Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153831 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Purwanto
"Kebebasan berpendapat yang selama ini ditekan secara represif telah menemukan jalannya, sejak lengsernya JenderaI Besar Purnawirawan Soeharto sebagai Presiden Repblik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Pers bebas memberitakan segala kejadian, baik pemberitaan mengenai korupsi, kolusi, dan nepotisme di kalangan pejabat, maupun pemberitaan kekerasan oleh aparat.
Persoalannya adalah, apakah kebebasan pers tersebut telah diikuti dengan tanggung jawab untuk menghormati hak-hak orang lain serta melengkapi pemberitaannya itu dengan fakta-fakta, data-data dan bukti-bukti akurat yang menjadi syarat utama kerja jurnalistik. Tujuannya adalah agar kebebasan pers tidak melanggar hak asasi manusia dan asas praduga tak bersalah. Terdapat 4 (empat) teori pers dari Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm, yaitu Teori Pers Otoritarian, Teori Pers Libertarian, Teori Pers Tanggung Jawab Sosial, dan Teori Pers Komunis. Teori Pers Otoritarian, menyatakan bahwa kebebasan pers sepenuhnya bertujuan untuk mendukung pemerintah yang bersifat otoriter, sehingga pemerintah langsung menguasai, dan mengendalikan seluruh media massa. Teori Pers Libertarian, menyatakan bahwa pers harus memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia mencari dan menemukan kebenaran yang hakiki. Pers dipersepsikan sebagai kebebasan tanpa batas, artinya kritik dan komentar pers dapat dilakukan pada siapa saja. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial menyatakan, bahwa kebebasan pers itu perlu dibatasi oleh dasar moral, etika dan hati nurani insan pers. Prinsip dasar kebebasan pers harus disertai dengan kewajibankewajiban, antara lain untuk bertanggung jawab kepada masyarakat. Teori Pers Komunis menyatakan, bahwa pers merupakan alat pemerintah dan bagian integral dari negara, sehingga pers harus tunduk kepada pemerintah.
Bedasarkan hasil penelitian dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif, dengan studi kasus pemberitaan Majalah Mingguan Tempo, edisi 3-9 Maret 2003 dengan judul berita "Ada Tomy di `Tenabang'?", dan Surat Kabar Harian Jawa Pos Surabaya tanggal 6 Mei 2000 dengan judul berita "Indikasi KKN yang Menyudutkan Gus dur", ditemukan bahwa di dalarn menjalankan kebebasan pers, MajaIah Tempo dan surat kabar Jawa Pos telah menjalankan kebebasan pers yang mengarah kepada teori pers libertarian, meskipun juga terlihat untuk menjalankan kebebasan pers berdasarkan teori pers tanggung jawab sosial. Pemberitaan tersebut telah membuat subyek berita Tempo (Tomy Winata) merasa terancam jiwanya, tercemar nama baiknya, dan terganggu bisnisnya, sehingga pemberitaan tersebut tidak sesuai dengan maksud pasal 29 ayat dan pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tabun I999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur tentang hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya, dan hak atas rasa aman dan tenteram, serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan. Begitu pula berita Jawa Pos yang memberitakan KH. Hasyim Muzadi telah menerima snap dari Yayasan Bulog, padahal berita yang dikutip dari Majalah Tempo edisi 1-7 Mei 2000 adalah berita yang telah diralat serta telah dimintakan maaf kepada KH. Hasyim Muzadi, sehingga tidak sesuai dengan maksud pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tabun 1999 yang mengatur perlindungan hak atas kehormatan dan martabat manusia.
