Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75642 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Faiz Anwar Fadjriyan
"Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, kedudukan kreditur pemegang jaminan kebendaan pesawat terbang diperoleh denganadanya pengaturan mengenai Surat Kuasa yang tidak dapat dicabut kembali (Irrevocable Deregistration and Export Request Authorization/IDERA), yakni Kreditur pemegang jaminan kebendaan pesawat udara dapat melakukan penghapusanpendaftaran pesawat udara dan melakukan ekspor pesawat udara dengan seketika tanpamemerlukan putusan pengadilan sepanjang Kreditur telah diberikan kuasa IDERAtersebut oleh Debitur. IDERA bukan merupakan jaminan sebagaimana diatur dalamketentuan peraturan perundang-undangan seperti Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotek, dan Gadai. Namun IDERA hanya merupakan surat kuasa yang diberikan oleh debitur yang memiliki nomor registrasi pesawat udara di Indonesia kepada kreditor yangtidakdapat dicabut kembali untuk melakukan penghapusan pendaftaran nomor registrasi pesawat udara sehingga kreditor dapat melakukan eksekusi dengan seketika terhadappesawat udara sebagai objek perjanjian tanpa memerlukan putusan pengadilan. Denganmenggunakan metode penelitian yuridis normatif menggunakan pendekatan peraturanperundang-undangan atau statute approach, tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana Kedudukan Kreditur Pemegang Jaminan Kebendaan Pesawat Terbangsetelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

After the enactment of Law Number 1 of 2009 concerning Aviation, the holder of anaircraft material guarantee creditor is obtained by means of an arrangement regardinganIrrevocable Deregistration and Export Request Authorization / IDERA, namelytheholder of an aircraft material guarantee creditor can delist the aircraft and export theaircraft immediately without requiring a court decision as long as the Creditor has beengiven the IDERA power of attorney by the Debtor. IDERA is not a guaranteeasstipulated in the provisions of laws and regulations such as Fiduciary, Mortgage andPledge. However, IDERA is only a power of attorney given by a debitor who has anaircraft registration number in Indonesia to a creditor that cannot be revoked to deletethe registration of an aircraft registration number so that the creditor can immediatelyexecute the aircraft as the object of the agreement without requiring a dispute settlement. By using a normative juridical research method using a statutory or statutory approach, this paper will analyze how the position of a creditor having collateral for aircraft assetsafter enacting Law Number 1 of 2009 concerning Aviation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inayati Noor Thahir
"Tesis ini meneliti mengenai hak jaminan kebendaan yang dapat dibebankan atas pesawat terbang setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan metode analisis kualitatif. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan tidak menyebutkan secara tegas lembaga jaminan yang dapat dibebankan atas pesawat udara. Penjaminan pesawat terbang dan helikopter dengan menggunakan hipotik yang berlangsung saat ini tidaklah menimbulkan hak preferen bagi kreditor karena yang dapat dilaksanakan hanya Akta Kuasa Membebankan Hipotik. Pencatatan yang dilakukan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan hanya menghasilkan Surat Keterangan. Gadai juga tidak bisa dibebankan pada pesawat udara karena debitor harus melepaskan pesawat udara dari kekuasaannya dan menyerahkannya pada kreditor. Pesawat udara juga tidak mungkin dibebankan dengan hak tanggungan karena objek dari hak tanggungan adalah hak atas tanah dan benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan fidusia tidak dapat dibebankan pada pesawat udara. Namun dalam undang-undang tersebut tidak ada larangan untuk menjadikan bagian pesawat udara seperti mesin pesawat udara dan/atau suku cadang pesawat udara untuk dijadikan objek jaminan fidusia. Dengan demikian Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan belum memberikan jalan keluar mengenai lembaga jaminan kebendaan yang dapat dibebankan atas pesawat udara di Indonesia. Kaitan antara hak jaminan kebendaan atas pesawat terbang dan Konvensi Cape Town adalah perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan perlindungan sebagai kepentingan internasional berdasarkan Konvensi Cape Town. Ratifikasi Konvensi Cape Town dan pengaturannya dalam Undang-undang Penerbangan hanya memberikan jalan keluar bagi kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang dibebankan atas pesawat udara yang dipasang berdasarkan hukum asing, tetapi pesawatnya didaftarkan dan dioperasikan di Indonesia. Perlindungan kreditor berdasarkan Kovensi Cape Town salah satunya adalah penghapusan pendaftaran pesawat udara dan melakukan eksport pesawat udara dengan seketika dan tanpa putusan pengadilan melalui Surat Kuasa yang tidak dapat dicabut kembali untuk memohon penghapusan pendaftaran dan ekspor (Irrevocable deregistration and export request authorization/ IDERA) atas pesawat udara yang memiliki tanda kebangsaan dan tanda pendaftaran Indonesia. IDERA hanya dapat dilaksanakan di Indonesia apabila telah didaftarkan/dicatat oleh Menteri Perhubungan. Peran Notaris dalam pembebanan jaminan fidusia atas mesin pesawat udara dan/atau suku cadang pesawat udara adalah dengan membuat akta Jaminan Fidusia dan melakukan pendaftaran fidusia pada Kantor Pencatatan Fidusia, selain itu Notaris juga dapat bertindak selaku kuasa dari debitor untuk mendaftarkan IDERA.

