Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100049 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Verawati Sulaiman
"Latar Belakang: Community Acquired Pneumonia (CAP) merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Bakteri atipikal (Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumaniae, Legionella pneumophila) sebagai penyebab penting CAP. Sejauh ini belum ada pemeriksaan mikrobiologi yang rutin dilakukan sehingga perlu pengembangan uji, salah satunya metode molekuler multiplex real time PCR. .
Tujuan: Melakukan optimasi uji multiplex real time PCR untuk mendeteksi secara simultan dan cepat C.pneumoniae, L.pneumophila dan M.pneumoniae pada sputum pasien CAP.
Metode: Penelitian ini merupakan uji eksperimental laboratorium yang terdiri atas 3 tahap. Tahap 1 meliputi optimasi suhu penempelan, primer, probe, volume elusi akhir dan cetakan DNA. Tahap 2 untuk menentukan batas ambang deteksi DNA dan reaksi silang. Tahap 3 adalah penerapan uji multiplex real time PCR pada spesimen sputum pasien CAP.
Hasil: Uji multiplex real time PCR telah berhasil dioptimasi dengan ambang batas minimal deteksi DNA untuk Chlamydia pneumoniae, Legionella pneumophila dan Mycoplasma pneumaniae adalah 1855, 3185 dan 130 kopi DNA. Uji ini tidak bereaksi silang dengan mikroorganisme yang berpotensi menimbulkan reaksi positif palsu. Sebanyak 134 sputum telah diuji dan ditemukan positif M.pneumoniae sebanyak 1 spesimen (0,74 %).
Kesimpulan: Uji multiplex real time PCR dapat mendeteksi C.pneumoniae, M.pneumoniae, dan L.pneumophila secara simultan pada sputum pasien CAP.

Background: Community Acquired Pneumonia (CAP) is one of the leading causes of morbidity and mortality in the world. Atypical bacteria (Chlamydia pneumoniae, Legionella pneumophila, Mycoplasma pneumaniae) are the important causes of CAP. In daily clinical practice, detection of atypical bacteria are sometimes neglected due to the limited standard test available. The real time multiplex PCR methode can be used as an alternative test for the detection of atypical bacteria.
Objective: Optimization of the multiplex real time PCR test to simultaneously detect C.pneumoniae, L.pneumophila and M.pneumoniae in CAP patients.
Methods: This study is experimental laboratory test that conducted in three phases. The first is optimization of annealing temperature, primers dan probe concentration, final elution of DNA extraction and volume of PCR templete. The second is determination of minimal detection of DNA and cross reaction of optimized real time PCR multiplex. The third is application of real time PCR multiplex in sputum clinical specimen patient with CAP.
Results: The multiplex real time PCR test was successfully optimized for annealing temperature, concentration of primer both forward and reverse, probes concentration and inhibitor. Limit detection of the DNA Chlamydia pneumoniae, Legionella pneumophila and Mycoplasma pneumaniae were 1855 copies, 3185 copies and 130 copies DNA. This test also showed no cross reaction to microorganisms that have potential to cause false positives. A total of 134 sputum clinical specimens have been tested with this method and only one sample (0,74%) was positive M.pneumoniae.
Conclusion: The multiplex real time PCR assay can detect C. pneumoniae, M. pneumoniae, and L. pneumophila simultanously in sputum of patients with Community Acquired Pneumonia (CAP)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Adi Firmansyah, examiner
"[Latar Belakang: Pneumonia komunitas masih merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak untuk penyakit infeksi, baik di negara maju ataupun negara berkembang. Pengetahuan tentang prediktor mortalitas dapat membantu pengambilan keputusan klinis untuk tatalaksana pasien. Penelitian terdahulu mengenai prediktor mortalitas di luar negeri sebagian besar dilakukan pada usia lanjut dan hanya ditemukan satu penelitian mengenai faktor-faktor prediktor mortalitas di Indonesia namun juga terbatas pada usia lanjut.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor mortalitas pasien pneumonia komunitas dewasa di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien rawat inap dewasa RSCM yang didiagnosis pneumonia komunitas selama tahun 2010– 2014. Data klinis dan laboratorium beserta status luaran (hidup atau meninggal) selama perawatan diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-square dilakukan pada sepuluh variabel prognostik, yakitu kelompok usia, penurunan kesadaran, komorbiditas (skor Charlson Comorbidity Index – CCI >5), sepsis, gagal napas, pneumonia berat, kadar hemoglobin <9 g/dL, hitung leukosit <4.000/ul atau >20.000/ul, kadar albumin <3 g/dL, dan kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dL. Data yang tidak lengkap diatasi dengan teknik multiple imputation. Variabel yang memenuhi syarat akan disertakan pada analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Subjek penelitian terdiri dari 434 pasien. Mortalitas selama perawatan sebesar 23,9%. Sebanyak 197 (45,4%) pasien adalah laki-laki dan 237 (54,6%)pasien adalah perempuan. Median usia pasien 58 tahun (rentang 18 sampai 89)tahun dan median lama perawatan adalah 8 (rentang 1 sampai 63) hari. Patogen tersering dari hasil kultur sputum adalah Klebsiella pneumoniae (28%). Prediktor mortalitas independen yang bermakna pada analisis multivariat adalah pneumonia berat (OR=29,42; IK 95% 20,81 sampai 41,58), sepsis (OR=3,65; IK 95% 2,57 sampai 5,19), gagal napas (OR=3,2; IK 95% 1,9 sampai 5,37), skor CCI >5 (OR=2,25; IK 95% 1,6 sampai 3,15) dan kadar albumin <3 g/dL (OR=1,42; IK 95% 1,04 sampai 1,95).
