Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 74352 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Setia Merpati Praptomo
"Teori Hukum Murni dari Kelsen muncul setelah munculnya teori hukum kodrat, pemikiran tentang moral yang disebut "the Golden Rule", mazhab sejarah hukum, mazhab utilitarianisme hukum, mazhab sosiologi hukum, Analytical Jurisprudence dari Austin dan mazhab realisme hukum Amerika Serikat dan Skandinavia.
Teori Hukum Murni adalah suatu teori positivistik di bidang hukum dan merupakan kritik terhadap teori hukum kodrat, teori tradisional di bidang hukum, sosiologi hukum dan Analytical Jurisprudence. Teori Hukum Murni juga tidak sependapat dengan pemikiran realisme hukum Amerika Serikat. Sebagai kritik terhadap teori hukum kodrat, Teori Hukum Murni melepaskan hukum dari relik-relik animisme yang menganggap alam sebagai legislator dan melepaskan hukum dari karakter ideologis menyangkut konsep keadilan dan atau value judgment.
Dalam kritiknya terhadap sosiologi hukum dan teori tradisional di bidang hukum, Teori Hukum Murni melepaskan hukum dari bidang empiris, pertama-tama bidang poiltik, dan juga dari karakter ideologis menyangkut value judgment dan konsep keadilan yang dianut bidang politik. Sebagai kritik terhadap Analytical Jurisprudence, Teori Hukum Murni memandang hukum sebagai norma pada tataran the Ought / das Sollen, yang terpisah dari bidang empiris, karena Austin mengajarkan bahwa hukum adalah perintah yang berada pads tataran the Is / das Seitz di bidang empiris. Dengan demikian, Teori Hukum Murni membebaskan hukum dari anasir-anasir non-hukum, seperti misalnya psikologi, sosiologi, etika (filsafat moral) dan politik. Pemurnian hukum dari anasir-anasir non-hukurn tersebut dilakukan dengan menggunakan filsafat neo-kantian mazhab Marburg sebagai daftar pemikirannya. Neo-kantianisme mazhab Marburg memisahkan secara tajam antara the Ought / das Sollen dengan the Is I das Sin, dan, antara bentuk (Form) dengan materi (matter). Sejalan dengan itu, Kelsen memisahkan secara tajam antara norma hukum pada tataran the Ought I das Sollen dengan bidang empiris pada tataran the Is / das Seitz, dan memisahkan secara tajam antara hukum formal dengan hukum materiil. Teori Hukum Murni hanya mengakui hukum formal sebagai obyek kajian kognitif ilmu hukum, sedangkan hukum materiil tidak dicakupkan dalam bidang obyek kajian ilmu hukum, karena hukum materiil berisikan janji keadilan yang berada di bidang ideologis, yang pada tataran praktis dilaksanakan di bidang politik. Teori Hukum Muni memusatkan kajiannya hanya pada hukum formal berdasarkan keabsahannya, yang membentuk suatu sistem hierarki norma hukum dengan puncak "Grundnorm". Qleh karena kajiannya hanya menyangkut hukum formal berdasarkan keabsahan, maka Teori Hukum Mumi hanya melihat hukum dari aspek yuridis formal semata, artinya teori tersebut mengabaikan hukum materiil yang di dalamnya terdapat cita hukum dalam konsep keadilan dan pertimbangan moral. Karena hanya menekankan pada aspek yuridis formal, Teori Hukum Murni sangat potensial menimbulkan permasalahan kekuasaan berlebihan bagi organ pembuat dan/atau pelaksana hukum, dan salah satu alternatif penyelesaian masalah tersebut adalah diperlukannya pedoman dan/atau pembatasan lebih rinci dalam penerapan norma hukum umum atau pembuatan norma hukum kasuistis. Karena hukum dipisahkan dari moral, maka hukum sangat potensial mengesampingkan atau melanggar kemanusiaan, dan agar hukum tidak melanggar kemanusiaan, hukum harus mengambil pertimbangan dari aspek moral. Walaupun mengadung kelemahan, stufentheory dalam Teori Hukum Murni juga membawa manfaat bagi bidang sistem tata hukum. Teori Hukum Murni juga merupakan suatu teori negara hukum dalam suatu versi tersendiri, yang berupaya mencegah kekuasaan totaliter pada satu sisi dan mencegah anarkisme murni pada sisi lain."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11839
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogi Sumakto
"Tulisan ini merupakan suatu refleksi terhadap perkembangan pemikiran [teori] hukum dan filsafat hukum Kelsen. Bertolak dari keinginan memperoleh pemahaman yang lebih lengkap mengenai konstruktivisme [epistemologi] hukum dalam perkembangan Teori Hukum Murni Kelsen itu. Kajian ini bertujuan menguji dan mengkritisi klaim bahwa apakah benar teori hukum yang dikembangkan Kelsen itu merupakan "Teori Murni", atau sebaliknya pasti "tidak murni". Dalam mengkonstruksi Teori Hukum Murni, Kelsen menekankan pada "kemurnian" dengan berusaha membebaskan obyeknya dari segala sesuatu yang bukan hukum. Kemurnian teori ini ialah independensi ("kemandirian") hukum sebagai satu obyek kognisi ilmiah. Karena teori itu terarah pada kognisi yang difokuskan pada hukum itu sendiri, dan kemurnian ini berlaku sebagai "prinsip dasar metodologisnya".
