Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 192250 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asram Nur Anas
"Latar Belakang: Prajurit yang pulang penugasan baik pasca perang ataupun yang pasca penugasan di daerah perbatasan dapat mengalami kecemasan, kecemasan yang dialami oleh prajurit dapat dialami juga oleh keluarga, kecemasan dilaporkan berhubungan dengan kadar kortisol dalam darah, dan dilaporkan ada beberapa faktor risiko terjadinya kecemasan akibat kekerasan. Analisis hubungan kecemasan akibat kekerasan dengan kadar hormone kortisol dan faktor risikonya belum pernah dilakukan khususnya pada populasi prajurit TNI AD di Indonesia. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kecemasan akibat kekerasan dengan kadar hormon kortisol dan faktor risikonya di lingkungan prajurit TNI AD. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan case control yang melibatkan 50 sampel yang terdiri dari keluarga prajurit normal / non cemas dan keluarga prajurit yang mengalami kecemasan, dimana kelompok kontrol (keluarga prajurit normal) berjumlah 20 sampel dan kelompok kasus (keluarga prajurit dengan kecemasan) berjumlah 30 sampel (terdiri dari 20 kecemasan ringan dan 10 kecemasan sedang). Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta mulai tanggal 02 Maret 2019 - 30 Mei 2019. Hasil: Hasil uji Mann Whitney U dari variabel umur, kekerasan berulang, dan obesitas diatas menunjukkan nilai p>0.05, hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan bermakna rerata umur, kekerasan berulang, dan IMT pada kelompok hormon kortisol tinggi dibandingkan hormon kortisol normal. Sedangkan Hasil uji Mann Whitney U dari variabel kecemasan diatas menunjukkan nilai p<0.05, hal ini berarti bahwa ada perbedaan bermakna rerata kecemasan pada kelompok hormon kortisol tinggi dibandingkan hormon kortisol normal. Hasil Uji independent t test menunjukkan nilai p = 0.000, hal ini berarti bahwa ada perbedaan bermakna rerata hormon kortisol pada kelompok keluarga prajurit yang mengalami kecemasan dibandingkan kelompok keluarga prajurit normal, yaitu rerata kadar kortisol pada kelompok keluarga prajurit yang mengalami kecemasan lebih tinggi dibandingkan kelompok keluarga prajurit normal.. Kesimpulan: Kadar kortisol tinggi ditemukan pada keluarga prajurit yang mengalami kecemasan. Keluarga prajurit dengan kadar hormon kortisol tinggi memiliki kecenderungan 20 kali lebih besar mengalami kecemasan dibandingkan keluarga prajurit dengan kadar kortisol normal. Dari beberapa faktor risiko, tingkat kecemasan secara signifikan berisiko meningkatkan hormon kortisol. Keluarga prajurit yang mengalami kecemasan berisiko lebih besar mengalami peningkatan hormon kortisol dibandingkan keluarga prajurit yang tidak mengalami kecemasan.

Background: Soldiers returning from post-war assignments or post-assignments in border areas can experience anxiety, anxiety experienced by soldiers can also be experienced by families, anxiety is reported to be related to cortisol levels in the blood, and there are reported several risk factors for anxiety due to violence. An analysis of the relationship between anxiety due to violence and cortisol hormone levels and risk factors has never been done, especially in the Indonesian Army population in Indonesia. Objective: To determine the relationship of anxiety due to violence with the levels of cortisol hormones and the risk factors in the Army soldier. Methods: This research was an observational study with a case control design involving 50 samples consisting of families of normal / non-anxious soldiers and families of soldiers who experienced anxiety, where the control group (normal soldier's family) amounted to 20 samples and case groups (soldiers' families with anxiety) amounted to 30 samples (consisting of 20 mild anxiety and 10 moderate anxiety). This research was conducted at the Central Army Hospital Gatot Subroto, Jakarta starting March 2, 2019 - May 30 2019. Results: The Mann Whitney U test results from age variables, repeated violence, and obesity above showed p> 0.05, this means that there were no significant differences in mean age, repeated violence, and BMI in the high cortisol hormone group compared to the normal cortisol hormone. While the Mann Whitney U test results from the above anxiety variables showed a value of p <0.05, this means that there was a significant difference in the mean anxiety in the high cortisol hormone group compared to the normal cortisol hormone. The independent t test results showed a value of p = 0.000, this means that there was a significant difference in the mean hormone cortisol in the family group of soldiers who experienced anxiety compared to the normal family group of soldiers, namely the average cortisol level in the family group of soldiers who experienced higher anxiety than the family group normal soldier. Conclusion: High cortisol levels are found in families of soldiers who experience anxiety. Families of soldiers with high cortisol levels tend to be 20 times more likely to experience anxiety than a family of soldiers with normal cortisol levels. Of several risk factors, anxiety levels significantly risk increasing the hormone cortisol. Families of soldiers who experience anxiety are at greater risk of experiencing an increase in the hormone cortisol than families of soldiers who do not experience anxiety."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edward Faisal
"Latar Belakang: Peningkatan serotonin plasma dan kortisol saliva yang terjadi pada sindrom koroner akut juga terjadi pada gejala ansietas. Dan kedua penanda biologis tersebut digunakan untuk mengetahui adanya gejala ansietas.
