Ditemukan 7379 dokumen yang sesuai dengan query
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Meray Hendrik Mezak
"Indonesia adalah negara berdasar atas hukum. Oleh karena itu, segala peraturan perundang-undangan harus bersumber pada hukum dasar dan aturan-aturan pelaksana tidak dibenarkan bertentangan dengan hukum dasar dan peraturan yang lebih tinggi. Di samping itu segala tindakan penyelenggara pemerintahan harus dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum. Guna mengatasi terjadinya penyimpangan produk peraturan perundang-undangan perlu adanya sarana pengendali konstitusional yang disebut hak menguji materiil di Indonesia dirumuskan dalam Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 dan diperkuat dengan Tap. MPR No. III/MPR/1978 serta terakhir dipertegas dengan Pasal 31 UU No. 14 Tahun 1986 yang pada intinya memberikan kewenangan pada Mahkamah Agung untuk menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan dari tingkat di bawah undang-undang karena bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Putusan ini dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi. Dalam pengertian dapat berarti pelaksanaan hak uji materiil tidak harus melalui pemeriksaan perkara biasa yang urut-urutannya dimulai dengan perkara tingkat pertama, banding dan kemudian kasasi, akan tetapi dalam pelaksanaannya belum optimal dan terkesan tidak efektif. Oleh karena itu, penerapan Legislatif Review merupakan alternatif yang tepat guna menjaga konsistennya konstitusionalisme di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Netty
"Hak Uji Materiil terhadap peraturan di bawah undang-undang hampir tidak pernah ada/jarang dilakukan sampai tahun 1992 karena hukum acara untuk melakukan hak uji materiil belum ada. Baru pada tahun 1993 Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No.1/1993 tentang Hak Uji Materiil. Dengan keluarnya Perma tersebut tidak ada alasan bagi Mahkamah Agung untuk menolak perkara yang masuk ke Mahkamah Agung untuk diadakan pengujian. Masalah dalam pelaksanaan Hak Uji Materiil adanya klausula dalam Pasal 131 ayat (3) Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung "... Pencabutan dilakukan oleh instansi yang bersangkutan". Ini mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan, yang setelah diadakan pengujian oleh Mahkamah Agung, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, harus menunggu pencabutan oleh instansi yang bersangkutan. Padahal, batas waktu pencabutan tidak ditentukan berapa lama sehingga menimbulkan masalah. Juga peraturan Mahkamah Agung bukanlah peraturan perundang-undangan karena Mahkamah Agung tidak berhak mengeluarkan peraturan perundang-undangan.
Mahkamah Agung hanya dapat mengeluarkan peraturan yang bersifat mengatur acara/prosedur pengajuan hak uji materiil. Perma No. 1/1993 bukan mengatur proses acara peradilannya saja, melainkan Mahkamah Agung juga memperluas pengajuan hak uji materiil yang diatur undang-undang hanya melalui kasasi saja. Dengan adanya Perma No.1/1993 pengajuan hak uji materiil dapat langsung ke Mahkamah Agung tanpa melalui kasasi. Dalam hal ini Mahkamah Agung telah melampaui batas kewenangan yang dimilikinya. Perkara yang masuk ke Mahkamah Agung setelah keluarnya Perma No. 1/1993 sebanyak 10 perkara. Dari 10 perkara yang masuk hanya 3 perkara yang diputus oleh Mahkamah Agung. Dari 3 perkara yang diputus oleh Mahkamah Agung, 2 perkara dinyatakan tidak dapat diterima, sedangkan 1, perkara ditolak. Da1am memutus perkara hak uji materiil Mahkamah Agung belum melaksanakan fungsinya sesuai dengan tugasnya, yaitu memutus perkara yang seadil-adilnya dan bebas dari pengaruh lain. Hal itu terlihat dari putusan hak uji materiil yang dilakukan oleh Mahkamah Agung."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2002
347.012 HIM (1)
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Hasrun Hasan