Reaksi yang diperlihatkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai pegawai Tomy Winata dan NU-GP Ansor Kodya Surabaya yang melakukan tindakan kekerasan terhadap Majalah Tempo dan Surat Kabar Jawa seharusnya dapat dihindarkan karena telah disediakan ruang bagi penyelesaian atas pemberitaan yang pers yang dinilai tidak benar, yaitu melalui hak jawab, Dewan Pers, dan jalur hukum, serta Komnas HAM bila terjadi pelanggaran HAM. Pers hendaknya dapat lebih mengembangkan antara kebebasan dan tanggung jawab, yang harus dapat mengupayakan berita fakta sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Pers dan Kode Etik Wartawan, dan kesalahan pemberitaan segera dilayani dengan pemenuhan hak jawab, dan koreksi.

The independence of opinion during this time pressured repressively has found its way. Since Great General Former Suharto slide down as President of Republic of Indonesia on May 12, 1998. The press was free to announce all accidents, either corruption, collusion and nepotism news in around of official officer either to announce the violence of apparatus.
The problem is, whether the independence of said press have been followed with the responsible to appreciate other people rights as well as to fully equipped that news with accurate facts, data and evidences becoming main requirement of journalistic work. The objective is in order the independence of press do not break human rights and presumption of innocent. There are 4 (four) theory of press from Fred S. Siebert, Theodore Peterson and Wilbur Schramm, Authoritarian, Libertarian, Social Responsible and Communism press theories. The Authoritarian press theory stated that the independence of press is aimed wholly for supporting authoritative government, so that the government can command and control all mass media. While Libertarian Press theory stated that press should have independence as wide as possible for helping people find and search actual truth. Press is considered as unlimited freedom, the meaning is press critic and cornment can be done by whoever parties. Social responsible press theory stated that press independence should be limited by moral, ethic and lustrous principles of press people. The basic principle of press independence should be followed by obligations, for be responsible for people. And Communism Press theory stated that press represents government instrument and integral part of state, so that press is subject to government. Based on the result of research with using qualitative approach method with study case of Tempo weekly magazine, 3 - 9 March 2003 edition with news title "There was Tomy in Tanah abang?, and Jawa Post daily news Surabaya dated May 6, 2000, with news title, "KKN indication pressured Gus Dur", found that in running press independence, Tempo magazine and Jawa Pos news have run press independence aiming to libertarian press theory, although it was seemed that it run press independence based on social responsible press theory.
Such news has made Tempo news subject (Tomy Winata) threatened his life, polluted his popularity and disturbed his business, so that said news cannot provide the intention of article 29 sub paragraph 1 and article 30 of the law no. 3911999 concerning human rights, that regulates the rights on personal, family, respectfulness, dignity, property rights and secure and peaceful rights protections as well as protection against fear threaten. So do Jawa Pos News that announced KH. Hasyim Muzadi has received mouthful from Bulog Foundation, while the news quoted from Tempo Magazine 1 - 7 May 2000 edition was the news have been repaired as well as have been requested forgiveness to KH. Hasyim Muzadi, so that it cannot provide the intention of article 29 sub paragraph I of the Law No. 39 1 1999 concerning the protection of rights against people respectfulness and dignity.
The reaction shown by people who were admitted as employee of Tomy Winata and NU - GP Ansor of Surabaya Municipality who have done violence against Tempo Magazine and Jawa Pos News should be avoided because it has been prepared space for settling news announcement that is considered wrong, through answer rights, Press Board and Legal Track as well as Komnas HAM if the violation of human rights happened. Press should be much able to develop between freedom and responsible, which should be able to provide fact news as regulated in The Law of Press Principle and Journalistic Ethic Code and the mistake of news should be serviced with providing answer rights and correction.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15074
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iksan Mardji Ekoputro
"ABSTRAK
Mengapa orang tidak bersalah dapat ditangkap dan ditahan? Bahkan diajukan ke depan pengadilan? Begitu pertanyaan yang sederhana sekali kedengarannya, tetapi mengandung makna yang memberikan pemahaman tersendiri untuk dapat memberikan jawaban yang pasti terhadap apa yang dimaksudkannya. Berangkat dari masalah inilah, kami merasa tertarik untuk menulis persoalan tersebut yang kami tuangkan dalam bentuk tesis ini.
