Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98011 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tiara De Arifani
"Smoker's melanosis menjadi cara untuk mengetahui seseorang tersebut perokok atau tidak dari area lidah. Smoker’s melanosis adalah berubahnya warna pigmentasi melanin pada mukosa mulut menjadi warna coklat atau hitam. Pendeteksian ini biasanya dilakukan oleh para dokter dengan metode Traditional Chinese Medicine. Namun, pendeteksian ini membutuhkan waktu lama. Penelitian ini bertujuan untuk membuat sistem deteksi lidah seseorang perokok atau tidak dengan implementasi algoritma Deep Learning. Penelitian menggunakan kamera hiperspektral dengan panjang gelombang VNIR untuk merekam citra lidah seseorang dan mengolahnya menjadi suatu informasi yang dapat digunakan untuk sistem ini. Implementasi algoritma dilakukan pada 5 dataset yang berbeda dan didasarkan pada area pengambilan ROI pada lidah seseorang. Algoritma yang diimplementasikan dalam penelitian ini berfokus pada algoritma Deep Learning, yaitu algoritma Convolutional Neural Network (CNN) dengan variasi dua jenis arsitektur, yaitu Autoencoder dan Proposed Architecture. Kedua arsitektur ini dijalankan dengan memvariasikan algoritma pengoptimalan seperti SGDM, Adam, dan RMSProp. Selain itu, penelitian ini membandingkan pula dengan PCA-SVM untuk melihat kinerja dari Machine Learning untuk diimplementasikan dalam data penelitian ini. Proposed Architecture mencapai akurasi sebesar 95% pada algoritma pengoptimalan SGDM dan PCA-SVM yang digunakan mencapai akurasi sebesar 81%. Hasil ini menunjukkan bahwa sistem deteksi lidah perokok dapat bekerja lebih baik dengan pengimpelementasian Deep Learning.

Smoker’s melanosis is a way to tell if someone is a smoker or not from the tongue area. Smoker’s melanosis is a brown or black discoloration of the melanin pigmentation in the oral mucosa. This detection is usually carried out by doctors using the Traditional Chinese Medicine method. However, this detection takes a long time. This study aims to create a tongue detection system for someone who smokes or not by implementing the Deep Learning algorithm. This research uses a hyperspectral camera with a VNIR wavelength to record an image of a person’s tongue and process it into information that can be used for this system. Algorithm implementation is carried out on five different datasets and is based on the area of taking the ROI on one’s tongue. The algorithm implemented in this study focuses on the Deep Learning algorithm, namely the Convolutional Neural Network (CNN) algorithm with variations of two types of architecture, namely Autoencoder and Proposed Architecture. Both architectures are executed by varying the optimization algorithms such as SGDM, Adam, and RMSProp. Also, this study also compares with PCA-SVM to see the performance of Machine Learning to be implemented in this research data. Proposed Architecture achieves 95% accuracy in the optimization algorithm SGDM and PCA-SVM, which is used to achieve an accuracy of 81%. These results indicate that the smoker’s tongue detection system can work better with the implementation of Deep Learning."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ana Rima Setijadi
"Telah diketahui asap rokok menjadi penyebab utama emfisema akan tetapi mekanisme pajanan asap rokok sampai menimbulkan destruksi arsitektur paru seperti tampak pada emfisema masih kontroversial. Hipotesis protease anti protease telah dikembangkan sejak 30 tahun yang lalu. Menurut teori tradisional sel efektor yang berpengaruh pada perokok ialah netrofil, sedangkan protease yang panting ialah netrofil elastase. Akhir-akhir ini perhatian difokuskan pada matriks metaloproteinase (MMP) yang dilepas oleh paru dan sel inflamasi yang memegang peran utama pada patogenesis PPOK. Matriks metaloproteinase utama yang berkemampuan melisiskan serat eiastin ialah matrix metalloproteinase-9 (MMP-9). Asap rokok menyebabkan penarikan makrofag ke paru selanjutnya makrofag mensekresi sitokin yang dapat meningkatkan respons inflamasi Iebih lanjut, menyebabkan induksi dan pelepasan MMP-9 oleh makrofag dan netrofil.
