Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151422 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Selvi Maharani Pujianti
"Pencegahan penyalahgunaan Teknologi Finansial atau Fintech sebagai media pencucian uang dan pendanaan terorisme memerlukan pendekatan pencegahan kejahatan multi-agen untuk mendapatkan solusi yang lebih komprehensif. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa bagaimana aktor yang terlibat dalam penerapan rezim internasional Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APUPPT), khususnya Komite TPPU sebagai badan koordinasi nasional untuk mengantisipasi kedua jenis kejahatan tersebut, berupaya untuk menerapkan kebijakan APUPPT bagi industri Fintech. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang data primernya didapatkan melalui wawancara tidak terstruktur dengan PPATK, Dittipideksus Bareskrim Polri, Espay, dan NCB-INTERPOL Indonesia. Teori yang digunakan adalah space-transition theory, rational choice theory, teori pencegahan kejahatan multi-agen dan teori kemitraan. Hasil penelitian menyarankan bahwa untuk mencapai kerja sama yang maksimal dalam mencegah penyalahgunaan Fintech sebagai media pencucian uang dan pendanaan terorisme perlu menggunakan prinsip kemitraan. Konsep kemitraan pada penelitian ini ditekankan pada hubungan kerja sama publik-swasta yang terbangun antara Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) dengan regulator.

Preventing the abuse of Financial Technology (Fintech) as a media of money laundering and terrorism financing needs an approach of multi-agent crime prevention for a more comprehensive solution. The purpose of this research is to analyze the efforts of the actors involved in the implementation of the Anti Money Laundering and Countering Financing of Terrorism (AML-CFT) international regime, particularly the National Coordination Committee of Prevention and Eradication of the Criminal Act of Money Laundering as the national coordination body to anticipate these two criminal acts, in implementing a policy on AML-CFT for Fintech industries. This research is conducted in qualitative approach with primary data gathered from unstructured interview(s) with Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center (INTRAC/PPATK); Directorate of Financial Crime, Criminal Investigation Department of Indonesian National Police; Espay; and NCB-INTERPOL Indonesia. The theories used in this research are space-transtition theory, rational choice theory, multi-agency crime prevention theory, and theory of partnership. The outcome of this research suggests that a principle of partnership is needed to achieve a full cooperation in preventing the abuse of Fintech as a media of money laundering and terrorism financing by all the actors involved. The concept of partnership in this research is emphasized on public-private cooperation between Indonesian Association of Fintech (Aftech) and regulators."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mayestika Dhea Dara
"ABSTRAK
Tugas akhir ini membahas kerja sama antara pihak lembaga penegak hukum dengan pihak swasta untuk mencegah kejahatan, yaitu carding. Menurut riset Clear Commerce Inc., Indonesia memiliki kejahatan carding terbanyak kedua di dunia setelah Ukrania. Salah satu target carder untuk memeperoleh keuntungan adalah dengan melakukan carding terhadap salah satu perusahaan maskapai Indonesia, yaitu PT Garuda Indonesia Persero Tbk. Dalam penulisan tugas karya akhir ini, routine activity theory akan menjelaskan penyebab terjadinya carding, yaitu adanya sistem e-commerce PT Garuda Indonesia Persero Tbk. sebagai uncapabale guardian yang lemah. Sebagai bentuk pencegahan carding, dibutuhkan kerja sama kedua belah pihak, yaitu pihak lembaga penegak hukum EUROPOL, INTERPOL, POLRI dan pihak swasta PT Garuda Indonesia Persero Tbk. Kerja sama yang dinamakan Global Airport Action Day, dibutuhkan untuk memudahkan proses penangkapan bagi pihak lembaga penegak hukum dengan menggunakan data yang tersedia dari pihak swasta. Global Airport Action Day berprinsipkan kemitraan dengan menggunakan teori multi-agency crime prevention. Namun, pada praktiknya kemitraan tidak selalu berjalan dengan baik. Ada konflik antar lembaga demi memenuhi kepentingan masing-masing. Penguatan kerja sama antar lembaga berprinsipkan kemitraan yang komunikatif dan melanjutkan Global Airport Action Day menjadi solusi dalam menangani kejahatan carding.

