Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166414 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Priyono
"Gula dalam perekonomian Indonesia memiliki peranan yang sangat penting dan strategis, karena gula merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Gula sebagai sebagai salah satu salah satu dari sembilan bahan pokok (sembako) yang banyak digunakan. Seperti halnya komoditas beras, gula pasir merupakan komoditas yang keberadaannya selama ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Banyak persoalan yang mengharuskan pemerintah ikut campur tangan dalam hal pergulaan nasional, mulai dari produktivitas industri gula yang cenderung merosot, tingkat konsumsi gula pasir nasional yang besar, dan juga keberadaan gula impor yang Iebih murah. Produksi gula dari tahun ke tahun terus mengalami kemerosotan karena penurunan Iuas areal tebu dan produktivitasnya yang juga menurun. Akhir-akhir ini marak demonstrasi petani tebu atau karyawan pabrik gula menentang adanya berbagai kebijakan pergulaan nasional yang diterapkan pemerintah.
Dilihat dari aspek makro ekonomi industri gula memerlukan penanganan secara cermat agar efisiensi dan produktivitas Pabrik Gula (PG) tersebut dapat ditingkatkan, sehingga daya saingnya bisa meningkat. Sayangnya, sampai sekarang harga gula produksi lokal belum mampu bersaing dengan harga gula impor. Dalam beberapa tahun terakhir ini produksi gula merosot akibat persaingan ketat dengan komoditi Iain terutama beras. Kebijakan pemerintah yang menetapkan harga beras cukup tinggi Serta bunga pinjaman yang rendah menjadikan tanaman tebu kurang menarik, terutama di Jawa. Sementara itu, krisis ekonomi telah menghambat rencana pernerintah untuk mengalihkan industri gula ke Iuar Jawa.
Salah Satu masalah mendasar yang dihadapi industri gula nasional adalah inefisiensi di tingkat usaha tani dan pabrik gula (PG). Inefisiensi industri gula tersebut yang pertama adalah pabrik-pabrik gula sudah mengalami masa yang aus dan mesin-mesinnya sudah tua. Kedua, kinerja dari pabrik itu juga relatif rendah dan tidak cukup baik. Ketiga, kondisi pertanian tebu. Benin-benih tebu makin Iama-makin menurun produktivitasnya. Rendemen hasil gula dari tebu makin lama makin turun, karena tingkat produktivitas yang makin menurun juga. Inefisiensi lain juga datang dari ongkos produksi.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mencari akar permasalahan dan merumuskan beberapa alternatif kebijakan pemerintah yang efektif dan komprehensif dalam rangka meningkatkan kinerja industri pergulaan nasional yaitu produksi gula nasional, konsumsi gula nasional dan kebijakan impor gula."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17063
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Edy Kusuma Astuti
"Tujuan utama dari skripsi ini adalah untuk menentukan rangkaian penurunan tingkat bunga yang akan mempengaruhi biaya modal bagi investasi guna mencari tingkat stimuli yang optimal bagi perekonomian Indonesia, yaitu tingkat stimuli yang menyeimbangkan perkiraan kerugian dari terjadinya resesi dan inflasi, dan juga tingkat stimuli yang akan mendorong aktifitas ekonomi tanpa memperparah inflasi. Jika kebijakan penurunan tingkat bunga terlalu lambat, maka tidak ada yang akan investasi sehingga resesi berlanjut. Namun jika terlalu cepat, akan terlalu banyak yang investasi dan menyebabkan inflasi malah memburuk. Tujuan dari penulisan ini juga sekaligus membuktikan bahwa stimuli yang terlalu berhati-hati (cautious) akan terbukti tidak efektif. Hal ini karena penurunan yang sedikit kurang mendapatkan respon dari pihak swasta karena pihak swasta tahu bahwa jika sebuah pengurangan tingkat bunga gagal untuk mendorong pertumbuhan, pembuat kebijakan dipaksa untuk menurunkan tingkat bunga lagi. Pihak swasta kemudian mempunyai insentif untuk menunggu, untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari tingkat bunga yang diharapkan lebih rendah lagi. Demikian seterusnya lingkaran setan ini terjadi. Model Caplin dan Leahy adalah sebuah model yang memberi perhatian pada ciri-ciri utama dari latar belakang pembuatan kebijakan akhir-akhir ini. Pendekatan utama kita meliputi tiga ide, yaitu bahwa pembuat