Tujuan utama penelitian ini ialah membuktikan terdapat korelasi antara jumlah makrofag dan kadar MMP-9, jumlah makrofag dan netrofil, serta jumlah netrofil dan kadar MMP-9 di dalam cairan kurasan bronkoalveolar perokok. Penelitian ini memakai metode cross sectional, dan pengambilan sample menggunakan cara quota sampling. Penelitian dilakukan pada 24 penderita tumor paru atau mediastinum yang memerlukan pemeriksaan bronkoskopi di RSUD Dr Moewardi Surakarta, terdiri dari 12 perokok dan 12 bukan perokok. Pemeriksaan hitung jumlah sel total (makrofag, netrofil, limfosit, eosinofil, basofil) memakai Cell Dyn 3700, hitung jenis sel kurasan bronkoalveolar memakai pewarnaan Giemsa dan pemeriksaan MMP-9 metode ELISA menggunakan reagen Quantikine HS kit.
Hasil pemeriksaan cairan kurasan bronkoalveolar ditemukan kadar MMP-9, jumlah makrofag serta netrofil kelompok perokok lebih tinggi dan berbeda bermakna dibanding bukan perokok (p < 0,05), hal ini sesuai hipotesis_ Pada perokok ditemukan korelasi kuat antara jumlah makrofag dan kadar MMP-9 (r : 0,713 ; p :0,009), antara jumlah makrofag dan netrofil (r : 0,804 ; p :0,002), serta antara jumlah netrofil dan kadar MMP-9 (r : 0,741 : p : 0,006) sehingga hipotesis terbukti.
Kesimpulan : Ditemukan korelasi kuat antara jumlah makrofag, netrofil dan kadar MMP-9 pada cairan kurasan bronkoalveolar perokok. Saran : Untuk lebih memahami proses infamasi pada perokok perlu dilakukan penefitian longitudinal dan dapat dilengkapi pemeriksaan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP)-1.

Cigarette smoking is the main cause of emphysema; however, the mechanism is still controversial. According to the old theory, neutrophil is the effectors cell which influenced smokers. The current concept regarding the pathogenesis of emphysema would be focusing on MMP released by lung and inflammatory cells. MMP-9 is the main component of MMP which has the ability to lysis elastin fibers.
The purposes of this study were to prove the correlation between macrophage counts and the level of MMP-9, macrophage counts and neutrophil, neutrophil counts and the level of MMP-9 in the smoker's bronchoalveolar lavage fluid. The study design was cross sectional and the sample was taken by quota sampling. A total of 24 patients were divided into 12 smokers and 12 nonsmokers. The level of MMP-9, macrophage counts and neutrophil had been detected to be higher in the smoker's bronchoalveolar lavage fluid than the non smoker's ; and the difference reached significant level (p , 0,05). There was strong correlation between macrophage counts and the level of MMP-9 (r : 0,713 ; p : 0,009), macrophage counts and the neutrophil (r: 0,804; p: 0,002) also neutrophil counts and the level of MMP-9 (r : 0,741 ; p : 0,006) in the smoker's bronchoalveolar lavage fluid.