Sebenarnya pertanyaan tersebut jika tidak mengandung makna lain, sangat mudah untuk diberikan jawabannya. Seseorang yang sudah jelas tidak bersalah, sudah tentu tidak dapat ditangkap, ditahan dan diadili. Karena seseorang hanya bisa ditangkap apabila ada dugaan keras bahwa orang tersebut telah melakukan suatu tindak pidana dan di samping itu ada dasar bukti permulaan yang cukup.
Mengandung makna lain yang dimaksudkan di sini ialah kalimat pertanyaan itu ditujukan kepada suatu asas yang berlaku di dalam hukum acara pidana kita yaitu asas praduga tidak bersalah. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap (UU No. 14/1970 ps. 8).
Sebelum berlakunya UU No. 14/1970 tersebut, asas praduga tidak bersalah ini telah pula dimuat di dalam UUD RIS 1949 pasal 14, UUDS 1950 pasal 14 dan kemudian UU No. 19/1964 (Undang-Undang Pokok Kehakiman) pasal 5. Dari semua ketentuan tersebut di atas, kalimat yang dipakai untuk menyatakan asas tersebut boleh dikatakan serupa walaupun tidak sama benar. Begitu juga kalimat yang dipakai dalam penjelasan umum KUHAP angka 3c.
Timbulnya pertanyaan di awal tulisan ini, karena adanya perbedaan ataupun kekurang telitian pemahaman asas tersebut dalam hubungannya dengan proses peradilan pidana. Antara asas praduga tidak bersalah dengan proses peradilan pidana ada hubungan yang erat sekali yang bahkan tidak dapat dipisankan. Proses peradilan pidana merupakan suatu proses di mana sejak seseorang menjadi tersangka dengan dikenakannya penangkapan sampai dengan adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahannya. Dalam proses itulah asas praduga tidak bersalah diterapkan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa yang harus "dianggap tidak bersalah" adalah orang yang sejak saat ditangkap, ditahan, dst. sampai dengan adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahan orang tersebut, Bahkan suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Namun demikian, perbedaan pemahaman masih dimungkinkan bisa terjadi di antara para pembaca yang selalu dihadapkan kepada dua nisi kepentingan yang tidak sama antara kepentingan tersangka/terdakwa dan kepentingan aparat penegak hukum. Kepentingan tersangka / terdakwa karena "dianggap tidak bersalah" maka hak-haknya harus dihormati dan dihargai sebagaimana orang yang tidak bersalah.Dengan demikian tersangka/terdakwa harus diperlakukan sebagaimana orang yang tidak bersalah. Sedangkan kepentingan aparat penegak hukum menjadi terlupakan dengan adanya titik berat pemahaman kepada kepentingan tersangka atau terdakwa saja. Hal ini terbukti dengan timbulnya pertanyaan seperti di depan, mengapa orang tidak bersalah dapat ditangkap dan ditahan.
"
1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Islam menjamin pemenuhan keinginan material dan spiritual manusia dengan memberikan semua sektor hak-hak sama masyarakat. Islam pun mengakui kebebasan manusia yang inheren dan pemenuhan dan penrkembangannya, serta menata suprastruktur sosio-politisnya. Konsepi Islam tentang kebebasan manusia dan implementasinya secara adil menjamin kebebasan lebih besar kepada semua ranah kemanusiaan ketimbang yang diberikan oleh sistem manapun. Dengan merujuk pada perspektif Nahj Al-Balaghah-nya Imam 'Ali, penulis mendedah hubungan HAM dan kebebasan manusia dan perbandingan praktiknya di negara-negara barat."
