Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153214 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nanda Charitanadya Adhitama
"Latar Belakang : Sindroma Guillain Barre SGB , menyebabkan pasien gagal napas dan memerlukan perawatan dan pengawasan di unit ruang rawat intensif. Beberapa faktor risiko dipikirkan terhadap terjadinya gagal napas pada SGB, berdasarkan gejala klinis yang timbul saat pasien masuk rumah sakit.
Metode : Penelitian ini berdesain potong lintang dengan mengambil data sekunder dari pasien SGB yang menjalani perawatan inap di RSUPNCM sejak Januari 2010-Mei 2018. Data dianalisa dan dilakukan penghitungan dengan multivariat regresi logistik.
Hasil : Sebanyak 59 pasien memenuhi kriteria inklusi. Insiden terjadinya gagal napas pada pasien SGB sebesar 25. Kelemahan bulbar OR 26,964; IK 95 2,050-354,616 , disotonomia OR 71,646;IK 3,039-1689,312, dan total skor Medical Research Council MRC OR 0,871; IK 95 0,776-0,978 merupakan 3 variabel yang secara independen berisiko tinggi untuk terjadinya gagal napas pada SGB. Faktor risiko yang tidak berhubungan secara bermakna terhadap kejadian gagal napas adalah usia, riwayat antesenden infeksi, durasi awitan hingga admisi, arefleksia, kelemahan fasial, oftalmopegia, dan tipe patologi SGB.
Kesimpulan : Kelemahan bulbar, disotonomia dan total skor MRC merupakan faktor risiko untuk terjadinya gagal napas pada pasien SGB dan disarankan agar mendapatkan perawatan di Intensive Care Unit ICU.

Background Guillain Barre Syndrome GBS may cause respiratory insufficiency and requires care and supervision in the Intensive Care Unit. Several risk factors are thought to be the occurrence of respiratory failure in GBS, based on clinical characteristics at hospital admission.
Methods: A cross sectional study was conducted by taking secondary data from GBS patients who were admitted to the Cipto Mangunkusumo hospital from January 2010 to May 2018. Data were analyzed and calculated by multivariate logistic regression.
Results: A total of 59 patients met the inclusion criteria. The incidence of respiratory failure in GBS patients was 25 . Bulbar weakness OR 26,964 95 CI 2,050 354,616 , dysotonomia OR 71,646 95 CI 3,039 1689,312 , and total score of Medical Research Council MRC OR 0,871 95 CI 0,776 0,978 are 3 variables that are independently high risk for the occurrence of respiratory failure in GBS. Risk factors that are not significantly associated with respiratory failure are age, antecedent infection history, duration of onset to admission, areflexia, facial weakness, ophthalmopegia, and type of GBS pathology.
Conclusions: Bulbar weakness, dysotonomia and total MRC score were risk factors for respiratory failure in GBS patients and were advised to receive treatment in the Intensive Care Unit ICU.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58614
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramdinal Aviesena Zairinal
"Latar Belakang: Luaran pasien Sindroma Guillain-Barré (SGB) tidak sepenuhnya baik walaupun telah berkembang imunoterapi. Prediksi pasien SGB dengan luaran buruk harus dilakukan sedini mungkin untuk menentukan manajemen selanjutnya di rumah sakit dan perawatan di rumah. Sistem EGOS merupakan salah satu cara untuk memprediksi luaran pasien SGB. Sayangnya, penelitian EGOS selama ini dilakukan di luar negeri yang memiliki kondisi pasien dan lingkungan yang berbeda dengan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran luaran pasien SGB melalui skala disabilitas enam bulan pascaawitan dan EGOS di RSUPNCM.
Metode: Penelitian ini berdesain potong lintang dengan mengambil data dari rekam medik pasien SGB yang menjalani perawatan inap di RSUPNCM sejak Januari 2010 hingga Desember 2014. Data mengenai karakteristik demografi, klinis, nilai EGOS, dan luaran pasien SGB saat enam bulan pascaawitan dikumpulkan pada penelitian ini.