Pertanyaan-pertanyaan pokok [inti] yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah Kelsen mengembangkan "konstruktivisme" [epistemologi] hukum dalam menyusun "kemurnian" teori hukum pada keseluruhan pandangan Teori Hukum Murni?; (2) Apakah Teori Hukum Murni Kelsen dipengaruhi oleh epistemologi neo-Kantianisme? Terutama pengaruh dari pengetahuan transendental Kant yang dikembangkan oleh kaum neo-Kantian; (3) Apakah Kelsen mampu mempertahankan konsistensi ide-ide dan pemikirannya yang dikonstruksi sendiri dalam perkembangan keseluruhan [struktur] Teori Hukum Murni?
Untuk itu, penelitian ini hendak membuktikan, yaitu: seandainya "kemurnian" dari teori hukum Kelsen mampu dipertahankan dari pengaruh elemen-elemen bukan hukum, [atau dengan kata lain, bisa dijamin dalam dua arah, yaitu melawan klaim dari sudut pandang sosiologis dan klaim dari teori hukum kodrat] dari sejak face awal sampai pada perkembangan terakhir dari teori hukumnya itu ketika ia meninggal, maka teori hukum Kelsen bisa disebut sebagai Teori Hukum Murni. Namun, sebaliknya jika "kemurnian" dari teori itu tidak berhasil dipertahankan dan Kelsen mulai meninggalkan konstruktivisme [epistemologi] hukum sebagai landasan Teori Hukum Murni, bagaimanakah bentuk terakhir Teori Hukum Murni Kelsen?
Teori Hukum Murni Kelsen kerapkali dinisbatkan kepada tradisi positivistis dan tradisi pemikiran neo-Kantian. Perkembangan Teori Hukum Murni tidak dapat dilepaskan dari [mengabaikan] pengaruh tradisi positivistis dan tradisi neo-Kantian. Kecenderungan tradisi filosofis yang berbeda dalam pemikiran Kelsen ini tidak hanya sulit didamaikan, tetapi juga sangat bertolak belakang [bertentangan] secara radikal satu sama lain. Karena itu, sejumlah ide Kelsen yang berasal dari salah satu tradisi ini hams dihilangkan [diabaikan] dalam rangka menjadikan Teori Hukum Murni yang utuh. Tradisi manakah yang patut dipertahankan, itu hares ditelusuri konstruksi pemikiran Kelsen melalui penelitian ini sehingga ditemukan apakah pandangan positivistis atau pandangan Kantian menjadi pilihan ini.
Penelitian ini telah memeriksa dan menunjukkan bahwa Kelsen melakukan refleksi dengan menggunakan teori pengetahuan Kant [epistemologi Kant] dalam membekikan pendasaran transendental dari teori Murni. Namun, argumen Kelsen mengenai "Grundnorm" ("Norma dasar"), atas nama kategori hukum fundamental, berfungsi sebagai pengandaian ilmu hukum yang perlu bersifat hipotetis dan dipahami sebagai "dasar" terakhir bagi keabsahan seluruh sistem; bagaimanapun tetap saja problematis, ketika dirumuskan dan ditafsirkan dalam memberikan satu landasan neo-Kantian bagi Teori Hukum Murni. Konsepsi norma dasar ini diajukan, sebagai mendasari keabsahan obyektif dari hukum sebagai satu kesatuan sistem norma-norma hukum yang mengikat. Namun, solusi Kelsen mengenai masalah menetapkan keabsahan hukum ini masih tidak memuaskan dan doktrin norma dasar sebagai kategori transendental selalu memperoleh kecaman dan penolakan dari para filsuf hukum. Upaya Kelsen menjelaskan konsep keabsahan sebagai kekuatan mengikat sesuai dengan konsepsi positives dan ilmu hukum berdasarkan doktrin norma dasar dapat disimpulkan telah berakhir dengan kegagalan.
