Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15451 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Samsuridjal Djauzi
"HIV exposure among health workers is still quite rare, including in Indonesia. Nevertheless, with the increase in new HIV cases due to intravenous drug abuse, there should be more health workers caring for HIV cases. To avoid exposure, universal precaution has to be implemented. If exposure occurs, the HIV stale of the patient, as the source of body fluid should be determined, while the exposed health care worker needs to undergo counseling. Anti retroviral agents should be administered prior to 36 hours following exposure. Sero-conversion monitoring must be performed during exposure, also 3 months, 6 months, and 12 months following exposure- There have been 9 cases of HIV exposure due to accidents among health workers reported to the Working Group on AIDS (Kelompok Studi Khusus - Pokdiksus AIDS) Faculty of Medicine of the University of Indonesia - Cipto Mangunkusumo General Central National Hospital. Six of them received AZT prophylactic treatment, while the remaining 3 chose not to use any prophylactic treatment. After six months following exposure, all anti HIV test were negative
The number of HIV cases in the last two years has shown a tremendous increase. AT the end of February 2002, the Department of Health recorded 2/50 cases of HIV/AIDS in Indonesia.1 As new cases increase among intravenous drug abuse, the number of HIV cases is estimated to increase further in the future, bearing in mind that experts have estimated that number of drug abusers in Indonesia have reached 2 million people. Those infected with HIV, especially those already in the AIDS stage, often require hospitalization for treatment of opportunistic infections. Thus, health workers have to prepare themselves to face the increasing problem of HIV infection.
To avoid contagion of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C thai may reside in the patient's body fluids to another person, the Center for Disease Control (CDC> recommends universal precaution. This guideline from C DC should be continuously distributed to allow health workers to continue to work with a feeling of security.
Nevertheless, there is still the possbility of accidents among health workers at work in the form of needle prick or direct exposure to body fluids from an HIV-infected individual.
"
2002
AMIN-XXXIV-1-JanMar2002-33
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Handayani
"Transmisi seksual adalah faktor utama pertumbuhan epidemi HIV/AIDS di dunia. Kasus HIV/AIDS paling banyak adalah pada pria dan kelompok umur 20-39 tahun. Upaya untuk menekan pertumbuhan epidemi tercepat adalah menurunkan insiden HIV dengan mengubah perilaku berisiko menjadi aman dan mengurangi stigma/diskriminasi terhadap ODHA. Penelitian terdahulu menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan HIV/AIDS dengan sikap dan perilaku berisiko HIV. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh tingkat pengetahuan HIV/AIDS terhadap sikap positif dan perilaku aman HIV/AIDS. Desain studi cross-sectional menggunakan data SDKI 2012. Hasil penelitian menunjukkan pria kawin dan pria belum kawin dengan tingkat pengetahuan tinggi berpeluang lebih besar untuk memiliki sikap positif dan perilaku aman HIV/AIDS dibanding pria dengan tingkat pengetahuan rendah.

