Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162361 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hana Salsabila Mahdiyah
"Indonesia merupakan negara yang beragama dan agama menjadi salah satu aspek penting dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Allport dan Ross (1967) ketaatan terhadap agama atau religiusitas individu dapat dilihat berdasarkan orientasinya, yaitu orientasi religiusitas intrinsik dan orientasi religiusitas ekstrinsik. Dalam proses individu memaknai agama dalam hidupnya, dapat dilihat dari bagaimana nilai atau value yang tertanam dalam dirinya. Nilai atau value merupakan pedoman bagi individu untuk berperilaku, mengambil keputusan, dan mengevaluasi peristiwa. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara tipe-tipe nilai Schwartz dengan orientasi religiusitas. Peneliti menggunakan alat ukur PVQ-21 untuk mengukur nilai dan Religious Orientation Scale- Revised (ROS-R) untuk mengukur orientasi religiusitas, dengan metode Pearson Correlation. Melalui penyebaran kuesioner, peneliti memperoleh 241 partisipan emerging adulthood dan menemukan hasil yang cukup beragam. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara nilai dan orientasi religiusitas. Lebih spesifik, tipe-tipe nilai yang berkorelasi dengan orientasi religiusitas intrinsik adalah benevolence, conformity, tradition, dan stimulation, sedangkan nilai yang berkorelasi dengan orientasi religiusitas ekstrinsik adalah benevolence, achievement, stimulation, tradition, hedonism, dan conformity.

Indonesia is a religious country and religion is one of the important aspects of daily life. According to Allport and Ross (1967), adherence to their religion or religiosity can be seen based on their orientation, which is intrinsic religiosity orientation and extrinsic religiosity orientation. In the process of how individuals perceive religion in their lives, it can be seen based on how values are embedded in them. Values are guidelines for individuals to behave, make decisions, and evaluate events. The purpose of this study is to see the relationship between Schwartz's value types and religiosity orientation. The researcher used the PVQ-21 to measure values and the Religious Orientation Scale- Revised (ROS-R) to measure religiosity orientation, using the Pearson Correlation method. Through the distribution of questionnaires, researchers obtained 241 emerging adulthood participants and found quite diverse results. The results showed there is a relationship between types of several values and religiosity orientation. More specifically, the types of values that correlate with intrinsic religiosity orientation are benevolence, conformity, tradition, and stimulation, while the values that correlate with extrinsic religiosity orientation are benevolence, achievement, stimulation, tradition, hedonism, and conformity."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathan Akbar
"Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang kaya akan keragaman suku, agama, ras, dan budaya. Keragaman demikian salah satunya mendorong penerapan budaya kolektivisme di mana tercermin melalui semangat gotong royong. Selain itu, Indonesia turut dipandang sebagai negara beragama. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara religiusitas dan kolektivisme pada emerging adulthood. Studi kuantitatif korelasional dilaksanakan terhadap sebanyak 241 partisipan yang merupakan Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, berusia 18-25 tahun, minimal telah menempuh pendidikan SMA/SMK sederajat, serta penganut salah satu dari enam agama yang sah di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa religiusitas dan kolektivisme memiliki hubungan positif yang signifikan pada emerging adulthood. Individu dapat membangun religiusitas sebagai sarana memupuk budaya gotong royong dan mengeksplorasi identitas melalui penerapan budaya kolektivisme.

Indonesia is a counry rich in ethnic, religious, racial and cultural diversity. Such diveristy encourages the application of a culture of collectivism, which is reflected through the spirit of gotong royong. In addition, Indonesia is also seen as a religios country. This study aims to examine the relationship between religiosity and collectivism in emerging adulthood. A quantitative correlation study was conducted on 241 participants who were citizens of the Republic of Indonesia, aged 18 – 25 years, had at least a high school education, and adhered to one of the six legal religions in Indonesia. The results showed that religiosity and collectivism have a significant positive relationship in emerging adulthood. Individuals can build religiosity as a means of fostering a culture of gotong royong and exploring identity through the application of a culture of collectivism."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Salsabila Putri Herfina
"Nilai merupakan tujuan yang bervariasi dalam kepentingannya dan berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan manusia. Sosialisasi budaya pada kehidupan individu juga dapat memengaruhi pemilihan perilaku mereka, serta prioritas nilai yang mungkin terbentuk dalam hidup mereka. Salah satu bentuk orientasi budaya merupakan budaya kolektivisme, dimana individu mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari kelompok dan mengutamakan tujuan kelompok. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara nilai dan kolektivisme pada emerging adulthood. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Portrait Value Questionnaire (PVQ)-21 untuk pengukuran nilai dan The Individualism-Collectivism Interpersonal Assessment Inventory (ICIAI) untuk pengukuran kolektivisme. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 258 partisipan emerging adults menggunakan analisis korelasional menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara 9 tipe nilai, yaitu stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, dan universalism dan empat jenis hubungan kolektivisme, yaitu keluarga, teman dekat, kolega, dan orang yang tidak dikenal, pada emerging adulthood. Adanya korelasi antara nilai dan kolektivisme diharapkan dapat menjadi sarana penanaman nilai yang positif dalam masyarakat untuk pencapaian tujuan bersama yang positif.