Simpulan: Pneumonia berat, gagal napas, sepsis, skor CCI >5, dan kadar albumin <3 g/dL merupakan pediktor independen mortalitas pasien pneumonia komunitas dewasa saat rawat inap., Background: Community-acquired Pneumonia (CAP) is one of the causes of death from infectious disease in the developed or developing countries. The prediction of outcome is important in decision-making process. Previous studies of predictors of mortality in overseas mostly in elderly and only found one previous study in Indonesia, but also limited in the elderly.
Objective: To determine the predictors of mortality in hospitalized patients with CAP in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia.
Methods: We performed a retrospective cohort study among hospitalized patients with CAP in Cipto Mangunkusumo Hospital between 2010–2014. Data were collected at initiation of hospitalized period and the main outcome was all-cause mortality during hospitalization. We analyzed age, decreased of consciousness, comorbidity (represented as Charlson Comorbidity Index – CCI), sepsis, respiratory failure, severe pneumonia, hemoglobin level <9 g/dL, leucocyte count <4.000/ul or >20.000/ul, albumin level <9 g/dL, and blood glucose level >200 mg/dL in bivariate analysis using Chi-Square test. Missing data were handled using multiple imputation. Multivariate logistic regression analysis was performed to identify independent predictors of mortality.
Results: A total of 434 patients were evaluated in this study. In-hospital mortality rate was 23.9%. There were 197 (45,4%)male and 237 (54,6%) female patients. Median age of population was 58 (range 18 to 89) years old and median length of stay was 8 (range 1 to 63) days. The commonest pathogen was Klebsiella pneumoniae (28%). The independent predictors of mortality in multivariate analysis were severe pneumonia (OR 29.42; 95% CI 20.81 to 41.58), sepsis (OR 3.65; 95% CI 2.57 to 5.19), respiratory failure (OR 3.2; 95% CI 1.9 to 5.37), CCI score >5 (OR 2.25; 95% CI 1.6 to 3.15) and albumin level <3 g/dL (OR 1.42; 95% CI 1.04 to 1.95).
Conclusion: Severe pneumonia, respiratory failure, sepsis, CCI scores >5, and albumin level <3 g/dL were independent predictors of in-hospital mortality among hospitalized patients with CAP.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vilna Octiariningsih
"Community-Acquired Pneumonia CAP adalah penyakit sistem pernapasan yang menyerang jaringan parenkim paru. Penyakit ini banyak mengancam individu dewasa dengan penurunan sistem imun. Penderita CAP mengalami peningkatan setiap tahunnya akibat peningkatan polusi udara yang berada di wilayah perkotaan, terutama pada kawasan industri. Penderita CAP akan mengalami peningkatan produksi sputum yang berujung pada kesulitan dalam mengeluarkan sputum. Pasien dengan CAP sering mengalami penurunan refleks batuk yang membuat sputum terakumulasi di jalan napas sehingga menyebabkan peningkatan usaha untuk bernapas. Fisioterapi dada merupakan salah satu teknik pembersihan jalan napas pada pasien dengan penurunan refleks batuk.