The major factor of HIV spreading is sexual transmission. Most cases happened on men and people in 20-39 years old range. One of HIV-growth suppressing effort is to reduce HIV incidence. It can be done by switching the risk behaviour into safe behaviour and decreasing the stigma towards PLWHA. The earlier studies showed that there are association between knowledge of HIV/AIDS attitudes and risk behavior related to HIV/AIDS. The objective of study is to investigate the effects of HIV/AIDS knowledge toward attitudes and HIV/AIDS risk behavior on men. This cross-sectional study using DHS Indonesian Year 2012 and inform us that either married men and unmarriedmen who have highly knowledge have more chance to gain possitive attitude and HIV/AIDS safe behavior rather than low HIV/AIDS knowledge men.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S55330
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Ghozali
"Dinas Kesehatan Kota Binjai bertanggung jawab menyediakan pelayanan dasar pada kelompok berisiko terinfeksi HIV. Total anggaran pada Dinas Kesehatan meningkat dari tahun 2019-2022, namun Kinerja pelayanan dasar HIV mengalami penurunan dari tahun 2019-2021 sebesar 11,8%, 7,07%, 5,2% dari target 100%. Penelitian bertujuan menghitung kesesuaian anggaran berbasis kinerja dengan anggaran yang tersedia serta faktor struktur dan proses yang mempengaruhi penyusunan anggaran berbasis kinerja, sehingga memberikan gambaran masalah dan penyebab kesenjangan anggaran dan kinerja pada pelayanan dasar HIV di Dinas Kesehatan Kota Binjai Tahun 2022. Metode penelitian dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan desain Rapid Assessment Prosedur (RAP), menggunakan instrumen wawancara mendalam kepada 14 (empat belas) informan dan telaah dokumen untuk melihat secara cepat dan memberikan masukan perbaikan bagi pelaksanaan anggaran berbasis kinerja pada pelayanan dasar kelompok berisiko terinfeksi HIV di Dinas Kesehatan Kota Binjai Tahun 2022. Hasil penghitungan anggaran berdasarkan target kinerja Tahun 2022 sebesar Rp. 648.295.342 dengan alokasi anggaran sebesar Rp.188.202.607. Sementara kesenjangan tersebut dipengaruhi oleh faktor struktur meliputi pemahaman dan kompetensi SDM, dukungan kebijakan, kurang tersedia data dan informasi akurat menggunakan sistem informasi kesehatan. Pada komponen proses kurangnya partisipasi masyarakat, skala prioritas dalam perencanaan dan penganggaran, komunikasi dan koordinasi, sinkronisasi dan fragmentasi penyusunan anggaran, penyerapan anggaran yang belum optimal, efektivitas monitoring dan evaluasi belum dijadikan dasar perbaikan kebijakan anggaran tahun depan. Komitmen daerah masih lemah untuk program pelayanan dasar HIV. Penelitian ini menyimpulkan terdapat ketidaksesuaian anggaran untuk mencapai kinerja yang ditetapkan dengan alokasi anggaran yang tersedia pada pelayanan dasar kelompok berisiko terinfeksi HIV di Dinas Kesehatan Kota Binjai pada Tahun 2022. Diperlukan peningkatan kapasitas dan keterlibatan seluruh komponen organisasi dalam menyusun anggaran berbasis kinerja, menyediakan data dan informasi terintegrasi, mengggunakan sistem informasi seperti Siskobikes dalam proses anggaran, meningkatkan komitmen dan dukungan anggaran dari pemerintah pusat dan daerah sehingga alokasi anggaran dapat memenuhi kebutuhan untuk mencapai kinerja pelayanan dasar bagi kelompok berisiko terinfeksi HIV.

The Public Health Office of Binjai Municipality is responsible for providing basic services to groups at risk of HIV infection. The total budget at the Health Service has increased from 2019-2022, but the performance of basic HIV services has decreased from 2019-2021 by 11.8%, 7.07%, 5.2% of the 100% target. The research aims to calculate the suitability of performance-based budgeting with the available budget as well as the structural and process factors that influence the preparation of performance-based budgeting, so as to provide an overview of the problems and causes of budgetary and performance gaps in HIV basic services at the Binjai City Health Office in 2022. The research method was carried out using an approach Descriptive qualitative using the Rapid Assessment Procedure (RAP) design, using in-depth interviews with 14 (fourteen) informants and document review to see quickly and provide input for improvements to the implementation of performance-based budgeting in basic services for groups at risk of HIV infection at the Binjai City Health Office 2022. The budget calculation results are based on the 2022 performance target of Rp. 648,295,342 with a budget allocation of Rp.188,202,607. Meanwhile, this gap is influenced by structural factors including understanding and competence of human resources, policy support, lack of availability of accurate data and information using health information systems. In the process component, lack of public