Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59315 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agnes Putri Ayu Rosalia
"Pendahuluan: Ekstrak temulawak telah dilaporkan memiliki efek inhibisi dan eradikasi in vitro terhadap C. albicans. Setiap obat dalam pengembangannya harus melalui uji standar stabilitas biologis, fisika, dan kimia. Salah satu uji kestabilan biologis obat adalah pengujian kontaminasi mikroba pada obat selama 4 minggu
Tujuan: Mengetahui kestabilan biologis obat tetes ekstrak etanol temulawak menggunakan TPC untuk menghitung, menganalisis dan membandingkan perubahan jumlah koloni dengan satuan Colony Forming Unit (CFU).
Metode: Obat tetes ekstrak etanol temulawak temulawak disimpan dalam 3 suhu (suhu rendah 4±2oC; suhu ruangan 28±2oC; dan suhu tinggi 40±2oC). Obat tetes ekstrak etanol temulawak diencerkan dengan serial dilution dan ditumbuhkan pada medium nonselektif Plate Count Agar (PCA) dengan metode Spread Plate. Pada setiap sampel pengujian dilakukan duplo. Media yang telah dikultur dengan obat tetes ekstrak etanol temulawak kemudian yang telah ditumbuhkan, diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC. Perhitungan koloni pada setiap agar dilakukan secara manual, kemudian dimasukkan ke dalam rumus penghitungan koloni sehingga didapatkan satuan CFU/mL. Pengujian baseline dan Pengulangan uji kontaminasi dilakukan setiap 2 minggu selama 1 bulan.
Hasil: Pada minggu kedua tidak terdapat kontaminasi mikroba pada obat tetes ekstrak etanol temulawak. Sedangkan pada minggu keempat, terlihat koloni sebanyak 5x10 CFU/mL yang terbentuk pada media dengan kultur obat tetes ekstrak etanol temulawak pada suhu tinggi (40±2oC).
Kesimpulan: Temperatur penyimpanan mempengaruhi kestabilan biologis obat tetes ekstrak etanol temulawak. Pada penelitian ini, sediaan obat tetes ekstrak etanol temulawak tetap stabil bebas kontaminasi mikroba setelah penyimpanan selama 4 minggu pada suhu rendah dan suhu ruang. Sedangkan pada penyimpanan selama 4 minggu pada suhu tinggi, terjadi kontaminasi minimal.

Introduction: Curcuma extract has been reported to have effect on inhibition and eradication in vitro of C. albicans. Every drug during its development must pass biological, physical and chemical stability. One of the biological stability tests of drugs is testing for microbial contamination of drugs in 4 weeks.
Objective: To know the biological stability of oromucosal drops containing Curcuma xanthorrhiza ethanoic extract drugs using TPC to count, analyze and compare changes in the number of colonies with Colony Forming Units (CFU).
Methods: Oromucosal drops containing Curcuma xanthorrhiza ethanoic extract is stored at 3 temperatures (low temperature 4 ± 2oC; room temperature 28 ± 2oC; and high temperature 40 ± 2oC). Oromucosal drops containing Curcuma xanthorrhiza ethanoic extract is diluted with serial dilution and plated on nonselective medium Plate Count Agar (PCA) using the spread plate method. Duplo testing was carried out for each sample. Medium that has been cultured with oromucosal drops containing Curcuma xanthorrhiza ethanoic extract then incubated for 48 hours at 37oC. Colony counting for each agar is done manually, then entered into the colony counting formula to obtain CFU/mL units. Baseline test and repeated contamination tests were carried out every 2 weeks for 1 month.
Results: In the second week, there is no microbial contamination in oromucosal drops containing Curcuma xanthorrhiza ethanoic extract. Then, in the fourth week, it can be count 5x10 CFU/mL that formed on medium that has been cultured with oromucosal drops containing Curcuma xanthorrhiza ethanoic extract which stored in high temperature (40±2oC).
Conclusion: Storage temperature affects the biological stability of oromucosal drops containing Curcuma xanthorrhiza ethanoic extract. In this research, oromucosal drops containing Curcuma xanthorrhiza ethanoic extract remained stable and free of microbial contamination after 4 weeks of storage at low and room temperature. Meanwhile in storage for 4 weeks at high temperature, there was minimal contamination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Nur Tsuraya
"Latar Belakang: C. albicans rongga mulut adalah flora normal yang dapat berubah
menjadi patogen sehingga menyebabkan kandidiasis oral. Ekstrak etanol temulawak
dengan kandungan utama xanthorrhizol dilaporkan dapat menginhibisi dan
mengeradikasi biofilm C. albicans pada konsentrasi 15%, serta menurunkan aktifitas
enzim fosfolipase dan proteinase C. albicans. Selanjutnya, ekstrak etanol temulawak
diformulasikan dan dikembangkan menjadi bentuk sediaan obat tetes mikroemulsi.