ABSTRACT
This paper focuses on cooperation between law enforcement agencies with private agency to prevent crime, namely carding. According to Clear Commerce Inc. research, Indonesia has the second biggest number of carding in the world after Ukraine. One of the carders rsquo target to gain profit is by carding one of Indonesian airline companies, PT Garuda Indonesia Persero Tbk. In writing this paper, routine activity theory will explain the cause of carding. E commerce system of PT Garuda Indonesia Persero Tbk. as uncapable guardian. As a form of carding prevention, cooperation between law enforcement agencies EUROPOL, INTERPOL, POLRI and private agency PT Garuda Indonesia Persero Tbk. is needed. The cooperation, called Global Airport Action Day, is needed to facilitate the process of arresting by law enforcement agencies using datas from private agency. Global Airport Action Day considers partnerships using multi agency crime prevention. The practice of partnership does not always work well, there are conflicts to fulfill interests of each agencies involved. Cooperation reinforcement between agencies based on communicative partnership principle also by continuing Global Airport Action Day can be the solution in tackling carding. "
2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Devinda Irvana Yunianda
"Memuncaknya kompleksitas aktivitas bisnis Bank memicu tantangan dan paparan risiko. Berdasarkan peraturan yang berlaku, untuk mengatasi dan memitigasi risiko kepatuhan tersebut, Bank telah menetapkan Direktur yang bertanggung jawab atas fungsi kepatuhan. Dalam penerapannya, wajar dinyatakan bahwa Direktur Kepatuhan mempunyai 2 kaki, satu berada di bank dan satu berada di regulator termasuk OJK, Bank Indonesia dan PPATK. Direktur Kepatuhan merupakan unit yang independen dari fungsi-fungsi lain yang berkewajiban untuk mengimplementasikan program APU dan PPT. Penulis akan melakukan penelitian mengenai pengaturan APU dan PPT dan Fungsi pengaturan serta peran Direktur Kepatuhan dalam mencegah pencucian uang dan memerangi pendanaan terorisme di Bank X. Skripsi ini adalah Penelitian Hukum Normatif yang menekankan pada deskriptif-analysis. Direktur Kepatuhan Bank X selalu bertanggung jawab bahwa Bank akan meninjau tujuan, strategi, dan kerangka kerja fungsi kepatuhan dengan program APU dan PPT yang telah dibentuk untuk mencerminkan praktik terbaik sesuai dengan peraturan. Satuan Kerja Kepatuhan wajib menyusun Standard Operational Procedure (SOP) kepatuhan sebagai pedoman bagi seluruh tingkatan bank. Peraturan dan kebijakan terkait kepatuhan dapat disosialisasikan kepada seluruh karyawan agar semua elemen bank mencerna penerapan peraturan mengenai implementasi program APU dan PPT, sehingga dapat mencegah pencucian uang dan pendanaan terorisme. Saran kepada Bank X adalah prinsip independensi direktur kepatuhan harus dimaksimalkan dikarenakan setiap analisis pelaporan kepada OJK masih melewati Direktur Utama.

The increasing complexity of the Bank’s business activities results in greater challenges and risk exposures. In line with applicable regulations, to manage and mitigate compliance risk, the Bank has appointed Director in charge of the compliance function. In practice, it is generally stated that the Compliance Director has 2 legs, one in the bank and one in the regulator including the Financial Service Authority, Bank Indonesia and PPATK. The Compliance Director is considered a unit that is independent of other functions responsible for implementing the AML and CFT program.The author will conduct research on AML-CFT regulations and regulatory functions and the role of the Compliance Director in preventing money laundering and combating terrorism financing in Bank X. This Thesis is Normative Legal Research it emphasis on a Descriptive Analysis. The Compliance Director of Bank X always ensures that the Bank will review the objectives, strategies and framework of the compliance function with the AML and CFT program that have been prepared reflect best practices in accordance withthe regulations. Compliance Work Unit is obliged to establish Standard Operational Procedure (SOP) of compliance as a guide for all levels of the bank. Policies and procedures regarding compliance need to be socialized to all employees so that all elements of the bank understand the implementation of provisions related to the implementation of AML and CFT program, so as to prevent money laundering and terrorism financing. The recommendation to Bank X is that the principle of compliance director independence must be maximized because any mandatory reporting analysis to OJK must pass through the President Director."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Sulistyowati
"Penelitian ini mengevaluasi konsistensi perencanaan dan penganggaran Program Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme di PPATK dikarenakan adanya kecenderungan inkonsistensi pada dokumen perencanaan dan penganggaran tersebut. Tujuan penelitian untuk memberikan rekomendasi bagi PPATK dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan tingkat konsistensi perencanaan dan penganggaran PPATK tahun 2011 sebesar 31,06%, artinya tingkat konsistensi masih tergolong rendah. Pemahaman kurang memadai mengenai restrukturisasi program dan kegiatan menjadi masalah pokok inkonsistensi yang terjadi. Hasil penelitian menyarankan PPATK untuk meningkatkan kompetensi pegawai dalam bidang perencanaan dan penganggaran. Sinergisitas para pembuat kebijakan terkait perencanaan dan penganggaran menjadi faktor fundamental dalam mensukseskan pelaksanaan restrukturisasi program dan kegiatan.