kebijakan tidak mengetahui dengan pasti tingkatan ekonomi, pembuat kebijakan belajar tentang tingkatan ekonomi dari respon perekonomian terhadap kebijakan, dan setiap strategi pencarian sistematis yang digunakan oleh pembuat kebijakan untuk mempelajari tingkatan perekonomian akan mempengaruhi respon perekonomian terhadap kebijakan, Metode regresi merupakan komponen integral dari setiap analisa data yang sering digunakan dalam statistika untuk menggambarkan hubungan antara variabel dependen dan sebuah atau lebih variabel independen. Pemilihan metode regresi yang digunakan adalah karena model Caplin dan Leahy ini lebih baik menggunakan variabel dependen yang diskrit, bukan kontinyu. Oleh karena itu di sini kita menggunakan metode analisa regresi multinomial logistik karena variabel dependen yang digunakan diskrit dan terdiri dari tiga kategori. Dari hasil regresi terhadap data perekonomian Indonesia sejak bulan Juli 1993 hingga Januari 1999, dapat diambil kesimpulan bahwa kita dapat melihat proses pengambilan keputusan, baik dari sisi investor maupun bank sentral Indonesia pada periode sebelum dan setelah terjadinya krisis. Ada satu hal yang menarik bahwa ternyata dari hasil regresi didapatkan bahwa pemerintah Indonesia lebih besar ketidaksukaannya terhadap unemployment dibandingkan dengan inflasi. Bahwa tingkah laku Bank Indonesia sebelum krisis sama dengan setelah krisis, yaitu jika investor berhati-hati dalam melakukan investasi maka respon pemerintah adalah is akan menurunkan tingkat bunga dengan cepat.untuk mendorong terjadinya investasi. Hal menarik lain yang dapat kita temukan adalah bahwa setelah memasuki periode krisis, ternyata variabel tingkat bunga tidak lagi menjadi variabel yang signifikan dalam mempengaruhi keinginan investor untuk investasi. Dan tingkah laku investor sebelum krisis berbeda dengan tingkah lakunya setelah krisis. Pada periode sebelum krisis, jika Bank Indonesia terlihat berhati-hati dalam menurunkan tingkat bunga maka investor juga akan berhati-hati dalam melakukan investasi. Sedangkan pada periode setelah krisis, jika BI terlihat berhati-hati dalam menurunkan tingkat bunga maka investor malah merespon untuk tidak berhati-hati dalam melakukan investasi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
S19270
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Budiyanti
"Penelitian ini mencoba menganalisa implikasi dari timen inconsistency terhadap kebijakan moneter di Indonesia menggunakan model Barro-Gordon untuk inflasi dan output. Analisa dilakukan menggunakan metode maximum likehood dengan algoritma Kalman Fiter. Data yang diguakan adalah data kuartal Indoneisa dari tahun 1983:Q1-2008:Q1 yang terbagi kedalam dua sub periode, yaitu sebelum dan sesudah krisis. Hasilnya adalah terjadi time inconsistency dalam jangka panjang, baik pada waktu sebelum maupun sesudah krisis. Selain itu, berdasarkan model Barro-Gordon terjadi time inconsistency di Indonesia dalam jangka pendek pada periode sebelum krisis."
2010
T27696
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Setyanto
"Secara umum ada anggapan bahwa krisis moneter yang bermula dari depresiasi rupiah yang tajam akan menghancurkan sistem perbankan, melalui exposure valuta asing, suku bunga tinggi dan tidak bergeraknya sektor riil. Penelitian ini mencoba melihat mengenai dampak krisis moneter terhadap dunia perbankan. Namun karena krisis moneter aspeknya terlalu luas dan relatif sulit dikuantifisir, maka untuk menyederhanakan penelitian, dicoba melalui perbandingan rata-rata kinerja salah satu bank swasta nasional devisa, yakni PT. Bank Kesawan baik sebelum maupun sesudah krisis moneter.
Dengan keterbatasan data yang ada (1994-98), rata-rata kinerja PT. Bank Kesawan berdasar model EAGLES bila dilakukan pengujian secara statistik (uji t) menunjukkan bahwa, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kinerja (total) sebelum dan sesudah krisis moneter. Atau dengan perkataan lain, krisis moneter tidak berpengaruh terhadap kinerja PT. Bank Kesawan. Perbedaan yang signifikan hanya terjadi secara parsial pada indikator kinerja yang berkaitan dengan modal, seperti CAR ( Capital Adequacy Ratio) dan RMI ( Ratio Modal Inti ).