Dalam pengembangan bentuk sediaan obat, maka diperlukan penetapan formulasi dan
uji stabilitas biologis, fisik, dan kimia. Tujuan: Menetapkan formulasi dan
mengevaluasi stabilitas fisik dan kimia obat tetes mikroemulsi ekstrak etanol
temulawak Metode: Ekstrak etanol temulawak 15% diformulasikan menjadi sediaan
obat tetes mikroemulsi. Kemudian stabilitas fisik dan kimia dievaluasi 2-4 minggu
pada 3 suhu penyimpanan yang berbeda yaitu 4±2oC; 28±2oC; dan 40±2oC. Selanjutnya
stabilitas fisik berupa organoleptis, homogenitas, pH, viskositas, dan tipe aliran
dievaluasi. Pada stabilitas kimia dievaluasi perubahan kadar xanthorrhizol setelah 2
dan 4 minggu, menggunakan metode GC-MS. Hasil: Formulasi obat tetes mikroemulsi
mengandung ekstrak etanol temulawak 15% memiliki organoleptik; larutan kuning
kecoklatan, rasa pahit, dan berbau khas jamu, homogenitas; terjadi pemisahan antara
komponen minyak dan air, pH berkisar 6,3-6,9, dan tipe alir pseudoplastis pada 2-4
minggu dengan 3 suhu penyimpanan. Viskositas menurun seiring dengan peningkatan
suhu penyimpanan. Kadar xanthorrhizol menurun setelah 2-4 minggu pada ketiga suhu
penyimpanan. Kesimpulan: Adanya pemisahan komponen minyak dan air serta
penurunan kadar zat aktif dalam kurun 2-4 minggu mendasari kesimpulan bahwa
formulasi obat tetes ekstrak etanol temulawak 15% tidak stabil secara fisik dan kimia
setelah disimpan selama 2 dan 4 minggu sehingga masih diperlukan reformulasi.

Introduction: C. albicans is a normal flora in oral cavity that can be pathogenic that
causing oral candidiasis. Curcuma xanthorrhiza ethanoic extract has a main
component, xanthorrhizol that was reported to be able to inhibit and eradicate C.
albicans biofilms at a 15% concentration and reduce the activity of phospholipase and
proteinase enzymes of C. albicans. Furthermore, curcuma xanthorrhiza ethanoic extract
is formulated and developed into microemulsion oromucosal drops. In the development
of the drug, it is necessary to determine the formulation and test the stability in
biological, physical, and chemical. Objective: Determining the formulation and
evaluating the physical and chemical stability of microemulsion oromucosal drops
containing 15% curcuma xanthorrhiza ethanoic extract. Methods: Curcuma
xanthorrhiza ethanoic extract is formulated into microemulsion oromucosal drops
containing 15% curcuma xanthorrhiza ethanoic extract. Then, the physical and
chemical stability are evaluated for 2-4 weeks in 3 different temperature, that is 4 ±
2oC; 28 ± 2oC; and 40 ± 2oC. Furthermore, the physical stability in the form of
organoleptic, homogeneity, pH, viscosity, and flowing type are evaluated. Chemical
stability is evaluated the xanthorrhizol level using the GC-MS method. Results:
Microemulsio oromucosal drops containing 15% curcuma xanthorrhiza ethanoic
extract have organoleptic; brownish-yellow solution, bitter taste, and smells like herb,
homogeneity; there is a separation between the oil and water phase, pH ranges from
6,3-6,9, and flowing type are pseudoplastic. The viscosity value decreases with the
increasing of storage temperature. Xanthorrhizol level are decreasing after 2-4 weeks
of storage in the 3 different temperature. Conclusion: The separation between the oil
and water phase and degradation of xanthorrhizol level after stored 2-4 weeks are the
underlying conclusion that formulation of oromucosal drops containing curcuma
xanthorrhiza ethanoic extract are not stabile in physical and chemical after stored for 2
and 4 weeks so that the drugs need to be reformulated.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Latisha Maulana
"Latar Belakang: Ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) telah terbukti secara in vitro memiliki khasiat sebagai anti Candida albicans (C.albicans). Dalam upaya pengembangan tanaman obat tersebut sebagai obat herbal terstandar anti C.albicans, ekstrak etanol temulawak telah diformulasikan menjadi obat tetes oromukosa. Temulawak mengandung kurkumin yang merupakan senyawa polifenolik berwarna kuning yang dapat menyebabkan diskolorasi gigi.