Hasil: Jumlah kasus baru SGB pertahun di RSUPNCM adalah 7,6 kasus. Kasus SGB terjadi di sepanjang tahun dan tidak mengenal musim. Rasio jenis kelamin laki-laki daripada perempuan adalah 1,2 : 1. Rerata usia pasien adalah 39,71 tahun. Varian SGB yang paling sering ditemukan pada penelitian ini adalah AIDP (31,6%), diikuti AMSAN (18,4%), AMAN (15,8%), dan SMF (13,2%). Durasi awitan - RS memiliki median 8,5 hari. Sebanyak 24 pasien mendapat imunoterapi PE, dimana sebanyak 83,3% pasien mendapatkannya pada ≥2 minggu pascaawitan. Proporsi pasien SGB dengan luaran baik sebesar 64,3%. Semakin besar nilai EGOS, maka semakin besar proporsi pasien SGB dengan luaran buruk.
Simpulan: Proporsi luaran pasien SGB memiliki kecenderungan tren data yang sejalan dengan prediksi EGOS. Selain itu, proporsi luaran baik pasien SGB dapat lebih ditingkatkan lagi dengan mempercepat diagnosis dan pemberian imunoterapi.

Background: The outcome of GBS is not completely well, despite of the development of immunotherapy. Patients with poor outcome have to be identified quickly in order to determine next management in hospital and home care planning. Erasmus GBS Outcome Score (EGOS) is a model to predict the outcome of patients at six months after onset. Unfortunately, the EGOS studies were conducted in foreign countries, which have different patient characteristics and environment. This study was conducted to describe the outcome characteristics and EGOS of GBS patients at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: A cross-sectional study was conducted to collect data from patient medical records who were admitted to the hospital between January 2010 and December 2014. Data collected included demographic and clinical characteristics, EGOS, and outcome of GBS patients.
Results: New cases of GBS in this hospital were 7.6 cases/ year. Male-to-female ratio was 1.2:1. Mean age was 39.71 years old. The most frequent variant was AIDP (31.6%), followed by AMSAN (18,4%), AMAN (15.8%) and MFS (13.2%). Median duration of onset - hospital was 8.5 days. Twenty four patients were treated with plasma exchange, in which 83.3% got these two weeks after onset. Proportion of patients with good outcome was 64.3%. Higher score of EGOS tend to have higher proportion of patients with poor outcome.
Conclusions: The proportion of GBS patient outcome in this study had a same data trend with EGOS. This proportion of patients with good outcome could be improved with early diagnosis and prompt immunotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohannessa Wulandari
"Latar Belakang: Sindroma Guillain-Barre merupakan kondisi kritis dengan kebutuhan energi meningkat sesuai dengan hiperkatabolisme sehingga meningkatkan risiko malnutrisi. Malnutrisi dapat mengurangi kemampuan otot diafragma, dan meningkatkan risiko infeksi yang akan memperberat kondisi sakit kritis. Terapi medik gizi bertujuan menyediakan substrat energi, mengurangi responss metabolik terhadap stres, memicu responss imun, serta mempertahankan massa bebas lemak.
Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan sindroma Guillain-Barre berusia antara 21-58 tahun. Keempat pasien memiliki status gizi obes berdasarkan kriteria World Health Organization WHO Asia Pasifik. Terapi medik gizi diberikan sesuai pedoman pada keadaan sakit kritis dimulai dengan enteral dini dengan target 20-25 kkal/kg BB fase akut dan protein 1,2-2 g/kg BB. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai klinis dan toleransi saluran cerna. Mikronutrien diberikan vitamin D3, B, C, seng.
Hasil: Tiga pasien pulang dengan perbaikan kekuatan motorik dengan lama perawatan intensif yang bervariasi, sedangkan satu pasien masih dalam perawatan karena membutuhkan ventilasi mekanik.
Kesimpulan: Terapi medik gizi adekuat menunjang proses penyembuhan penyakit dan memperbaiki kapasitas fungsional. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Dewi
"Praktik klinik lanjut selama praktek residensi keperawatan pada sistem neurologi dimaksudkan untuk mampu memberikan asuhan keperawatan, menerapkan Evidance Based Nursing (EBN) serta mampu berperan sebagai innovator di ruang perawatan. Peran pemberi asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan mode adaptasi Roy pada pasien dengan Guilain Bare Syndrome dan 30 pasien lainnya dengan berbagai gangguan sistem persyarafan. Perilaku maladaptive paling banyak adalah model adaptasi fisiologis, yaitu penurunan kapasitas adaptif intracranial. Intervensi keperawatan berupa manajemen peningkatan tekanan intracranial. Penerapan EBN latihan core stability pada keseimbangan duduk pada pasien stroke menunjukkan pasien dapat memeprtahankan keseimbangan duduk. Program inovasi keperawatan berupa penerapan manajemen ERAS pada pasien pasca kraniotomi diruang ICU, HCU dan rawat inap.