This research evaluates the consistency between planning and budgeting on the Prevention and Eradication of The Crime of Money Laundering and Terrorism Financing Program in Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Centre (INTRAC) because there is a tendency of inconsistency between planning and budgeting documents. The research main objective is to give recommendation to INTRAC on how to improve their knowledges and skills on how to make a good planning and budgeting documents. This research is using qualitative descriptive method. The result showed that the level of consistency between planning and budgeting in 2011 is 31.06%, it means still relatively low. The lack of understanding the restructuring programs and activites concepts was believed to be the main concern about inconsistency.The policy makers combined effort and collaboration is the fundamental key to accomplish a successful implementation of restructuring programs and activities."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T38638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riezaldo Aulia
"Pendanaan merupakan salah satu jenis aktivitas yang integral dan juga sentral dalam aktivitas terorisme secara umum. Hal ini membuat upaya intervensi dan pencegahan terhadap aktivitas pendanaan teror menjadi suatu hal yang krusial diperlukan agar dapat secara menyeluruh dan efektif “menang” melawan kejahatan terorisme. Dewasa ini, sebagian besar kebijakan kontra pendanaan terorisme dijalankan menggunakan model kerjasama/kemitraan multi-agensi. Model kerjasama ini memungkinkan adanya pengefisiensian kerja dan penggunaan sumber daya yang kolaboratif antar agensi terkait. Namun, di dalam implementasinya kebijakan jenis ini seringkali dihadapkan oleh berbagai macam kendala dan tantangan, baik dari internal maupun eksternal. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berusaha menjabarkan proses implementasi dan memetakan kendala – kendala yang dihadapi oleh Satgas CTF BNPT sebagai salah satu aktualisasi implementasi operasional kebijakan CTF yang berbasis kerjasama multi-agensi, dalam hal ini melibatkan BNPT, Densus 88, PPATK. Dalam analisisnya, penelitian ini menggunakan teori Multi-Agency Anti-Crime Partnership (Rosenbaum, 2002) dan Political Model of Policy Implementation (Khan & Khandaker, 2016).

Funding is one type of activity that is integral and also central to terrorism in general. This makes the intervention and prevention efforts on terrorism financing activities is a crucial thing needed in order to be able to "win" against the crime of terrorism. Nowadays, most counter terrorism financing policies are implemented using a multi-agency partnership model. This cooperative model allows for efficient work and collaborative use of resources between related agencies. However, in its implementation this type of policy is often faced by various kinds of obstacles and challenges, both internal and external. This research is a qualitative study that seeks to describe the implementation process and map the constraints faced by the BNPT CTF Task Force as one of the Indonesia’s operational implementations of CTF policy based on multi-agency collaboration, in this case it involves BNPT, Detachment 88, and PPATK. In its analysis, this study uses the theory of Multi-Agency Anti-Crime Partnership (Rosenbaum, 2002) and Political Model of Policy Implementation (Khan & Khandaker, 2016).