participation, priority scale in planning and budgeting, communication and coordination, budget synchronization and fragmentation, budget absorption that is not optimal, monitoring and evaluation effectiveness has not been used as a basis for improving next year's budget policy. Regional commitment is still weak for basic HIV service programs. This study concludes that there is a budget mismatch to achieve the performance set with the budget allocation available for basic services for groups at risk of HIV infection at the Binjai Municipality Public Health Office in 2022. Capacity building and involvement of all organizational components is needed in preparing performance-based budgeting, providing data and information integrated, using information systems such as Siskobikes in the budget process, increasing commitment and budgetary support from the central and regional governments so that budget allocations can meet the needs to achieve basic service performance for groups at risk of HIV infection."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jihan Rosita
"[Latar belakang Kondiloma akuminatum adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh human papillomavirus tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada kulit dan mukosa. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi kondiloma akuminatum pada pasien HIV lebih tinggi daripada pasien non HIV. Hubungan antara hitung sel CD4+ dengan penemuan lesi kondiloma sudah banyak dilaporkan, namun tidak demikian halnya hubungan antara hitung sel CD4+ dengan ukuran lesi kondiloma. Data mengenai ukuran lesi kondiloma pada pasien HIV diharapkan dapat bermanfaat sebagai prediktor terhadap penurunan hitung sel CD4+ khususnya bagi pasien yang dicurigai namun enggan melakukan pemeriksaan status HIV. Tujuan Untuk mengetahui korelasi antara ukuran terbesar lesi kondiloma akuminatum anogenital dengan hitung sel CD4+ pada pasien HIV. Desain Penelitian deskriptif analitik dengan desain potong lintang pada pasien HIV dengan kondiloma akuminatum anogenital yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin divisi IMS RSCM, UPT HIV RSCM, dan Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta selama periode Juni-November 2014. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling. Hasil Terdapat 34 subyek penelitian (SP), terdiri atas 28 SP laki-laki (82,35%) dan dan 6 SP perempuan (17,65%), berusia 20-62 tahun, nilai rerata hitung sel CD4+ pada SP adalah 262±118 (4–467) sel/mm3. Dilakukan pengukuran lesi kondiloma secara klinis dengan menggunakan kaliper dan didapatkan nilai tengah ukuran terbesar lesi kondiloma adalah 392 (4-16.695.396) mm3. Dari analisis statistik didapatkan korelasi negatif lemah antara ukuran terbesar lesi kondiloma akuminatum anogenital dengan hitung sel CD4+ pada pasien HIV, namun tidak bermakna secara statistik (r = - 0.09, p>0.05).
Kesimpulan Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara ukuran terbesar lesi kondiloma akuminatum anogenital dengan hitung sel CD4+ pada pasien HIV. Temuan ini dapat digunakan sebagai data dasar, dapat pula disimpulkan bahwa ukuran terbesar lesi kondiloma akuminatum anogenital tidak dapat digunakan sebagai prediktor terhadap penurunan hitung sel CD4+ pada pasien HIV., Background Condyloma acuminatum refers to a sexually transmitted infection due to certain types of human papillomavirus, manifested as fibroepithelioma on the skin and mucus membranes. Several studies have reported prevalence of condyloma acuminatum among HIV-infected patients is higher than HIVuninfected patients. The association between CD4+ cell count and detection of condyloma lesions have been reported frequently, but there was only one report about the association between CD4+ cell count and the size of condyloma lesions. Data about the size of condyloma lesions among HIV-infected patients hopefully can be used as a predictor of decrease in CD4+ cell count particularly in suspected patients who reluctant to examine their HIV serologic status. Objective To determine the correlation between the largest size of anogenital condyloma acuminatum and CD4+ counts in HIV-infected patients.
Method Analytic descriptive study with cross sectional method among
HIV-infected patients suffered from anogenital condyloma acuminatum who visited Sexually Transmitted Infections Division of Dermatovenereology Clinic RSCM, HIV Integrated Service Unit RSCM, and District Primary Health Care Pasar Rebo, Jakarta during period of June-November 2014. Sampling method was implemented as consecutive sampling. Results There were 34 participants, consists of 28 male (82,35%) and 6 female (17,65%), aged 20-62 years old, CD4+ cell count were 262±118 (4– 467) cells/mm3. We measured the size of condyloma lesions clinically using calipers, and median of the largest size of anogenital condyloma was 392 (4-16.695.396) mm3.