This thesis discusses about the security right may be charged for the aircraft after the enactment of Law Number 1 Year 2009, using a normative juridical research methods and qualitative analysis methods. Law Number 1 Year 2009 does not expressly mention the security right that can be charged for the aircraft. Security for both aircraft and helicopters using mortgage today does not give any secured right for creditors since only the Deed of Power of Attorney to Mortgage Charges is able to be exercised. The recordation conducted by the Directorate General of Air Transportation of the Ministry of Transportation only issues a statement letter. A pledge cannot also be charged to the aircraft because in this scheme the debtor must deliver it to the creditor. Moreover, aircraft is also not possible to be charged through Hak Tanggungan due to its object which is only land or others belonging to the land. On the other hand, Law Number 42 Year 1999 regarding Fiduciary Guaranty clearly states fiduciary guaranty cannot be charged to the aircraft; although, there is no provision in the law which prohibits charging parts of an aircraft, such as its engines and/or spare parts, as the object of the fiduciary guaranty. In other words, it indicates that Law Number 1 Year 2009 has not provided any solution for problems about what security right may be charged to the aircraft. The correlation between this issue and the Cape Town Convention is that security agreement is a way to gain protection as an international interest under this convention. Ratification of the Cape Town Convention and the adoption of it into the Indonesian Aviation Law only gives solution for creditors who hold security right?conducted with the foreign laws?of aircraft, but it is registered and operated in this country. One of the protections for creditors under the convention is the deregulation of aircraft registration and export immediately and without the court decision, through a power of attorney that cannot be revoked to request of nullification of the registration and export (irrevocable deregistration and export request authorization/IDERA) of the aircraft with Indonesian nationality and registration marks. The IDERA can be enforced in Indonesia only after it has been registered or recorded by the Ministry of Transportation. The roles of Notary in this fiduciary assignment of aircraft engines and/or its spare parts are to prepare the related deed and register it to the Fiduciary Registration Office. In addition, Notary also acts as an attorney of the debtor to register the IDERA."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27785
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Naim Syahrir
"Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengkaji lebih dalam permasalahan yang terdapat pada UUKPKPU. Adapun yang menjadi permasalahan utama dalam penelitian ini adalah Bagaimana kedudukan obyek jaminan Hak Tanggungan dalam hal Debitor dinyatakan pailit dan Bagaimana Akibat Hukum Ketentuan Pasal 59 UUKPKPU Mengenai Jangka Waktu Eksekusi Jaminan Kebendaan Terhadap Kreditor Pemegang Hak Tanggungan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif.
Hasil penelitian yang diperoleh yaitu berdasarkan pasal 21 UUKPKPU, seluruh harta kekayaan Debitor yang telah ada pada saat pailit ditetapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan menjadi harta pailit, kecuali harta debitor yang secara limitatif telah ditentukan dalam Pasal 22 tidak termasuk sebagai harta pailit. Dengan demikian kedudukan obyek jaminan Hak Tanggungan dalam hal Debitor dinyatakan pailit akan ikut serta menjadi harta (boedel) pailit.