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardiana Arfah
"Pemerintah bersama DPR telah membentuk UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. PP No. 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 UU No. 8 Tahun 2010. Rumusan masalah dalam tesis ini: 1 Bagaimanakah pengaturan tentang kewajiban Notaris sebagai Pihak Pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang?; 2 Bagaimanakah implikasi dari pemberlakuan PP No. 43 Tahun 2015 tersebut terkait dengan profesi Notaris?. Berdasarkan metode penelitian yuridis normatif, ditemukan simpulan bahwa a PP No. 43 Tahun 2015 dan Perka PPATK No. 11/2016 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai Bagi Profesi sebagai peraturan pelaksana, telah jelas mengatur tentang Pihak Pelapor dan tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan bagi profesi. dan b Pemberlakuan PP 43 Tahun 2015 pada awalnya menimbulkan kontra di kalangan Notaris. Hal ini lebih disebabkan karena masih kurangnya sosialisasi PP 43 Tahun 2015 ini untuk kalangan Notaris, sehingga adanya kekurangpahaman Notaris atas maksud dari pemberlakuan PP 43 Tahun 2015 ini. Saran: 1 Perlu dilakukan sosialisasi dan koordinasi yang lebih intens terhadap Notaris oleh PPATK agar Notaris mendapat pemahaman yang lebih komprehensif sehubungan dengan PP No. 43 Tahun 2015 dan peraturan pelaksana terkait; dan 2 Notaris sebaiknya tidak melakukan pekerjaan diluar profesi notaris, dan melakukan tindakan untuk dan atas nama klien dan Notarisuntuk dapat lebih meningkatkan kemampuannya dalam mengenali jenis transaksi pengguna jasa yang berpotensi terkait dengan tindak pidana agar risiko digunakan sebagai sarana pencucian uang bisa diminimalisir.

The government and the Parliament have established Law no. 8 of 2010 on Prevention and Eradication of Money Laundering Crime. PP no. 43 of 2015 concerning the Reporting Parties in the Prevention and Eradication of Money Laundering Crime issued to implement the provisions of Article 17 of Law no. 8 Year 2010. The thesis rsquo problem 1 How is the regulation regarding the obligation of Notary as a Reporting Party in the prevention and eradication of money laundering crime 2 How rsquo s the implications of the implementation of PP No. 43 Year 2015 and its relation to profession of Notary . Based on the normative juridical research method, it is found that a PP No. 43 of 2015 and Perka PPATK no. 11 2016 concerning Procedures for Submitting Suspicious Financial Transactions Reports and Cash Transaction Reports for Professionals as an implementing regulation, has clearly regulate the Reporting Party and the procedures for reporting Suspicious Financial Transactions for the profession and b Initially, the enactment of PP No. 43 of 2015 has create counters from Notaries. This is more due to the lack of socialization of PP 43 of 2015 is for the Notary, so it has caused Notary rsquo s lack of understanding on the intent of the enactment of PP 43 of 2015. Suggestion 1 Socialization and coordination should be conducted intensively for Notary by PPATK in order the Notary gets the comprehensive understanding in relation to PP. 43 of 2015 and its related implementing regulations and 2 Notary should not do work outside the notary profession, and take action for and on behalf of the client and Notary to further improve its ability in recognizing the type of service user transactions that are potentially related to the crime, so that the risk of being used as a means of money laundering can be minimized."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48236
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanungkalit, Nico Andreas
"Perusahaan Pembiayaan menjadi salah satu bagian dari usaha perbankan yang digunakan sebagai sarana dan prasarana bagi pelaku kejahatan untuk melakukan “tindak pidana pencucian uang” yang lebih dikenal dengan istilah money laundering. Secara sederhana, kegiatan money laundering dikelompokkan pada tiga kegiatan, yakni : placement, layering, dan integration.. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan mengatur bahwa Perusahaan Pembiayaan diwajibkan untuk menerapkan Program APU dan PPT dengan menugaskan unit kerja khusus dan membuat kebijakan dan Prosedur penerapan program APU dan PPT. Bahwa pada kenyataannya, keterbatasan dana dan alasan efisiensi membuat perusahaan pembiayaan lebih memilih untuk menempatkan fungsi tugas APU dan PPT ini disatukan dengan departement/divisi yang sudah ada sebelumnya. Namun, guna mengetahui adanya indikasi transaksi keuangan yang mencurigakan, Perusahaan Pembiayaan telah membuat indikator yang dijadikan pedoman, antara lain : Pembayaran DP ≥ 75% dari harga kendaraan dengan nominal ≥ Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah); melakukan pembayaran cicilan sebesar 5 (lima) kali cicilan atau lebih sekaligus; Pelunasan dipercepat dilakukan konsumen pada saat ≤ setengah tenor pembiayaan dan dengan nominal ≥ Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah); Transaksi dilakukan oleh konsumen yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana; Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan yang diduga terkait dengan hasil kejahatan/tindak pidana.