Statistical analysis revealed a weak inverse correlation between the largest size of
anogenital condyloma with CD4+ cell count in HIV-infected patients but not statistically significant (r = - 0.09, p>0.05). Conclusion There was a weak inverse correlation between the largest size of
anogenital condyloma acuminatum with CD4+ cell count in HIV-infected patients but not statistically significant. These findings can be used as a data base, and we conclude that the largest size of anogenital condyloma acuminatum can not be used as a predictor of decrease in CD4+ cell count in HIV-infected patients.
]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Salsabila
"Penyakit HIV atau penyakit yang disebabkan oleh human immunodeficiency virus merupakan penyakit menular yang dapat melemahkan kekebalan tubuh manusia. Infeksi virus ini dapat menyebabkan penderita mengalami penurunan kekebalan tubuh sehingga sangat mudah intuk terinfeksi berbagai macam penyakit. HIV tidak dapat disembuhkan, namun pertumbuhan virusnya dapat ditekan dengan terapi pengobatan, sehingga terapi ini harus dijalankan seumur hidup. Untuk itu, pasien yang baru terdeteksi virus HIV dalam tubuhnya perlu introduksi mengenai penyakit yang diderita, parameter penting yang diukur dari hasil laboratorium yang akan dicek secara berkala, dan terapi pengobatannya karena penyakit ini akan mengubah kebiasaan hidup pasien secara keseluruhan. HIV bisa menular dari cairan tubuh manusia, seperti darah, air mani, dan air vagina. Pengobatan antiretroviral atau ARV dimulai di rumah sakit yang sekurangkurangnya kelas C dan dapat dilanjutkan di puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang memliki kemampuan pengobatan ARV. Terapi ARV yang dimaksud diantaranya obat golongan penghambat reverse transcriptase, baik nukleosida maupun nonnukleosida. Untuk lini pertama terapi ARV yang wajib diedukasi kepada pasien baru adalah 2NRTI dan 1NNRTI, yaitu tenofovir, lamivudin, dan evafirenz. Pemerintah menyediakan obat kombinasi dosis tetap (KDT) untuk lini pertama pengobatan, sehingga satu tablet obat sudah mengandung tenofovir, lamivudin, dan efavirenz yang diberi singkatan TLE. Jumlah pemberian obat dari puskesmas untuk pasien baru akan diberikan sebanyak 15 tablet per kali kunjungan untuk dua kali kunjungan, selanjutnya akan diberikan obat untuk satu bulan pengobatan. Efek samping dari pengobatan tersebut diantaranya pusing, muncul ruam pada kulit, mual, muntah, dan halusinasi.

HIV disease or a disease caused by the human immunodeficiency virus is an infectious disease that can weaken the human immune system. Infection with this virus can cause sufferers to experience decreased immunity so that it is very easy to get infected with various diseases. HIV cannot be cured, but the growth of the virus can be suppressed with medical therapy, so this therapy must be carried out for life. For this reason, patients who have just detected the HIV virus in their bodies need an introduction to the disease they are suffering from, important parameters that are measured from laboratory results which will be checked periodically, and treatment therapy because this disease will change the patient's overall life habits. HIV can be transmitted from human bodily fluids, such as blood, semen, and vaginal fluids. Antiretroviral or ARV treatment begins in a hospital that is at least class C and can be continued at a health center or other health care facility that has ARV treatment capabilities. ARV therapy in question includes reverse transcriptase inhibitor class drugs, both nucleosides and nonnucleosides. For the first line of ARV therapy that must be educated to new patients are 2NRTI and 1NNRTI, namely tenofovir, lamivudine, and evafirenz. The government provides fixed-dose combination drugs (KDT) for first-line treatment, so that one tablet of the drug already contains tenofovir, lamivudine and efavirenz, which are given the abbreviation TLE. The number of drug administration from the puskesmas for new patients will be given as many as 15 tablets per visit for two visits, then drugs will be given for one month of treatment. Side effects of this medication include dizziness, skin rashes, nausea, vomiting, and hallucinations."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aini Puspo Rani
"Skripsi ini membahas diskriminasi petugas layanan kesehatan terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Studi ini merupakan studi kasus dengan pendekatan kualitatif terhadap tiga orang ODHA yakni Wina, Zacky dan Sisil. Skripsi ini menggunakan teori stigma Goffman yang terdiri dari tiga jenis stigma yaitu kecacatan tubuh, perusakan karakter dan tribal stigma. Kemudian juga menggunakan tiga jenis hubungan individu yaitu orang yang distigmatisasi, orang normal, dan orang yang dilabel sebagai pendukung. Skripsi ini mencari jawaban mengapa masih adanya diskriminasi petugas layanan kesehatan. Temuan penelitian ini terdiri dari tiga yakni (1) stigma sebagai penyebab masih adanya diskriminasi yang dilakukan oleh petugas layanan kesehatan, (2) adanya perbedaan persepsi diskriminasi antara petugas layanan kesehatan dan ODHA, (3) dan perlunya hubungan komunikasi yang baik antara pasien dan ODHA agar keberlangsungan perawatan ODHA semakin baik.