Advance clinical practice during the nursing residency practice in the neurological system is intended to be able to provide nursing care, implement Evidance Based Nursing (EBN) and able to act as an innovator in the treatment room. The role of nursing caregiver was perfomed using Roy’s adaption mode in patients with Guillain-Barre Syndrome and 30 other patients with various nervous system disorders. The most maladaptive behavior is a physiological adaption model, namely a decrease in intracranial adaptive capacity. Nursing intervention in the form of management of increased intracranial pressure. The application of EBN core stability exercises to sitting balance in stroke patients shows the patient can maintain a sitting balance. Nursing innovation program in the form of application of ERAS management to post-craniotomy patients in ICU,HCU and inpatient rooms."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahardi Mokhtar
"Latar belakang: Pneumotoraks merupakan kondisi terjadinya akumulasi udara di pleura yang dapat menyebabkan kolaps pada paru, dan paling lebih sering terjadi pada periode neonatus dibandingkan dengan periode kehidupan lainnya. Angka insidens pneumotoraks meningkat menjadi 6-7% pada kelahiran bayi berat lahir rendah (BBLR). Saat ini sudah banyak kemajuan dalam perawatan intensif neonatus, tetapi pneumotoraks tetap menjadi komplikasi pernapasan utama yang menyebabkan kematian. Identifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan pneumotoraks pada neonatus penting agar dapat dilakukan tatalaksana yang tepat dan sebagai evaluasi pencegahan dan tata laksana yang saat ini sudah diterapkan.
Metode: Penelitian kasus kontrol ini melibatkan neonatus usia <28 hari yang lahir cukup bulan di RSCM yang diambil retrospektif secara consecutive sampling mulai perawatan 1 Januari 2021 hingga 31 Desember 2022. Subjek dibagi menjadi kelompok kasus (dengan pneumotoraks) dan kontrol (tanpa pneumotoraks) berdasarkan klinis dan radiologis selama perawatan. Faktor risiko yang ada pada masing-masing kelompok diidentifikasi dari rekam medis. Data kemudian dianalisis menggunakan program SPSS.
Hasil: Total 116 subjek yang diteliti terdiri atas 58 subjek pada kelompok kasus dan 58 subjek pada kelompok kontrol. Angka kejadian pneumotoraks pada bayi di RSCM yaitu 2%. Faktor yang terbukti menjadi risiko terhadap insidens pneumotoraks adalah ventilasi mekanik invasif (OR 3,19; IK 1,01-10,11; p=0,048). Faktor yang tidak terbukti berhubungan dengan pneumotoraks adalah ventilasi tekanan positif saat resusitasi, sindrom distres napas, dan sepsis neonatorum. Angka kematian bayi dengan pneumotoraks adalah 72,4%.
Kesimpulan: Faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna dengan pneumotoraks pada bayi usia <28 hari yang lahir cukup bulan adalah penggunaan ventilasi mekanik invasif.

Background: Pneumothorax is a condition where air accumulation in the pleura can lead to lung collapse, and is more common in the neonatal period compared to other periods of life. The incidence of pneumothorax increases to 6-7% in low birth weight (LBW) neonates. There have been many advances in the intensive care of neonates, but pneumothorax remains a major respiratory complication leading to death. Identification of risk factors associated with pneumothorax in neonates is important for appropriate management and to evaluate current prevention and management.
Method: This case-control study involved neonates aged <28 days who were born at full term at RSCM who were taken retrospectively by consecutive sampling from January 1st 2021 to December 31st 2022. Subjects were divided into case groups (with pneumothorax) and controls (without pneumothorax) based on the clinical and radiology during treatment. The risk factors in each group were identified from medical records. The data were then analysed using the SPSS program.