Values are goals that vary in importance and serve as guidelines in human life. Cultural socialization in an individual's life can also influence their choice of behavior, as well as the value priorities that may form in their lives. One form of cultural orientation is collectivism, where individuals identify themselves as part of a group and prioritize group goals. This study aims to see if there is a relationship between values and collectivism in emerging adulthood. The instruments used in this study are the Portrait Value Questionnaire (PVQ)-21 for measuring values and The Individualism-Collectivism Interpersonal Assessment Inventory (ICIAI) for measuring collectivism. The results of a study conducted on 258 emerging adults using correlational analysis showed that there is a significant relationship between 9 types of values, which are stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, and universalism and four types of collectivism relationships, which are family, close friends, colleagues, and strangers, in emerging adulthood. The correlation between value and collectivism is expected to be a means of instilling positive values in society for the achievement of positive common goals."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abigail Cornelia Ayu
"Emerging adulthood merupakan masa transisi bagi individu dari masa remajamenuju dewasa muda. Pada kelompok usia ini ditemukan terdapat beberapa masalah yang muncul dan memengaruhi kehidupan individu yang dapat menyebabkan distres bagi mereka.Salah satu hal yang memiliki peran dalam membantu individu untuk menghadapi permasalahan tersebut yaitu agama. Melalui penelitian ini digunakan untuk melihat hubungan antara religiusitas dan distres psikologis pada populasi masyarakat miskin. Adapun dari hasil penelitian, diperoleh bahwa terdapat hubungan antara religiusitas (M =46.98, SD = 6,87) dan distres psikologis (M = 1,64, SD = 0,47), dengan nilai r(262) = 0,139, p < 0,024. Populasi dari penelitian ini yaitu masyarakat yang berdomisili di wilayah DKI Jakarta, dengan rentang usia 18-29 tahun. Adapun karakteristik partisipan penelitian ini yaitu masyarakat DKI Jakarta yang menerima bantuan dari pemerintah berupa KJP, KIS, atau BPJS. Penelitian ini menggunakan teknik analisis pearson correlation dengan Teknik bivariat. Alat ukur yang digunakan yaitu HSCL-25 (Hopkins Symptom Check List - 25) yang terdiri 25 item (Turnip & Hauff, 2007) dan CRS-15 (Centrality Religiosity Scale) dengan 15 item yang menggambarkan lima dimensi dalam religiusitas (Huber & Huber, 2012).