Karya Ilmiah Akhir Ners ini bertujuan untuk menganalisis intervensi fisioterapi dada untuk mengurangi gejala serta mencegah perburukan pada pasien dengan CAP. Metodologi yang digunakan adalah metode studi kasus dan analisa penelitian yang telah ada. Hasil analisa yang didapatkan menunjukkan fisioterapi dada dapat menurunkan usaha napas pasien, pengurangan episode demam, perubahan karakteristik sputum, serta penuruan persentase mortalitas melalui skoring CURB-65.

Community Acquired Pneumonia CAP is a respiratory disease that attacks the pulmonary parenchymal tissue. This disease threatens many adults with decreased immune system. CAP sufferers are increasing every year due to increasing air pollution in urban areas, especially in industrial areas. CAP sufferers will experience an increase in sputum production that leads to difficulties in removing sputum. Patients with CAP often have decreased cough reflexes that make sputum accumulate in the airway causing increased effort to breathe. Chest physiotherapy is one of the airway cleansing techniques in patients with decreased cough reflexes.
This Final Scientific Work of Ners aims to analyze the interventions of chest physiotherapy to reduce symptoms and prevent worsening of patients with CAP. The methodology used is the case study method and the existing research analysis. The results obtained showed chest physiotherapy can decrease the patient 39 s breathing effort, reduction of febrile episodes, changes in sputum characteristics, as well as the percentage of mortality by scoring CURB 65.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Dharmawan
"ABSTRAK
Pneumonia komunitas Community Acquired Pneumonia, CAP merupakan penyakit infeksi yang sering terjadi dan merupakan masalah kesehatan, menempati peringkat ke lima sebagai penyebab kematian global. Etiologi CAP dapat ditemukan hanya pada 30 ndash; 50 kasus menggunakan metode konvensional. Pemberian tatalaksana awal antibiotika pada CAP menggunakan metode terapi empirik berdasarkan educated guess atau data antibiogram lokal. Pewarnaan Gram sputum merupakan metode yang sederhana dan murah untuk secara cepat memperkirakan etiologi mikroba pneumonia. Penelitian ini dilakukan secara prospektif untuk melakukan evaluasi hasil pemeriksaan mikroskopik sputum dengan pewarnaan Gram untuk menetapkan dugaan etiologi pneumonia komunitas pada pasien rawat inap di RSUD Budhi Asih. Dari 100 sampel sputum yang sudah diseleksi kelayakannya, dinilai lagi kelayakannya menurut kriteria ASM 94 sampel , Bartlett rsquo;s 100 sampel dan Musher dkk 96 sampel . Setelah dilakukan pemeriksaan kultur, PCR dari 100 sampel, 65 sampel diketahui penyebabnya, sedangkan 35 sampel tidak diketahui, namun 10 diantaranya BTA positif. Patogen yang ditemukan adalah Klebsiella pneumoniae 29,6 , Acinetobacter baumanii 10,2 , Enterobacter cloacae, Pseudomonas aeruginosa dan Staphyloccocus aureus 4,6 , Moraxella catarrhalis 3,7 , Enterobacter aerogenes dan Escherichia coli 2,8 , Streptococcus pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae 1,9 , Citrobacter koseri 0,9 . Penilaian kelayakan sputum dapat menggunakan kriteria Bartlett rsquo;s karena kriteria ini yang lebih longgar sehingga penolakan spesimen sputum lebih sedikit dan hasil yang didapat tidak berbeda secara signifikan

ABSTRACT
Community Acquired Pneumonia CAP is an infectious disease that often occurs and is a health problem, ranked fifth as the cause of global death. The etiology of CAP can be found in only 30 50 of cases using conventional methods. Administration of early antibiotic treatment in CAP using empirical therapy method, based on educated guess or local antibiogram data. Sputum Gram staining is a simple, rapid and cheap method to estimate the etiology of bacterial pneumonia. This study was conducted prospectively to evaluate the results of sputum microscopic examination with Gram staining to establish the alleged etiology of community acquired pneumonia in inpatients at RSUD Budhi Asih. From 100 selected sputum samples eligible, they were re assessed according to ASM criteria 94 samples , Bartlett 39 s 100 samples and Musher et al 96 samples . After culture examination and PCR detection from100 samples, 65 samples can be identified the etiology, while 35 samples cannot be identified, but 10 samples are positive AFB. Pathogens found were Klebsiella pneumoniae 29,6 , Acinetobacter baumanii 10,2 , Enterobacter cloacae, Pseudomonas aeruginosa and Staphyloccocus aureus 4,6 , Moraxella catarrhalis 3,7 , Enterobacter aerogenes and Escherichia coli 2,8 , Streptococcus pneumoniae and Mycoplasma pneumoniae 1,9 , Citrobacter koseri 0,9 . Assessment of sputum eligibility may use Bartlett 39 s criteria, since it more flexible criteria so that fewer sputum specimens will be rejected and the results obtained do not significantly differ"
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Efata Bilvian Ivano Polii
"Latar belakang : Pneumonia komunitas (PK) merupakan penyakit dengan angka kejadian morbiditas dan mortalitas yang tinggi secara global. Sebagai penyakit infeksi maka respons inflamasi bisa diukur melalui beberapa serum biomarker yang bisa digunakan sebagai prediktor untuk lama rawat. Identifikasi pasien risiko tinggi lama rawat yang panjang dengan menggunakan kombinasi beberapa serum biomarker diharapkan bisa menjadi acuan dalam intervensi yang cepat dan tepat termasuk didalamnya penggunaan antibiotik sehingga berpengaruh pada luaran klinis pasien PK.