The Finance Company is a part of banking business that used as a facility for criminals to do “Money Laundering Crimes” In simple terms, money laundering activities are grouped into three activities, namely: placement, layering, and integration.. Financial Services Authority Regulation No. 12/POJK.01/2017 concerning the Application of the Anti Money Laundering and Prevention of Terrorism Funding Program in the Financial Services Sector regulates that the Finance Company is required to implement the APU and PPT Program by assigning a special unit work and making policies and procedures for implement APU and PPT program. In the fact, funds limitation and efficiency reasons have made Finance Company prefer to place the APU and PPT tasks functions put together with exisiting departments/divisions. However, to be aware of any indications of suspictious financial transactions, the Finance Company has made indicators that used as guidelines, including DP payments ≥ 75% of the vehicles price with a nominal values ≥ Rp. 150.000.000 (one hundred and fifty milions rupiahs); make payments of 5 (five) installments or more at once; Accelerated repayment by consumer at or half the tenor of financing and with a nominal ≥ Rp.150.000.000 (one hundred and fifty milions rupiahs). Transactions by consumers who have been designated as suspects in criminal cases; Financial transactions carried out or canceled are suspected to be related to the proceeds of crime / crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T52489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheyla Namirah Korompot
"Aktivitas peer to peer lending memiliki akses yang sangat luas, risiko yang dapat terjadi pada kegiatan peer to peer lending adalah menjadi sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Untuk mengurangi dampak bencana atas risiko tersebut, Penyelenggara peer to peer lending harus menerapkan proses kerangka kerja manajemen risiko dengan menerapkan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme secara efektif dan memadai yang terdiri dari lima pilar, yaitu pengawasan Aktif Direksi dan Dewan Komisaris, kebijakan dan prosedur, pengendalian intern, sistem informasi manajemen, serta sumber daya manusia dan pelatihan. Pada skripsi ini, Penulis akan membahas mengenai pengaturan dan implementasi manajemen risiko melalui Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme serta contoh implementasinya pada Platform X. Simpulan dari penelitian ini adalah bahwa pengaturan mengenai regulatory technology dan countermeasures belum sepenuhnya teregulasi secara efektif serta Platform X belum dapat mengimplementasikan manajemen risiko terkait anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme sepenuhnya secara efektif. Penulis berharap Otoritas Jasa Keuangan dapat membentuk peraturan mengenai persyaratan minimum regulatory technology dan peraturan yang mewajibkan Penyelenggara untuk melakukan pembatasan transaksi terhadap negara berisiko tinggi untuk kegiatan countermeasures. Selain itu, Penulis memberi saran kepada Platform X untuk memenuhi seluruh pilar Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme.