Selain itu, akibat hukum dari ketentuan pasal 59 UUKPKPU adalah 1) terjadi perampasan hak eksekusi Kreditor Pemegang Hak Tanggungan sebagaimana yang telah dijamin dalam pasal 21 UUHT dan pasal 55 UUKPKPU, 2) tidak sejalan dengan amanah Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945, 3) bertentangan dengan pasal 5 huruf d UU No. 12 tahun 2011, 4) Tidak sesuai dengan asas hak jaminan yang memberikan hak separatis bagi Kreditor pemegang hak jaminan untuk melaksanakan eksekusi secara terpisah tanpa adanya batasan waktu dalam rangka pelunasan utang Debitor, 5) Menimbulkan inefesiensi karena obyek jaminan Hak Tanggungan tersebut akan dieksekusi oleh Kurator dengan cara yang sama sebagaimana diatur dalam pasal 185 ayat (1) UUKPKPU yaitu melalui pelelangan di KPKNL, dan 6) turut dikenakan imbalan jasa Kurator yang mengakibatkan nilai obyek Hak Tanggungan ikut berkurang.

The purpose of this study is to examine more deeply the issues contained in UUKPKPU. As the main problem in this research is how the position of the object in terms of collateral Mortgage debtor is declared bankrupt and How Due to Legal Provisions of Article 59 UUKPKPU Regarding Execution Guarantee Period Against Creditors material Encumbrance Holder. The method used is normative research.
The results obtained are based on article 21 UUKPKPU, the entire assets of the debtor that has existed at the time of the bankruptcy are set and everything that was obtained during the bankruptcy into the bankruptcy estate, unless the debtor assets which have limited manner prescribed in Article 22 is not included as a bankruptcy estate. Thus the position of the object of collateral Mortgage in case the debtor is declared bankrupt will participate and become treasure (boedel) bankruptcy.
In addition, the legal effect of the provisions of Article 59 UUKPKPU is 1) occurs deprivation execution creditor Holder Mortgage as guaranteed in Article 21 UUHT and article 55 UUKPKPU, 2) is not in line with the mandate of Article 28 D Paragraph 1 1945, 3) contrary to article 5 letter d of Law No. 12 in 2011, 4) Not in accordance with the principle of security interest which entitles separatists for creditor rights holders a guarantee for the execution separately without any time limits in order repayment of debt the debtor, 5) Potential inefficiency because the object of collateral Mortgage will be executed by the Curator in the same manner as provided for in article 185 (1) UUKPKPU namely through the auction at KPKNL, and 6) also incur a service fee Curator resulting object value Mortgage lessened.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44976
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyadi
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S24263
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajie Ramdan
"Pengujian konstitusionalitas Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tiga permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai (1) legal standing pemohon dalam pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; (2) pertimbangan hakim konstitusi memberikan legal standing kepada pemohon dalam pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; serta (3) usulan pemberian legal standing terhadap pemohon dalam perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan bahan hukum berupa putusan Mahkamah Konstitusi, peraturan perundang-undangan, serta tulisan-tulisan yang berkaitan dengan hukum tata negara. Adapun jenis penelitian ini adalah yuridisnormatif.
Teori dalam menilai pemohon memiliki legal standing atau tidak, salah satunya adalah teori legal standing. Teori legal standing point d?interet point d?action yaitu tanpa kepentingan tidak ada suatu tindakan. Para pemohon dalam perkara No. 36/PUU-X/2012 dan No. 7/PUU-XI/2013 tidak memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan. Karena para pemohon tidak mengalami langsung kerugian konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual dari dua (2) undang-undang yang diuji materi di Mahkamah Konstitusi atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Mahkamah tidak tepat menilai para pemohon dalam perkara No. 36/PUUX/ 2012 dan No. 7/PUU-XI/2013 memiliki legal standing. Karena para pemohon tidak memiliki dasar (kepentingan) untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Selain itu terdapat dissenting opinion hakim konstitusi yang menguatkan bahwa para pemohon tidak memiliki legal standing. Sehingga Mahkamah Konstitusi tidak tepat menilai para pemohon memiliki legal standing. Perlu adanya perbaikan atas penentuan legal standing yang lebih ketat.