Tujuan : Studi ini bertujuan untuk mendapat sistem skoring dengan menggunakan beberapa serum biomarker seperti prokalsitonin, C-reactive protein (CRP), leukosit, asam laktat, D-dimer dan albumin terhadap lama rawat pasien PK sedang berat
Metode : Studi ini menggunakan desain kohort prospektif pasien PK sedang berat yang dirawat di IGD/ICU/HCU RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo periode Mei 2022 s/d Juli 2023. Variabel-variabel prediktor lama rawat pasien PK sedang berat didapatkan dari hasil analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil : Dari total 360 subjek yang memiliki lama rawat > 14 hari sebanyak 204 subjek (56,67%) dan ≤ 14 hari sebanyak 156 subjek (44,44%). Variabel prediktor yang secara konsisten mempengaruhi lama rawat adalah asam laktat dengan RR 1,305 (IK 95% 1,097 – 1,551, p=0,003) dan albumin dengan RR 2,234 (IK 95% 1,164– 2,156, p=0,003). Performa determinan dengan analisis kurva ROC menunjukkan kemampuan prediksi lemah (AUC=0,629). Performa kalibrasi dengan uji Hosmer-Lemeshow test menunjukkan validasi baik (0,562). Biomarker lain yang dianggap signifikan dalam analisis bivariat yaitu prokalsitonin dengan RR 1,481 (IK 95% 1,121-1,954, p=0,006) dan C-reactive protein RR 2,465 (IK 95% 1,141-5,326). Leukosit dan D-dimer tidak dinilai signifikan sebagai biomarker PK sedang berat (p = 0,947).
Simpulan : Terdapat hubungan antara asam laktat dan albumin dengan lama rawat pasien PK sedang berat. Tidak terdapat model skoring lama rawat pasien PK sedang berat.

Background: Community-acquired pneumonia (CAP) is a disease with a high global incidence of morbidity and mortality. As an infectious disease, the inflammatory response can be measured through several serum biomarkers that can be used as predictors for the length of hospital stay (LOS). The identification of patients at high risk for prolonged hospitalization using a combination of several serum biomarkers is expected to serve as a reference for prompt and accurate interventions, including the use of antibiotics, thereby influencing the clinical outcomes of CAP patients.
Objective: This study aims to establish a scoring system using several serum biomarkers such as procalcitonin, C-reactive protein (CRP), leukocytes, lactic acid, D-dimer, and albumin for the length of hospital stay in patients with moderate to severe CAP.
Method: This study employs a prospective cohort design involving patients with moderate to severe CAP treated in the Emergency Department (ED), Intensive Care Unit (ICU), and High-Care Unit (HCU) at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo from May 2022 to July 2023. Variables to predict for the length of hospital stay in patients with moderate to severe CAP were obtained from multivariate analysis using logistic regression.
Results: A total of 360 subjects were included in this study, including 204 subjects (56.67%) with LOS more than 14 days, while 156 subjects (44.44%) had LOS of 14 days or less. The consistently influencing predictor variables for the length of hospital stay were lactate with RR 1.305 (95% CI 1.097–1.551, p=0.003) and albumin with RR 2.234 (95% CI 1.164–2.156, p=0.003). Determinant performance with ROC curve analysis showed weak predictive ability (AUC=0.629). Calibration performance with the Hosmer-Lemeshow test indicated good validation (0.562). Other biomarkers considered significant only in bivariate analysis were procalcitonin with RR 1.481 (95% CI 1.121–1.954, p=0.006) and C-reactive protein with RR 2.465 (95% CI 1.141–5.326). Leukocytes an D-dimer were not considered significant as a biomarker for moderate to severe CAP (p=0.947).
