Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 69168 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ihsan
"Dalam pelaksanaan tugas pokok menegakkan hukum dan memelihara keamanan serta ketertiban masyarakat, salah satu tugas yang dilaksanakan Kepolisian RI, adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. penyidikan pada dasarnya merupakan suatu kegiatan pencarian informasi. Informasi yang telah dikumpulkan ini kemudian digolong-golongkan, untuk dilihat segi manfaat dan peruntukannya yang dapat menunjang kegiatan pengungkapan suatu kasus. Selain itu kegiatan penyidikan ditata secara manajerial dan dilakukan dengan melibatkan disiplin ilmu lainnya, guna membantu kegiatan pengungkapan perkara.
Sebagai gerbang awal masuknya kasus pidana umum, penyidik Polri juga harus memahami mengenai pembuktian, kendati pun ketentuan pembuktian lebih ditujukan pada pengadilan tetapi kebanyakan terjadi bahwa yang pertama-tama menemukan bukti sehubungan dengan kejahatan adalah kepolisian dan disamping itu Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menyebutkan bahwa tugas penyidikan adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Pasal 183 Undang-Undang Hukum Acara Pidana mensyaratkan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Berpijak dari ketentuan tersebut, maka penyidik setidak-tidaknya harus mengumpulkan minimal 2 (dua) bukti yang saling bersesuaian dan dari persesuaiannya itu membuat terang suatu tindak pidana.
Semakin canggihnya teknologi, modus operandi kejahatan juga dilakukan secara rapi dan semakin minim bukti yang ditemukan sehingga menyulitkan dalam pengungkapannya. Oleh karena itu, kepolisian juga harus mampu memanfaatkan ilmu dan teknologi dalam penyidikan tindak pidana agar pengungkapan tindak pidana berjalan lebih objektif. Disinilah peranan ahli dalam bidang tertentu yang latar belakang keahliannya ilmu pengetahuan dan teknologi membantu proses penyidikan dan keterangan yang diberikannya juga termasuk alat bukti yang sah menurut Undang-Undang Hukum Acara Pidana."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16447
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisa Ayu Spica
"Barang bukti atau yang juga dikenal dengan istilah benda
sitaan mempunyai manfaat atau fungsi dan nilai dalam
upaya pembuktian. Kehadiran barang bukti sangat penting
bagi hakim untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil
atas perkara yang sedang diperiksa. Dalam proses
persidangan, barang bukti dapat dikembangkan dan dapat
memberikan keterangan yang berfungsi atau bernilai
sebagai alat bukti yang sah dalam bentuk keterangan
saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa. Pada
tahap penyidikan, ada kalanya penyidik memperoleh barang
bukti yang sifatnya mudah rusak atau yang membahayakan
atau jika penyidik menyimpan barang bukti tersebut sampai
proses persidangan akan membutuhkan biaya yang tinggi.
Menurut Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), atas alasan-alasan
tersebut, maka penyidik dapat melakukan pelelangan.
Namun, KUHAP tidak menjelaskan mengenai prosedur
pelelangan. Sehingga berdasarkan hal tersebut, dalam
skripsi ini akan dibahas mengenai pengertian barang bukti
menurut doktrin, bagaimana proses pelelangan yang secara
sah dilakukan pada tahap penyidikan, serta kekuatan
pembuktian barang bukti yang telah melalui proses
pelelangan di dalam praktiknya. Pelelangan terhadap
barang bukti tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa.
Penyidik harus mengikuti prosedur hukum yang berlaku.
Selain itu, penyidik harus memiliki pertimbangan/alasan
yang kuat tentang perlunya dilakukan pelelangan.
Pelaksanaan yang tepat dan hati-hati akan mencegah
timbulnya permasalahan di kemudian hari."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2008
S22443
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Udy Diahmana Trisnowati
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S21663
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septiani Herlinda
"Skripsi ini membahas tentang analisa kekuatan pembuktian keterangan saksi anak atas tindak pidana asusila yang di hadapinya di persidangan. Kekuatan pembuktian keterangan saksi anak sebagai korban yang dapat digunakan ataupun dikesampingkan oleh Hakim sebagai alat bukti yang sah memicu suatu ketidakadilan bagi korban maupun keluarga korban. Penanganan yang terlambat ataupun tidak tepat dapat memberikan kendala-kendala dalam proses peradilan pidana terutama pada tahap persidangan. Adanya perbedaan penilaian kekuatan pembuktian bagi hakim membuat pencapaian tujuan hukum pun terkendala.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Dengan demikian, dibutuhkan sejauh mana kekuatan pembuktian keterangan yang diberikan oleh saksi anak sebagai korban pada tindak pidana asusila di persidangan pada setiap kasus yang ada. Selain itu juga dibutuhkan penanganan terhadap korban secara tepat dan cepat untuk mengatasi kendala dalam proses peradilan pidana.