Year 2001 on Oil and Gas and Law No. 8 of 2011 on the Amendment of the Law No. 24 of 2003 on the Constitutional Court against the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, which was registered with the case number and case number 7/PUU-XI/2013 36/PUU-X/2012. This study departs from the appropriateness of the valuation given legal standing by the Constitutional Court. Clarity regarding the legal standing of the complex requires further assessment. Three issues are addressed in this study is about (1) the applicant's legal standing in the judicial review of Law No. 22 Year 2001 on Oil and Gas and Law No. 8 of 2011 on the Amendment Act No. 24 of 2003 on the Constitutional Court; (2) consideration of the constitutional judges give legal standing to the applicant in the judicial review of Law No. 22 Year 2001 on Oil and Gas and Law No. 8 of 2011 on the Amendment Act No. 24 of 2003 on the Constitutional Court; and (3) the proposed granting legal standing of the applicant in the case of judicial review in the Constitutional Court. To answer these problems, this study used a legal substance of the Constitutional Court decision, legislation, and writings relating to constitutional law. The type of this research is the juridical-normative.
Theory in assessing the applicant has legal standing or not, one of which is the theory of legal standing. Theory of point d'interact legal standing point d'action that is without the benefit of no action. No. The applicant in the case. 36/PUU-X/2012 and No.7/PUU-XI/2013 not have legal standing to appeal. Because the applicant did not experience direct losses specific constitutional (specifically) and the actual of two (2) laws that material tested in the Constitutional Court, or at least the potential is based on logical reasoning will surely occur. The Court did not precisely assess the applicant in the case of No.36/PUU-X/2012 and No.7/PUUXI/2013 have legal standing. Because the applicant has no basis (interest) to apply for judicial review. In addition there are constitutional judges dissenting opinion affirming that the applicant has no legal standing. So that the Constitutional Court did not assess the applicant's right to have legal standing. There needs to be an improvement over the determination of more stringent legal standing.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulan Putri Saridewi
"Adanya kebijakan Undang-UndangHPP memberikan perubahan peraturan pada kluster PPN meliputi penetapankenaikantarif PPN secara bertahap, perubahan Barang tidak Kena Pajak menjadi Barang Kena Pajakserta UU HPP memangkasfasilitas yang diberikan pada UU PPN sebelumnya. Sehingga Penelitian ini membahas bagaimana peraturan hukum, mekanisme, serta akibat hukum dalam PPN setelah berlakunya UU HPP. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis Peraturan Hukum dalam PPN baik sebelum dan setelah berlakunya UU HPP dengan menggabungkan data sekunder berupa peraturan Perundang-Undangan dan studi pustaka dengan metode analisis doktrinal. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat perubahan peraturan pada kluster PPN yang diantaranya mengatur mengenai Kenaikan Tarif secara bertahap serta perubahan peraturan pada objek barang kena pajak yang masih tidak mencerminkan kepastian hukum sesuai pada UU HPP ayat (1) d, karena pengaturan mengenai fasilitas atas Barang Kena Pajak tidak pasti dan bisa dievaluasi kapan saja sesuai dengan PP No.49 Tahun 2022 yang mengatur ketentuan fasilitas yang diberikan berlaku sementara maupun seterusnya.

The existence of the HPP Law policy provides regulatory changes to the VAT cluster including the determination of a gradual increase in VAT rates, changing non-taxable goods to become taxable goods and the HPP law cutting the facilities provided in the previous VAT law. So this research discusses how the legal regulations, mechanisms, and legal consequences in VAT after the enactment of the HPP Law. This study aims to analyze the legal regulations in VAT both before and after the enactment of the HPP Law by combining secondary data in the form of laws and literature with doctrinal analysis methods. The results of this study indicate that there have been regulatory changes in the VAT cluster which among others regulate the gradual increase in tariffs as well as changes in regulations on taxable goods which still do not reflect legal certainty in accordance with the HPP Law paragraph (1) d, arrangements regarding facilities for Taxable Goods Tax is uncertain and can be evaluated at any time in accordance with Government Regulation No. 49 of 2022 which regulates the conditions for the facilities provided are temporary or permanent."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atrina Decy Fardani
"Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (“Permenhub 77/2011”) telah memberikan perlindungan hukum lebih lanjut bagi penumpang pesawat terbang. Namun sayangnya, masih ditemukan penumpang pesawat terbang yang tidak mengetahui akan hak-hak yang dimilikinya. Padahal, baik Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 (UUPK) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (UUP) telah mengatur mengenai perlindungan hukum bagi penumpang pesawat terbang bilamana terjadi keterlambatan atas jadwal keberangkatan pesawat terbang, yakni adanya pemberian ganti rugi yang diberikan kepada penumpang pesawat terbang. Sehingga, ketika terjadi keterlambatan atas jadwal keberangkatan pesawat terbang dikarenakan kesalahan pelaku usaha, maka perbuatan tersebut dapat dinyatakan perbuatan melanggar hukum dan pelaku usaha memiliki kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen.