Peer to peer lending activities have very broad access, the risk that can occur in peer to peer lending activities is to become a means of money laundering and financing terrorism. To reduce the impact of disasters on this risk, peer to peer lending providers must implement a risk management framework process by implementing an effective and adequate Anti-Money Laundering and Counter-Terrorism Financing Program which consists of five pillars, namely active supervision of the Board of Directors and Board of Commissioners, policies and procedures, internal control, management information systems, as well as human resources and training. In this thesis, Author will discuss the regulation and implementation of risk management through the Anti-Money Laundering and Counter-Terrorism Financing Program and examples of its implementation on Platform X. This research is normative juridical with a descriptive-analytical research typology supported by data collection tools in the form of library materials and interviews. The conclusion of this study is that regulations regarding regulatory technology and countermeasures have not been fully regulated effectively and Platform X has not been able to implement risk management related to the anti money laundering and prevention of terrorism financing fully effectively. Author hopes that the Financial Services Authority can establish regulations regarding minimum regulatory technology requirements and regulations that require Providers to restrict transactions in high-risk countries for countermeasures activities. In addition, Author advises Platform X to fulfill all pillars of the Anti-Money Laundering and Counter-Terrorism Financing Program.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rimaditya Prameswari
"Terorisme adalah salah satu ancaman keamanan negara dan kawasan ASEAN, oleh karena itu salah satu upaya penanggulangan kejahatan terorisme adalah dibentuknya kerjasama SOMTC yang secara spesifik membahas kejahatan transnasional. Working Group on Counter Terrorism, sebagai bagian dari SOMTC fokus menanggulangi kejahatan terorisme ditingkat nasional dan kawasan ASEAN. Dengan menggunakan analisis Multi-Agency Anti Crime Partnerships penelitian ini menunjukan bahwa kerjasama antar Institusi yang terjalin di dalam WG on CT dapat mendorong kinerja dan peran dari masing-masing Lembaga dalam kerjasama kemitraan. Namun terdapat kendala internal dan eksternal dalam proses pelaksanaan dalam WG on CT sehingga menghambat kinerja maing-masing Lembaga. Oleh karena itu evaluasi kerja dan penyesuaian mekanisme kerja yang sesuai dengan kapasitas WG on CT membantu pelaksanaan dan pencapaian kesepakatan di tingkat Kawasan dan Nasional. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif dan wawancara mendalam dengan masing-masing perwakilan Lembaga.

Terrorism is one of the threats to the security of the ASEAN countries and regions, therefore one of the efforts to tackle terrorism crime is the establishment of SOMTC cooperation that specifically addresses transnational crime. Working Group on Counter Terrorism, as part of the SOMTC, focuses on tackling terrorism crimes at the national and ASEAN regions. By using the Multi-Agency Anti Crime Partnerships analysis, this research shows that the collaboration between Institutions established in WG on CT can encourage the performance and role of each Institution in partnership collaboration. However, there are internal and external obstacles in the implementation process in WG on CT so that it impedes the performance of each Institute. Therefore work evaluation and adjustment of work mechanisms that are appropriate to the WG on CT capacity help to implement and reach agreements at the Regional and National levels. The research method in writing this thesis uses a qualitative approach and in-depth interviews with each representative of the Institute."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahertian, Levina Azalia
"Berdasarkan Rekomendasi FATF Nomor 8, perusahaan penyelenggara dompet elektronik termasuk salah satu penyedia jasa keuangan yang harus menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Hal ini diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme serta Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/10/PBI/2017 tentang Penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (PBI APU dan PPT). PBI APU dan PPT merupakan aturan yang secara spesifik dikeluarkan Bank Indonesia untuk mengatur terkait dengan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme yang harus dilakukan oleh Penyelenggara Dompet Elektronik sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran. Adapun persyaratan yang harus dimiliki dan dilakukan oleh perusahaan penyelenggara dompet elektronik mencakup tugas dan tanggung jawab Direksi dan pengawasan aktif Dewan Komisaris, kebijakan dan prosedur tertulis, proses manajemen risiko, manajemen sumber daya manusia; dan sistem pengendalian internal. Penerapan PBI APU dan PPT dapat dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan. Yaitu tahap persiapan, tahap eksekusi dan tahap evaluasi.

Based on FATF Recommendation No. 8, the electronic wallet company organizers is part of the financial institution that have to implement anti-money laundering and terrorism financing programs. This is clearly regulated in Law Number 8 Year 2010 concerning Prevention and Eradication of Money Laundering Act, Law Number 9 Year 2013 Concerning the Prevention and Eradication of Terrorism Financing and Bank Indonesia Regulation Number 19/10/PBI/2017 regarding Implementation of Anti Money Laundering and Prevention of Terrorism Financing for the Provider of Payment System Services Other Than Banks and Organizers of Money Changer Business (PBI APU and PPT). PBI APU and PPT are rules specifically issued by Bank Indonesia to regulate in relation to anti-money laundering and prevention of terrorism financing programs which should be applied by Electronic Wallet Company Organizer as payment service provider. The requirements that must be possessed and performed by electronic wallet company organizer include the duties and responsibilities of the Board of Directors and active supervision of the Board of Commissioners, written policies and procedures, risk management processes, human resource management; and internal control systems. Application of PBI APU and PPT can be done through 3 (three) stages. Which are the preparation stage, execution stage and evaluation phase."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50340
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>