Conclusion : The result showed that there was correlation among macrophage counts, neutrophil , and the level of MMP-9 in the smoker's bronchoalveolar lavage fluid."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21356
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathaniel Jason Zacharia
"Tingginya jumlah perokok aktif di kalangan pelajar. Merokok adalah penyebabnya dari beberapa kondisi keluhan pernafasan dan faktor risiko untuk beberapa kasus: fungsi paru-paru. Inkonsistensi antara dampak negatif merokok dan prevalensi tingkat merokok yang tinggi membuat penelitian tentang hubungan antara kebiasaan merokok dan Keluhan gejala pernafasan dan fungsi paru perlu dilakukan.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok dengan fungsi dan gejala paru-paru pernapasan pada siswa di Depok.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan instrumen kuesioner penelitian dan alat uji. Kuesioner yang digunakan terdiri dari ATS. daftar pertanyaan (American Thoracic Society) untuk gejala pernapasan dan kuesioner Indeks Brinkman untuk kebiasaan merokok. Alat uji yang digunakan adalah spirometer merek EasyOne® Air
spirometer. Penelitian ini diikuti oleh 116 siswa laki-laki perokok aktif di Depok. Data yang telah diperoleh dianalisis menggunakan uji non parametrik Mann-Whitney, T-test independen, dan korelasi bivariat Spearman. Hasil: Hasil analisis statistik dari 116 subjek menunjukkan mayoritas siswa adalah perokok aktif di Depok masih dalam kategori kebiasaan merokok ringan (96,56%) dan memiliki keluhan gejala pernafasan (74,14%). Ada siswa yang perokok aktif mengalami gangguan fungsi paru sebanyak 15,5%. Namun, secara statistik tidak ditemukan
hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok pada mahasiswa perokok dengan keluhan gejala pernapasan dan gangguan fungsi paru.

The high number of active smokers among students. Smoking is the cause of several respiratory conditions and a risk factor in some cases: lung function. The inconsistency between the negative impact of smoking and the prevalence of high smoking rates makes research on the relationship between smoking habits and complaints of respiratory symptoms and lung function necessary.
Objective: To determine the relationship between smoking habits and respiratory lung function and symptoms in students in Depok.
Methods: This study used a cross-sectional method with research questionnaire instruments and test equipment. The questionnaire used consisted of ATS. questionnaire (American Thoracic Society) for respiratory symptoms and a Brinkman Index questionnaire for smoking. The test equipment used is the EasyOne® Air brand spirometer spirometer. This study was followed by 116 male students who were active smokers in Depok. The data obtained were analyzed using the Mann-Whitney non-parametric test, independent T-test, and Spearman bivariate correlation. Results: The results of statistical analysis of 116 subjects showed that the majority of students were active smokers in Depok who were still in the category of light smoking habits (96.56%) and had complaints of respiratory symptoms (74.14%). There are students who are active smokers have lung function disorders as much as 15.5%. However, statistically not found There is a significant relationship between smoking habits in student smokers with complaints of respiratory symptoms and impaired lung function.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rowella Octaviani
"Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku merokok staf administrasi pria di UI tahun 2009, dengan disain potong lintang dan metode tidak acak accidental sampling. Lebih dari setengah (56%) responden adalah perokok dan 37,5% dari mereka adalah perokok berat (>10 batang/hari). Pengetahuan responden mengenai penyakit akibat rokok sudah cukup baik namun mereka masih belum memahami zat-zat yang terkandung dalam rokok. Sikap staff administrasi terhadap perokok pasif, peraturan mengenai KTR dan pelarangan iklan, cukup positif. Namun mereka masih saja merokok di lingkungan kampus. Hal ini disebabkan rokok masih diperdagangkan di lingkungan kampus UI, harga rokok masih murah dan belum terlaksananya peraturan KTR di kampus UI. Saran, perlu dibuat peraturan yang melarang penjualan rokok di kampus UI dan UI menerapkan peraturan KTR disertai dengan pengawasan yang ketat dan pemberian sanksi yang tegas."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rabbani
""ABSTRAK
"
Rokok mengandung bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat memicu timbulnyaberbagai macam penyakit dan menimbulkan risiko kematian. Rokok tidak hanyadikonsumsi oleh orang dewasa, namun juga pada anak-anak. Oleh karena itu, diperlukantindakan untuk mengurangi populasi individu yang merokok dengan program rehabilitasi.Dalam penelitian ini, dibahas model penyebaran perokok pada populasi dewasa dan anakdengan pengaruh rehabilitasi. Populasi dibagi menjadi dua, yaitu dewasa dan anak. Keduapopulasi tersebut masing-masing memiliki populasi individu yang tidak mempunyaikebiasaan merokok, populasi individu yang merokok, dan populasi perokok yangdirehabilitasi. Terdapat juga populasi individu yang berhenti merokok secara permanen.Dari analisis model, diperoleh dua titik kesetimbangan, yaitu titik kesetimbangan bebasperokok serta eksistensi dari titik kesetimbangan endemik perokok. Simulasi terhadapmodel dilakukan untuk mendukung analisis kestabilan titik kesetimbangan model.