ALHUDA 2:8 (2002)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Helen
Depok: Universitas Indonesia, 2006
S22386
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriyanto Seno Adji
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998
345.05 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Sayogie
"Tesis ini membahas konsep hak kebebasan beragama dalam Islam ditinjau dari perspektif perlindungan negara dan hak asasi manusia universal. Implementasi kebebasan beragama dalam Islam masih memiliki permasalahan yang belum tuntas. Berdasarkan perspektif Piagam Madinah, Islam dapat memberikan perlindungan kebebasan beragama dan memberikan hak-hak non-muslim. Namun, dalam praktiknya, di beberapa negara Islam dewasa ini, yang sering terjadi justru berbagai penyimpangan yang mengaburkan makna serta semangat yang dikandung dalam Piagam Madinah. Beberapa negara Islam saat ini masih memformalisasi dan merumuskan penerapan syariah dalam ruang publik. Negara menjadi tidak bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan dan selalu berusaha menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan atau perundang-undangan negara. Hal ini juga tercermin dalam Deklarasi Kairo yang memberikan legitimasi kepada negara-negara Islam untuk tetap mempertahankan dan menjalankan doktrin berbasis syariah yang lebih menekankan perlindungan agama daripada memberikan perlindungan hak fundamental dalam kebebasan beragama. Oleh karena itu, perlunya doktrin pemisahan agama dan negara yang bertujuan agar negara lebih independen dan diharapkan dapat memberikan perlindungan organ-organ dan institusi-institusi negara terhadap penyalahgunaan kekuasaan atas nama agama. Hak kebebasan beragama hanya bisa direalisasikan dalam kerangka kerja negara yang konstitusional dan demokratis didasarkan oleh semangat yang dianut hak asasi manusia universal.

The thesis discusses the concept of religious freedom in the perspective of state protection and universal human rights. The implementation of religious freedom in Islam still has unresolved issues. Based on the perspective of the Madinah Charter, Islam can provide protection of freedom of religion and give the rights of non-Muslims. Nowadays, however, in practice, in some Islamic countries, there is actually a variety of aberrations that obscures the meaning and spirit of the Madinah Charter. In some Muslim countries, the formalization and formulation of syariah are still implemented in the public sphere. State does not remain neutral toward all religious doctrines and always strives to apply the principles of syariah as a policy or state legislation. This is also reflected in the Cairo Declaration that gives legitimacy to Muslim countries to maintain and run a syariah-based doctrine that emphasizes the protection of religion rather than the protection of the fundamental rights of freedom of religion. Therefore, the need for the doctrine of separation of religion and state is intended to make state more independent and is expected to provide protection of the organs and institutions of the state against the abuse of power in the name of religion. Right to freedom of religion can only be realized within the framework of the constitutional and democratic state based on the spirit of universal human rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30001
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anbar Jayadi
"ABSTRAK
Hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dilindungi oleh Pasal 18
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Indonesia telah meratifikasi
Kovenan ini sehingga Indonesia memiliki kewajiban internasional untuk
mengejawantahkan apa yang ada di dalam Kovenan tersebut. Namun, belum ada
harmoni antara kewajiban internasional Indonesia dengan hukum nasionalnya dan
implementasi yang ada di masyarakat. Peraturan perundang-undangan dan
kebijakan yang ada masih bersifat diskriminatif dan menghilangkan esensi dari
hak tersebut. Kasus kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah dan tumpang
tindihnya peran negara dalam perkawinan lintas agama dan kepercayaan adalah
cerminan bahwa hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia
belum dilindungi sepenuhnya.

ABSTRACT
Freedom of religion and beliefs is protected by Article 18 of the International
Covenant on Civil and Political Rights which Indonesia has ratified. It creates
international obligation for Indonesia to put the Covenant into effect. However,
there is inconsistency between Indonesia international obligation with its national
law and the implementation in society. It can be reflected by many discriminative
national laws that degrading the essence of the right to freedom of religion and
beliefs. Violence towards Ahmadiyah people and mixed administration in
interfaith marriage demonstrated that the right to freedom of religion and beliefs
has not yet been fully protected in Indonesia."
2015
S57876
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>