This thesis discusses the analysis of the strength of evidence for child witnesses in criminal misconduct face him in court. The strength of evidence as a victim of child witness statements that can be used or set aside by the Court as valid evidence triggers an injustice to the victims and their families. Handling late or incorrectly may provide obstacles to the criminal justice process, especially at the trial stage. Assessment of differences in the strength of evidence for the judge to make the achievement of any law constrained.
The method used is the juridical normative. Thus, the extent to which the strength of evidence required information given by witnesses on the child as a victim of criminal misconduct in the trials in each of the cases. It also required the handling of victims appropriately and quickly to overcome the obstacles in the criminal justice process.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42526
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
R.M. Bambang Pratama
"Praktik pembuktian keberadaan suatu kartel bukanlah merupakan hal yang mudah. Hal ini dikarenakan kasus kartel jarang atau tidak memiliki bukti langsung (direct evidence), mengingat pada umumya perjanjian kartel tidak dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Dikarenakan kesulitan tersebut, munculnya praktik penggunaan indirect evidence sebagai alat bukti pun banyak dilakukan di berbagai negara, didasari pertimbangan bahwa memang sulit memperoleh bukti langsung dari praktik kartel. Indirect Evidence berarti bukti tersebut tidak secara langsung mendeskripsikan istilah perjanjian, namun bisa dalam bentuk menfasilitasi adanya perjanjian, atau pertukaran informasi Pada praktiknya, indirect evidence yang digunakan oleh KPPU adalah hasil analisis terhadap hasil pengolahan data yang mencerminkan terjadinya kartel. Dalam Putusan KPPU 24/KPPU-I/2009, KPPU hanya menggunakan indirect evidence sebagai alat bukti tunggal, KPPU menganalisa bahwa indirect evidence dalam kasus kartel minyak goreng ini adalah pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para produsen minyak goreng yang membahas mengenai harga, kapasitas produksi, dan struktur biaya produksi yang disinyalir mengarah kepada perjanjian kartel dan perilaku produsen minyak goreng yang mencerminkan adanya price paralellism. Namun dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan indirect evidence sebagai alat bukti tunggal didalam Putusan KPPU tidak cukup kuat untuk membuktikan terjadinya kartel. Bahwa untuk melihat telah terjadinya kartel, indirect evidence harus didukung alat bukti lain serta keterangan ahli sehingga pada akhirnya indirect evidence akan menjadi bukti yang kuat dan dapat mengungkap kartel ataupun tindak persaingan usaha tidak sehat lainnya.

Practice of proving the existence of a cartel is not easy. it is caused by cartel cases rarely or do not have direct evidence. Generally, the cartel agreement doesn?t based on a written agreement. Due to these difficulties, the rise of the practice of the use of indirect evidence as evidence was mostly done in various countries, based on the consideration, it is difficult to obtain the direct evidence of cartel practices. Indirect Evidence means evidence is not directly describe the terms of the agreement, but it could be inside the form of facilitating the existence of an agreement , or the exchange of information. In fact, indirect evidence used by the Commission that was the result of an analysis of the data processing that reflects the carte . In Law 24/KPPU-I/2009 Commission's Decision, the Commission uses only indirect evidence as the sole evidence.The Commission analyzes that indirect evidence in the case of the oil cartel is meeting and /or good communication, directly or indirectly made by the manufacturer of the oil producers discussing about the price, capacity, and cost structure that allegedly led to the cartel agreement and the behavior of oil producers that reflects the price paralellism. However, in this study it can be concluded that the use of indirect evidence as the sole evidence in the Commission's decisions are not strong enough to prove the cartel. To see that there has been a cartel, indirect evidence must be supported other evidence and expert testimony indirect evidence that in the end will be strong evidence and can uncover cartels or other unfair competition acts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Sahala David Domein
"Keterangan ahli sebagai alat bukti dalam peradilan pidana semakin mendesak dalam proses pembuktian karena sifat pembuktian yang semakin ilmiah. Namun, di Indonesia pengaturan terkait keterangan ahli sangat minim dan tidak menyeluruh. Keadaan ini berdampak pada permasalahan terkait posisi ahli terhadap pihak dalam perkara. Beberapa kasus gugatan terhadap ahli terjadi belakangan ini di Indonesia karena ketidakpastian ini. Pada praktik peradilan pidana di berbagai negara, terdapat perbedaan kebijakan mengenai perlindungan ahli dalam bentuk hak imunitas. Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas mengenai pertanggungjawaban ahli terhadap para pihak dalam peradilan pidana dan hak imunitas yang secara khusus diberikan kepadanya, kemudian dikaitkan dengan posisi serta kualifikasi ahli. Penelitian ini bersifat deskriptif dan bertujuan untuk mencari permasalahan dari suatu fenomena. Penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan dari berbagai bahan hukum untuk dapat menganalisis penerapannya di Indonesia pada pertimbangan hakim dalam putusan No. 47/Pdt.G/2018/PN.CBI, selain itu ditambah data hasil wawancara dari penegak hukum dan ahli sendiri. Penelitian ini menyimpulkan bahwa diperlukan kebijakan yang tegas mengenai posisi ahli terhadap para pihak supaya ada kepastian mengenai pertanggungjawaban ahli. Maka dari itu, disarankan agar dibentuk suatu pengaturan yang tegas dan komprehensif mengenai ahli dengan mempelajari perkembangan di negara dengan berbagai sistem peradilan pidana, misalnya Amerika Serikat dan Belanda.

Expert testimony as means of evidence in criminal justice system is increasingly urgent in the also increasingly scientific nature of proof. Meanwhile, in Indonesia, regulations relating to expert and expert testimony are minimal if any and are not comprehensive. This problem affects, foremost, the position of expert toward parties in the case. Several cases of claims against expert have recently arisen in Indonesia because of this problem. In criminal justice practices across countries, there are different policies regarding expert legal protection in the form of immunity rights. Therefore, this thesis will discuss the expert liability towards parties in criminal justice system and immunity that specifically given to experts, then connected with the position and qualification of experts. This research is descriptive by nature and aims to find the problem of this phenomenon. This research was conducted with a literature study of various legal materials then to analyze the application in Indonesia, particularly in decision No. 47/Pdt.G/2018/PN.CBI. with addition to the data interviews with law enforcer and expert themselves. This research concludes that a firm policy is needed regarding the position of expert toward parties in the case so that there is certainty on expert’s liability. Therefore, this research recommends that a firm and comprehensive regulation need to be established regarding expert by considering developments in countries with various criminal justice systems, for example the United States of America and Netherlands."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>