"
"
"ABSTRACT
"
Cigarette contains hazardous chemicals that can cause various diseases and increase therisk of death. Cigarette is not only consumed by adult, but also by children. Therefore, itis required an effort to reduce the amount of smokers by rehabilitation program. Thisresearch discuss about mathematical model for spread of smokers in adult and childpopulation with rehabilitation effect. Population is divided into two big population, adultand children. In each population there are population who does not have a smoking habbit,population of smokers, and population who following the rehabilitation program. Thereis also a population who stop smoking permanently after following the rehabilitationprogram. This model have two equilibrium points. First is smokers free equilibrium pointand second is analyzing the existence of endemic equilibrium point. Simulations for themodel is conducted to verify the stability of equilibrium point from the model."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Z. Mewar
"ABSTRAK
Perilaku sehat seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satunya ialah gaya hidup yang dijalankan oleh orang tersebut. Kebiasaan merokok, yang biasanya dimulai pada masa remaja, merupakan salah satu bentuk gaya hidup yang diketahui memberikan dampak negatif yang cukup berbahaya, terutama terhadap kesehatan tubuh. Karena alasan itulah, maka diperlukan tindakan pencegahan sedini mungkin terhadap kebiasaan ini. Salah satu tindakan preventifnya ialah dengan tidak memulai kebiasaan ini sama sekali, misalnya dengan menahan diri dari keinginan untuk mencoba merokok. Namun kemampuan setiap orang untuk melakukan hal ini bisa berbeda-beda. Salah satu hal yang dapat menimbulkan perbedaan ini ialah persepsi seseorang akan kemampuannya dalam menahan diri dari keinginan tersebut. Keyakinan seseorang akan kemampuannya melakukan suatu hal disebut sebagai self-efficacy. Mengingat perilaku ini biasanya dimulai pada masa remaja, maka perlu diketahui apakah remaja perokok dan bukan perokok mempersepsikan dirinya memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan preventif tersebut. Oleh sebab itulah penelitian ini dilakukan yang bertujuan melihat apakah terdapat perbedaan keyakinan dalam kemampuan menahan diri dari keinginan untuk mencoba merokok antara remaja perokok dan remaja yang bukan perokok. Penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan 2 skala summated rating yang mengukur self-efficacy secara umum dan self-efficacy dalam menahan diri dari keinginan untuk mencoba merokok Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah incidenlal sampling. Partisipan yang diikutsertakan sebanyak 62 orang dengan rentang usia 16-19 tahun, yang semuanya adalah siswa SMU di Jakarta, terdiri dari remaja perokok dan bukan perokok. Seluruh data yang diperoleh diuji reliabilitasnya yang kemudian dilanjutkan dengan pengujian hipotesa berupa uji t-test dan korelasi antara kedua skala.
Hasil penelitian menunjukkan adanya tingkat self-efficacy dalam menahan diri dari keinginan untuk mencoba merokok yang lebih tinggi pada kelompok bukan perokok dibandingkan kelompok perokok. Namun tidak ditemukan perbedaan dalam selfefficacy umum antara kedua keompok tersebut. Perhitungan korelasi antara skala yang mengukur self-efficacy umum dan skala yang mengukur self-efficacy dalam menahan diri dari keinginan untuk mencoba merokok ternyata tidak menunjukkan adanya hubungan yang positif antara kedua skala tersebut.
