, seperti zaman-zaman yang akan dilalui oleh umat manusia; puisi terutama akan bersifat intim, pribadi, meditatif dan serius; puisi bukan lagi merupakan suatu permainan jiwa, suatu tingkah musikal dari pikiran yang ringan dan dangkal, akan tetapi gema yang dalam, nyata dan tulus dari kesan-kesan jiwa yang paling misterius?."
Depok: Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fiori Aivesa Violetta
"Penelitian ini membahas tentang pemaknaan warna biru dalam dua buah puisi berbahasa Jerman karya Else Lasker-Schueler dengan menggunakan teori semiotik dari Saussure. Penggunaan tanda dalam puisi seperti warna adalah bukan sesuatu yang asing dalam sebuah karya sastra. Penggunaan tanda ini sering digunakan untuk menyampaikan sebuah pesan ataupun emosi dari sang penyair, terutama di era ekspresionisme. Namun, penggunaan tanda dalam sebuah karya dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat pemaknaan warna biru dalam kedua puisi ini oleh sang penyair dan melihat alasan mengapa Lasker-Schueler menggunakan warna biru dalam kedua karya tersebut serta melihat bagaimana pemaknaan biru dalam budaya jerman dan dalam kedua puisi ini. Korpus data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua puisi karya Lasker-Schueler yang berjudul Gebet dan Mein blaues Klavier. Keduanya diterbitkan tahun 1943 dalam sebuah buku kumpulan puisi dengan judul Mein blaues Klavier. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa Lasker-Schueler memaknai warna biru dalam Gebet sebagai sesuatu yang positif yaitu harapan dan dalam Mein blaues Klavier sebagai kenangan bahagia dari masa kecilnya.

This study discusses the meaning of blue in two German poems by Else Lasker-Schueler using the semiotic theory of Saussure. The use of signs in poetry like colors is not something unusual in a literary work. Sign in literature are often used to convey a message or emotion from the poet, especially in the era of expressionism. However, the use of signs in a literature work can also lead to different interpretations. Therefore, this study aims to see how the poet defines the meaning of blue in these two poems and to see the reasons behind the usage of blue in both works, and see how German culture interprets blue and how it relates to blue in these two poems. Corpus data used in this studyare two poems by Lasker-Schueler entitled Gebet and Mein blaues Klavier. Both poems were published in 1943 in a book under the title Mein blaues Klavier. The results from this study found that Lasker-Schueler interpreted the blue color in Gebet as something positive, hope, and in Mein blaues Klavier as a piece of a happy memory from her childhood."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nanny Sri Lestari
"ABSTRAK
Letak keistimewaan sebuah puisi Jawa baru, memang berbeda dengan puisi Jawa tradisional. Penelitian terhadap puisi Jawa baru sama rumitnya dengan penelitian puisi Jawa tradisional. Nuansa sosial yang menjadi perhatian peneliti di dalam puisi Jawa baru perhatian peneliti sering sekali bias dengan kenyataan sosial yang ada di maayarakat, meskipun garis pemisahnya jelas sekali terlihat.
Karya sastra memang merupakan hasil pemikiran seorang
penyair. Penyair membuat dunia tiruan yang diilhami dari apa yang dilihat dan dirasakannya di alam nyata. Oleh karena itu dunia tiruan yang diciptakan oleh penyair memiliki jaringan struktur yang utuh dalam mendukung bangun karya sastra tersebut.
Analisis terhadap jaringan sebuah karya sastra membawa
peneiiti kepada pemahaman yang menyeluruh terhadap karya sastra teraebut. Sekaligus melihat keistimewaan karya sastra tersebut sebagai dunia tiruan yang berbeda dengan dunia kenyataan.
Sebelum memasuki pemahaman yang menyeluruh terhadap
keseluruhan sebuah karya sastra, perhatian terlebih dahulu diarahkan pada bentuk dan isi karya sastra itu sandiri. Sebab penelitian terhadap bentuk dan isi memberikan pemahaman yang dasar terhadap keseluruhan dari karya sastra tersebut. Baru pada langkah berikutnya adalah melihat Salah satu kekayaan
yang menonjol dari karya saatra tersebut, antara lain adalah nuansa soaial yang dikandungnya.
Nuansa sosial yang terdapat pada sabuah karya sastra
dapat memperkaya pemahaman peneliti pada suatu keadaan yaitu bertemunya kenyataan dengan imajinasi penyair. Di dalam pertemuan ini ternyata penyair sebagai bagian dari masyarakatnya tetap tidak dapat melepaskan ikatan yang telah terjadi dengan sendirinya. Sehingga ketika dunia nyata hendak ia masukkan ke dalam dunia tiruan ciptaan sang penyair faktor penilaian sang penyair menjadi dominan sekali. Akibatnya kenyataan sosial yang terjadi di masyarakat pada saat dituliskan menjadi sebuah karya sastra berubah menjadi nuansa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Adli Muaddib Aminan
"Penelitian ini membahas puisi karya Rasul Gamzatov "Dagestan" yang ditulis pada tahun 1951. Penelitian ini menganalisis penerjemahan lintas-budaya dalam puisi tersebut. Puisi ini terdiri dari delapan bait dan diterjemahkan oleh Ladinata Jabarti. Teori yang digunakan adalah Teori Puisi (Eliot,1986) dan Teori Penerjemahan Lintas Budaya (Bassnett, 2011). Metode yang digunakan adalah metode deskriptif-kualitatif (Ritchie dan Lewis, 2004). Puisi ini mencerminkan kecintaan Gamzatov terhadap Dagestan, negara bagian multietnis di Rusia. Penerjemahan puisi ini memuat konteks Dagestan terkait alam dan budayanya. Penerjemahan puisi dilakukan dengan melibatkan dua bahasa yaitu bahasa Rusia dan bahasa Indonesia. Pembahasan penerjemahan ini dilakukan perbait dan meliputi lintas-budaya antara Rusia dan Indonesia. Empat hasil penelitian terkait lintas-budaya didapatkan dalam penelitian ini, yaitu rantau, cinta tanah air, patriarki, dan agraris.