With the issuance of the Minister of Transportation Regulation Number 77 Year 2011 on Air Transport Carrier Liability ("Permenhub 77/2011") has given more legal protection for airline passengers. But unfortunately, there are still some airline passengers who do not know the rights that they have. In fact, both the Consumer Protection Act No. 8 of 1999 and Law No. 1 of 2009 Regarding Aviation has been regulate about the legal protections for airline passengers in case of delay over the scheduled departure time of the aircraft, namely the existence of the redress loss given to passenger aircraft. Thus, when there is delay in the scheduled departure of the aircraft due to the fault of entrepreneurs, then such actions can be declared as an illegal act and the entrepreneurs have an obligation to provide redress to consumers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53649
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniela Komala
"Di Indonesia, peraturan perundang-undangan dalam bidang pertambangan mineral dan batu bara diawali dengan diberlakukannya Undang-undang 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan dengan peraturan pelaksananya yang kemudian telah diubah seluruhnya dengan diberlakukannya Undang-undang No 40 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (?UU Minerba?) beserta dengan peraturan pelaksananya sebagai hukum positif dalam melaksanakan kegiatan pertambangan dewasa ini. Dengan adanya suatu peralihan dasar hukum dalam melaksanakan kegiatan pertambangan, kemudian muncullah beberapa permasalahan yang terjadi antara lain mengenai permasalahan bagaimana kedudukan hukum PKP2B setelah diberlakukannya UU Minerba, dan bagaimana keberlakuan UU Minerba tersebut mempengaruhi hubungan kontraktual pemegang PKP2B dengan pihak ketiganya yang mayoritas merupakan pihak investor asing. Dengan menggunakan metode analisis normative untuk menganalisa dan menjawab identifikasi masalah dalam penulisan hukum ini kemudian akan dipaparkan, dan dianalisa secara rinci bahwa UU Minerba pada dasarnya tetap mengakui keberlakuan PKP2B dengan memberikan kewajiban terkait dengan masa peralihan untuk melakukan penyesuaian terhadap seluruh ketentuan di dalam PKP2B maupun isi dan ketentuan kontraktual pemegang PKP2B dan pihak ketiganya yang ingin tetap melakukan kegiatan pertambangan di Indonesia.

In Indonesia, the legislation in the field of mineral and coal mining began with the enactment of Law 11 of 1967 concerning the Basic Provisions of Mining and its implementing regulations, which was changed entirely with the enactment of Law No. 40 of 2009 on Mineral and Coal Mining ("Mining Law") and its implementing regulations as the positive law in carrying out mining activities. With the change of regulation in conducting mining activities, some problems occurred relating to the validity of PKP2B after the enactment of the Mining Law and how the enactment of the Mining Law affects the CCOW holder?s contractual relationship with third parties, the majority of which are foreign investors. By using the normative methodology to analyze and answer the issue in this Thesis, it shall be explained and analyzed in details that the Mining Law still recognizes the validity of CCOW by providing the obligation during the transitional period to make adjustments to all the provisions in the CCOW including the contents and contractual provisions of CCOW holders and third parties who want to keep carrying out mining activities in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41614
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delima Djohan
"Tesis ini membahas kedudukan PT PLN (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara bidang ketenagalistrikan pasca berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan ditinjau dari hukum anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa berdasarkan kedua undang-undang tersebut, PT PLN (Persero) tidak melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dan guna melindungi kepentingan hajat hidup orang banyak sebagaimana\ dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, maka pemerintah tetap menerapkan Public Service Obligation kepada PT PLN (Persero).