Emerging Adulthood is a transition period for individuals from adolescence to young adults. In this age group, there are some problems that arise and affect the lives of individuals that can cause distress for them. One of the things that have a role in helping individuals to deal with these problems is religion. This research is used to see the relationship between religiosity and psychological distress in the poor population. As for the results of the study, it was found that there was a relationship between religiosity (M = 46.98, SD = 6.87) and psychological distress (M = 1.64, SD = 0.47), with a value of r (262) = 0.139, p < 0.024. The population of this study is the people who live in the DKI Jakarta area, with an age range of 18-29 years. The characteristics of the participants of this study were the people of DKI Jakarta who received assistance from the government in the form of KJP, KIS, or BPJS. This study used the Pearson correlation analysis technique with bivariate techniques. The measuring instrument used is HSCL-25 (Hopkins Symptom Check List - 25) which has 25 items (Turnip & Hauff, 2007) and CRS-15 (Centrality Religiosity Scale) with 15 items that describe five dimensions in religiosity (Huber & Huber, 2012)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yona Felinda Putri
"Dalam melewati masa transisi, dewasa muda di Indonesia mengalami berbagai masalah yang berkaitan dengan tahap perkembangannya. Untuk dapat menjalani kehidupannya dengan lebih baik, dewasa muda membutuhkan religiusitas. Religiusitas terbagi ke dalam dua orientasi, yaitu orientasi intrinsik dan ekstrinsik. Diketahui bahwa religiusitas salah satunya dipengaruhi oleh keterlibatan ayah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara keterlibatan ayah dengan orientasi religiusitas intrinsik dan orientasi religiusitas ekstrinsik pada dewasa muda. Terdapat 193 orang, laki-laki (N=79) dan perempuan (N= 114) yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Keterlibatan ayah diukur dengan menggunakan alat ukur Father Involvement Scale (FIS) dan religiusitas dengan menggunakan alat ukur Religious Orientation Scale-Revised(ROR-R). Uji korelasi dilakukan dengan teknik korelasi Spearman, dan menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara keterlibatan ayah dengan orientasi religiusitas intrinsik ( (193)= 0,160, p<0,05, one-tailed) dan orientasi religiusitas ekstrinsik ( (193)= 0,274, p<0,05, one-tailed). Artinya, peningkatan skor keterlibatan ayah disertai dengan peningkatan orientasi religiusitas intrinsik dan orientasi religiusitas ekstrinsik pada individu. Untuk itu, untuk meningkatkan orientasi religiusitas, ayah perlu meningkatkan keterlibatannya dalam pengasuhan.

In passing through the transition period, emerging adults in Indonesia experience various problems related to their stage of development. To be able to live their lives better, emerging adults need religiosity. Religiosity is divided into two orientations, namely intrinsic and extrinsic orientations. It is known that religiosity is influenced by father involvement. This study aims to see if there is a relationship between father involvement with intrinsic religiosity orientation and extrinsic religiosity orientation in emerging adults. There were 193 people, male (N=79) and female (N=114) who participated in this study. Father involvement was measured using the Father Involvement Scale (FIS) and religiosity using the Religious Orientation Scale-Revised (ROR-R). Correlation tests were conducted using the Spearman correlation technique, and showed that there was a positive and significant relationship between father involvement and intrinsic religiosity orientation (r_s(193)= 0.160, p<0.05, one-tailed) and extrinsic religiosity orientation (r_s(193)= 0.274, p<0.05, one-tailed). This means that an increase in father involvement score is accompanied by an increase in intrinsic religiosity orientation and extrinsic religiosity orientation in individuals. Therefore, to improve religiosity orientation, fathers need to increase their involvement in parenting."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rayhanni Rahman
"Mengetahui pentingnya mempertahankan hubungan penuh rasa percaya antar sesama, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara motivasi kerelawanan dan kepercayaan interpersonal. Metode penelitian yang dipakai adalah korelasional dan partisipan dalam penelitian ini merupakan relawan yang berasal dari kalangan usia emerging adulthood yaitu 18 s.d. 29 tahun yang berjumlah 1334 orang dari berbagai kota di Indonesia. Kepercayaan interpersonal diukur dengan menggunakan alat ukur Propensity to Trust Scale yang dikembangkan oleh Evans dan Revelle 2008 , sementara itu motivasi kerelawanan diukur dengan Volunteer Functions Inventory yang dikembangkan oleh Clary, Snyder, Ridge, Copeland, Stukas, Haugen, dan Miene 1998.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga dari enam dimensi motivasi kerelawanan mdash;values, social, dan understanding mdash;berhubungan positif dan signifikan terhadap kepercayaan interpersonal, sedangkan dimensi protective berhubungan negatif dan signifikan terhadap kepercayaan interpersonal. Hasil analisis lebih lanjut juga menunjukkan adanya pengaruh motivasi kerelawanan pada keenam dimensi motivasi kerelawanan, terutama pada dimensi values dan understanding. Kedua dimensi tersebut berpengaruh lebih kuat terhadap kepercayaan interpersonal dibandingkan dengan keempat dimensi motivasi kerelawanan lainnya; yaitu protective, career, social, dan enhancement.