Tujuan: Mengetahui perbedaan rerata serotonin plasma dan kortisol saliva pada sindrom koroner akut dengan gejala ansietas di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Dilakukan penelitian klinis poong lintang.
Hasil: Kadar serotonin plasma dengan gejala ansietas dan tanpa gejala ansietas dibandingkan nilai normal yaitu 194,83 (142,00-892,04) ng/mL dan 167,16 (150,40-225,96) ng/ml. Kadar kortisol saliva pada subjek dengan gejala ansietas dan tanpa gejala ansietas adalah 2,75 (1,28-4,91) µg/dL dan 2,69 (0,91-7,09) µg/dL.
Simpulan: Ada peningkatan kadar serotonin plasma dan kortisol saliva pada gejala ansietas walaupun tidak terdapat hubungan antara serotonin plasma dan kortisol saliva dengan gejala ansietas pada pasien SKA.

Background: Increases in plasma serotonin and salivary cortisol that occur in acute coronary syndrome also occur in symptoms of anxiety. And the two biological markers are used to determine the presence of anxiety symptoms.
Objective: To determine the difference in mean plasma serotonin and salivary cortisol in acute coronary syndrome with anxiety symptoms at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo.
Methods: Poong Lintang clinical research was conducted.
Results: Compared to normal values, plasma serotonin levels with anxiety symptoms and without anxiety symptoms ​​were 194.83 (142.00-892.04) ng/mL and 167.16 (150.40-225.96) ng/ml. Salivary cortisol levels in subjects with anxiety symptoms and without anxiety symptoms were 2.75 (1.28-4.91) µg/dL and 2.69 (0.91-7.09) µg/dL.
Conclusion: There is an increase in plasma serotonin and salivary cortisol levels in anxiety symptoms although there is no relationship between plasma serotonin and salivary cortisol with anxiety symptoms in ACS patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alfistya Tri Noviany
"Latar Belakang: Salah satu tindakan perawatan gigi yang dapat menimbulkan kecemasan pada anak adalah tindakan ekstraksi gigi. Menurut beberapa penelitian, perempuan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Kecemasan anak terhadap perawatan gigi dapat diatasi dengan manajemen perilaku anak seperti Tell-Show-Do. Metode ini dapat dilakukan dengan bantuan media, salah satunya adalah video.
Tujuan: Mengetahui perbedaan tingkat kecemasan anak terhadap perawatan gigi berdasarkan jenis kelamin setelah diberikan penayangan video ekstraksi gigi.
Metode: Kecemasan diukur menggunakan kuesioner MCDAS f yang telah dimodifikasi pada anak usia 6-9 tahun sejumlah 142 anak. Analisis statistik menggunakan uji Wilcoxon ? = 0,05 dan Mann Whitney U ? = 0,05.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna pada tingkat kecemasan anak laki-laki sebelum dan setelah penayangan video ekstraksi, tetapi pada anak perempuan, perbedaan tersebut tidak bermakna. Selain itu, juga tidak terdapat perbedaan bermakna pada perubahan tingkat kecemasan anak laki-laki dan perempuan.
Kesimpulan: Video animasi perawatan ekstraksi gigi dapat membantu menurunkan tingkat kecemasan anak terhadap perawatan gigi baik pada anak laki-laki maupun perempuan. Diharapkan video ini dapat digunakan sebagai alternatif penanganan kecemasan anak terhadap perawatan gigi.