Dapat disimpulkan lebih jauh remaja bukan perokok lebih yakin akan kemampuannya untuk menahan diri dari keinginan untuk mencoba merokok daripada remaja perokok. Hal ini menunjukkan bahwa adanya peran self-effcacy dalam tampil tidaknya suatu perilaku, yang dalam hal ini adalah perilaku merokok atau tidak merokok. Usaha dan perhatian yang lebih serius diperlukan untuk dapat mencegah bertambahnya jumlah perokok. Terutama bagi pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan remaja, disarankan untuk membantu remaja untuk meningkatkan self-efficacy-nya dalam menahan diri dari keinginan untuk mencoba merokok. Hasil penelitian ini hanya berlaku bagi sampel penelitian ini, sehingga untuk menggeneralisasi hasilnya diperlukan sampel yang tepat dengan jumlah yang lebih besar, serta metode sampling yang memungkinkan setiap individu dalam populasi berkesempatan untuk menjadi partisipan penelitian. Selain itu, perlu dilakukan perbaikan instrumen, dengan memperbaiki perumusan item-item pernyataan dalam skala, agar kelak diperoleh hasil yang lebih tajam dan akurat."
2002
S3107
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Florencia Natasya Putri Saraswati
"Latar Belakang: Rokok merupakan salah satu faktor risiko utama periodontitis dengan peningkatan resiko sebesar 2 hingga 8 kali lipat lebih tinggi terkait resiko kehilangan perlekatan klinis. Namun, belum ada penelitian mengenai distribusi elemen gigi yang mengalami periodontitis kronis pada perokok terutama di Indonesia.
Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui distribusi elemen gigi yang mengalami periodontitis kronis dengan parameter kehilangan perlekatan klinis pada perokok.
Metode: Penelitian observasi deskriptif retrospektif menggunakan data sekunder dari 138 rekam medik dengan subjek periodontitis kronis yang merokok di klinik integrasi RSKGM FKG UI periode 2010 sampai 2017.
Hasil: Subjek merupakan 56 perokok ringan, 45 perokok sedang, dan 37 perokok berat. Frekuensi periodontitis kronis tertinggi terjadi pada rahang bawah pada perokok ringan (54,4%), serupa pada perokok sedang (53,34%), serta perokok berat (51,48%). Posterior maksila mengalami periodontitis kronis tertinggi pada perokok ringan (31,21%), sedang (28,44%), dan berat (30,28%). Premolar mengalami periodontitis kronis tertinggi pada perokok ringan (30,24%), sedang (30,29%) dan berat (31,21%). Elemen gigi dengan frekuensi periodontitis kronis tertinggi adalah gigi 33 pada perokok ringan (4,68%), gigi 43 pada perokok sedang (4,79%), dan pada perokok berat adalah gigi 34 (4,59%). Frekuensi kehilangan perlekatan klinis tertinggi pada perokok ringan adalah sisi mesial gigi 42 (1,44%), pada perokok sedang adalah sisi mesial gigi 41 (1,45%), dan pada perokok berat adalah sisi mesial gigi 43 (1,39%).
Kesimpulan: Periodontitis kronis pada perokok paling banyak terjadi pada rahang bawah, regio posterior maksila, dan kelompok gigi premolar. Elemen gigi dengan periodontitis kronis terbanyak terdapat pada gigi 33, gigi 43, dan gigi 34. Sisi dengan frekuensikehilangan perlekatan klinis tertinggi pada penderita periodontitis kronis adalah sisi mesial gigi 42, sisi mesial gigi 41, dan sisi mesial gigi 43.

Background: Cigarette smoking is one of the main risk factors for periodontitis with an increased risk of 2 to 8 times higher in clinical attachment loss. However, no study has examined the distribution of each element of tooth that has chronic periodontitis in smokers, especially in Indonesia.
Objective: Determine the distribution of affected teeth with chronic periodontitis in smoker with clinical attachment loss as a parameter.
Method: This retrospective descriptive observational study was conducted using 138 periodontal medical records of smokers chronic periodontitis subjects in RSKGM FKG UI periode of 2010 to 2017.