Tujuan: Mengetahui pengaruh paparan obat tetes ekstrak etanol temulawak terhadap warna email gigi.
Metode: Gigi premolar tanpa karies dan defek struktural dicelupkan dalam obat tetes ekstrak etanol temulawak, CHX 0,2%, dan akuades selama 1 menit kemudian dibilas dan direndam dalam akuades selama 10 menit pada suhu 37oC. Tahapan dilakukan sebanyak 42 siklus (simulasi penggunaan 2 minggu) dan 63 siklus (simulasi penggunaan 3 minggu). Analisis warna dilakukan menggunakan colorimeter pada 3 tahap waktu yaitu sebelum paparan, setelah paparan, dan setelah penyikatan gigi. Nilai yang didapatkan berupa ΔE yang menunjukkan selisih nilai pengukuran warna email sebelum dan setelah paparan obat serta sebelum dan setelah penyikatan.
Hasil: Pada tahap waktu T1-T3 simulasi penggunaan 2 minggu dan 3 minggu, nilai ΔE>3.3 pada ketiga kelompok sehingga terlihat adanya perubahan warna yang signifikan antara warna gigi awal dan setelah penyikatan gigi. Terdapat perubahan warna gigi yang signifikan setelah dilakukan penyikatan dengan pasta gigi.
Kesimpulan: Obat tetes ekstrak etanol temulawak mengakibatkan perubahan warna email gigi yang signifikan. Penyikatan gigi dapat mengurangi efek perubahan warna pada email gigi.

Background: Javanese Turmeric (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) ethanol extract is known to have antifungal properties against Candida albicans (C.albicans) based on in vitro studies. The next step in developing a standardised herbal medicine is by formulating Javanese Turmeric Ethanol Extract into oromucosal drops. Curcumin found in javanese turmeric is a yellowish polyphenolic compound that has the potential to cause staining on the enamel.
Objective: This study is aimed to evaluate the effect Javanese Turmeric ethanol extraxt oromucosal drops on discoloration of the dental enamel.
Method: Premolars with no caries and structural defects are immersed in the Javanese Turmeric ethanol extract oromucosal drops, a 0,2% CHX mouthwash, and distilled water for 1 minute. After rinsing, they are then immersed in distilled water for 10 minutes at 37oC. The method mentioned is repeated for 42 cycles (2-week simulation) and 63 cycles (3-week simulation). Color assessment is done using a colorimeter at three different time points: before immersion, after immersion, and after brushing. Results will be shown as ΔE which is the color difference of enamel before and after immersion, as well as before and after toothbrushing.
Result: At time point T1-T3 for the 2-week and 3-week simulation, the ΔE score is greater than 3.3 on all three groups indicating a significant color difference before immersion and after toothbrushing. A significant color difference is observed after toothbrushing with toothpaste.
Conclusion: Javanese Turmeric ethanol extract oromucosal drops cause a significant tooth discoloration. Brushing had significant effect on removal of induced stains.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Fakhirah Irham
"Pendahuluan: Candida albicans merupakan flora normal rongga mulut yang dapat berubah menjadi flora pathogen. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman berkhasiat obat yang mengandung Xanthorrhizol. Ekstrak etanol temulawak secara in vitro dilaporkan dapat menghambat dan mengeradikasi biofilm C. albicans sehingga dapat diformulasikan untuk dikembangkan mejadi bentuk sediaan obat tetes topikal oromukosa. Uji toksisitas merupakan salah satu uji biokompatibilitas yang penting dalam proses pengembangan obat baru.
Tujuan: Menetapkan nilai LD50 dan kategori toksisitas obat tetes ekstrak etanol temulawak. Serta efek yang ditimbulkannya pada berat badan, aktivitas fisik, dan makroskopis organ dalan hewan uji.