Background: Tooth extraction is one of dental treatments that can cause children's anxiety. According to some studies, females have higher anxiety level than males. Children's dental anxiety can be managed with behavior management techniques such as Tell Show Do. This method can be done with help of media, such as video.
Aims: To see the difference of children's dental anxiety level based on their gender after watching tooth extraction video.
Methods: The dental anxiety is measured by using modified MCDAS f questionnaire on 142 children aged 6 9 years old. Statistical analysis is performed using Wilcoxon and Mann Whitney U test 0,05.
Results: There are differences on children's dental anxiety level before and after watching the video, but on female children, it is not significant. Also, there is no significant difference on changes of children's dental anxiety between male and female children.
Conclusion: The tooth extraction video can help to decrease the dental anxiety levels of both male and female children. This video is suggested as an alternative treatment towards children 39 s dental anxiety.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Sabaty Shofiyah
"Gangguan penglihatan pada anak mempengaruhi perkembangan psikologis anak, termasuk kecemasan. Kedekatan anak yang memiliki gangguan penglihatan dengan ibu dapat membantu anak untuk merespon perawatan lebih baik. Kadar salivary alpha-amylase (sAA) merupakan biomarker kecemasan non invasive yang dapat diterima secara luas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kadar sAA pada ibu dan anak dengan gangguan penglihatan usia 6-9 tahun sebelum dan sesudah oral profilaksis. 21 anak dengan gangguan penglihatan beserta ibunya berpartisipasi dalam studi ini. Kadar sAA keduanya pertama diukur di ruang tunggu saat mereka sedang bersama. Anak kemudian menerima oral prophylaxis dan diukur kembali kadar sAAnya. Pada saat yang sama kadar sAA ibu kedua diukur di ruang tunggu. Analisis data menggunakan uji Spearmann. Kadar sAA ditemukan berkorelasi positif antara ibu dan anak dengan gangguan penglihatan usia 6-9 tahun sebelum dan sesudah oral prophylaxis (p≤0,05) dengan koefisien korelasi (r=0.788). Penelitian ini menunjukkan bawa kecemasan ibu dan anak dengan gangguan penglihatan sebelum dan sesudah oral prophylaxis berkorelasi secara kuat yang kemudian dapat digunakan oleh dokter gigi apakah kehadiran ibu di dalam ruang tindakan dapat menunjang kesuksesan perawatan gigi anak dengan gangguan penglihatan.

Visual impairment in children known to have profound effect on psychological development, including anxiety. However, stronger emotional relationship with their mother found in this group can possibly help them cope better. Measurement of salivary alpha-amylase (sAA) in saliva sampling is a widely used reliable non-invasive biomarker of anxiety level in clinical settings. Our objective was to evaluate sAA level in visually impaired children and their mothers before and after dental treatment. 21 children with visual and hearing-impairment and their mothers participated, sAA of both subjects were recorded together in the waiting room before treatment. Children then underwent dental prophylaxis in separated room, and had their post-treatment sAA measured right after. At the same time, mother's post-treatment sAA recorded in the waiting room. Data analyzed using Spearmann correlation test. sAA levels found to be significantly correlated between mothers and children with visual impairment pre- and post-oral prophylaxis (p≤0,05) with strong correlation coefficient (r=0.788). Our research found that anxiety in children with visual impairment and their mothers before and after oral prophylaxis were strongly correlated, which can be used as aid to decide whether mother's company inside dental operatory is beneficial in providing treatment for children with visual impairment."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Tandean
"Kecemasan anak terhadap perawatan gigi dapat diatasi dengan teknik manajemen perilaku, seperti Tell-Show-Do dan modelling. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan tingkat kecemasan anak berdasarkan status sosial ekonomi setelah diberikan penayangan video ekstraksi. Penelitian ini dilakukan pada 142 anak berusia 6-9 tahun dengan menggunakan kuesioner MCDAS f yang telah dimodifikasi. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji Wilcoxon.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan pada anak dengan status sosial ekonomi tinggi dan rendah sebelum dan setelah diberikan penayangan video ekstraksi, namun pada anak dengan status sosial ekonomi tinggi, perbedaan tersebut tidak bermakna. Selain itu, tidak terdapat perbedaan bermakna pada perubahan tingkat kecemasan terhadap perawatan gigi antara anak dengan status sosial ekonomi tinggi dan rendah sebelum dan setelah diberikan penayangan video ekstraksi.