Penyebab dari masih tangguhnya PT. Bank Kesawan dalam menghadapi krisis diduga akibat oleh faktor : (I) adanya tambahan setoran modal dari pemilik/pemegang saham (2) adanya kebijakan uang ketat yang menjadikan pasar suku bunga tinggi, sehingga bank dapat menyiasati sebagai sarana penempatan dana yang relatif aman pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Interbank Call Money (3) peningkatan perolehan dari aktivitas fee based income dari hasil transaksi devisalvaluta asing mampu mengkompensir tipisnya net interest margin dari kegiatan perkreditan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Deni
"Terpuruknya sektor perbankan akibat dari krisis moneter membuat pemerintah melakukan deregulasi finansial disektor perbankan dengan merevisi Undang-Undang No. 7 tahun 1992 dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 dengan harapan agar tingkat kesehatan bank semakin baik, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian ini akan menganalisa perbandingan kinerja keuangan antara bank syariah dan bank umum konvensionai sebelum dan sesudah deregulasi finansial dan krisis moneter serta mengambil studi kasus Bank Muamalat Indonesia dan 4 Bank Umum Konvensional yakni Bank BTPN, Bank SMUT, Bank Mestika dan American Express Bank.
Hasil analisa berdasarkan pendekatan rasio keuangan bank CAREL (Capital, Asset, Rentabilitas, Earning, Likuiditas) yang diwakili oleh indikator rasio keuangan yakni CAR, NPL, ROA, ROE, BOPO dan LDR. Dengan metode statistika independent t-test menyatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan kinerja keuangan antara Bank syariah dan bank konvensional kecualt rasio keuangan ROE yang tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
Hasil analisa berdasarkan metode statistika Paired samples test menyatakan bahwa Hasil uji statistik dengan metode compare means menunjukan bahwa Kinerja keseluruhan yang dinyatakan dengan variabel TOTAL KINERJA yang merupakan penjumlahan seluruh rasio keuangan setelah diberi bobot nilai tertentu. Hanya Ada satu bank yang memiliki dampak yang signifikan setelah deregulasi finansial dan krisis moneter yaitu Bank Sumut sedangkan empat bank yang lain tidak memiliki dampak yang signifikan setelah deregulasi finansial dan krisis moneter, yaitu Bank BTPN, AEB, Bank Mestika dan BMI.
Bank syariah yang diwakili oleh Bank Muamalat Indonesia memiliki rasio keuangan NPL dan LDR terbaik sesuai ketentuan Bank Indonesia bila dibandingkan dengan 4 Bank umum Konvensional, semakin baiknya tingkat asset dan likuiditas bank syariah diharapkan masyarakat akan lebih percaya terhadap eksistensl perbankan syariah, dan diharapkan pemerintah memiliki itikad baik untuk dapat terus membantu pengembangan Perbankan Syariah di masa yang akan datang dengan dibuatnya UU khusus untuk perbankan syariah.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17207
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deddy Ariyadi Suwandi
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kinerja keuangan antara Bank Umum Swasta Nasional Devisa (BUSN Devisa) dan Bank Asing sebelum dan sesudah krisis ekonomi 1997 serta untuk mengetahui perubahan fungsi biaya bank antara sebelum dan sesudah krisis ekonomi 1997. Selain itu penelitian bertujuan juga untuk mengetahui perbedaan daya tahan terhadap krisis antara BUSN Devisa dan Bank Asing, serta mengevaluasi ketepatan penggunaan rasio-rasio keuangan yang digunakan dalam menilai Tingkat Kesehatan Bank.
Data yang digunakan adalah data sekunder dari Bank Indonesia untuk posisi akhir tahun 1996-2002. Sampel penelitian diambil sebanyak 34 bank sample yang terdiri dari 24 BUSN Devisa dan 10 bank asing. Untuk kelompok BUSN Devisa, sampel diambil sebanyak 24 bank dari populasi sebanyak 38 bank. Sementara itu, untuk bank asing diambil dari seluruh populasi bank yaitu 10 bank asing.