"Penjelasan Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechstaat). Sebagai konsekuensinya adalah bahwa seluruh aspek kehidupan kenegaraan harus didasarkan pada hukum/peraturan perundang-undangan. Menurut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, sumber tertinggi peraturan perundang-undangan di Indonesia didasarkan pada sebuah konstitusi tertulis yaitu Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan landasan pokok bagi pembentukan peraturan-peraturan di bawahnya, karena itu segala peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia harus mengacu dan tidak diperkenankan menyimpang, apalagi bertentangan dengan konstitusi. Oleh sebab itu maka seluruh tindakan penyelenggaraan pemerintahan harus dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum. Di negara yang berdasar pada sistem konstitusional dituntut adanya keserasian antara produk-produk hukum khususnya Undang-undang serta peraturan di bawahnya dengan Konstitusi. Dalam rangka menjamin terciptanya keselarasan dan konsistensi Sistem Hukum serta mencegah terjadinya penyimpangan harus ada/diadakan suatu lembaga pengendali peraturan perundang-undangan. Pengendalian ini dilakukan dalam bentuknya yang disebut hak uji materiil. Persoalan hak uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan negara di Indonesia sudah menjadi salah satu topik perdebatan sejak perumusan naskah Undang-undang Dasar dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Akan tetapi, setelah disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 tidak memuat suatu aturan tentang hak uji materiil. Tidak adanya aturan tersebut menimbulkan polemik berkepanjangan terutama dikalangan ahli hukum Indonesia. Di satu pihak berpendapat bahwa sekalipun tidak diatur dalam UUD 1945 tidak berarti bahwa hak uji materiil tidak dapat dilakukan, sementara di pihak lain menyatakan bahwa sebenarnya niat pembuat UUD 1945 tidak menghendaki adanya hak uji materiil, karena itu dalarn kerangka UUD 1945 maka hak uji materiil tersebut tidak boleh dilakukan. Dari silang pendapat tersebut ternyata kemudian sejarah ketatanegaraan Indonesia telah mencatat bahwa hak uji materiil di Indonesia telah mendapat dasar legitimasi melalui peraturan yang lebih rendah yaitu dalam Tap MPR, UU dan Perma dan secara faktual telah dilaksanakan sekalipun secara terbatas terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Perkembangan penting bagi hak uji materiil di Indonesia terjadi setelah perubahan UUD 1945, khususnya pada perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945 yang merubah ketentuan Pasal 24 UUD 1945 dengan diadakannya lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia di samping Mahkamah Agung. Salah satu kewenangan yang diberikan konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi diantaranya adalah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Diberikannya kewenangan untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar kepada kekuasaaan kehakiman, dalam hal ini kepada Mahkamah Konstitusi adalah suatu terobosan baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia oleh karena selama ini kekuasaan kehakiman dalam hal ini melalui Mahkamah Agung hanya diberi kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T16651
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Fatmawati
"Dalam Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD Negara RI Tahun 1945 diatur tentang kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan hak uji materiil. Dalam Pasal 24A ayat (1) Perubahan Ketiga UUD Negara RI tahun 1945 diatur bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Dalam Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD Negara RI tahun 1945 diatur bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji UU terhadap UUD. Sebeium hak uji materiil diatur dalam Perubahan Ketiga UUD Negara RI Tahun 1945, terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak uji materiil, yaitu: TAP MPR RI Nomor III/MPR/1978, TAP MPR RI Nomor III/MPR/2000, UU Nomor 14 Tahun 1970, UU Nomor 14 Tahun 1985, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999. Terdapat berbagai permasalahan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hak uji materiil di Indonesia, sehingga diperlukan pembaharuan hukum terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur hak uji materiil di Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum Eropa. Kontinental yang dianut di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T16682
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2000
347.035 IND a
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Sri Soemantri Martosoewignjo
Bandung: Alumni, 1972
340.598 SRI h
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Syaugi Pratama
"