This research discusses the poetry by Rasul Gamzatov "Dagestan" which was written in 1951. This research analyzes the cross-cultural translation of the poem. This poem consists of eight verses and was translated by Ladinata Jabarti. There are two theories used: Poetry Theory (Eliot, 1986) and Cross-Cultural Translation Theory (Bassnett, 2011). The method used is descriptive-qualitative method (Ritchie and Lewis, 2004). This poem reflects Gamzatov's love for Dagestan, a multi-ethnic state in Russia. The translation of this poem contains the context of Dagestan regarding its natures and cultures. The translation of the poem involves two languages, namely Russian and Indonesian. The discussions on this translation are carried out for each verse and cover cross-cultural relations between Russia and Indonesia. Four research results related to cross-culture are obtained in this research, namely wandering, love of homeland, patriarchy, and agrarian."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Safirah Hanifati
"enulisan ini bertujuan untuk meneliti seruan freedom of speech dalam puisi berjudul Ikhtiyar karya Azzedine Mihoubi yang merupakan seorang penyair dan mantan menteri Kebudayaan Aljazair tahun 2015-2019. Puisi digunakan sebagai media menyampaikan pendapat para demonstran sebagai salah satu bentuk kebebasan pendapat. Akan tetapi seorang demonstran di Aljazair ditangkap sebagai tahanan politik setelah membacakan puisinya yang berisi kritik kepada pemerintah. Melihat peristiwa penangkapan tersebut, puisi Ikhtiyar menjadi menarik untuk diteliti. Karena puisi tersebut dibuat oleh seorang penyair yang pernah menjabat di pemerintahan. Pemerintahan pada umumnya sering menerima krtik dari rakyatnya sebagai bentuk kebebasan berpendapat dan Mihoubi menunjukan dukungan atas kebebasan berpendapat melalui puisi Ikhtiyar. Penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan kualitatif dan deskriptif berdasarkan teori retorika Arab atau balagah dan teori isotopi. Penelitian ini menemukan bahwa teori balagah dan teori isotopi merupakan teori yang tepat untuk melihat seruan dan tema freedom of speech dalam puisi Ikhtiyar. Dalam puisi ini ditemukan banyak seruan freedom of speech yang ditujukan kepada rakyat Aljazair. Selain ditemukan tema freedom of speech, puisi ini juga terdapat sub-tema perjuangan, persaudaraan setanah air dan musuh negara.