Analisis data dilakukan dengan cara
  1. menghitung rasio-rasio keuangan mencakup rasio likuiditas, solvabilitas,
  2. rentabilitas dan kualitas aktiva produktif;
  3. melakukan estimasi fungsi biaya bank dengan persamaan regresi tinier berganda;
  4. melakukan uji statistik untuk mengetahui perbedaan kinerja keuangan antara BUSN Devisa dan bank asing, perbedaan kinerja keuangan bank sebelum dan sesudah krisis ekonomi 1997, serta perbedaan fungsi biaya bank antara sebelum dan sesudah krisis ekonomi 1997. Uji statistik yang digunakan ada tiga yaitu (1) Mann-Whitney Test-, (2) Wilcoxon Signed Rank Test, dan (3) Uji Data Panel dengan Variabel Dummy.
Dari hasil perbandingan dengan melihat rasio-rasio tingkat kesehatan secara individual terlihat bahwa Bank Asing relative masih lebih baik dibandingkan dengan BUSN - Devisa, demikian pula jika dilihat secara keseluruhan tingkat kesehatannya maupun dan rasio biaya dibagi asset ternyata Bank Asing masih lebih baik dibandingkan BUSN - Devisa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa walaupun Bank Asing terkena dampak krisis seperti BUSN - Devisa namun pemulihannya relative lebih cepat dibandingkan BUSN - Devisa. Hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa untuk beberapa rasio yaitu CAR, PPAP, ROA, BOPO terdapat perbedaan yang signifikan antara dua kelompok bank tersebut. Dad uji statistik diperoleh pula bahwa kecuali CAR dan rasio PPAP, hampir seluruh rasla keuangan yang diuji menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kinerja keuangan bank sampel sebelum dan sesudah krisis ekonomi 1997.
Berdasarkan hasil estimasi fungsi biaya bank dari 34 bank sampel selama 6 tahun dengan memasukkan variabel dummy, diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara fungsi biaya bank sebelum dan sesudah krisis ekonomi 1997. Variabel yang secara signifikan mempengaruhi biaya total bank adalah tabungan dan deposito.
Berdasarkan angka rasio keuangan kelompok Bank Asing diperoleh hasil bahwa dalam beberapa rasio keuangan tidak mengalami perubdaan yang drastis selama selama periode krisis. Hal ini disebabkan bank asing berstatus kantor cabang sehingga kantor pusat bank asing dapat mendukung dalam hal terdapat permasalahan likuiditas atau permodalan. Berdasarkan evaluasi kinerja keuangan bank sejak periode krisis ekonomi 1997 diperoleh simpulan bahwa diperlukan tambahan tolok ukur yang bersifat kualitatif dan kuantitatif untuk melengkapi rasio keuangan yang telali digunakan. Selama ini penilaian kondisi bank hanya didasarkan pada risiko kredit, sehingga perlu diperluas dengan memperhitungkan risiko pasar."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T7338
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Imanudin Sadikin
"Inflasi merupakan salah satu masalah krusial dalam perekonomian makro. Tesis ini mencoba menelaah pengaruh enam faktor utama penyebab inflasi sepanjang 41 tahun terakhir (1969Q1?2009Q4) dan secara empiris menelaah seberapa besar faktor-faktor tersebut berdampak pada inflasi di Indonesia. Inflasi mengemuka sebagai tantangan tunggal terbesar perekonomian makro yang mengkonfrontasi Indonesia saat krisis moneter tahun 1997. Oleh karenanya, tesis ini secara khusus mengkaji dan membandingkan pengaruh faktor-faktor penyebab inflasi sebelum krisis moneter (1969Q1?1997Q4) dan setelah krisis moneter (1999Q1?2009Q4). Variabel yang sering disitir sebagai faktor penyebab inflasi dan digunakan dalam tesis ini adalah inflasi itu sendiri, PDB, pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar, nilai tukar, dan harga minyak. Khusus periode setelah krisis, variabel SBI 3-bulan dimasukkan guna melihat perbedaan dampaknya terhadap inflasi terkait dengan target inflasi (ITF). Metode yang diaplikasikan adalah vector autoregression (VAR) non-restriktif dengan alat pengolah data Eviews 4.1. Aspek-aspek teoritis VAR mencakup: stasioneritas data deret waktu, identifikasi model, estimasi parameter, dan peramalan menggunakan hasil estimasi impulse response function (IRF) maupun variance decomposition (VDC). Temuan utamanya adalah terdeteksinya perbedaan yang cukup besar antara pengaruh variabel-variabel penentu inflasi di masa sebelum dan sesudah krisis moneter. Inflasi berkarakter backward looking, dimana faktor inflasi inersia ini mempunyai efek terbesar dalam menjelaskan proses inflasi di kedua periode penelitian. Selain inflasi inersia, tiga faktor terbesar penjelas inflasi di masa prakrisis moneter berturut-turut adalah PDB, nilai tukar, dan uang beredar; sedangkan di era pascakrisis moneter berturut-turut adalah pengeluaran pemerintah, uang beredar, dan harga minyak.