Metode: 15 ml (16.650 mg)/kg BB obat tetes ekstrak etanol temulawak diberikan pada 5 hewan uji. Selanjutnya hewan uji diamati selama 14 hari untuk observasi tanda-tanda toksisitas dan kematian hewan uji. Jika terdapat kematian minimal pada dua hewan uji, maka diberikan dosis 7,5 ml/kg berat badan. Pada akhir pengamatan, hewan uji dikorbankan untuk pemeriksaan makroskopis organ dalam hewan uji.
Hasil: Tidak ditemukan kematian hewan uji hingga akhir periode observasi. Seluruh hewan uji mengalami penurunan berat badan pada hari ke 2-5, kurang aktif selama 4 hari, dan dua hewan uji mengalami diare pada hari ke 2 dan 3. Pada pemeriksaan makroskopis tidak ditemukan kelainan pada organ usus, hati, paru-paru, jantung, limpa, dan ginjal.
Kesimpulan: LD50 Obat tetes etanol temulawak lebih dari 16.650 mg/kg BB dengan kategori relatif aman, tidak menimbulkan perubahan aktifitas, gejala klinis dan berat badan yang menetap serta tidak ditemukan perubahan makroskopis organ dalam hewan uji.

Introduction: Candida albicans is a normal flora of the oral cavity which can be transformed into pathogenic flora. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Is a medicinal plant containing Xanthorrhizol. Curcuma xanthorrhiza ethanolic extract is reported to inhibit and eradicate C. albicans biofilm so that it can be formulated to be developed into oral dosage form for oromucosal drops. The toxicity test is an important biocompatibility test in the process of developing new drugs.
Objective: To determine the LD50 value and the toxicity category of oromucosal drop containing Curcuma xanthorrhiza ethanolic extract, The effect on body weight, physical activity, and macroscopic organs in test animals.
Methods: 15 ml (16,650 mg)/kg BW of oromucosal drop containing Curcuma xanthorrhiza ethanolic extract were given to 5 test animals. Furthermore, the test animals were observed for 14 days to observe signs of toxicity and death of the tested animals. If there is death in at least two tests, a dose of 7.5 ml/kg BW is given. At the end of the observation, the test animal was sacrificed for macroscopic examination of the organs in the test animal.
Results: There were no deaths of test animals until the end of the observation period. Test animals experienced weight loss on day 2-5, were less active for 4 days, and all tested animals experienced diarrhea on days 2 and 3. On macroscopic examination, there were no abnormalities in the intestinal organs, liver, lungs, heart, spleen, and kidneys.
Conclusion: LD50 oromucosal drop containing Curcuma xanthorrhiza ethanolic extract more than 16.650 mg/kg BW are categorized as relatively safe, changes in activity, clinical symptoms, and body weight are not permanent, and there is no macroscopic change in the organs of the tested animals.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mis Bakhul Munir
"Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb. ) merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat, tetapi penggunaannya kurang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh formula tablet efervesen dengan bahan berkhasiat ekstrak kering temulawak sehingga dapat dikonsumsi sebagai suplemen sehat komersial. Tablet efervesen dibuat dengan metode granulasi basah mengunakan variasi jumlah effervescent mix dan bahan pemanis pada kondisi kelembaban relatif (RH) 40% dengan suhu 25°C. Ketiga formula tablet efervesen yang dibuat memenuhi syarat evaluasi granul dan tablet efervesen.
Hasil analisis kesukaan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kesukaan terhadap penampilan dan aroma dari ketiga formula tablet efervesen, namun ada perbedaan tingkat kesukaan terhadap rasa dari ketiga formula yang dibuat. Dari ketiga formula yang telah diujikan pada responden, fomula I dengan jumlah effervescent mix 80% dan aspartam 1,5 % memiliki rasa yang lebih disukai dibandingkan formula II dengan jumlah effervescent mix 80% dan aspartam 2,5 % dan formula III dengan jumlah effervescent mix 80% tanpa penambahan aspartam. Dari hasil penelitian ini diharapkan tablet efervesen ekstrak temulawak dapat menjadi produk suplemen yang dapat dipasarkan.

Curcuma (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) has many benefits for health and medical use, but its usefulness is less than optimal. Therefore a study aimed at gaining effervescent tablets formula with dried ginger extract that can be consumed as a healthy commercial supplement are conducted. Effervescent tablets prepared by wet granulation method with various concentration of effervescent mix and sweetener on the condition of relative humidity (RH) 40% in a temperature of 25°C. Three effervescent tablets formula are designed to meet the effervescent granules and tablets evaluations.