Kelsen tidak mampu menjelaskan status norma dasar dalam memberi landasan kepada keabsahan hukum. Apakah "norma dasar" hanya merupakan asumsi konseptual atau sebagai norma yang sejati dan mengikat? Ketidakmampuan Kelsen menjelaskan status norma dasar yang dinilai oleh ilmuwan hukum sebagai membingungkan dan mengacaukan bagi suatu sistem hukum. Penolakan terhadap argumen Kelsen ini karena kita menemukan ketidakkonsistenan radikal dalam teori Murni, Ketidakkonsistenan radikal antara doktrin pengandaian dan positivisme hukum dalam Teori Hukum Murni secara prinsip timbul ketika Kelsen mengusulkan pemecahan persoalan keabsahan hukum melalui doktrin pengandaian, di satu pihak, dan cara di mana ia mengusulkan kesesuaiannya dengan positivisme hukum, di pihak lain. Dalam menutup persoalan ini, Kelsen tidak mampu mempertahankan konsistensi dari pemikirannya yang dikonstruksi sendiri dalam perkembangan keseluruhan [struktur] Teori Hukum Murni?
Kelsen tetap memakai peranan norma dasar tampil dalam perkembangan terakhir dari Teori Hukum Murni. Dalam General Theory of Norms, 1991 Kelsen menggambarkan keabsahan dipengaruhi norma dasar dalam silogism teoritis (meliputi pernyataan ilmu hukum, bukan norma-norma itu sendiri). Di sini, Kelsen mengklaim norma dasar qua fiksi [khayalan]. Tetapi ini sepenuhnya tidak konsisten, norma fiksi tidak dapat mensahkan norma positif dan pernyataan-pernyataan ilmu hukum tidak dapat mensahkan atau menciptakan norma-norma. Kelsen telah menggambarkan penggantian keabsahan proposisi-proposisi dengan proposisi juridis-deontik mewakili, inter alia, pembebasan karakter ilmu hukum normatif, dan peranan logika dalam hukum ditampilkan [di mana Kelsen mengklaim bahwa tidak ada logika norma-norma]. Teori Hukum Murni dikuruskan oleh Kelsen dari landasan neo-Kantian yang telah dijadikan teori, dalam bentuk klasiknya, dikenal sebagai hampir khas [spesifrk]. Perkembangan konsepsi Kelsen mengenai peranan logika norma-norma benar-benar menggambarkan konsekuensi-konsekuensi terakhir dari pemikiran Kelsen sebelumnya, dengan mengeluarkan rasio seluruhnya dari dunia normatif Karena itu, dapat disebutkan di sini, "normative irrationalism" merupakan bentuk akhir teori Kelsen. Karya Kelsen sebagai versi final dari Teori Hukum Murni ini telah meninggalkan ciriciri yang paling berbeda dari teori ini. Apakah Kelsen mengalami kesulitan dengan teorinya sehingga irrasionalisme normatif perlu dikonstruksi untuk memecahkan? Dalam karya Kelsen yang terakhir ini kita melihat kekuatan Teori Hukum Murni, yaitu norma dasar qua kategori transendental telah digantikan dengan fiksi. Kajian ini ditutup dengan meminjam kata-kata Michael Hurtney, bahwa karya terakhir ini merupakan benih-benih kontradiksi dan Kelsen di sini dipengaruhi "dekonstruksi"-[nya] sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17221
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naupal
"ABSTRAK
Buku ini sebenarnya adalah jawaban atas kegelisahan akademis penulis, setelah melihat bagaimaan sejarah filsafat Barat, khususnya pada masa modern yang tidak mampu melihat perbedaan antara realitas ontis dengan realitas ontologis, sehingga akhirnya hanya menerima
realitas yang dapat diukur, diobservasi, dan verifikasi secara indewari, Puncaknya adalah sikap negatif terhadap metafisika. Fenomena ini dapat dijumpai dalam banyak aliran filsafat, seperti dalam aliran positivistik, dan neopositivistik. Menurut aliran pemikiran ini, hanya pernyataan yang dapat diverifikasi secara positif boleh disebut pernyataan yang bermakna. Pernyataan-pernyataan dalam bidang teologi, etika, dan metafisika dengan sendirinya dianggap tidak bermakna, karena tidak dapat diverifikasi secara inderawi. Di sisi lain, pandangan dunia modern juga bersifat dualistik, memisahkan jiwa dan tubuh, jasmani dan rohani. Pandangan dualistik telah merusakkan pandangan manusia yang otentik, yang
terbagi menjadi -corpus, anima, dan spiritus? citra yang sedemikian lengkapnya dikemukakan di dalam tradisi Hermetik, dan Islam."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
P-Pdf
UI - Publikasi  Universitas Indonesia Library