Result: A total of 116 subjects were studied, consisting of 58 subjects in the case group and 58 subjects in the control group. The incidence rate of pneumothorax in neonates at RSCM was 2%. The factor that proved to be a risk factor for the incidence of pneumothorax in neonates was invasive mechanical ventilation (OR 3.19; IK 1.01-10.11; p=0.048). Factors not associated with pneumothorax were positive pressure ventilation during resuscitation, respiratory distress syndrome, and neonatal sepsis. The mortality rate of neonates with pneumothorax was 72.4%.
Conclusion: Risk factor that significantly associated with pneumothorax in neonates aged <28 days who were born at full term is invasive mechanical ventilation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvanie Ratna Permatasari
"Latar Belakang Krisis miastenia (KM) merupakan kondisi gagal nafas akut pada pasien miastenia gravis (MG). Beberapa faktor risiko diduga berperan terhadap kejadian KM. Deteksi dini faktor risiko diharapkan dapat mencegah terjadinya KM. Metodologi Penelitian Disain penelitian potong lintang menggunakan data sekunder rekam medis pasien MG rawat jalan maupun rawat inap di RSCM sejak Januari 2014-Maret 2019. Faktor risiko KM berdasarkan demografi dan klinis (jenis kelamin, usia awitan MG, jenis MG, antibodi reseptor asetilkolin (AchR), kelenjar timus, infeksi, rasio netrofil limfosit (RNL), riwayat timektomi, kehamilan, penghentian imunosupresan non steroid, penggunaan antibiotik, agen kardiovaskular serta agen kontras radiografi) dicatat dan dianalisis dalam penelitian ini.
Hasil Sebanyak 115 subjek memenuhi kriteria inklusi. Insiden terjadinya KM sebesar 46,1%. Faktor yang berhubungan dengan kejadian MG yaitu MG umum, infeksi dan RNL yang tinggi (p<0.05). Rerata rasio netrofil limfosit pada KM lebih tinggi dibanding tidak KM (perbandingan rerata 1.62; IK95% 2.32-2.39). Berdasarkan analisis multivariat diperoleh prediktor independen KM yaitu MG umum (OR 5.3; IK95% 2.4-12.1) dan infeksi (OR 3.4; IK95% 1.2-9.7). Kadar antibodi AchR dan faktor klinis lainnya tidak berhubungan dengan kejadian KM. Kesimpulan Jenis MG umum, infeksi, dan rasio netrofil limfosit tinggi berpengaruh terhadap kejadian KM. Pencegahan infeksi, pemeriksaan RNL berkala serta intervensi agresif diperlukan pada pasien MG dengan faktor risiko tersebut.

Background Myasthenic crisis (MC) is an acute respiratory failure in myasthenia gravis (MG) patient with several risk factors contributing to the life-threatening condition. Early detection of MC risk factors are recommended. Material and methods This study was conducted with cross-sectional design using secondary data collected from MG patients medical records in Cipto Mangunkusumo General Hospital between 2014-2019. MC risk factors (gender, MG onset, initial presenting symptoms, acetylcholine receptor (AchR) antibody, thymic abnormality, infection, neutrophil-to-lymphocyte ratio (NLR), history of thymectomy, pregnancy status, non-steroid immunosuppressive agent withdrawal, antibiotic, cardiovascular agent and radiocontrast agent) were demographically and clinically analysed in this study. Result Of the 115 MG patients selected. Incidence of MC was 46,1%. Factors that were associated with occurrence of MC were generalized MG, presence of infection and high NLR (p<0.05). Mean NLR was higher in MC than those without MC (mean difference 1.6; 95%CI 2.3-2.4). However, multivariate analysis showed that generalized MG (OR 5.3; 95%CI 2.4-12.1) and infection (OR 3.4; 95%CI 1.2-9.7) were independently associated with MC occurrence. Level of AchR antibody and other clinical factors apparently were not associated factors of MC. Conclusion Generalized MG, presence of infection and high NLR were associated with MC occurrence. Prevention of infection, periodic NLR evaluation, and aggressive treatment are suggested for MG patient with above risk factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanie
"Meskipun inovasi kesehatan dan perawatan gizi telah maju, penurunan pertumbuhan tetap menjadi masalah penting pada bayi prematur selama perawatan di NICU. Demi mencegah terjadinya dampak merugikan di masa depan, faktor risiko dari penurunan pertumbuhan perlu dianalisis agar dapat meningkatkan kewaspadaan dan membantu petugas kesehatan dalam memberikan perawatan terbaik untuk pasien neonatus rawat inap.
