Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97103 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I Ketut Sudharma Putra
"Tradisi Marebu Mala merupakan salah satu tradisi yang terdapat di desa adat Beraban. Marebu Mala sangat terkait dengan suatu ritual yang berkenaan dengan pembersihan atau pensucian buana agung atau pembersihan terhadap alam semesta dalam ruang lingkup yang lebih kecil adalah lingkungan tempat pakraman desa adat setempat. Tradisi Marebu Mala diselenggarakan pada saat-saat tertentu tatkala adanya suatu kejadian atau peristiwa wabah penyakit atau hal lain yang mengancam keharmonisan hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Penelitian ini menggunakan metode pengamatan, wawancara, dan perpustakaan. Sedangkan, teori yang digunakan adalah teori neofungsional dan semiotik. Adapun perumusan masalahnya adalah apa fungsi dari tradisi Marebu Mala dan yang kedua bagaimana prosesi tradisi Marebu Mala dilakukan. Adapun pembahasannya yakni. Marebu Mala merupakan suatu tradisi yang telah ada dan dilakukan secara turun-menurun oleh masyarakat setempat. Ritual ini sangat sakral karena berkaitan dengan religi atau kepercayaan masyarakat. Fungsi dari Marebu Mala adalah melakukan penetralisiran terhadap energi-energi negatif baik yang disebabkan oleh alam maupun oleh ulah manusia sehingga keadaan yang buruk itu dapat dikontrol dan diredam, tidak menimbulkan impek yang buruk terhadap lingkungan kehidupan manusia. "
Denpasar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, 2017
902 JPSNT 24:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Penulisan terhadap identitas budaya di Desa adat Tanjung di Kabupaten Buleleng dengan menggunakan metode wawancara dan dibantu dengan metode kepustakaan sebagai upaya untuk membedah identitas budaya masyarakat sebagai desa yang ada di bali"
902 JPSNT 21(1-2) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ayu Agung Sumarheni
"Upacar ngaben alit (mebretanem) ini memiliki suatu keunikan khusus diantara upacara-upacara keagamaan yang lain yang ada di Desa Busungbiu yang telah mereka lakukan secara turun-temurun. Keunikan upacara ngaben alit adalah upacaranya dilakukan hanya dikubur saja dan kuburannya itu rata dengan tanah. Setelah itu menggunakan upacara pada umumnya orang meninggal dan orang yang sudah meninggal itu dianggap sudah bersih atau ngabe, dimana secara umum dalam melaksanakan upacara ngaben tanpa dibakar dianggap belum ngaben yang sah. Jika hal tersebut tidak dipatuhi maka desa setempat akan memperoleh bencana. Untuk memperoleh data, digunakan teknik pengumpulan data primer yaitu data langsung dari sumber utama. Dalam hal ini peneliti menggali sumber dengan melakukan penelitian secara langsung terhadap masyarakat di Banjar Timbul Gegel Desa Busungbiu Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng. Sumber data sekunder yaitu data yang dikumpulkan, diolah dan disajikan oleh pihak lain mencakup buku-buku, maupun hasil penelitian yang berbentuk laporan data. Kajian pustaka literatur perlu juga dilakukan untuk menguasai teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian. Upacara ngaben alit mempunyai tujuan khusus untuk mengetahui prosesi pelaksanaan dan untuk mengetahui landasan filosofis yang terkandung dalam pelaksanaan upacara ngaben alit. Karena upakara dan upacara yang mempunyai hubungan erat dengan pendidikan moral atau susila maupun filsafat, ini merupakan hal yang sangat perlu ditingkatkan. Dan dengan terpeliharanya ajaran-ajaran agama serta ajaran-ajaran budi pekerti, etika yang berdasarkan kitab suci maka budaya Bali akan dapat hidup terus."
Denpasar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, 2017
902 JPSNT 24:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Russian interested to the great tradition of science and civilization such as Byzantium and Arab as reference in building their scientifical tradition in any disciplines and fields of studies like astronomy, astrology and medical."