cover
Nicko Saputra
"ABSTRAK
Fokus penelitian ini adalah dua perspektif atau model dalam kedokteran, yang memiliki sedikit perbedaan dalam memahami mental, dan mencoba menawarkan perspektif filosofis tentang mental berdasarkan pada filsafat pikiran, terutama fungsionalisme. Dalam kedokteran, mental adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari pasien. Kedokteran pikiran-tubuh, sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran, meyakini bahwa mental berpengaruh terhadap kondisi kesehatan tubuh dan sebaliknya. Tetapi, karena sifat mental yang non-fisik, pengaruh mental sulit dipahami. Dengan itu, tawaran perspektif filosofis mental mungkin memberikan jembatan pemahaman terhadap mental dan hubungannya jauh lebih dalam. Kedokteran, jelas, sudah memiliki banyak penelitian dan penemuan luar biasa tentang mental, tetapi masih belum jelas bagaimana mental dan tubuh memiliki hubungan. Fungsionalisme masuk sebagai perspektif untuk memahami hubungan pikiran dan tubuh. Fungsionalisme memandang bahwa mental dapat dilihat sebagai fungsi yang memiliki peran dalam hubungan input dan output apakah dengan tubuh atau kondisi mental lainnya. Hal ini dapat dilihat sebagai komputer yang merupakan gabungan dari dua komponen, perangkat keras dan perangkat lunak yang saling tergantung satu sama lain. Studi ini menunjukkan bahwa obat pikiran-tubuh dapat dipahami secara fungsional sebagai bukti teoritis mental.

ABSTRACT
The focus of this research is two perspectives or models in medicine, which have a slight difference in mental understanding, and try to offer a philosophical perspective on mentality based on the philosophy of mind, especially functionalism. In medicine, mentality is something that cannot be released from the patient. Mind-body medicine, as a branch of medical science, believes that mental influences the health condition of the body and vice versa. However, due to the non-physical mental nature, mental influences are difficult to understand. With that, the offer of a philosophical mental perspective might provide a bridge to understanding the mental and its relationship much deeper. Medicine, obviously, already has a lot of extraordinary research and discoveries about mental, but it's still not clear how mental and body have a relationship. Functionalism enters as a perspective for understanding the relationship of mind and body. Functionalism views that mentality can be seen as a function that has a role in the relationship of input and output whether with the body or other mental conditions. This can be seen as a computer which is a combination of two components, hardware and software which are interdependent on each other. This study shows that mind-body medicine can be functionally understood as mental theoretical evidence.
"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Zahid Abiduloh
"ABSTRAK
Penulis akan mendiskusikan kritik dari John Searle dan Hilary Putnam terhadap fungsionalisme komputasional, dan mencoba untuk mempertahankan akuntabilitas fungsionalisme komputasional tentang fitur intensional dari mind di hadapan eksperimen pikiran Chinese Room dan Twin Earth. Kritik Searle dan Putnam sama-sama menyasar akuntabilitas fungsionalisme komputasional tentang fitur intensional dari mind dalam kasus propositional attitude. Penulis akan mengajak para pembaca untuk sampai pada permasalahan mental content, beserta dua nosi konten yang ada didalamnya: narrow content dan wide content. Secara konten, penelitian ini dibagi menjadi dua: mendiskusikan kecukupan sistem komputasional dalam menghasilkan intensionalitas, serta mendiskusikan keabsahan penjelasan holistik-internal terhadap propositional attitude. Dengan perhatian pada input dan output, fungsionalisme komputasional membuka diri atas pembacaan non-individualistik tentang konten yang mana kesebandingan konten bahasa-natural dan computational content dilandaskan pada penyelidikan empiris tentang ketepatan perilaku suatu sistem komputasional dengan lingkungan normalnya. Dalam hal ini, semantik kausal mengindikasikan semantik denotasional.