This thesis discusses about public health workers? discrimination against people living with HIV/AIDS. This thesis is case studies based on qualitative approach of three PLWH which are Wina, Zacky and Sisil. This thesis uses Goffman?s theory on three types of stigma which are abominations of the body, blemishes of individual character and tribal stigma. Three types of individual relationship between the stigmatized/own, the normal and the wise is also used. This thesis seeks out an answer of why there is still public health workers? discrimination against PLWH/A. The result of this study is covered in answers stigma as the cause of as to why there is still public health workers? discrimination, (2) different perceptions about discrimination among public health workers? and PLWH/A, (3) and there is a need of good communication between public health worker?s and PLWH/A which can guarantee the healthcare of PLWH to be continuously better."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S61992
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adib Abdul Hasib
"

Penelitian ini bertujuan untuk memahami persepsi LSL di DKI Jakarta terhadap HIV dan tindakan pencegahannya serta pemicu atas tindakan pencegahan tersebut melalui teori Health Belief Model (HBM) oleh Irwin Rosenstock. Berbagai studi terdahulu yang telah menggunakan HBM untuk meneliti persepsi LSL terhadap HIV dan tindakan pencegahannya umumnya cenderung mengaitkan HBM hanya pada satu tindakan pencegahan tertentu, terlebih analisisnya yang hanya menggunakan sebagian komponen HBM. Peneliti berargumen bahwa hal ini belum cukup untuk menghasilkan pemahaman yang mendalam dan komprehensif tentang kompleksitas fenomena perilaku seksual LSL. Oleh karena itu, penelitian ini menguraikan seluruh komponen HBM dan memperluas eksplorasi pada berbagai tindakan pencegahan yang dilakukan oleh LSL. Penggunaan metode kualitatif membantu peneliti mendalami subjek penelitian dengan paradigma interpretif terkait keragaman pembentukan persepsi dan tindakan pencegahan LSL dalam perilaku seksualnya. Hasil penelitian ini menemukan bahwa; Pertama, persepsi kerentanan LSL DKI Jakarta terhadap risiko HIV dilatarbelakangi oleh perilaku seksual, tindakan pencegahan, pengalaman pribadi terkait HIV, dan riwayat penyakit seksual. Kedua, persepsi keparahan LSL DKI Jakarta terhadap risiko HIV dilatarbelakangi oleh pengalaman pribadi terkait HIV, interaksi dengan teman sesama LSL dan tenaga kesehatan, hingga pengaruh media. Ketiga, persepsi manfaat LSL DKI Jakarta terhadap tindakan pencegahan banyak dikaitkan dengan kesehatan fisik, manfaat psikologis, motivasi pribadi, dan terkait dengan kenyamanan dalam hubungan. Keempat, persepsi hambatan LSL DKI Jakarta terhadap tindakan pencegahan terdiri dari hambatan sosial, seksual, dan ekonomi. Kelima, LSL DKI Jakarta mendapatkan isyarat untuk bertindak di antaranya karena dukungan sosial dari teman sesama LSL, informasi yang didapat dari media sosial, interaksi dengan tenaga kesehatan, riwayat penyakit seksual, motivasi internal, dan kepedulian terhadap keluarga. Selain itu, secara keseluruhan tindakan pencegahan yang dilakukan antara lain adalah menggunakan kondom, melakukan VCT, menghindari seks anal, melakukan ejakulasi di luar anus, tidak berganti-ganti pasangan seks, memastikan kebersihan dan kesehatan tubuh sebelum seks, meminum ARV, meminum PreP, dan memastikan kesehatan pasangan seks. Hasil penelitian ini juga menyarankan intervensi perilaku yang dapat digunakan pada LSL DKI Jakarta untuk meningkatkan perilaku seks aman dan mencegah risiko HIV.