Results: Subjects consisted of 56 light smokers, 45 moderate smokers, and 37 heavy smokers. The frequency of chronic periodontitis is higher in lower jaw teeth (54,4%), and similar to moderate smokers (53,34%), and heavy smokers (severe category) (51,48%). Posterior maxilla is the highest frequency in light smokers (31,21%), also in moderate smokers (28,44%), as well as in heavy smokers (30,28%). The premolar group (30,24%) has highest periodontitis in light smokers, as in moderate smokers (30,29%) and in heavy smokers (31,21%). The most frequent tooth affected by chronic periodontitis in light smokers is lower left canine (4,68%), while in moderate smokers is lower right canine (4,79%), and in heavy smokers is lower first premolar (4,59%). The highest frequency of clinical attachment loss in light smokers patient is the mesial surface of lower right lateral incisor (1,44%), in moderate smokers is the mesial surface of lower right central incisor (1,45%), and in heavy smokers is the mesial surface of lower right canine (1,39%).
Conclusion: Chronic periodontitis in smokers mostly occurs in the lower jaw, posterior maxilla region, and in the premolar group. Element of tooth most frequently affected by chronic periodontitis are lower left canine, lower right canine, and lower first premolar. The surface of the teeth with most clinical attachment loss are mesial surface of lower right lateral incisor teeth, the mesial side of lower right central incisor, and the mesial side of lower right canine.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gede Erwin Wamilta
"Rokok merupakan salah satu industri yang besar dan memiliki pengaruh yang luas bagi perekonomian Indonesia, berdasarkan data Survey Kesehatan Nasional (Sukernas) tahun 2001, 69% dari laki-laki dewasa di Indonesia merokok. Sebuah angka yang termasuk fantastis mengingat jumlah penduduk Indonesia,yang mencapai 200 juta jiwa, dan 50% dari Jumlah penduduk tersebut adalah pria.
Selain memiliki potensi yang sangat besar dalam sisi ekonomi, Merokok juga memiliki potensi merusak yang besar, tidak hanya pada perokok sendiri tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Biaya yang ditanggung pemerintah untuk menyembuhkan orang yang terkena efek negatif dari rokok tidaklah sedikit, ditambah dengan kerugiankerugian yang tidak kasat mata, seperti berkurangnya kualitas kesehatan pada penduduk usia produktif yang memiliki pengaruh terhadap kualitas kerja.
Selain aktif meningkatkan kesadaran para perokok dan masyarakat mengenai bahaya dari kebiasaan merokok, Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah juga dilakukan dalam bentuk peraturan yang membatasi perusahaan rokok untuk mempromosikan produk mereka dan juga beberapa peraturan yang membatasi para perokok untuk merokok.
Dengan diberlakuan peraturan-peraturan ini. pihak pemerintah tentunya berharap dapat menekan jumlah perokok schingga dapat mengurangi dampak negatif yang diakibatkannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji seberapa efektif peraturan yang dibuat oleh pemerintah, terutama dalam hal ini Perda DKI Jakarta no 2 tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara dalam mempengaruhi perilaku perokok di tempat umum.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh pembatasan-pembatasan yang dilakukan pemerintah mempengaruhi perilaku perokok, terutama untuk mengidentifikasi apakah peraturan-peraturan terutama Perda no 2/2005 mengenai Larangan merokok di tempat umum berpengaruh pada konsumsi perokok_ Dan juga mengkaji persepsi konsumen tehadap penerapan Perda no 2/2005.
Pemberlakuan Perda No2/2005, diawali oleh sosialisasi balk yang dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta, Proses sosialisasi tersebut menghasilkan persepsi diantara konsumen mengenai Perda tersebut bahkan sebelum Perda tersebut diberlakukan. Beberapa persepsi kemudian berubah seiring dengan pemberlakuan Perda tersebut, dan ada bebeberapa persepsi konsumen tidak berubah.
Diantara beberapa persepsi konsumen yang berubah setelah pemberlakuan Perda antara lain:
1. Perokok akan kesulitan menemukan tempat khusus untuk merokok,
2. Peraturan ini akan mengurangi jumlah perokok pasif
3. Peraturan ini akan membantu perokok untuk berhenti merokok.
4. Peraturan ini akan mengurangi jumlah perokok.
Pemberlakuan Peraturan Perundang-undangan yang baru sudah selayaknya didahului oleh proses sosialisasi yang baik. Proses sosialisasi akan sangat ideal jika didahului oleh sebuah baseline Survey. sehingga bisa didapatkan indikator awal. Indikator awal ini akan sangat berguna bagi penentuan berhasil atau tidaknya proses sosialisasi yang dilakukan.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sampel yang diambil relatif kecil dan tidak mewakili Jakarta secara keseluruhan, sehingga sebuah survey yang lebih besar dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif.