297 TURAS 12 (1-3) 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suryadi
"This paper looks at an early nineteenth-century Malay letter from a land of exile,
Ceylon (present Sri Lanka). The letter, written in Colombo, was dated 3 January
1807 and is in Leiden University Library MS Cod.Or.2241-I 25 [Klt 21/no.526]. It
was written by Siti Hapipa, the widow of the exiled Sultan Fakhruddin Abdul
Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa, the 26th king of the
Gowa Sultanate of South Sulawesi who reigned from 1753 until 1767. He was
banished by the Dutch (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, VOC) to Ceylon
in 1767 on a charge of conspiracy with the British to oppose the VOC trading
monopoly in eastern Indonesia. Although many studies of Malay letters exist,
letters from the lands of exile like such as the one discussed in this article have
received less scholarly attention. Also remarkable is that this is one of the rare
eighteenth- and nineteenth-centuries Malay letters written by a female. Setting
the scene with a historical sketch of the eighteenth and the early nineteenth
century in colonial Ceylon and the Netherlands East Indies, this paper provides
the transliteration of Siti Hapipa?s letter in Roman script, through which I
then analyse the socio-economic and political aspects of the family of Sultan
Fakhruddin in their exile in Colombo."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Suryadi
"This paper looks at an early nineteenth-century Malay letter from a land of exile,
Ceylon (present Sri Lanka). The letter, written in Colombo, was dated 3 January
1807 and is in Leiden University Library MS Cod.Or.2241-I 25 [Klt 21/no.526]. It
was written by Siti Hapipa, the widow of the exiled Sultan Fakhruddin Abdul
Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa, the 26th king of the
Gowa Sultanate of South Sulawesi who reigned from 1753 until 1767. He was
banished by the Dutch (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, VOC) to Ceylon
in 1767 on a charge of conspiracy with the British to oppose the VOC trading
monopoly in eastern Indonesia. Although many studies of Malay letters exist,
letters from the lands of exile like such as the one discussed in this article have
received less scholarly attention. Also remarkable is that this is one of the rare
eighteenth- and nineteenth-centuries Malay letters written by a female. Setting
the scene with a historical sketch of the eighteenth and the early nineteenth
century in colonial Ceylon and the Netherlands East Indies, this paper provides
the transliteration of Siti Hapipa?s letter in Roman script, through which I
then analyse the socio-economic and political aspects of the family of Sultan
Fakhruddin in their exile in Colombo."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Susi Fitria Dewi
"Land is a society?s potent symbol of wealth, social power, and culture. A long time ago, when extensive jungles and forests still abounded, there were probably no serious conflicts over land ownership. Groups were free to roam about and to open up land to extend their farming area in accordance to their needs. Groups in society marked the land they had cultivated to proclaim their ownership. These marks could be very simple and could simply be a tree, a big stone, or a piece of iron hammered into the soil, or they used the physical condition of the land itself such as rivers, lakes, hills etcetera as borders to distinguish their land from that of others. Minangkabau traditional society never recorded these borders in writing on paper, leaves, or stones or any other means as many peoples in other parts of the world do. Rather, they deemed it sufficient to use natural symbols to demarcate the important agreements they had made between them orally."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2010
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sainul Hermawan, 1973-
"Selama ini balamut hanya dilihat sebagai tradisi untuk menghibur, menunaikan nadar dan pengobatan. Penelitian ini berupaya mengisi rumpang tersebut dengan mengkaji bahwa di balik ketiga praktik tersebut ada beragam bentuk resistensi baik yang bersifat individual maupun kolektif terhadap momentum kekuasaan yang ada dalam setiap pertunjukannya. Kemungkinan adanya praktik resistensi ini terabaikan dalam kajian terdahulu karena tradisi balamut cenderung dilihat sebagai sastra lisan dan mendekatinya seperti membaca sastra tulis atau cetak untuk mengidentifikasi makna dan nilai dengan menganalisis unsur-unsur intrinsiknya. Pendekatan tersebut mengabaikan peran penting palamutan dan audiens sebagai faktor pembentuk makna. Oleh karena itu, penelitian ini mendekati tradisi balamut dengan teori dan metode yang disediakan oleh etnografi, tradisi lisan, pertunjukan, dan ritual untuk mengkaji kemungkinan adanya praktik resistensi.Resistensi yang dilakukan palamutan termasuk jenis resistensi individual nirkekerasan yang dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol budaya baik di ranah publik maupun domestik untuk melawan sekaligus membela tradisinya, merespons politik identitas dan mengeritik kondisi sosial kontemporer yang dihadapinya. Dinamika inilah yang membuat tradisi ini tetap bertahan.Dengan melihat tradisi balamut sebagai praktik resistensi berarti menempatkan palamutan sebagai pelaku tradisi yang memiliki kesadaran sosial dan ideologis. Ia bukan sekadar pelaku yang mentransmisikan tradisi secara pasif tetapi ikut menciptakan kembali tradisi tersebut secara aktif dan kreatif.

So far balamut oral tradition in Banjarmasin, South Kalimantan, has been seen only as a tradition to entertain, to perform nadar and treatment. This study attempts to fill these gaps by examining that behind the such three practices there are various forms of resistance to the momentum of the powers individually and collectively in every moment of its performance. The possibility of this resistance practices was overlooked in previous studies because balamut tradition tends to be seen as oral literature and approached as printed literature to identify its meaning and values by analyzing its intrinsic elements. Such approach ignores the important role of palamutan the storyteller of the tale of Lamut and audience as the determining factors of meaning. Therefore, this research approaches balamut tradition in the framework of theories and methods provided by ethnography, oral traditions, performance, and ritual practices to assess the possibility of resistance.Resistance that is conducted by palamutan the storyteller of Lamut Story is a kind of nonviolent individual resistance using cultural symbols both in the public and domestic spheres to fight as well as defend its traditions, respond to politics of identity and criticize the contemporary social conditions he faces. Such cultural dynamic makes this tradition survive.By looking at balamut tradition as a practice of resistance means to place palamutan as a social actor who has social and ideological awareness. He is not just actor who transmits his tradition passively but go on recreating the tradition actively and creatively."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
D2322
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>