This research aims to examine the invocation of the freedom of speech within Azzedine's poem entitled “Ikhtiyar”, written by Mihoubi Azzedine, who is a poet and a former Minister of Culture of Algeria from 2015-2019. Poetry is utilized as a medium to convey the opinion of demonstrators as a form of a freedom of speech. However, a protester in Algeria was arrested as a political prisoner after reading out loud his poetry which embodied criticism towards the government. Considering the arrest incident, the poetry of Ikhtiyar has become intriguing to research due the fact that the poem was composed by a poet who had served in the government. In general, the government often receives criticism from its people as a form of free-speech. On that ground, Mihoubi emphasized his support towards the civil-liberty through the Ikhtiyar poetry. This research was conducted with a qualitative and descriptive approach based on the Arabic rhetoric theory or balagah and the isotopic theory. Within the research, it is found that the balagah theory and the isotopic theory are suitable to examine the exclamation and the theme of freedom of speech in the Ikhtiyar poetry. Within this poem, it has discovered that there are many calls for the free-speech addressed to the Algerian people. Along the freedom of speech, this poem also encloses several sub-themes of struggles, compatriots, and enemies of the state."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Badrun
"Meskipun bangsa Indonesia sudah memiliki tradisi tulis, tidak dapat disangkal bahwa tradisi lisan masih hidup di berbagai suku bangsa di Indonesia. Keberadaan tradisi lisan dalam masyarakat Indonesia yang sudah beraksara merupakan suatu indikator bahwa dalam kehidupan ini, kita tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari kelisanan karena tidak semua kegiatan komunikasi masyarakat dapat digantikan atau dilakukan sepenuhnya dengan keberaksaraan. Hal itu berarti bahwa kedua tradisi itu dapat hidup berdampingan dan saling menunjang, karena menurut Goody dan I Watt (1963:353), tulisan adalah suatu tambahan, bukan suatu alternatif untuk transmisi lisan. Bagi Goody (1992:12-13), komunikasi tradisi lisan dalam masyarakat dengan tulisan berbeda dengan dalam masyarakat tidak beraksara. Dalam masyarakat tidak beraksara tradisi lisan menanggung semua beban penyebaran kebudayaan. Akan tetapi dalam masyarakat dengan tulisan (masyarakat beraksara), tradisi lisan merupakan bagian dari keseluruhan aktivitas komunikasi. Tulisan hanyalah saluran lain dari komunikasi dan bahkan dalam kenyataan ada tradisi lisan yang sudah ditulis. Kemudian menurut Sweeney (199:15-16), kelisanan dan keberaksaraan merupakan dua hal yang berkaitan: kita dapat melihat kelisanan dalam yang tertulis dan keberaksaraan dalam yang lisan.
Keberadaan tradisi lisan tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang dikandungnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lisan (khususnya cerita dan puisi) masih relevan dengan kehidupan kita. Artinya, nilai-nilai yang ditawarkan itu masih mampu bertahan di tengah perkembangan masyarakat Indonesia yang sedang melakukan proses modemisasi, terutama melalui proses pembangunan dengan mengimpor ilmu dan teknologi dari negara maju. Modernisasi itu akan mendesak atau menggeser nilai-nilai tradisional yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Proses modernisasi yang berlangsung di Indonesia akan berdampak positif dan negatif pada segala aspek kebudayaan, termasuk pada tradisi lisan. Dalam hal ini akan terjadi semacam pergulatan nilai (nilai tradisional dan nilai baru dari budaya asing) yang kemudian akan memunculkan yang menang dan kalah. Persoalan kalah dan menang itu akan bergantung kepada kekuatan nilai itu sendiri, seperti dikatakan oleh Bachtiar (1985:14-15) bahwa interaksi berbagai budaya (asing dan etnik) tidak dapat dihindari dan hal itu dapat menimbulkan konflik budaya, yang pada akhirnya budaya yang kuat akan mendesak budaya yang lemah, walaupun pemilik suatu kebudayaan itu masih ada."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
D522
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Soffah
"Skripsi ini membahas puisi yang dibuat oleh penyair zaman Jahiliyah, Nâbigah aż-Żibyânî. Puisi iʻtiżâr termasuk ke dalam kategori puisi Arab Klasik karena dibuat pada zaman Jahiliyah. Beberapa ciri khas puisi Arab Klasik adalah menyesuaikan pada wazan atau baḥr, qâfiyah, bahasanya jelas, singkat dan padat, tidak memakai kata-kata asing dan tidak pasaran. Selain itu, diungkapkan pula unsur-unsur yang memperindah bahasa dalalm puisi melalui analisis struktur dan isi.

This undergraduate thesis is explaining about the poem written by poet in Jahiliyah era, Nâbigah aż-Żibyânî. The iʻtiżâr poetry of Nâbigah aż-Żibyâni is categorized into Classical Arabic poetry because it was made in Jahiliyah era. Classical Arabic poetry is usually adopted to wazan or baḥr, qâfiyah, the meanings are clear, concise, dense, and never using foreign words and independent. In addition, its also expressed the things that make the language in this poem atractive by means of the structure analysis and its content."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47280
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masrida Fitriani
"Jurnal ini membahas mengenai analisis tiga puisi epigram karya Susan Alaywan seorang sastrawan yang berasal dari Lebanon. Puisi epigram karya Susan Alaywan memiliki keunikan di dalam judul yang ia pakai, yaitu menggunakan simbol-simbol emoticon yang mengeskspresikan pesan yang ingin disampaikan di dalam puisi. Dengan menggunakan teori struktural dan semiotik penulis bertujuan untuk menganalisis tiga puisi epigram ini apakah lambang emoticon yang dipakai pada judul tersebut merupakan sebuah simbol yang memiliki makna ambigu atau semata-mata hanya sekedar mencari keunikan/pembeda dalam bentuk puisi bebas.

The journal discusses the analysis of three poems by Susan Alaywan epigram a writer who came from Lebanon. The Poetry which written by Susan Alaywan has a unique thing in that he used in the title that is using symbols emoticons that express the message in to the poem. By using the theory of structural and semiotic author aims to analyze three poems of this epigram whether the symbol of emoticons used in the title is a symbol that has meaning ambiguous or simply just looking for uniqueness in free form poetry.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>