Child dental anxiety can be managed by using behaviour management techniques, such as Tell Show Do and modelling. The purpose of this study was to determine the differences of child dental anxiety level based on social economic status after watching tooth extraction video. This study was conducted on 142 children aged 6 9 years using modified MCDAS f questionnaire. Statistical analysis was performed using Wilcoxon test.
The results showed that there are different dental anxiety levels in children with upper and lower social economic status before and after watching tooth extraction video, but in children with high social economic status, that difference is insignificant. In addition, there are no significant differences in dental anxiety level changes between children with higher and lower social economic status before and after watching tooth extraction video.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudy Kurniawan
"Latar Belakang: Berkunjung ke dokter gigi sering menimbulkan kecemasan bagi seorang anak. Terdapat teknik manajemen perilaku anak untuk mengatasi kecemasan anak selama perawatan gigi antara lain dengan metode modeling.
Metode Penelitian: Desain penelitian adalah studi eksperimental klinis. Metode modelling dilakukan dengan menunjukkan gambar tidak bergerak dan gambar bergerak 'Berkunjung ke Dokter Gigi'. Sebanyak 100 anak laki-laki dan 100 anak perempuan berusia 5-6 tahun dinilai frekuensi tingkat kecemasannya dengan Venham Behaviour Scale (VBS).
Hasil: Terdapat perbedaan tidak bermakna tingkat kecemasan anak laki-laki dan perempuan usia 5 dan 6 tahun antara sebelum dan sesudah diperlihatkan gambar tidak bergerak maupun gambar bergerak. Dapat disimpulkan bahwa gambar tidak bergerak maupun gambar bergerak tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat kecemasan anak.
Kesimpulan: Penggunaan gambar tidak bergerak dan gambar bergerak tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat kecemasan anak laki-laki dan perempuan berusia 5 dan 6 tahun yang baru pertama kali berkunjung ke dokter gigi dengan nilai p<0,05.

Background: Visiting the dentist usually cause the anxiety especially in children. There are behavior management techniques to reduce the anxiety such as Modelling.
Methods: The design of this study is clinic experimental study. We show the positive images and the video 'Visiting the dentist' to 100 boys and 100 girl with age 5 to 6 years old. The anxiety level is count using the Venham Behaviour Scale Rating (VBS).
Result: There is no significant differences to the level of anxiety by using positive images and video training (p<0,05).
Conclusion: Static pictures and moving picture have no influence to the level of anxiety in children age 5 and 6 years old.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hans Christian
"Kecemasan merupakan hambatan bagi pasien dewasa maupun anak-anak dalam melakukan kunjugan dental. Usia 8 tahun merupakan masa perkembangan anak pada tahap akhir dari middle childhood dan usia 11 tahun merupakan masa perkembangan anak pada tahap akhir dari late childhood; kedua kelompok usia tersebut memperlihatkan perkembangan fisik, sosio-emosional serta kognitif yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan dental pada anak usia 8 dan 11 tahun, serta perbedaan tingkat kecemasan dental berdasarkan jenis kelamin.
Data diambil melalui wawancara pada siswa Sekolah Dasar Pelangi Kasih usia 8 dan 11 tahun pada tahun ajaran 2008-2009 menggunakan alat ukur berupa kuesioner CFSS-DS (Children?s Fear Survey Schedule ? Dental Subscale) yang telah dimodifikasi urutannya dengan masing-masing usia berjumlah 100 anak. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ersentase terbesar tingkat kecemasan dental tinggi terdapat pada anak usia 8 tahun sebesar 27% dan berdasarkan uji chi-square erlihat perbedaan tingkat kecemasan dental yang bermakna (p < 0,05) antara usia 8 dan 11 tahun. Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin baik pada usia 8 dan 11 tahun, anak perempuan memiliki tingkat kecemasan dental yang lebih tinggi daripada anak laki-laki dengan masing-masing persentase sebesar 35,3% dan 20,8%; dan menggunakan uji chi-square terlihat perbedaan namun tidak ermakna (p > 0,05).

Dental anxiety is an inhibitor for adults and children patients to make a dental visit. A 8-year-old is the last stage of middle childhood in child development phase and a 11-year-old is the last stage of late childhood in child developmemt phase. These 2 groups show the difference of physical, social-emotional, and cognitive development. The aim of this study is to know the difference of dental anxiety on 8 and 11 years old children and it is based on the children?s gender.