Penelitian cross-sectional ini bertujuan untuk mengidentifikasi korelasi antara berat lahir, usia gestasi, durasi untuk mencapai pemberian full enteral feeding, dan lama rawat inap terhadap penurunan pertumbuhan pada pasien neonatus rawat inap. Sebanyak 47 rekam medis neonatus (berat lahir 1000-2500, usia gestasi 28-35 minggu) yang lahir di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo antara Januari hingga Desember 2018 dikumpulkan. Data kemudian diolah dengan SPSS Statistics 20. Dari 47 subjek, 18 (38.3%) mengalami penurunan berat badan, 4 (8.5%) mengalami penurunan tinggi badan, dan 3 (6.4%) mengalami penurunan lingkar kepala.
Dalam analisa bivariat, tidak ada faktor risiko (berat lahir, usia gestasi, durasi untuk mencapai pemberian full enteral feeding, dan lama rawat inap) yang secara signifikan berhubungan dengan penurunan berat badan, tinggi badan, ataupun lingkar kepala (p > 0.05). Hal ini dikarenakan pertumbuhan subjek dalam penelitian ini hanya diikuti selama dua minggu. Namun demikian, penurunan pertumbuhan paling banyak terlihat pada berat badan, diikuti oleh tinggi badan dan lingkar kepala. Penjelasan logis untuk ini adalah karena penurunan pertumbuhan individu sendiri dimulai dengan berat badan, lalu tinggi badan, dan dalam kondisi yang parah juga melibatkan lingkar kepala. 

Despite modern health innovations and nutritional care, growth deterioration remain as a significant issue in preterm neonates treated in the NICU. To prevent adverse long- term consequences, risk factors of growth deterioration should be analyzed to increase vigilance and assist health workers in providing the best care for neonatal inpatient.
This cross-sectional study aims to identify the correlation between birth weight, gestational age, duration to achieve full enteral feeding, and length of hospitalization with growth deterioration in neonatal inpatient. A total of 47 medical records of neonates (birth weight 1000-2500, gestational age 28-35 weeks) born in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital between January to December 2018 were collected. Data were then processed with SPSS Statistics 20. Out of 47 subjects, 18 (38.3%) experience weight deterioration, 4 (8.5%) experience height deterioration, and 3 (6.4%) experience head circumference deterioration.
In bivariate analysis, none of the risk factors (birth weight, gestational age, duration to achieve full enteral feeding, and length of hospitalization) is significantly associated with weight, height, or head circumference (p > 0.05). This is because the growth trajectories of the subjects in this study are only followed up to two weeks. However, it can be observed that growth deterioration was highest seen in weight, followed by height and head circumference. A logical explanation behind this is that a decrease in individual growth trajectory begins with weight, then height, and in severe condition head circumference. 
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny D`Silva
"Latar belakang. Transplantasi hati merupakan terapi definitif untuk penyakit hati tahap akhir baik pada dewasa maupun anak. Beberapa dekade terakhir, kemajuan dalam teknik bedah, perservasi, terapi imunosupresif, pemantauan dan pengobatan infeksi telah meningkatkan keberhasilan transplantasi hati. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan satu tahun pasien dan graft pasca-transplantasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode. Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang mengkarakterisasi pasien <18 tahun yang menjalani transplantasi hati selama periode tahun 2010 dan 2022. Sumber data melalui penelusuran rekam medis. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk menggambarkan kesintasan pasien dan graft. Analisis statistik bivariat dan multivariat dilakukan dengan menggunakan uji log-rank dan Cox’s proportional hazards. Nilai p <0,05 dianggap signifikan pada analisis multivariat.
Hasil. Sebanyak 55 pasien anak yang menjalani transplantasi hati; 50,9% adalah lelaki dengan rerata usia 16 bulan. Atresia bilier merupakan penyebab terbanyak dari penyakit hati kronis tahap akhir yang menjalani transplantasi hati. Kesintasan satu tahun secara keseluruhan adalah 85,5%. Berdasarkan hasil analisis multivariat, skor pediatric end-stage liver disease (PELD) ≥20 (p = 0,011) dan durasi operasi ≥16 jam (p = 0,002) merupakan faktor yang berhubungan dengan kesintasan pasien dan graft yang lebih rendah.