Cigarette is one of the biggest industries in Indonesia and thus having a significant influence to the Indonesian economy. Based on Survey conducted by Kesehatan Nasional (Sukeernas) which was held in 2001, around 69% of the adult male population in Indonesia is a smoker. The figure is quite fantastic, considering the total population of Indonesia is about 200 million and 50% of are male.
Besides having a big potential from an economic point of view, smoking has some negative effects, not only to smokers but also to society as a whole. The expense paid by the government to heal the people who are affected by the negative factors of smoking is not small. In addition to that is an invisible detriment, such as the descending health quality among productive age people which has a negative consequence on their working quality.
Besides actively trying to increase the awareness level to smokers and society about the dangers of smoking behavior, the government also initiates regulations which are intended to curtail the cigarette producers to promote their products and regulations to curtail the smokers to smoke in public areas.
By adopting these rules, the government endeavors to reduce the number of smokers and also to reduce the negative effect of smoking. This research is intended to asses how effective the regulations are, especially the "Perda DKI Jakarta no 2 tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara dalarn mempengaruhi perilaku perokok di tempat umum." Furthermore the research investigates the consumer's perception toward the bill.
Prior to the implementation of the bill, the government had already conducted some socialization process. The results of this process are perception among consumers toward the bill. Some of these perceptions are changing with time, and some are not.
Some perceptions which altered after the implementation of the bill are as follows:
1. Smokers will have a difficulty to find a special place to smoke.
2. The bill will reduce the number of passive smokers.
3. The bill will help smokers quit smoking
4. The bill will reduce the number of smokers.
The survey is far from ideal, since the sample number is relatively small and conducted in a limited area of Jakarta. Therefore a big scale survey will give a more comprehensive findings.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Untari
"Merokok merupakan faktor resiko penyakit tidak menular yang dapat menyebabkan kesakitan pada individu maupun orang lain yang terpapar asap rokok. Data WHO di Indonesia pada tahun 2015 menyatakan prevalensi perokok aktif disemua kalangan usia sebanyak 51,1%. Kemudian data GYTS pada tahun 2009 menyatakan perokok remaja sebesar 57,8% pada laki-laki dan 6,4% pada perempuan. 72,5% remaja menyatakan setuju bahwa asap  rokok berpengaruh buruk terhadap kesehatan, namun pertanyaan ini bertolak belakang dengan peningkatan trend usia merokok pada kalangan remaja usia 13-15 tahun sebesar 36,3% pada tahun 2007, 43,3% pada tahun 2010, dan 55,4% pada tahun 2013. Pada penelitian sebelumnya, perilaku merokok remaja juga dihubungkan dengan faktor stress, bully, dan pemantauan orang tua. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan variabel independen yaitu gangguan mental, bully, dan pemantauan orang tua dengan variabel dependen yaitu perilaku merokok pada remaja di Indonesia dengan menggunakan desain studi cross sectional dan data sekunder dari survey global kesehatan pelajar berbasis sekolah pada tahun 2015 yang di teliti oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia (Litbangkes RI). Sampel penelitian yang digunakan adalah total sampling yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan ekklusi, yang kemudian data akan dianalisis secara univariat, bivariat, dan multivariat. Hasil kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya hubungan antara gangguan mental dan bully dengan perilaku merokok pada remaja, serta tidak adanya hubungan pemantauan orang tua dengan perilaku merokok pada remaja.