The data is taken through the interview from Pelangi Kasih Primary School students period 2008-2009 at the age of 8 and 11 years old using measurement tool in questionnaire form called CFSS-DS (Children?s Fear Survey Schedule ? Dental Subscale) and the arrangement has been modified. The questionnaire is given out to 100 children for each age. This study is a qualitative study with descriptive design.
The study results show that 8 years old children have the greatest percentage in high level dental anxiety which is 27% and from chi-square test shows a significant difference (p < 0.05) in dental anxiety between 8 and 11 years old. Meanwhile, based on the gender, girls have higher dental anxiety than boys for both 8 and 11 years old children with each percentages are 35.3% and 20.8%; and from chi-square test shows differences but not ignificant (p > 0.05).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rischa Zahra Bellanisa
"Latar Belakang: Kecemasan terhadap perawatan gigi merupakan hal yang sering terjadi dan biasa disebut dengan dental anxiety. Salah satu tindakan perawatan gigi yang sering menyebabkan kecemasan adalah tindakan bedah mulut. Masa pandemi COVID-19 juga mempengaruhi kecemasan pasien untuk mendapatkan perawatan gigi.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien RSKGM FKG UI terhadap perawatan gigi di masa pandemi COVID-19 dan tindakan bedah mulut.
Metode: Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni – September 2021. Pengukuran menggunakan kuesioner Modified Dental Anxiety Scale.
Hasil: Hasil pengisian kuesioner kecemasan terhadap perawatan gigi di masa pandemi COVID-19 didominasi rasa sedikit cemas dan tidak terdapat perbedaan bermakna dari kecemasan terhadap jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan. Pengisian kuesioner kecemasan terhadap tindakan bedah mulut didominasi oleh rasa cemas dan terdapat perbedaan bermakna dari kecemasan terhadap jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan.
Kesimpulan: Sebagian besar pasien umum baru RSKGM FKG UI cenderung mengalami sedikit cemas untuk melakukan perawatan gigi dan pasien bedah mulut baru RSKGM FKG UI cenderung mengalami cemas dalam menerima prosedur bedah mulut.

Background: Anxiety toward dental care is a common thing and is usually called dental anxiety. One of the dental care procedures that often causes anxiety is the oral surgery. The COVID-19 pandemic also affects the patients' anxiety to get dental treatment.
Objective: This study was conducted to find out the anxiety level of patients in RSKGM FKG UI towards dental care during the COVID-19 pandemic and oral surgery.
Methods: This study was conducted from June – September 2021. The measurement used Modified Dental Anxiety Scale.
Results: The results of filling out anxiety questionnaires toward dental care during the COVID-19 pandemic were dominated by little anxiety and there were no significant differences between anxiety and gender, age, and educational level. The anxiety questionnaire toward oral surgery was dominated by anxiety and there were significant differences between gender, age, and educational level.
Conclusion: Most new general patients in RSKGM FKG UI tend to experience little anxiety to get dental treatment, and new oral surgery patients in RSKGM FKG UI tend to experience anxiety in receiving oral surgery procedures.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyanti W.S.
"Latar belakang: Anak tunarungu mengalami gangguan pendengaran yang dapat menyebabkan kecemasan terhadap perawatan gigi. Anak tunarungu cenderung rentan terhadap kecemasan karena ketidakmampuan mereka dalam mengkomunikasikan emosi negatif dan kesulitan untuk menerima informasi tentang kesehatan gigi mulut. Perawatan gigi dikenal merupakan perawatan yang menimbulkan stress. Menangani pasien yang cemas merupakan tantangan bagi dokter gigi; perawatan membutuhkan lebih banyak waktu dan timbulnya perilaku tidak kooperatif pasien yang memberikan efek negatif pada kinerja dokter gigi. Kecemasan perawatan gigi dapat menyebabkan pasien menghindar, perilaku tidak kooperatif dan perubahan fisiologis dalam tubuh seperti meningkatnya frekuensi pernapasan dan detak jantung. Pendekatan khusus untuk mendidik anak-anak tunarungu dengan menggunakan media visual dapat berguna untuk mengurangi kecemasan gigi.
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh edukasi menggunakan buku pop-up 'Aku dan Gigiku' pada kecemasan gigi pada anak-anak tunarungu, yang diamati dari frekuensi napas.