Inflation is one of the most crucial macroeconomic problems. This thesis tries to identify the key determinants of inflation for the past 41 years (1969Q1?2009Q4) and to empirically examine the relative importance of different sources of inflation in Indonesia. Inflation emerged as the single biggest macroeconomic challenge confronting Indonesia during the 1997 monetary crisis. Hence this thesis in particular tests and compares the factors influencing inflation before the crisis (1969Q1?1997Q4) and after the crisis (1999Q1?2009Q4). The widely held view is that inflation is primarily caused by the inflation itself, GDP, government expenditure, money supply, exchange rate, and oil price. In accordance with the implementation of ITF, 3-month SBI interest rate is also included in post-crisis estimation. The method utilized is the application of a nonrestrictive vector autoregression (VAR) using EViews version 4.1 as the data processor. The theoretical aspects of a VAR model include: stationary time series, model identification, parameter estimation, and forecasting using both the impulse response function (IRF) and variance decomposition (VDC). The main finding is that those variables have very different effects on inflation before and after the crisis. Inflation is found backward looking, and this inflation inertia becomes the biggest element affecting inflation in both periods under study. Beside inflation inertia, the other three factors that most affect inflation before the crisis are GDP, exchange rate, and money supply. And after the crisis, the three biggest factors (in addition to inflation inertia) that affect the inflation are government expenditure, money supply, and oil price."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T27828
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hudiyanto
"Karya akhir ini merupakan penclitian kembali fenomena underpricing pada penawaran umum saham perdana yang terjadi di Bursa Efek Jakarta. Beberapa penelitian sejenis telah dilakukan pada waktu sebelumnya, sebagaimana oleh Hanafi dan Husrian (1991), Hanafi (1997), Rufitialfian (1999), Daijono (2000), Herniawan (2000), serta Kusumaningtyas (2000). Dalam berbagai literatur keuangan disebutkan bahwa harga penawaran perdana (offering price) pada penawaran umum saham perdana (IPO) Iebih rendah dan nilai wajarnya atau mengalami underpriced. Hal ini menyebabkan diperolehnya first-day abnormal return yang positif dan siginifikan bagi pembeli saham di pasar perdana dan menjual kembali saham tersebut di hari pertama atau kedua setelah diperdagangkan di pasar sekunder.
Karya akhir ini mempunyai tiga tujuan utama, yaitu untuk mengetahui keberadaan dan besarnya underpricing saham perdana, perilaku saham perdana, serta menentukan variabel variabel yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing. Kajian karya akhir ini juga ingin meneliti hubungan antara besaran underpricing dengan kondisi pasar modal Indonesia yang terpengaruh oleh krisis moneter yang mulal berdampak pada bulan Juil 1997. Penelitian mengambil sampel dari emiten-emiten yang melakukan IPO di Bursa Efek Jakarta dad tahun 1996 sampai dengan 2000.
Hasil penelitian menunjukan bahwa selama periode tahun 1996 sampai dengan tahun 2000, saham perdana mengalami derpricing sebesar 21 96% secara rata-rata dan siginifikan pada saat pertama kali perdagangan. Perhitungan tersebul menggunakan metode market adjusted abnormal return.
Penelitian juga mendapalkan fakta bahwa kondisi bursa yang terpengaruh oleh krisis moneter Juli 1997 mempengaruhi secara signifikan terhadap tingkat underpricing. Jika pada periode 1996 sampai dengan JuIi 1997 tingkat underpricing IPO yang terjadi sebesar 14,77%, maka pada periode Agustus 1997 sampai dengan 2000 tingkat underpricing meningkat tajam sebesar 109,07% menjadi 30,88%. Hal ini menyimpulkan bahwa semakin besar risiko investasi di pasar modal maka semakin besar pula tingkat underpricing IPO.