Given the importance of maintaining trustful relationship, the goal of the present research was to determine whether volunteer motivations correlate with interpersonal trust. A correlational design was employed and measures were obtained from 1334 volunteers from various cities in Indonesia. Interpersonal trust was measured using Propensity to Trust Scale by Evans and Revelle 2008 , while volunteer motivations were measured using Volunteer Functions Inventory by Clary, Snyder, Ridge, Copeland, Stukas, Haugen, and Miene 1998.
The results demonstrated that three of six designated dimensions of volunteer motivations mdash values, social, and understanding mdash were positively correlated with interpersonal trust while the other dimension namely protective was found negatively correlated with interpersonal trust. Advanced analysis also determined that six designated dimensions of volunteer motivations have influence on interpersonal trust, especially values and understanding. Both dimensions have stronger influences towards interpersonal trust compared to the other dimensions they are protective, career, social, and enhancement.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Syifadewi
"Subjective well-being merupakan salah satu topik psikologi positif yang penting untuk dikaji dalam tahapan usia emerging adult. Berbagai tantangan dan permasalahan yang dilalui dapat menjadi faktor risiko bagi well-being mereka. Di antara berbagai aspek yang dapat berhubungan dengan subjective well-being, solitude diasumsikan berperan sebagai faktor protektif bagi well-being. Solitude merupakan kondisi objektif dari kesendirian yang umumnya digunakan secara konstruktif. Oleh karena itu, penelitian ini hendak melihat hubungan solitude dan subjective well-being pada emerging adulthood. Terdapat 317 partisipan berusia 18-25 tahun (M = 21.51, SD = 1.78) yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Hasil penelitian menggunakan alat ukur Perth A-Loneness Scale (PALs) (Houghton dkk., 2014) dan The PERMA-Profiler adaptasi Indonesia (Elfida dkk., 2021) menunjukkan bahwa solitude berhubungan positif signifikan dengan subjective well-being. Temuan ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi kecenderungan dewasa muda menerapkan solitude maka semakin tinggi tingkat subjective well-being.

One of the important areas of positive psychology to research in emerging adult period is subjective well-being. The various challenges and problems they go through can be a risk factor for their well-being. Among the various aspects that can be related to subjective well-being, solitude is assumed to act as a protective factor for well-being. Solitude is an objective condition of solitude that is generally used constructively. Therefore, this study aims to examine the relationship between solitude and subjective well-being in emerging adulthood. There were 317 participants between the ages of 18-25 (M = 21.51, SD = 1.78) who participated in this study. The results of the study using the Perth A-Loneness Scale (Houghton et al., 2014) and The PERMA-Profiler (Elfida et al., 2021) measurement tools showed that solitude was significantly positively related to subjective well-being. This finding can be interpreted that the higher the tendency of young adults to practice solitude, the higher the level of subjective well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Magdalena Theofanny
"Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan hubungan peran gender dan sikap terhadap perdamaian pada emerging adults. Penelitian didasarkan pada penelitian terdahulu yang menemukan adanya perbedaan dalam sikap terhadap perdamaian beserta faktornya tergantung pada jenis kelamin individu. Peran gender mengacu pada maskulin dan feminin yang merupakan dua dari empat tipe peran gender berdasarkan tipologi Bem (1974) dan diukur menggunakan Bem Sex Role Inventory (BSRI). Sementara itu, sikap terhadap perdamaian diukur menggunakan Peace Attitude Scale (PAS). Partisipan penelitian terdiri dari 158 emerging adults berkewarganegaraan Indonesia yang berada pada usia 18-25 tahun. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa baik peran gender maskulin maupun feminin sama-sama memiliki hubungan yang signifikan dan positif dengan sikap terhadap perdamaian. Sekalipun begitu, kedua peran gender memiliki perbedaan skor pada faktor-faktor sikap terhadap perdamaian yang terdiri dari sociopolitical, environmentalist attitudes, personal well-being, ease with diversity, dan caring—di mana peran gender feminin ditemukan memiliki skor yang lebih tinggi daripada maskulin pada empat faktor dengan pengecualian pada faktor personal well-being. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun kedua peran berhubungan positif dan signifikan dengan sikap terhadap perdamaian, terdapat perbedaan berbasis gender pada faktor-faktor sikap terhadap perdamaiannya
This study aims to examine the relationship between gender roles and peace attitude in emerging adults. This research is based on previous studies which found differences in peace attitudes and its factors depending on an individual’s sex.. Gender roles refer to masculine and feminine, two out of four types of gender roles based on Bem’s typology (1974) and measured using the Bem Sex Role Inventory (BSRI), whereas peace attitudes were measured using the Peace Attitude Scale (PAS). Participants consisted of 158 Indonesian emerging aged 18-25 years. The Pearson correlation test shows that both masculine and feminine gender roles have significant and positive relationships with peace attitudes. However, the two gender roles have different scores on the peace attitude factors consisting of sociopolitical, environmentalist attitudes, personal well-being, ease with diversity, and caring—where femininity was found to have a higher score than masculinity in four factors with the exception of personal well-being. This shows that although masculine and feminine gender roles are both positively and significantly related to attitudes towards peace, there are gender-based differences in terms of the peace attitude factors."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zhillan Zhalyla
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara keterlibatan ayah dan sosioseksualitas pada emerging adulthood. Keterlibatan ayah diartikan sebagai sejauh mana ayah terlibat dalam berbagai aspek di kehidupan anak Finley, Mira, Schwartz, 2008 dan sosioseksualitas diartikan sebagai perbedaan individual pada keinginan seseorang untuk terlibat dalam hubungan seksual tanpa komitmen Penke Asendorpf, 2008.
Instrumen yang digunakan untuk mengukur keterlibatan ayah adalah Nurturant Fathering Scale domain afektif dan Father Involvement Scale domain perilaku yang dikembangkan oleh Finley dan Schwartz 2004. Untuk mengukur sosioseksualitas digunakan Revised Sociosexual Orientation Inventory dari Penke dan Asendorpf 2008.
Responden penelitian ini merupakan 526 individu yang berada di periode emerging adulthood 18-25 tahun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah, baik pada domain afektif dan domain perilaku, dengan sosioseksualitas pada emerging adulthood.