Conclusion: There is a relationship between lactate and albumin with the length of hospital stay in patients with moderate to severe CAP. However, there is no scoring model for the length of hospital stay in these patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurraya Lukitasari
"Community-acquired pneumonia (CAP) adalah suatu peradangan akut pada parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme dan didapat dari masyarakat. Terapi optimal antibiotik extended empiric sering diperdebatkan sehingga penatalaksanaan CAP merupakan tantangan besar bagi para klinisi. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbandingan luaran terapi, efektivitas biaya dan pilihan terapi antibiotik yang baik serta hubungan ketepatan penggunaan dengan biaya antibiotik extended empiric monoterapi dan dualterapi CAP. Desain penelitian ini adalah kohort prospektif dengan waktu pengambilan sampel Juni-September 2018 di ruang boarding IGD RSUP Fatmawati Jakarta. Diperoleh hasil dualterapi tertinggi diberikan pada komorbid gangguan kesadaran. Nilai P=0,643 untuk perbaikan klinis setelah hari ke-5 pemberian antibiotik extended empiric monoterapi dengan dualterapi. Nilai ACER monoterapi lebih rendah (Rp.256.896,36) dibandingkan dualterapi (Rp.609.505,56) dengan antibiotik terbaik yaitu seftriakson serta kombinasi siprofloksasin dan seftriakson. Terdapat hubungan antara ketepatan penggunaan dengan biaya antibiotik extended empiric (r=0,282;P=0,005). Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa antara penggunaan antibiotik monoterapi dengan dualterapi tidak berbeda signifikan dalam luaran klinis setelah hari ke-5 pemberian antibiotik extended empiric, efektivitas biaya monoterapi lebih baik dibandingkan dualterapi dengan pilihan monoterapi terbaik adalah seftriakson dan dapat dipertimbangkan pemberian kombinasi siprofloksasin dan seftriakson pada komorbid gangguan kesadaran serta terdapat kekuatan hubungan sedang antara ketepatan penggunaan dengan biaya antibiotik extended empiric.

Community-acquired pneumonia (CAP) is an acute inflammation of the pulmonary parenchyme caused by microorganisms and obtained from community. Optimal therapy for extended empirical antibiotics is debated so CAP management is still a major challenge. This study aims to analyze the comparison of therapeutic outcomes, cost effectiveness and the best choice of antibiotic therapy also the correlation between the accuracy of use and cost of monotherapy and dualtherapy extended empirical antibiotics in prospective cohort. The sampling time was June-September 2018 in the ED boarding room Fatmawati Hospital, Jakarta. Highest dualtherapy results for unconsciousness comorbid. P value=0,643 for clinical improvement after the 5th day of extended empiric monotherapy and dualtherapy. Monotherapy ACER is lower (Rp 256.896,36) than dualtherapy (Rp.609.505,56), the best antibiotics are ceftriaxone and ciprofloxacin-ceftriaxone. There is a relationship between the accuracy of use and cost of extended empiric antibiotics (r=0,282;P=0,005). It can be concluded that between the use of monotherapy and dualtherapy did not differ significantly in clinical outcomes after the 5th day, cost effectiveness of monotherapy was better than dualtherapy with the best choice was ceftriaxone and consideration of ciprofloxacin-ceftriaxone for unconsciousness comorbid, there is a moderate relationship between the accuracy of use and cost of extended empirical antibiotics."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T52526
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuntjoro Harimurti
"Latar Belakang. Hipoalbuminemia sudah diketahui merupakan faktor prediktor morbiditas dan mortalitas pada pasien usia lanjut dengan pneumonia dan CRP merupakan petanda klinis yang penting pada pneumonia. Namun hubungan antara kadar CRP dengan penurunan kadar albumin, sebagai protein fase akut negatif, saat infeksi akut belum pernah diteliti sebelumnya.
Tujuan. Mendapatkan: (1) perbedaan kadar CRP awal perawatan antara pasien dengan daa tanpa penurunan albumin, (2) perbedaan risiko teradinya penurunan albumin antara pasien dengan kadar CRP awal tinggi dan rendah, dan (3) korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit.