The thesis discusses about the position of PT PLN (Persero) as State-Owned Enterprises in electricity after the enactment of Law No. 30 Year 2009 concerning Electricity in terms of antitrust law and unfair competition as stipulated in Law No. 5 Year 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. The conclusion of the thesis shows that based on the laws, PT PLN (Persero) is not practicing monopolistic and unfair competition. And in order to protect the interests of livelihood of the people as stated in Article 33 of the Constitution of 1945, the government continues to implement the Public Service Obligation to PT PLN (Persero)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28604
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sadino
"Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), khususnya Perpu No. 1 Tahun 2004 menjadi perbincangan menarik dan hangat diantara para pengelola negara dalam melaksanakan pemerintahan yang di amanatkan kepada pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri. Perpu yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan mendapat persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat telah menjadi polemik bagi berbagai pihak. Jika dilihat dari lahirnya Perpu tersebut yang dilandasi oleh kepentingan ekonomi, dalam hal ini kepentingan investasi. Untuk itu, menjadi hal yag menarik untuk dikaji lebih jauh apa latar belakang sesungguh dari dikeluarkannya Perpu tersebut. Apakah investasi di bidang pertambangan di Indonesia ini, memang dibutuhkan pengaturan dengan menggunakan PERPU. Untuk mengetahui lebih mendalam terhadap hal di atas, maka diperlukan penelitian yang berkaitan dengan lahirnya Perpu 1 Tahun 2004 dan kajian terhadap penggunaan kawasan Kehutanan untuk keperluan investasi dalam bidang pertambangan ini. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan studi kepustakaan. Untuk memperkuat dan validasi data juga dilakukan wawancara dengan informan, terutama yang berkaitan dengan penentu kebijakan dan pihak yang terkena kebijakan.
Dari hasil studi ditemukan beberapa permasalahan berupa kegiatan usaha yang diperbolehkan di kawasan hutan (Hutan Lindung), usaha pertambangan pada kawasan hutan, tumpang tindih perizinan, dan kepastian investasi dalam bidang pertambangan. Perijinan usaha pertambangan di hutan lindung secara hukum dilarang sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Kehutanan No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan maupun Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun pada kenyataannya, penambangan di kawasan hutan sudah berjalan dengan sistem pinjam pakai kawasan hutan yang diatur oleh Keputusan Menteri Kehutanan. Lahirnya Keputusan Menteri Kehutanan yang mengatur Pinjam Pakai Kawasan Hutan tersebut merupakan produk politik Pemerintah pada saat itu yang mempunyai pengaruh sangat kuat. Dampaknya, setelah posisi Pemerintah tidak kuat maka dalam semua Kontrak Pertambangan menjadi bermasalah dan investasi di bidang pertambangan tidak lagi menjadi investasi yang menarik bagi investor. Investor menjadi ragu akan kepastian hukum dan kepastian berusaha di bidang pertambangan. Departemen Kehutanan sebagai pengelola hutan juga dalam keadaan yang tidak menguntungkan, karena hutan Indonesia saat ini dalam keadaan rusak dan berbahaya bagi lingkungan.
Hutan tropis Indonesia bukan lagi menjadi milik bangsa Indonesia tetapi sudah menjadi bagian global dari sistem kehutanan dunia. Kerusakan hutan semakin bertambah dengan adanya pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Luas hutan semakin bertambah setelah adanya otonomi daerah. Daerah masih menganggap hutan dari sisi ekonomi yang harus di ekploitasi untuk memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tidaklah heran apabila semua investasi yang berkaitan dengan kawasan hutan akan mendapat sorotan yang tidak baik dari pemerhati lingkungan nasional maupun internasional. Akibatnya meskipun sudah ada Perpu ternyata belum menjamin kepastian hukum investasi usaha pertambangan di Indonesia. Sudah saatnya dilakukan amandemen terhadap aturan hukum pengelolaan sumber daya alam untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam yang harmonis dan menarik bagi investor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T21120
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>