The analysis shows that there is no different level of preference for appearance and aroma of three effervescent tablets formula, but there are different in taste. Based on survey, formula I with 80% of effervescent mix and 1,5% of aspartame is more preferable than formula II with 80% of effervescent mix and 2,5% of aspartame and formula III with 80% of effervescent mix without aspartame. Results of this study are expecting effervescent tablet from ginger extract as supplement can be marketed.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
S42996
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Misna Rahma Putri
"Pengobatan kanker payudara saat ini sedang dipertimbangkan karena toksisitas kemoterapi tradisional. Oleh karena itu, penting untuk mencari alternatif berbasis alam dengan toksisitas lebih rendah. Rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) mengandung senyawa kurkuminoid dan xantorizol yang berpotensi sebagai agen antikanker. NADES sebagai salah satu pelarut hijau telah digunakan dalam banyak ekstraksi karena kelebihannya. Namun, belum ada penelitian tentang aktivitas antikanker dari ekstrak NADES temulawak. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan membandingkan aktivitas antikanker dari ekstrak NADES kolin klorida-gliserol (ChCl-Gly) dan ekstrak etanol 96% temulawak pada sel kanker payudara MCF-7 menggunakan uji MTT. Metode antipelarut digunakan untuk memulihkan kurkuminoid dan xantorizol dari ekstrak NADES ChCl-Gly karena toksisitasnya terhadap sel MCF-7. Hasil penelitian menunjukkan persentase pemulihan kembali kurkuminoid dan xantorizol berturut-turut sebesar 17,1% dan 16,47%. Kadar kurkuminoid dan xantorizol dalam ekstrak NADES setelah pemulihan adalah 187,97 ± 0,002 mg/g dan 132,30 ± 0,005 mg/g ekstrak, sedangkan ekstrak etanol mengandung 161,96 ± 0,038 mg/g dan 566,37 ± 0,074 mg/g ekstrak. Nilai IC50 untuk ekstrak NADES dan etanol temulawak berturut-turut adalah 1771,29 µg/mL dan 793,19 µg/mL. Dapat disimpulkan bahwa ekstrak NADES temulawak tidak menunjukkan aktivitas antikanker, sementara ekstrak etanol memiliki aktivitas antikanker yang lemah.

Breast cancer treatment was being reconsidered due to the toxicity of traditional chemotherapy. Therefore, it was important to search for alternative natural options with lower toxicity. The rhizome of temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) contained curcuminoid and xanthorrhizol compounds, which had the potential as anticancer agents. NADES as one of the green solvents had been widely used in various extractions due to its advantages. However, there had been no research on the anticancer activity of temulawak NADES extract. This study aimed to evaluate and compare the anticancer activity of temulawak NADES extract (ChCl-Gly) and 96% ethanol extract on MCF-7 breast cancer cells using the MTT assay. The anti-solvent method was used to recover curcuminoid and xanthorrhizol from temulawak NADES extract due to its toxicity to MCF-7 cells. The results showed a recovery percentage of 17.1% for curcuminoid and 16.47% for xanthorrhizol. The content of curcuminoid and xanthorrhizol in the recovered NADES extract was 187.97 ± 0.002 mg/g and 132.30 ± 0.005 mg/g, respectively, while the ethanol extract contained 161.96 ± 0.038 mg/g of curcuminoid and 566.37 ± 0.074 mg/g of xanthorrhizol. The IC50 values obtained for temulawak NADES and ethanol extracts were 1771.29 µg/mL and 793.19 µg/mL, respectively. It was concluded that temulawak NADES extract did not exhibit anticancer activity, while the ethanol extract showed weak anticancer activity."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasinta Ayuning Dyah