ABSTRAKBerdasarkan constitutional authority, pengujian perundang-undangan Indonesia dilakukan oleh dua lembaga yudisial. Terdapat perbedaan yang sangat menarik, pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung judicial review on the legality of regulation dilakukan dengan sidang pemeriksaan tertutup, sedangkan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi judicial review on the constitusionality of law dilakukan dengan sidang pemeriksaan terbuka. Metode penelitian yang digunakan menggunakan metode yuridis normatif dengan menyertakan pendeketan perbandingan. Hasil penelitian ini menunjukan urgensi keterbukan sidang pemeriksaan hak uji materiil di Mahkamah Agung, baik dari segi perkembangan sejarah bahwa ketertutupan sidang pemeriksaan judicial review di Mahkamah Agung erat kaitannya usaha melanggengkan kekuasaan, dari segi permasalahan aktual dan karakteristik pengujian peraturan perundang-undang bukan seperti pengadilan biasa dapat disempurnakan dengan keterbukaan sidang pemeriksaan. Selain itu hasil penelitian ini menunjukan bahwa dengan adanya pembaharuan melalui sidang pemeriksaan pendahuluan dan sidang pemeriksaan pokok perkara yang terbuka untuk umum memiliki relevansi terhadap perbaikan dan penguatan kualitas putusan. Oleh sebab itu pada bagian akhir penelitian dikemukakan suatu kesimpulan dan rekomendasi bahwa gagasan keterbukaan sidang pemeriksaan ini sangat konstitusional dan urgen untuk segera diterapkan dalam hak uji materiil di Mahkamah Agung. Caranya cukup melakukan perubahan terhadap undang-undang tentang Mahkamah Agung dengan mengatur dan memasukan materi sidang pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan pokok perkara berdasarkan alternatif pilihan yang dapat dipilih pembuat undang-undang.
ABSTRACTBased on Constitutional Authority, Indonesia 39 s judicial review is conducted by two judicial institutions. There is a distinction to analyze, the judicial review by Supreme Court on the legality of regulation conducted with a closed hearing, while the judicial review on the constitutionality of law is conducted by a trial open hearing. This research uses juridical normative method with comparative approach. The results of this research show that there is an urgency for open judicial review hearing in the Supreme Court as seen from the historical aspect that closed judicial review in the Supreme Court is strongly connected to preserving power and the characteristic aspect that judicial review can be improved with open court proceedings. The research also shows that reform through introductory trial and public principal hearing is relevant to improvement of the quality of decisions. Therefore, it is concluded and recommended at the last part of the research that open judicial review hearing is constitutional and must be urgently implemented in the Supreme Court by making changes in the law about the Supreme Court and incorporating introductory trial and principal hearing based on alternative options that can be chosen by lawmakers."
Universitas Indonesia, 2018
T49399
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Sagung Agung Putu Suadtri Yani
"Beberapa tahun terakhir ini telah diberlakukan beberapa Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta, salah satunya adalah Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 15 Tahun 2004 tentang Perubahan Status Hukum Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan RSUD Pasar Rebo dan Penyertaan Modal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada PT. RS Pasar Rebo. Perda tersebut menjadi polemik bagi masyarakat sekitar rumah sakit dan karyawan RS Pasar Rebo khususnya yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Sebelum adanya Perda Nomor 15 Tahun 2004, perlindungan terhadap karyawan RSUD Pasar Rebo disesuaikan dengan ketentuan yang ada di dalam UU Kepegawaian, kemudian setelah pemberlakuan Perda Nomor 15 Tahun 2004, peraturan mengenai kesejahteraan karyawan diatur dalam Surat Keputusan Direksi RS Pasar Rebo Jakarta Nomor 231 Tahun 2004 tentang Penetapan Kesejahteraan Karyawan RS Pasar Rebo Jakarta.
Setelah Mahkamah Agung RI mengeluarkan Putusan Hak Uji Materiil tentang Perda nomor 15 Tahun 2004, ketentuan tentang perlindungan terhadap karyawan R Pasar Jakarta pihak manajemen RS Pasar Rebo masih mernakai SK Direksi Nomor 231 tahun 2004 tentang perda nomor 15 tahun 2004, ketentuan tentang perlindungan terhadap karyawan RS Pasar Rebo Jakarta pihak manajemen RS Pasar rebo masih memakai SK Direksi nomor 231 tahun 2004, karena pihak rumah sakit masih menunggu Keputusan Pembatalan Perda nomor 15 tahun 2004 yang dikeluarkan oleh Pemintah Daerah propinsi DKI Jakarta."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19819
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library