Metodalogi. Stuart potong-lintang dan kohort-prospektif dilakukan pada pasien-pasien usia lanjut (>60 tahun) dengan diagnosis pneumonia komunitas yang dirawat di RSCM, untuk diamati penurunan kadar albuminnya selama 5 hari perawatan. Pasien-pasien dengan keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi kadar albumin dan CRP, serta infeksi selain pn nimcnia komunitas dieksklusi dari penelitian. Penilaian kadar CRP dilakukan pada hari pertama perawatan (cut-off 20 mg/L), sementara penurunan albumin ditentukan dari perubahan kadar albumin selama 5 hari perawatan (cut-off 10%). Analisis statistik dilakukan dengan uji-t independen, uji chi-square, dan uji korelasi sesuai dengan tujuan penelitian.
Hasil Utama. Selama periode April-Juni 2005 terkumpul 26 pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang masuk perawatan di RSCM. Hanya 23 pasien yang menyelesaikan penelitian sampai 5 hari dengan 17 pasien memiliki kadar CRP awal tinggi, dan didapatkan penurunan albumin >10% pada 7 pasien setelah 5 hari perawatan. Terdapat perbedaan rerata kadar CRP hari-1 diantara kedua kelompok (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 1K95% 13,25-186,13 mgfL). Namun tidak didapatkan perbedaan risiko bermakna antara pasien dengan kadar CRP tinggi dengan pasien dengan kadar CRP rendah scat awal dengan terjadinya penurunan albumin saat awal perawatan (RR = 2,12; P = 0,621; 11(95% 0,256-29,07). Tidak didapatkan pula korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan (r = 0,205, P = 0,314)
Kesimpulan. Tingginya kadar CRP awal perawatan berhubungan dengan terjadinya penurunan kadar albumin selama perawatan, namun tidak ada perbedaan risiko terjadinya penurunan albumin selama perawatan antara pasien dengan CRP awal tinggi dan CRP awal rendah, serta tidak ada korelasi antara kadar CRP dan albumin scat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit.

Backgrounds. Hypoalbuminemia widely known as a predictive factor for increasing morbidity and mortality in elderly patients, including with pneumonia; while CRP has known as a clinical marker for pneumonia. But relationship between CRP level with decrease of serum albumin level, as a negative acute-phase protein, during acute infection has never been studied before.
Objectives. To found: (1) CRP level difference between patient with and without decreased of serum albumin level, (2) risk for developing decreased of serum albumin level in patients with high CRP compared to patients with low CRP level, and (3) correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
Methods. Cross-sectional and prospective-cohort studies was conducted in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia that admitted to RSCM, to observed the decreased of serum albumin level in five days of hospitalization. Conditions that known could influence CRP and albumin consentration have been excluded, and other infections as well. CRP level was determined on admission (cut-off 20 mgfL), while decreased of serum albumin was observed for 5 days of hospitalization (cu[-off 10%). Statistical analysis was done by using independent t-test, chi-square test, and correlation test appropriately accord-ing to the objectives of the study.
Main Results. During study period (April to June, 2005) 26 hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia had been included into study, but only 23 of them that finished the study for 5 days. There were 17 patients that have high level of CRP on admission, and 7 patiens that developing decreased of serum albumin level more than 10% in fifth day compared to their serum albumin level on admission. There was significant mean CRP difference among 2 groups (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 95%CI 13,25-186,13 mgfL), but there was no risk difference between patients with high and low CRP level on admission for developing decreased albumin level on fifth day of hospitalization (RR = 2,12; P = 0,621; 95%CI 0,256-29,07). And there was no correlation between CRP and albumin level on admission (r = 0,205, P = 0,314)
Conclusions. Patients with high CRP level on admission tend to have decreased of serum albumin level during hospitalization, but there was no risk difference for developing decreased of serum albumin level between patients with high and low CRP level, and there was no correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Nyoman Indirawati Kusuma
"Latar belakang: Pneumonia komunitas adalah suatu infeksi parenkim paru yang didapat dari luar rumah sakit dan berhubungan secara signifikan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mortalitas pada pneumonia komunitas antara lain karakteristik klinis, temuan radiologi, dan biomarker serum. Identifikasi pasien pneumonia komunitas sedang-berat dengan risiko mortalitas dengan menggunakan kombinasi variabel yang digunakan diharapkan menjadi acuan dalam intervensi yang cepat dan tepat sehingga berpengaruh pada luaran klinis pasien pneumonia komunitas.
Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mendapat sistem skoring dengan menggunakan karakteristik klinis (jenis kelamin, usia, indeks massa tubuh, riwayat merokok, lama tunggu sebelum pemberian antibiotik), temuan radiologi (skor Brixia), dan biomarker serum (prokalsitonin, C-Reactive Protein, leukosit, asam laktat, d-dimer, albumin) terhadap risiko mortalitas pasien pneumonia komunitas sedang-berat.
Metode: Studi ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan subjek pneumonia komunitas sedang-berat yang dirawat di RSPUN Dr. Ciptomangunkusumo. Data diambil dari rekam medis pasien pneumonia komunitas sedang-berat selama bulan Januari 2022 – Desember 2023. Variabel-variabel predikor tingkat mortalitas pasien pneumonia komunitas sedang-berat didapatkan dari hasil analisis multivariat dengan regresi Cox.
Hasil: Total subjek penelitian ini yaitu 277 subjek dengan subjek yang meninggal sebanyak 124 (44,77%) dan subjek yang hidup sebanyak 153 (55,23%). Variabel prediktor yang secara konsisten mempengaruhi risiko mortalitas pada pasien pneumonia komunitas sedang-berat adalah IMT rendah dengan HR 1,789 (IK 95% 1,172 – 2,731), prokalsitonin dengan HR 1,913 (IK 95% 1,301 – 2,813), dan asam laktat dengan HR 1,692 (IK 95% 1,173 – 2,442). Performa determinan dengan analisis kurva ROC menunjukkan kemampuan prediksi moderat (AUC = 0,641). Performa kalibrasi dengan uji Hosmer-Lameshow menunjukkan validasi baik (p = 0,082).
Simpulan: Terdapat hubungan antara IMT, prokalsitonin, dan asam laktat dengan risiko mortalitas pada pasien pneumonia komunitas sedang-berat serta terdapat model skoring risiko mortalitas pada pasien pneumonia komunitaa sedang-berat.

Background: Community Acquired Pneumonia (CAP) is a lung parenchyma infection acquired outside of the hospital and is significantly associated with morbidity and mortality rates. Several factors that can influence mortality in CAP include clinical characteristics, radiological findings, and serum biomarkers. Identifying patients with moderate-severe CAP at high risk of mortality through a combination of these variables is expected to serve as a basis for prompt and appropriate intervention, ultimately improving clinical outcomes for CAP patients.
Objective: This study aims to develop a scoring system using clinical characteristics (gender, age, body mask index, smoking status, time to first antibiotic administration), radiological findings (Brixia score), and serum biomarkers (procalcitonin, C-Reactive protein, leukocyte, lactate acid, d-dimer, albumin) to assess the mortality risk in patients with moderate-severe CAP.
Method: This study was a retrospective cohort study using data from patients with moderate-severe CAP at Cipto Mangunkusumo Hospital from the period January 2022 to December 2023. Predictor variables for mortality risk were obtained through multivariate analysis using cox regression.
Results: The study included 277 subjects with 124 (44.77%) deaths and 153 (55.23%) survivors. Predictor variables consistently influencing mortality risk in moderate-severe CAP patients were low BMI (HR 1.789, 95% CI 1.172–2.731), procalcitonin (HR 1.913, 95% CI 1.301–2.813), and lactate levels (HR 1.692, 95% CI 1.173–2.442). The prediction model’s performance based on the ROC curve analysis showed moderate predictive ability (AUC = 0.641) with good validation and calibration performance which has been assessed by the Hosmer-Lemeshow test (p = 0.082).
Conclusion: There is an association between body mass index, procalcitonin, and lactate acid level with the mortality risk in moderate-severe CAP patients. A mortality risk scoring model for moderate-to-severe CAP patients has been established.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Rini Anisa
"Community acquired pneumonia (CAP) adalah inflamasi yang menyerang parenkim sistem pernapasan bagian bawah. Penyakit ini banyak menyerang individu dari segala tahapan perkembangan. Penyakit ini rentan terjadi pada wilayah perkotaan diakibatkan oleh tingkat polusi udara di wilayah perkotaan yang tinggi. Pada pasien CAP terjadi perubahan pada alveolar sehingga terdapat konsolidasi yang menyebabkan perubahan pola napas. Pursed lip breathing adalah salah satu bentuk intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi manifestasi yang ditimbulkan berupa hiperventilasi. Karya Ilmiah Akhir Ners ini bertujuan untuk menganalisis asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien CAP dan penerapan pursed lip breathing. Hasil Analisa yang didapat dari penerapan pursed lip breathing adalah masalah ketidakefektifan pola napas teratasi ditandai dengan frekuensi napas dalam rentang normal dan tidak ada sesak.