Perilaku saham perdana yang dapat dilihat dari pola CAAR menunjukan bahwa tingkat underpricing yang terbesar hanya terjadi pada hari pertama. Pada hari kedua, saham perdana mengalami koreksi yang signifikan. AAR yang diharapkan positif pada hari-hari berikutnya nampak tidak selalu terjadi. Yang terjadi adalah pola CAAR yang cenderung menurun meskij,un tidak besar dan signifikan. Pada bulan ketiga, saham perdana menunjukan pola yang menurun dan terjadi sampai akhir bulan ke enam. Lebih jauh lagi, penelitian yang mengkaji tiga variabel yang diduga berpengaruh penting terhadap tingkat underpricing menyimpulkan bahwa vaniabel kondisi bursa-lah yang mempengaruhi secara signifikan terhadap tingkat underpricing. Sedangkan vaniabel besaran ROE dan DER tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap tingkat underpricing.
Fenomena underpricing pada saham perdana menjadi hal yang menarik karena mempunyai implikasi yang luas. Bagi para akademisi hal ini dapat melemahkan teori hipotesa pasar modal yang efisien, khususnya bentuk setengah kuat (semi strong). Bagi para pelaku pasar modal, hal ini dapat dijadikan referensi untuk menyusun strategi yang tepat, bijaksana dan rasional dalam merespon peristiwa penawaran saham perdana di masa depan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T2393
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Kharisma
"Pelaksanaan otonomi daerah yang berdasarkan pada UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah membawa implikasi pada pelimpahan kewenangan antara pusat dan daerah dalam pelbagai bidang. Adanya otonomi daerah maka terjadi desentralisasi yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah, perencanaan ekonomi termasuk menyusun program-program pembangunan daerah dan perencanaan lainnya yang dilimpahkan dari pusat ke daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang luas dalam mengatur sumberdaya dengan potensi yang dimiliki untuk meningkatkan kemajuan dan kemakmuran masyarakatnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh anggaran Pemerintah Daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah propinsi di Indonesia, mengetahui besarnya pengaruh anggaran Pemerintah Daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah propinsi di Indonesia dan mengetahui besarnya pengaruh anggaran Pemerintah Daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa dan luar Jawa, mengingat wilayah tersebut mempunyai karateristik geografis yang berbeda. Sementara itu, penelitian ini menggunakan data sekunder dari 26 propinsi di Indonesia selama periode 1995-2004 yang diestimasi dengan menggunakan model ekonometrik data panel.
Hasil analisa menunjukkan bahwa sebelum pelaksanaan desentralisasi selama periode 1995-2000, peran anggaran Pemerintah Daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan berpengaruh negatif, baik di tingkat nasional, di Jawa maupun luar Jawa. Memasuki era desentralisasi selama kurun waktu 2001-2004, peran anggaran Pemerintah Daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, balk melalui sisi penerimaan maupun pengeluaran mengalami peningkatan dibandingkan sebelum era desentralisasi. Namun pengaruh anggaran Pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah jauh lebih besar melalui sisi pengeluaran dibandingkan sisi penerimaan, baik di tingkat nasional, di Jawa maupun di luar Jawa.
Sebelum pelaksanaan era desentralisasi 1995-2000, peran Pemerintah Daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lebih besar melalui dana perimbangan dibandingkan pendapatan asli daerah (PAD). Memasuki pelaksanaan desentralisasi 2001-2004, pengaruh anggaran Pemerintah Daerah dari pendapatan asli daerah (PAD) terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dana perimbangan, terutama di tingkat nasional dan luar Jawa. Selama era desentralisasi 2001-2004, peran anggaran Pemerintah Daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengeluaran pembangunan maupun pengeluaran rutin mengalami peningkatan dibandingkan sebelum era desentralisasi. Namun peran anggaran tersebut lebih besar melalui pengeluaran pembangunan dibandingkan pengeluaran rutin dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama di tingkat nasional dan di luar Jawa.
Sejak era desentralisasi selama kurun waktu 2001-2004, peran investasi dan keterbukaan daerah berpengaruh besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat nasional, di Jawa maupun di luar Jawa. Sementara itu, pertumbuhan penduduk mengalami peningkatan cukup signifikan dibandingkan sebelum era desentralisasi. Sedangkan peran pajak daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah mengalami peningkatan sejak memasuki pelaksanaan era desentralisasi, namun masih relatif kecil dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, baik di tingkat nasional, di Jawa maupun di Iuar Jawa."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17131
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>