Kesimpulan. Pemantauan khusus direkomendasikan pada pasien anak dengan skor PELD tinggi yang menjalani transplantasi hati dan durasi operasi yang lebih lama untuk meningkatkan kesintasan pasien dan graft. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan ukuran sampel yang lebih besar untuk mendapatkan hasil yang signifikan terhadap kesintasan pasien dan graft.

Background. Liver transplantation is the treatment of choice for end-stage liver in both adults and children. The last few decades, progress in terms of surgical techniques, preservation, immunosuppressive therapy, monitoring and treatment of infection have improved survival of liver transplantation. This study aims to identify factors that influence one-year post-transplant patient and graft survival at Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Methods. This is a retrospective cohort analysis characterizing patients transplanted between 2010 and 2022 included all recipients <18 years of age undergoing pediatric liver transplantation. Data sources included hospital medical records. Outcomes measures were overall patient and graft survival. Kaplan-Meier Curve is used to describe patient and graft survival. Bivariate and multivariate statistical analysis was undertaken using log-rank test and Cox’s proportional hazards model. A p value <0.05 was considered significant at the multivariate level.
Results. A total of 55 pediatric patients underwent liver transplantation; 50,9% were boys and median age was 16 months. Biliary atresia were the most common causes of liver disease. Overall 1-year survival rates were 85.5%. According to multivariate analysis, pediatric end-stage liver disease (PELD) score ≥20 (p = 0.011) and operative duration ≥16 hours (p = 0,002) were factors associated with worse patient and graft survival.
Conclusion. Greater caution is recommended in pediatric patients with high PELD score undergoing liver transplantation and longer operative duration to improve patient and graft survival. Further research is needed with larger sample size to obtain a significant impact on patient and graft survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Glenda Angeline T.
"Latar belakang : Insiden sindrom pascakolesistektomi SPK di RS dr.Cipto Mangunkusumo RSCM pada tahun 2012 sebesar 54.29 , lebih tinggi daripada penelitian di negara lain.
Tujuan : Studi ini bertujuan mencari faktor risiko SPK untuk mengupayakan turunnya insiden SPK.
Metode : Dilakukan suatu studi cross-sectional terhadap subjek yang menjalani kolesistektomi pada periode Januari - Desember 2015.
Hasil : Total 112 pasien menjalani laparoskopik kolesistektomi. Insiden SPK didapatkan sebesar 45,5 . Pada analisis bivariat didapatkan hubungan signifikan antara SPK dengan lama keluhan praoperasi p=0,033, OR=2,29 , flatulens praoperasi p=0,000, OR=16,48 , gejala non-spesifik praoperasi p=0,000, OR=6,93 , persepsi pasien p=0,000, OR=5,723 . Pada analisis regresi logistik didapatkan flatulens praoperasi p=0,000, OR=17,152 , gejala non-spesifik praoperasi p=0,012, OR=3,984 dan persepsi pasien praoperasi p=0,003, OR=5,907 merupakan faktor risiko untuk SPK. Rerata lama observasi pascaoperasi adalah 14,95 bulan.
Kesimpulan : Tingginya angka SPK di RSCM akibat jumlah subjek dengan gejala praoperasi non-spesifik yang lebih tinggi, persepsi praoperasi yang buruk, dan perbedaan lama observasi pascaoperasi.

Background: Incidence of postcholecystectomy syndrome in Cipto Mangunkusumo Hospital at 2012 is 54.29 , higher than ever reported.
Objective: The objective of the study was to identify risk factors of PCS and decrease its incidence.
Method: A cross sectional study was performed enroll all subjects that underwent cholecystectomy from January to December 2015.
Result: All 112 subjects underwent laparoscopic cholecystectomy. We found the incidence for PCS to be 45.5 . Bivariate analysis showed there were significant correlation between PCS and preoperative symptom duration p 0.033, OR 2.29 , preoperative flatulence p 0.000, OR 16.48 , non specific preoperative symptoms p 0.000, OR 6.93 , poor preoperative perception p 0.000, OR 5.723 . Multivariate logistic regression analysis showed that only preoperative flatulence p 0.000, OR 17.152 , non specific preoperative symptoms p 0.012, OR 3.984 , and poor preoperative perception p 0.003, OR 5.907 were independent predictive factors for PCS. Mean of postoperative observation was 14.95 months.