"Latar Belakang: Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah tanaman berkhasiat obat asli Indonesia dan merupakan tanaman obat unggulan untuk dikembangkan menjadi obat herbal terstandar. Pada beberapa penelitian, ekstrak etanol temulawak (EET) telah terbukti berkhasiat sebagai antimikroba, namun belum diketahui keamanannya terhadap jaringan mukosa mulut. Tujuan: Mengetahui sitotoksisitas ekstrak etanol temulawak (EET) terhadap sel fibroblas gingiva manusia (in vitro). Metoda: Model sel fibroblas gingiva diperoleh dari kultur primer jaringan gingiva manusia. Ekstrak etanol temulawak (1%, 2,5%, 5%, 10%, 20%, 40%) dipaparkan pada sel fibroblas gingiva dengan durasi paparan 1 jam, 3 jam, dan 24 jam. Viabilitas sel pasca paparan EET dianalisis dengan uji MTT (3-(4,5-dimethyl-thiazol-2-yl)-2,5-diphenyl-tetrazolium bromide) dan sitotoksisitas ditetapkan berdasarkan Inhibition Concentration 50% (IC50). Sedangkan, jumlah sel pasca paparan EET dievaluasi dengan metoda exclusion dye/trypan blue. Hasil: Model sel fibroblas gingiva dapat diperoleh dari kultur primer jaringan gingiva dan secara morfologi teridentifikasi sebagai sel fibroblas. Berdasarkan nilai IC50, EET pada konsentrasi >20% pasca paparan 1 dan 3 jam dan konsentrasi ≥10% pasca paparan 24 jam sitotoksik terhadap sel fibroblas gingiva. Jumlah sel fibroblas gingiva menurun sesuai dengan peningkatan konsentrasi pada durasi paparan 24 jam. Kesimpulan: Ekstrak etanol temulawak memiliki efek sitotoksik terhadap sel fibroblas gingiva. Sitotoksisitas ekstrak etanol temulawak dipengaruhi oleh konsentrasi dan durasi paparan.

Background: Javanese turmeric (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) is a herbal plant native to Indonesia and is a superior herbal plant to be developed into a standardized herbal medicine. In some studies, Curcuma xanthorrhiza ethanolic extract (CXEE) had been reported to have antimicrobial effect. However, its safety has not been evaluated for oral mucosal tissue. Objective: To evaluate the cytotoxicity of Curcuma xanthorrhiza ethanolic extract to human primary gingival fibroblast cells (in vitro). Method: Gingival fibroblast cells model were cultured from human primary gingival tissues. CXEE (1%, 2,5%, 5%, 10%, 20%, 40%) was added into gingival fibroblast culture for 1 h, 3 hrs, and 24 hrs. Cells viability after treatment of EET was analized with the 3-(4,5-dimethyl-thiazol-2-yl)-2,5-diphenyl-tetrazolium bromide (MTT) assay and determined by Inhibition Concentration 50% (IC50). Meanwhile, cell density of treated cells was determined by exclusion dye/Trypan Blue. Result: Primary culture of human gingival tissue was able to produce gingival fibroblast cells model that was morphologically identified. Based on IC50, CXEE was cytotoxic againts gingival fibroblast cells at >20% of final concentration after 1 hr and 3 hrs treatment and at ≥10% of final concentration after 24 hrs treatment. Cell density of gingival fibroblast cells showed reduction as the increase of extract concentration in 24 hrs treatment. Conclusions: Curcuma xanthorrhiza ethanolic extract shows cytotoxic effect againts gingival fibroblast cells and is affected by concentration and duration of treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfajriani
"Latar Belakang: Obat antifungal sintetik dilaporkan menimbulkan reaksi gastrointestinal. Ekstrak etanol temulawak merupakan tanaman obat yang memiliki efikasi sebagai antijamur. Untuk dijadikan obat alternatif, ekstrak etanol temulawak harus biokompatibel terhadap sel inang. Tujuan: Menganalisis efek sitotoksitas ekstrak etanol temulawak terhadap sel fibroblast gingiva secara in vitro dengan live/dead staining. Metode: Sel fibroblast gingiva passage kedua dikultur sebanyak 1,4 x 104 sel/wells di atas cover glass dalam 12 wells plate. Sel diberi perlakuan dengan konsentrasi ekstrak etanol temulawak 5% dan 20% dengan waktu paparan 1 jam, 3 jam, dan 24 jam. Viabilitas dilihat dari uji live/dead staining menggunakan confocal laser scanning microscope dengan fluorescent dye SYTO9 ex/em max: 480/500nm, PI ex/em max: 490/635nm. Hasil: intensitas fluorescent semakin tinggi berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi ekstrak etanol temulawak. Kesimpulan: ekstrak etanol temulawak memiliki efek sitotoksik pada konsentrasi 5% dan 20% pada sel fibroblast gingiva.