ABSTRACT
The author will discuss the criticisms of John Searle and Hilary Putnam on computational functionalism, and try to maintain accountability of computational functionalism about the intentional features of mind before the 39 Chinese Room 39 and 39 Twin Earth 39 thought experiments. Searle and Putnam criticisms both target the accountability of computational functionalism about the intentional features of the mind in the case of propositional attitudes. The author will invite readers to arrive at mental content issues, along with two content noses inside narrow content and wide content. By content, this study is divided into two discussing the adequacy of computational systems in generating intentionality, as well as discussing the validity of the holistic internal explanation of the propositional attitudes. With attention to input and output, computational functionalism opens up to non individualistic readings of content in which the compatibility of natural language contents and computational contents are based on empirical investigations of the precise behavior of a computational system with its normal environment. In this case, causal semantics denotes denotational semantics."
2017
S69953
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabrina Sabila
"ABSTRAK
Penelitian ini menguji hubungan antara schizotypy dan fungsi kognitif sosial, yaitu empati afektif dan Theory of Mind ToM . Penelitian ini menghasilkan bahwa terdapat korelasi signifikan negatif antar individu dengan gejala schizotypy negative. Itu terbukti berkinerja lebih buruk pada empati afektif, dan berkorelasi positif secara signifikan antar orang-orang yang mendapatkan skor lebih tinggi pada schizotypy, namun memiliki Theory of Mind lebih rendah ToM . Perbedaan karakteristik schizotypal tiap individu dapat diukur dengan menggunakan Schizotypal Personality Questionnaire SPQ , yang terdiri dari 72 soal. Empati afektif diukur dengan menggunakan Empathy Quotient EQ , merupakan kuesioner laporan diri yang digunakan untuk menilai empati afektif yang terdiri dari 60 soal. Theory of Mind diukur dengan menggunakan Reading the Mind in the Eyes Test RMET yang sudah diperbaiki. Hasil penelitian menunjukkan, terdapat hubungan yang signifikan antara gejala schizotypy negatif dan empati afektif r = -33, p.

ABSTRACT
This study examines the association between schizotypy and social cognitive functioning, particularly affective empathy and theory of mind ToM . This study hypothesized that there is a negative significant correlation between negative schizotypy symptoms and affective empathy, and a positive significant correlation between schizotypy and theory of mind ToM . Schizotypal personality characteristic was measured using the Schizotypal Personality Questionnaire SPQ , which consists of X items. Affective empathy was measured using the Empathy Quotient EQ , which is a self report questionnaire consisting of X items. Theory of Mind was measured using the Reading the Mind in the Eyes Test RMET ndash Revised. The results showed that there was a significant correlation between negative schizotypy symptoms and affective empathy r .33, p 0.01 as well as between schizotypy and the theory of mind r .14, p 0.01 This means that the results of current study supports early researches that claimed patient who suffer from negative schizophrenia exhibited lower affective empathy compared to healthy individual. As well as higher level of schizotypy had been associated with ToM impairments. Keywords Schizotypy, affective empathy, Theory of Mind "
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kelsen, Hans
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
340.01 KEL t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lathifah Halim
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan budaya dan pengasuhan terhadap perkembangan theory of mind (ToM) anak di Sumatera Barat yang memiliki sistem kekerabatan matrilineal atau garis keturunan dari Ibu. Perolehan ToM diukur dengan menggunakan theory of mind scale, budaya orang tua diukur dengan skala pengasuhan individualis-kolektvis, dan pengasuhan orang tua diukur dengan Parenting Attitude Inventory (PAI). Skala ToM diberikan pada 80 anak (35 laki-laki, 45 perempuan) dengan usia 5-6 tahun. Kuesioner budaya dan pengasuhan diberikan kepada orang tua anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan dari budaya dan pengasuhan terhadap ToM. Selain itu pola perkembangan ToM anak di Sumatera Barat mengikuti pola eastern yaitu DD>KA>DB>FB>HE.

ABSTRACT
This study aims to determine whether there is a cultural and nurturing relationship to the development of the theory of mind (ToM) of children in West Sumatra who have a matrilineal kinship system or lineage from their mother. ToM acquisition is measured using the theory of mind scale, parental culture is measured by the individualist-collectivist parenting scale, and parenting is measured by the Parenting Attitude Inventory (PAI). The ToM scale was given to 80 children (35 boys, 45 girls) aged 5-6 years. Culture and parenting questionnaires were administered to the childs parents. The results showed that there was no significant relationship between culture and care for ToM. In addition, the development pattern of childrens ToM in West Sumatra follows the eastern pattern, namely DD>KA>DB>FB>HE. "
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kim, Jaegwon
Cambridge, UK: Westview Press, 2006
128.2 KIM p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Buku ini lebih pada memberikan rangkuman mengenai hal yang sama pada beberapa abad terakhir"
MIT Press , 2006
128.2 PHI
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>