Metode Penelitian: 42 anak tunarungu dibagi menjadi masing-masing 21 anak dalam kelompok intervensi dan tanpa intervensi. Penilaian kecemasan dilakukan dengan mengukur frekuensi napas yang dilakukan sebelum dan sesudah intervensi menggunakan buku pop-up 'Aku dan Gigiku'. Data statistik kemudian dianalisis menggunakan t-tes berpasangan untuk membandingkan antara kelompok intervensi dan kelompok tanpa intervensi.
Hasil: Terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik dalam nilai delta dari frekuensi napas antara kelompok intervensi dan kelompok tanpa intervensi.
Kesimpulan: Buku pop-up terbukti efektif sebagai media edukasi visual untuk mengurangi kecemasan gigi pada anak tunarungu.

Background: Children with hearing impairment has communication barrier, that can induce dental anxiety. Deaf children are prone to dental anxiety because of their disability to communicate their negative feelings and difficulties to receive information about dental health care. Dental treatment is known as a stressful treatment. Treating an anxious patient is a challenge for dentists; treatment might take more time and the patient's uncooperative behavior gives a negative effect on the dentist's performance. Anxiety of dental treatment can lead to avoidance, uncooperative behavior and physiologic changes in the body such as respiratory rate and heart rate. Special approach to educate hearing-impaired children by using visual media can be useful to reduce dental anxiety.
Aim: The aim of this study is to verify the impact of education using pop-up book on dental anxiety in hearing-impaired children, observed from respiratory rate.
Methods: 42 children with hearing impairment who were retrospectively subclassified for study and control group. Assesment of anxiety by measuring respiratory rate were conducted before and after intervention using pop-up book. The data were analyzed using unpaired t-test for intergroup comparison between the study and control group.
Result: There were a significant mean reduction of respiratory rate in the study group and mean increase of respiratory rate in the control group. A significant difference of respiratory rate was found among the study and control group.
Conclusion: Our result suggest that pop-up book was found to be effective as a visual education tool to reduce dental anxiety in hearing-impaired children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annastasia Dinny S.
"Kecemasan gigi merupakan respon rasa cemas pasien terhadap hal yangberhubungan dengan bidang kedokteran gigi dikarenakan kurangnya edukasitentang kesehatan gigi mulut sehingga dapat menyebabkan masalah saatpemeriksaan gigi mulut. Tunanetra adalah istilah umum yang digunakan untukkondisi seseorang yang mengalami gangguan atau hambatan dalam inderapenglihatan sehingga mempengaruhi kemampuan mereka dalam memperolehedukasi tentang kesehatan gigi mulut, memiliki kecemasan yang tinggi dan statuskesehatan gigi mulut yang rendah.Tujuan: Memberikan edukasi kesehatan gigi mulut pada anak tunanetramenggunakan leaflet-dental-braille LDB dan audio-dental AD untukmengurangi kecemasan dental Disain penelitian: adalah studi eksperimental klinisVariabel yang dihubungkan adalah tingkat kecemasan dental setelah LDB padaanak tunanetra serta tingkat kecemasan dental setelah AD pada anak tunanetra.Kuisioner untuk mengukur tingkat kecemasan menggunakan Modified Dentalanxiety Scale MDAS yang diubah menjadi huruf brailleHasil:uji T test tidak berpasangan menunjukkan terdapat perbedaan bermaknatingkat kecemasan dental pada anak tunanetra setelah mendapat edukasi denganmetode AD p0.05 Disimpulkan bahwa menguji keefektifan alatLDB dan AD sebagai metode edukasi non tatap muka tentang kesehatan gigi mulutanak tunanetra dengan indikator tes kecemasan dental.

Dental anxiety is patient rsquo s anxious response to dentistry due to lack of educationabout dental health care therefore causing problems while doing dental check up.Visually impairment is a common term for individual who has disturbance orobstacle of sense of sight which influence the ability to obtain dental healtheducation, Aim this individual also having high anxiety and low dental healthstatus. Leaflet dental braille LDB and audio dental AD are tools to approachvisually impaired child to facilitate dental health education. Method clinicalexperimental study. The variables are dental anxiety level after LDB and AD invisually impaired child. Questionnaire that is used to measure dental anxiety isModified Dental Anxiety Scale MDAS in braille letter. Result Unpaired T teststatistical analysis showed significance difference of dental anxiety in visuallyimpaired children after receiving dental health education using MD method p0.05 . In conclusion, effectiveness test on LDB and AD toolsas a non face to face education method for visually impaired children in receivingdental health education with dental anxiety as indicator."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>