Community acquired pneumonia (CAP) is an inflammation that occurred on lower respiratory system especially lung parenchyma. CAP can occur in all development stage. People who live in urban area are vulnerable to get CAP because the level of air pollution in urban area is higher than rural area. People with CAP will have dyspnea and increase of respiratory rate because there consolidation occurred in alveolus which cause ineffective breathing pattern. Pursed lip breathing is one of the intervention that nurse can do to solve ineffective breathing pattern related to hyperventilation. This nursing Scientific work aims to analyze nursing process on patient with CAP and application of pursed lip breathing. The result of applicating pursed lip breathing on CAP patient are decrease of dyspnea and decrease of respiratory "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rose Dinda Martini
"Latar Belakang : Skor CURB 65 merupakan salah satu sistem prediksimortalitas akibat pneumonia komunitas yang cukup mudah dan valid namuntingkat prediksinya tidak cukup tinggi. Prealbumin sebagai marka yangsensitif terhadap malnutrisi dapat digunakan sebagai prediktor mortalitaspada pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas.
Tujuan : Mengetahui kemampuan skor CURB 65 dan prealbumin dalam memprediksi mortalitas pada pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas.
Metoda : Penelitian kohort prospektif pada pasien usia lanjut yang dirawat diRS Dr M Djamil dan RS swasta Padang kurun waktu Mei Desember 2012. Pengambilan data untuk menentukan skor CURB 65 dan prealbumin dilakukan pada 24 jam pertama setelah didiagnosis lalu diikuti hingga 30 hari untuk menentukan status mortalitasnya. Kemampuan prediksi mortalitas skor CURB 65 dan prealbumin discriminatory power dinilai dengan menentukan area under receiver operating characteristic curve AUC dan interval kepercayaan 95.
Hasil : Didapatkan 158 subyek usia lanjut dengan mortalitas 30 hari sebesar 50 Skor CURB 65 mempunyai diskriminasi cukup baik dengan AUC skorCURB 65 0 741 IK 95 0 664 0 818. Sedangkan prealbumin mempunyai diskriminasi cukup baik untuk kejadian non mortalitas dengan AUC prealbumin 0 674 IK 95 0 589 0 759. Penambahan prealbumin terhadap skor CURB 65 meningkatkan kemampuan diskriminasi skor CURB 65 sebesar 4 5 AUC 0 786 IK 95 0 716 0 856.
Kesimpulan : Penambahan prealbumin terhadap skor CURB 65 meningkatkan kemampuan diskriminasi mortalitas usia lanjut denganpneumonia komunitas dari 74 1 menjadi 78 6. Nilai prediksi mortalitaspada prealbumin.

Background : CURB-65score is one of mortality prediction systems for community pneumonia that is quite easy and valid , but the predictionlevel is not high enough. Prealbumin , as a sensitive marker of malnutrition can be used as a predictor of mortality in elderly patients with community pneumonia.
Aim : Determine the ability of CURB - 65 score and prealbumin in predicting mortality in elderly patients with community pneumonia.
Method : Prospective cohort study was held in elderly patients that were admitted to Dr. M. Djamil hospital and private hospitals Padang in period of May 2012 - December 2012. Data collection was to determine the CURB - 65 score and prealbumin done in the first 24 hours after diagnosed , and then followed up to 30 days to determine mortality status. Ability of mortality prediction CURB - 65 scores and prealbumin ( discriminatory power ) was assessed by determining the area under the receiver operating characteristic curve ( AUC ) and 95% confidence intervals.
Result : Obtained 158 elderly subjects with 30-day mortality by 50 %. CURB - 65 score had a pretty good discrimination with AUC CURB - 65 score of 0.741 ( 95 % CI 0.664 to 0.818 ). Whereas prealbumin had a pretty good discrimination for non- mortality incident with prealbumin AUC 0.674 ( 95 % CI 0.589-0.759 ). The addition of prealbumin to CURB-65score increased discrimination ability of CURB - 65 score about 4.5 % ( AUC 0.786 [ 95 % CI 0.716-0.856 ] ).
Conclusion : The addition of prealbumin to CURB - 65 score increases discrimination capability of elderly mortality with community pneumonia of 74.1 % to 78.6 %. Prediction of mortality in prealbumin values < 17.75 mg / dl by 67%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>