Background: Synthetic antifungal drugs are reported to cause gastrointestinal reactions. Ethanol turmeric extract is a herbal drug that has antifungal efficacy. To be used as an alternative drug, ethanol turmeric extract must be biocompatible with host cells. Objective: Analyze the cytotoxicity of ethanol turmeric extract on gingival fibroblasts in vitro with live/dead staining. Methods: The second passage gingival fibroblast cell was cultured as much as 1.4 x 104 cells / wells on the cover glass in 12 well plates. Cells were treated with ethanol turmeric extract concentrations of 5% and 20% with exposure time of 1 hour, 3 hours and 24 hours. Viability seen from live/dead staining assay using confocal laser scanning microscope with fluorescent dye SYTO9 ex/em max: 480/500nm, PI ex/em max: 490/635nm. Results: The higher fluorescent intensity is linear to increase in concentration of dilution ethanol turmeric extract. Conclusion: Ethanol turmeric extract has a cytotoxic effect at concentrations of 5% and 20% on gingival fibroblast cells."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hary Anwar Laksono
"Senyawa curcuminoid dan xanthorrhizol merupakan kandungan senyawa terbesar dalam rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang bersifat non-polar. Ionic liquid (IL) merupakan salah satu pelarut alternatif yang dapat menarik senyawa yang bersifat polar maupun non-polar dan memiliki potensi yang tinggi dalam ekstraksi bahan alam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan kondisi optimal dalam ekstraksi rimpang temulawak menggunakan pelarut IL 1-Tetradesil-3-metilimidazolium klorida ([C14mim][Cl]) dengan metode Ultrasound Assisted Extraction (UAE), yang kemudian dibandingkan dengan hasil ekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Optimasi dilakukan menggunakan variabel bebas, yaitu konsentrasi pelarut (0,05; 0,1; dan 0,15M), waktu ekstraksi 10; 12,5; dan 15 menit), dan rasio sampel:pelarut (1:15; 1:20; dan 1:25) yang didapatkan dari uji pre-optimasi sebelumnya menggunakan IL [C16mim][Br] dengan garam salting-out NaCl. Optimasi dilakukan menggunakan Respon Surface Methodology (RSM) dengan metode Box- Behnken. Penetapan kadar senyawa Curcuminoid dan Xanthorrhizol dilakukan menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dengan detektor UV-Vis dan sistem gradien dengan fase gerak asetonitril:asam format 0,07% dalam air (45-85%) selama 0-60 menit pada panjang gelombang 425 dan 275 nm. Kondisi ekstraksi optimal yang didapatkan untuk metode UAE-IL [C14mim][Cl] menunjukan hasil terbaik pada garam salting-out Na2SO4, konsentrasi IL 0,15 M, waktu ekstraksi 15 menit, dan rasio sampel:pelarut 1:20 dengan hasil kadar per serbuk sebesar 9,14±0,02 mg/g curcuminoid dan 21,41±0,08 mg/g xanthorrhizol. Hasil tersebut lebih besar dari ekstraksi dengan metode maserasi-etanol 96% yaitu sebesar 4,92±0,03 mg/g curcuminoid dan 12,47±0,09 mg/g xanthorrhizol.

Curcuminoid and xanthorrhizol are the most significant and non-polar chemical compounds in Javanese turmeric (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Ionic liquid (IL) is an alternative solvent that can attract polar and non-polar compounds and has a high potential for extracting natural products. This study aimed to obtain optimal conditions for Javanese turmeric rhizome extraction using IL 1-Tetradecyl-3-methylimidazolium chloride ([C14mim][Cl]) as a solvent with Ultrasound Assisted Extraction (UAE) method, which was then compared with the results of maceration extraction using ethanol 96% as a solvent. Optimization was carried out using the independent variables of solvent concentration (0.05, 0.1, and 0.15 M), extraction time (10, 12.5, and 15 minutes), and the sample:solvent ratio (1:15, 1:20, and 1:25) obtained from the previous pre-optimization test using IL [C16mim][Br] with salting-out salt NaCl. Optimization was carried out using the Response Surface Methodology (RSM) with the Box-Behnken method. Curcuminoid and xanthorrhizol content determined using gradient system High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) method with UV-Vis detector and a mobile phase of acetonitrile:formic acid 0.07% in water (45-85%) for 0-60 minutes at 425 and 275 nm wavelengths. The optimal extraction condition obtained for UAE-IL [C14mim][Cl] showed that salting-out salt Na2SO4, IL concentration 0.15 M, extraction time 15 minutes, sample:solvent ratio 1:20 with concentration per powder 9.14±0.02 mg/g curcuminoid and 21.41±0.08 mg/g xanthorrhizol. The results were greater than the extraction using maceration-ethanol 96% that showed 4.92±0.03 mg/g curcuminoids and 12.47±0.09 mg/g xanthorrhizol."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinar Meltiara