Conclusion: High incidence of PCS in RSCM was influenced by larger number of subject with non specific preoperative symptoms, poor preoperative perception and the difference in duration for postoperative observation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55686
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andrio Wishnu Prabowo
"Latar belakang: Insufisiensi vena kronis IVK derajat berat atau C5-C6 membutuhkan penatalaksanaan yang lebih kompleks dan membawa dampak morbiditas yang lebih berat akibat lamanya waktu pengobatan dan angka rekurensi yang tinggi. Hal ini menyebabkan biaya pengobatan yang tinggi dan menurunkan kualitas hidup penderita. Tata laksana definitif IVK C5-C6 telah mengalami pergeseran dari terapi non operatif terapi kompresi dan medikamentosa menjadi terapi operatif dengan teknik non invasif seperti ablasi endovena. Namun karakteristik pasien IVK di Indonesia berbeda dengan di negara maju, dimana sebagian besar pasien datang pada stadium lanjut atau C5-C6. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap jenis terapi yang diberikan baik terapi definitif maupun terapi perawatan luka, sehingga didapatkan penanganan IVK C5-C6 yang sesuai dengan karakteristik pasien di Indonesia.
Metode penelitian: Studi potong lintang analitik dilakukan dengan mengambil total sampel 54 pasien IVK C5-C6 yang datang ke RSCM pada periode Januari 2014-Desember 2015. Pasien IVK yang disertai dengan insufisiensi arteri, insufisiensi vena dalam, dan kelainan kulit akibat penyakit kulit primer, keganasan, trauma dieksklusi. Analisis statistik diolah dengan SPSS 21 for windows, untuk menilai keluaran dari terapi definitif berupa angka rekurensi dan lama rawat.
Hasil penelitian: Angka kekambuhan pasien IVK C5-C6 dengan terapi operatif lebih rendah dibandingkan dengan terapi non operatif yakni 7,1 berbanding 30,8 dalam follow up selama 2 tahun dengan nilai p 0,02 dan OR 0,17 95 IK 0,03-0,91 . Lama perawatan rerata pasien IVK C5-C6 pada kelompok terapi operatif selama 10,6 hari dan kelompok non operatif selama 14,8 hari.
Kesimpulan: Angka kekambuhan pasien IVK C5-C6 yang memperoleh terapi definitif operatif lebih rendah dari yang hanya memperoleh terapi non operatif dalam evaluasi selama 1-2 tahun.

Background: Severe degree C5 C6 of chronic venous insufficiency CVI require complex management and bring severe morbidity due to long duration of treatment and high recurrence rate. This leads to high treatment costs and interfered quality of patients life. Management of CVI C5 C6 in developed countries has changed from non operative therapy to operative therapy with non invasive technique, i.e. endovascular treatment. In Indonesia CVI patient characteristics differ from developed countries, where the majority of patients come at advanced stage or C5 C6. This study aims to evaluate the management of CVI C5 C6, both definitive therapy and also wound care techniques, to afford an appropriate treatment in accordance with the characteristics of the patients in Indonesia.
Method: a cross sectional analytic study carried out by taking the total sample of 54 patients who came with CVI C5 C6 to Cipto Mangunkusumo Hospital in the period of January 2014 December 2015. Those accompanied by arterial insufficiency, deep venous insufficiency, and skin disorders due to primary skin disease, malignancy, trauma were excluded. Statistical analysis is processed with SPSS 21 for windows, to assess the outcome of the definitive therapy in the form of recurrence rates and length of stay.
Results: Recurrence rate of CVI C5 C6 patients with operative therapy is lower than non operative therapy which is 7.1 versus 30,8 in 2 year follow up with p value of 0.02 and OR 0.17 95 CI 0, 03 .91 . The mean treatment duration CVI C5 C6 patients in the operative therapy group is 10.6 days and non operative group is 14.8 days.
Conclusions: Recurrence rate of CVI C5 C6 patients who obtain definitive operative therapy was lower than non operative therapy group in the evaluation for 1 2 years.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>