This study aims to understand the perceptions of MSM in DKI Jakarta towards HIV and preventive measures and the triggers for these preventive measures through the Health Belief Model (HBM) theory by Irwin Rosenstock. Previous studies that have used the HBM to examine MSM perceptions of HIV and preventive measures generally tend to relate the HBM to only one specific preventive measure, especially when analyzing only some components of the HBM. The researcher argues that this is not yet enough to produce a deep and comprehensive understanding about the complexity of MSM sexual behavior. Therefore, this study elaborates on all components of HBM and broadens the exploration to a variety of preventive measures taken by MSM. The use of qualitative methods helps the researcher to explore the research subject with an interpretive paradigm related to the diversity of perception shaping and preventive actions of MSM in their sexual behavior. The results of this study found that; First, the perceived susceptibility of DKI Jakarta MSM to HIV risk is motivated by sexual behavior, preventive measures, personal experience related to HIV, and history of sexual disease. Second, the perceived severity of HIV risk is motivated by personal experience with HIV, interactions with fellow MSM and health workers, and media influence. Third, the perceived benefits of preventive measures are associated with physical health, psychological benefits, personal motivation and relationship comfort. Fourth, the perceived barriers of Jakarta MSM towards preventive measures consisted of social, sexual, and economic barriers. Fifth, DKI Jakarta MSM received cues to action such as social support from fellow MSM, information received from social media, interaction with health workers, history of sexual disease, internal motivation, and family concerns. In addition, the overall preventive measures taken include using condoms, doing VCT, avoiding anal sex, ejaculating externally, avoiding having multiple sex partners, ensuring body hygiene and health before sex, taking ARVs, taking PreP, and ensuring the health of sexual partners. The results of this study also suggest behavioral interventions that can be used in DKI Jakarta MSM to improve safe sex behavior and prevent HIV risk.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Dwi Deswanti
"ABSTRAK
Tingginya jumlah kasus penderita AIDS di Indonesia berdasarkan pekerjaan yang berasal dari kelompok ibu rumah tangga memperbesar kemungkinan terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak melalui transmisi vertikal. Kecenderungan remaja dengan HIV mengalami penundaan disclosure HIV dan stigma HIV merupakan tantangan sulit yang harus dihadapi remaja dengan HIV di masa mendatang. Penelitian ini melihat gambaran kondisi sosioemosional remaja dengan HIV yang hidup dalam stigma. Penelitian ini dilaksanakan di Jakarta, bekerjasama dengan dua Lembaga Swadaya Masyarakat LSM yang bergerak di bidang HIV/AIDS yaitu Yayasan Pelita Ilmu YPI dan Yayasan Vina Smart Era VSE . Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Informan dalam penelitian ini sebanyak 13 orang yang terdiri dari 7 remaja dengan HIV sebagai informan kunci, dan 6 pengasuh remaja dengan HIV sebagai informan pendukung. Usia informan kunci dalam penelitian ini berkisar antara 11-17 tahun. Temuan dalam penelitian ini dibedakan menjadi kondisi sosioemosional pada remaja awal dan remaja akhir dengan HIV. Hasil dari penelitian ini, didapat 2 tipe kondisi sosioemosional remaja awal dan 2 tipe kondisi sosioemosional remaja akhir dengan HIV yang dibentuk oleh proses disclosure, stigma yang dialami, dan teman sebaya.