"Ionic liquid merupakan salah satu jenis pelarut hijau yang sudah banyak diuji keberhasilannya dalam mengekstraksi berbagai senyawa bahan herbal. IL merupakan designer solvent, dimana kation dan anion pada IL bersifat fleksibel menyesuaikan dengan sifat zat aktif target, membuat IL efisien dalam menarik senyawa polar maupun non-polar. Tujuan dari penelitian ini yaitu memperoleh kondisi optimum ekstraksi kurkuminoid dan xantorizol dari rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza roxb.) menggunakan 1-Heksadesil-3-metilimidazolium bromida secara UAE (Ultrasonic Assisted Extraction) serta mengetahui perbandingannya dengan maserasi menggunakan etanol 96%. Variabel-variabel bebas yang digunakan dalam optimasi yaitu konsentrasi IL (0.05; 0.1; 0.15M), waktu ekstraksi (10; 12.5; 15 menit) dan rasio sampel-pelarut (15; 20; 25 mL/g). Semua variabel di desain menggunakan metode Response Surface Methodology. Kuantifikasi senyawa kurkuminoid dan xantorizol dilakukan menggunakan KCKT UV-Vis menggunakan fase gerak asetonitril (A) dan asam format 0.007% dalam air (B) dengan program elusi gradien 45–85% (A): 0-60 menit dan dideteksi pada panjang gelombang 425 nm dan 275 nm. Hasil kadar senyawa kurkuminoid terbesar diperoleh pada konsentrasi IL 0.05M; waktu ekstraksi 12 menit dan rasio sampel-pelarut 25 mL/g dengan perolehan sebesar 8.709 mg/g. Sementara, kadar xantorizol optimum diperoleh sebesar 14.099 mg/g pada konsentrasi IL 0.05M; waktu ekstraksi 14 menit dan rasio sampel-pelarut 1:24.5 mL/g. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa kadar senyawa kurkuminoid dan xantorizol yang diekstraksi secara IL-UAE memberikan nilai lebih tinggi dibandingkan metode konvensional. Maserasi temulawak menggunakan etanol 96% hanya mampu menghasilkan kadar kurkuminoid dan xantorizol berturut-turut sebesar 4,92 mg/g dan 12,467 mg/g.

Ionic liquid is one of the green solvents studied in relation to its success in extracting natural compounds. Ionic liquids are considered to be designer solvents due to its ability to alter cation and anion combination adapting to the compounds target, making it efficient for extraction on polar and non-polar compounds. The purpose in this study is to find the optimum extraction of curcuminoid and xanthorrhizol from rhizome of javanese turmeric using ionic liquid 1-Hexadecyl-3-methylimidazolium bromide based UAE (Ultrasonic Assisted Extraction) and to compare the effectiveness of the extraction with 96% ethanol by maceration method. Independent variables used for optimization are IL concentration (0.05; 0.1; 0.15M), time extraction (10; 12.5; 15 minutes) and ratio of solvent to powder (15; 20; 25 mL/g). All variables were designed by using Response Surface Methodology (RSM). Curcuminoid and xanthorrhizol quantification was done using HPLC UV-Vis with mobile phase composition of acetonitrile (A) and 0.07% formic acid on water (B) with gradient elution program 45–85% (A): 0-60 min, 65 – 100% (A): 60-75 min, 100% (A): 75-80 min and was detected on a wavelength of 425 (curcuminoid) and 275 (xanthorrhizol). The results showed that the highest curcuminoid content obtained was 8.709 mg/g with IL concentration 0.05M; time extraction 12 minutes and a ratio of solvent to powder 1:25 g/mL. While the highest xanthorrhizol content obtained was 14.099 mg/g with IL concentration 0.05M; time extraction 14 minutes and a ratio of solvent to powder 1:24.5 g/mL. Based on the result, IL-UAE is more effective to attract curcuminoid and xanthorrhizol than the conventional method. Maceration using 96% ethanol of javanese turmeric rhizome only gave results of 4.92 mg/g for curcuminoid and 12.467 mg/g for xanthorrhizol."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>