This study was conducted to examine the correlation between father involvement and sociosexuality among emerging adults. Father involvement defined as the extent to which father's participation in all aspects of children's life Finley Schwartz, 2004. Meanwhile, sociosexuality defined as individual differences of someone's willingness to have sex without a commitment Pendke Asendopf, 2008.
The instruments used in this study are Nurturant Fathering Scale for affective domain and Father Involvement Scale conative domain developed by Finley and Schwartz 2004. To measure father involvement and Revised Sociosexual Orientation Inventory Penke Asendorpf, 2008 to measure sociosexuality.
Respondents of this study are 526 emerging adults 18 25 years old. The result indicated that there is a negative and significant relationship between father involvement, both on affective domain or conative domain, and sociosexuality on emerging adulthood.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S69787
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aviva Lutfiana
"Kebahagiaan merupakan tujuan setiap individu. Emerging adulthood usia 18-29 tahun memiliki tugas perkembangan yang sangat penting dan hal tersebut dapat memengaruhi pemaknaan kabahagiaannya. Salah satu cara untuk memenuhi tugas perkembangan dan kebahagiaan pada emerging adulthood adalah dengan mengikuti kegiatan kerelawanan. Akan tetapi, manfaat yang dirasakan dari kegiatan kerelawanan bergantung pada motivasi kerelawanan yang mendasarinya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara motivasi kerelawanan dan kebahagiaan pada emerging adulthood. Responden dalam penelitian ini merupakan relawan yang berjumlah 2001 orang dari berbagai daerah di Indonesia. Motivasi kerelawanan diukur dengan menggunakan alat ukur Volunteer Function Inventory VFI dan kebahagiaan diukur dengan menggunakan Subjective Happiness Scale SHS . Keduanya telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi kerelawanan pada dimensi values, understanding, social berhubungan positif dan signifikan dengan kebahagiaan. Sementara, dimensi protective berhubungan negatif dan signifikan dengan kebahagiaan, dan dimensi career dan enhancement tidak berhubungan signifikan dengan kebahagiaan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa motivasi kerelawanan yang berbeda memiliki hubungan yang berbeda dengan kebahagiaan pada relawan emerging adulthood.

Happiness is the purpose of every individual rsquo s life. Emerging adulthood age 18 29 have an important developmental task and it can affect their meaning of happiness. One of the way to fulfil that developmental task and happiness among emerging adulthood is with join in volunteering activities. But, benefits from volunteering activities is depends on their motivation to volunteer. 2001 volunteer around Indonesia had participated in this study. Motivation to volunteer were measured by Volunteer Function Inventory VFI and happiness were measured by Subjective Happiness Scale SHS . Both of instrument had adopted to Bahasa Indonesia.
The result indicated there were significant positive correlations between values, understanding, and social motivation to volunteer dimension with happiness. It was also found that there was significant and negative correlation between protective dimension with happiness, and there wasn rsquo t significant correlation between career and enhancement dimension with happiness. This result indicates that different motivation to volunteers have a different relationship with happiness in emerging adulthood.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>