Smoking is a risk factor for non-communicable diseases that can cause pain in individuals and other people who are exposed to cigarette smoke. WHO data in Indonesia in 2015 stated that the prevalence of active smokers in all ages was 51.1%. Then the GYTS data in 2009 stated that adolescent smokers were 57.8% in men and 6.4% in women. 72.5% of adolescents agree that cigarette smoke adversely affects health, but this question contrasts with an increase in the trend of smoking age among adolescents aged 13-15 years by 36.3% in 2007, 43.3% in 2010, and 55.4% in 2013. In previous studies, adolescent smoking behavior was also associated with stress factors, bullying, and parental monitoring. The purpose of this study was to analyze the relationship of independent variables namely mental disorders, bullying, and monitoring of parents with dependent variables namely smoking behavior in adolescents in Indonesia by using a cross sectional study design and secondary data from the 2015 global survey of school-based student health examined by the Health Research and Development Agency of the Republic of Indonesia (Litbangkes RI). The research sample used was total sampling which had fulfilled the inclusion and exclusion criteria, which then the data would be analyzed by univariate, bivariate, and multivariate. The conclusion of this study is the relationship between mental disorders and bullying with smoking behavior in adolescents, as well as the absence of a relationship between monitoring parents and smoking behavior in adolescents."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Arif Musoddaq
"ABSTRAK
Merokok berbahaya bagi perokok aktif maupun perokok pasif (Aditama, 2001).
Asap rokok mengandung nikotin yang dapat memicu aktivitas kelenjar tiroid pada
manusia (Utiger, 1998). Wanita lebih rentan mengalami hipertiroid (Greenspan
and Baxter, 1994). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
status merokok dengan kejadian hipertiroid pada pasien wanita usia subur di
Klinik Balai Litbang GAKI Magelang tahun 2013-2014. Penelitian dilakukan
dengan disain kasus-kontrol. Penelitian melibatkan 51 responden pasien wanita
usia subur penderita hipertiroid dan 102 responden pasien wanita usia subur
dengan fungsi tiroid normal (eutiroid). Pengumpulan data dilakukan pada status
merokok, umur, penggunaan kontrasepsi hormonal, melahirkan 1 tahun terakhir,
tingkat stres, dan kebiasaan penggunaan garam beriodium rumah tangga
responden. Data dianalisa menggunakan uji regresi logistik. Pasien wanita usia
subur terpajan asap rokok baik perokok aktif atau pasif berisiko mengalami
hipertiroid 2,05 kali dari risiko pasien wanita usia subur di Klinik Balai Litbang
GAKI Magelang setelah dikontrol variabel kontrasepsi hormonal dan tingkat
stres. Menggunakan kontrasepsi hormonal menurunkan risiko hipertiroid,
sedangkan stres berat meningkatkan risiko hipertiroid. Wanita usia subur
hendaknya menghindari pajanan asap rokok dan melakukan manajemen stres
untuk mengurangi faktor risiko hipertiroid.

ABSTRACT
Smoking is harmful to the active smokers and passive smokers (Aditama, 2001).
Tobacco smoke contains nicotine, chemical that are known can lead
hyperthyroidism in human (Utiger, 1998). This study aimed to determine the
relationship between smoking status on hyperthyroidism in patients of
childbearing age women in the Clinic of IDD (Iodine Deficiency Disorders)
Research Center, Magelang in 2013-2014. The study was conducted with a casecontrol
design. The study involved 51 childbearing-age women patients with
hyperthyroidism patients and 102 childbearing-age women patients with normal
thyroid function (euthyroid). Data collection was conducted on smoking status,
age, hormonal contraceptive use, giving birth in the past one year, the level of
stress, and the habits of the use of iodized salt in the household. Data were
analyzed using logistic regression. Chiilbearing-age women patients who were
active/passive smokers at risk of hyperthyroidism 2.05 times the risk of
childbearing-age women patients in the Clinic of Iodine Deficiency Disorders
(IDD) Research Center, Magelang after controlled by hormonal contraceptives
and stress levels variables. Use of hormonal contraceptives reduce the risk of
hyperthyroidism, whereas severe stress increases the risk of hyperthyroidism.
Childbearing-age women should avoid exposure to cigarette smoke and do stress
management to reduce risk factors for hyperthyroidism."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T42777
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>