ABSTRACT
High amount of people with AIDS in Indonesia based on proffession placed by housewife which means increasing possibility infection HIV from mother to child by vertical transmission. Postponing disclosure process of HIV to adolescences and stigma related HIV are the great challenges that adolescence would face in the future. This study describes socioemotional condition among HIV infected adolescences who living with stigma. This study located in Jakarta and surroundings which cooperate with two Non Government Organization NGO of HIV AIDS Yayasan Pelita Ilmu YPI and Yayasan Vina Smart Era VSE . This study uses descriptive qualitative approach. Participants in this study are adolescences as key participants age range 11 17 years old and their caregiver as support participants with total 13 persons. Findings from this study can be divided into two group, these are socioemotional condition among early adolescences and socioemotional condition among late adolescences. Results from this study explains there are two type of socioemotional condition among early adolescents and two type of socioemotional condition among late adolescents that formed by disclosure processes, stigma related HIV, and peers."
2018
T50543
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Perwitasari
"PMTCT (Prevention Mother To Child HIV/AIDS Transmission) merupakan salah satu bentuk pengendalian masalah HIV/AIDS pada ibu hamil dan bayi. Salah satu programnya adalah dengan melakukan Tes HIV pada seluruh wanita yang sedang hamil. Masih ada 4,8% ibu hamil yang tidak mau melakukan test HIV, padahal target dari pemerintah adalah pada 100 persen ibu hamil dilakukan test HIV. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran factor-faktor yang berhubungan dengan perilaku test HIV pada ibu hamil di Puskesmas Pasar Rebo Jakarta Timur. Penelitian adalah penelitian kualitatif dengan teknik wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah dalam pengambilan datanya. Data diperoleh dari 8 informan ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo. Hasil penelitian ini adalah persepsi hambatan dari ibu hamil seperti tidak izin dari suami, ibu takut kerahasiaan hasil test tidak terjamin dan kekhawatiran ibu akan adanya kecurigaan dari orang-orang sekitar bahwa ibu akan dianggap berperilaku negatif bila melakukan test HIV membuat ibu tidak mau melakukan test HIV. persepsi kerentanan ibu terhadap HIV/AIDS juga merupakan factor yang mempengaruhi ibu untuk melakukan test HIV. ibu yang merasa memiliki factor resiko untuk terinfeksi HIV mau melakukan test HIV sedangkan ibu yang merasa sehat dan tidak memiliki factor resiko tidak melakukan test HIV. diharapkan Puskesmas mau melakukan penyuluhan kepada suami sehinga suami semakin waspada dan mau mengizinkan istrinya untuk melakukan test HIV.

PMTCT (Prevention of Mother To Child HIV / AIDS Transmission) is one form to control over the issue of HIV / AIDS in pregnant women and infants. One of the programs is to perform an HIV test to all pregnant women. There are 4,8% pregnant women who do not want to do an HIV test, even though the target of the government is at 100 percent of pregnant women with HIV test done. The purpose of this study is to describe the cause is still there pregnant women who do not want to do an HIV test at Pasar Rebo PHC. The study is a qualitative research technique of in-depth interviews and focus group discussions in data retrieval. Data were obtained from 8 informants check ups pregnant women in sub-district Pasar Rebo PHC. The result of this research is the perception of pregnant women such barriers do not permit of a husband, a mother afraid test results are not guaranteed confidentiality and the mother fears that there is a suspicion of the people around that maternal behavior would be considered a negative HIV test when the mother does not want to do the HIV test . Mother's perception of vulnerability to HIV / AIDS is also a factor that affects the mother to do the HIV test. Mothers who feel they have risk factors for HIV infection would do the HIV test, while mothers who feel healthy and do not have risk factors do not test for HIV."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>