Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 57285 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yolanda Normagupita
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai kegiatan sukarela luar negeri Korea sebagai wadah pertukaran budaya yang dilakukan oleh mahasiswa Korea dan mengenai kebudayaan Korea yang diperkenalkan melalui kegiatan tersebut dengan studi kasus Pacific Asia Society Youth Corps PYC . Penelitian ini menggunakan konsep soft power oleh Joseph S. Nye Jr untuk membahas latar belakang upaya pertukaran budaya Korea. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan studi kasus dengan pengambilan data utama melalui observasi dan wawancara. Para sukarelawan PYC terpilih adalah pemuda yang memiliki latar belakang yang sesuai untuk memperkenalkan budaya Korea. Sebagai institusi pelaksana, Pacific Asia Society PAS memberikan pelatihan dan pengarahan kepada sukarelawan. Selain itu, sukarelawan juga diberikan kesempatan untuk mempersiapkan bahan ajar secara mandiri sebelum keberangkatan ke negara tujuan. Kebudayaan yang diperkenalkan PYC adalah 5 pilar budaya Korea, yaitu Hangeul, Hanguk Eumak, Hanji, Hanbok, dan Hansik.


ABSTRACT
This study discusses about Korean international volunteer activity as a cultural exchange institution done by Korean university students and about the cultural forms that has been introduced trough the activity with the case study of Pacific Asia Society Youth Corps PYC . The research is using soft power s concept by Joseph S. Nye Jr to discuss the background of Korea s cultural exchange effort. This study is based on descriptive qualitative and case study with primary data that has been collected trough observation and interview. PYC s selected volunteers are those who have background that is suitable for cultural exchange. As the organizer, Pacific Asia Society PAS gives couching and guidelines for the volunteers. Volunteers are also given chances to prepare the teaching materials before being dispatched to the destination countries. Cultures that has been introduced in PYC are 5 pillars of Korean culture, there are Hangeul, Hanguk Eumak, Hanji, Hanbok, and Hansik."
2017
S70177
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clinton, Bill
London: Arrow Books, 2008
361.7 CLI g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Clinton, Bill
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2010
361.7 CLI gt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Afrina
"ABSTRAK
Tesis ini membahas strategi intervensi sosial dalam pengembangan potensi
pemuda di Purna Caraka Muda (PCMI) DKI Jakarta. Pemuda yang tergabung
dalam organisasi ini telah memiliki potensi dasar, namun jika tidak dikembangkan
dan berhenti setelah program tanpa ada keberlanjutan maka perkembangan potensi
dalam diri pemuda tidak akan maksimal. Dalam upaya pengembangan potensi
tersebut dilakukan berbagai strategi yakni empiris-rasional, normatif-re-edukatif
dan power.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa PCMI DKI Jakarta masih cenderung
mempergunakan strategi empiris-rasional, namun dalam pelaksanaannya juga
telah menerapkan strategi normatif-re-edukatif namun belum terstruktur dan
terlembaga dengan sistematik. Penelitian ini menyarankan bahwa penerapan
strategi yang paling efektif dalam pengembangan potensi yakni strategi normatifre-
edukatif berupa program-program pendidikan dan pelatihan sehingga bisa lebih
mendorong perubahan pada diri individu dalam kelompok secara berkelanjutan.

ABSTRACT
This thesis discusses about the strategies of social intervention in the potential
development of youth in Purna Caraka Muda Indonesia (PCMI) DKI Jakarta. Youth who
are members of this organization has had the basic potential, but if it stop after the
program without sustainability the potential in the young man will not be maximized. In
developing the potential of various strategies that do empirical-rational,
normative-re-educative and power.
This study is a descriptive qualitative research design. Based on the survey results
revealed that the PCMI Jakarta still tended to use empirical-rational strategy, but in
practice also has implemented a strategy of normative-re-educative but has not been
systematically structured and institutionalized. This study suggests that the application of
the most effective strategies in the potential development is a normative-re-educative,
programs such as education and training so they can push changes to the individual in a
group on an ongoing basis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T39296
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aprillina Johana Trixie Masadi
"Hanfu Movement (汉服运动 hànfú yùndòng) mendapat antusias besar dari berbagai kalangan masyarakat Tiongkok, terutama generasi muda. Gerakan sosial ini berupaya menghidupkan kembali pakaian suku Han (汉服 hànfú). Pakaian ini mengacu pada pakaian yang digunakan ketika suku Han memimpin Tiongkok. Hanfu terakhir kali digunakan secara pasti pada saat Dinasti Ming memimpin (1368 – 1644). Namun pada zaman Dinasti Qing (1644-1911), Hanfu hanya digunakan oleh wanita, Han. Masuknya pakaian Barat dan modernisasi menyebabkan Hanfu kembali ditinggalkan untuk waktu yang lama. Hal ini yang mendasari munculnya orang-orang yang ingin mengetahui sejarah dan budaya pakaian tradisional Han. Untuk meneliti permasalahan tersebut, metode yang digunakan berupa penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian ini mengumpulkan sumber-sumber yang relevan untuk mendukung penelitian ini. Hasil penelitian ini adalah Hanfu Movement tidak hanya berfokus pada keinginan menghidupkan kembali penggunaan Hanfu, tetapi juga menghubungkan kembali orang Han dengan identitas budayanya. Meskipun demikian, gerakan ini menuai respons negatif karena kekhawatiran etnosentrisme Han.

The Hanfu Movement (汉服运动 hànfú yùndòng) received great enthusiasm from various circles of Chinese society, especially the younger generation. This social movement seeks to revive Han ethnic clothing (汉服 hànfú). This clothing refers to the clothing worn when the Han tribe led China. Hanfu was last used for certain during the Ming Dynasty (1368 – 1644). But during the Qing Dynasty (1644-1911), Hanfu was only used by women, Han. The influx of Western clothing and modernization caused Hanfu to be abandoned again for a long time. This is what underlies the emergence of people who want to know the history and culture of traditional Han clothing. To examine these problems, the method used is descriptive qualitative research. This research collects relevant sources to support this research. The result of this study is that the Hanfu Movement does not only focus on the desire to revive the use of Hanfu, but also to reconnect the Han people with their cultural identity. Nonetheless, the movement received a negative response due to fears of Han ethnocentrism."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhifa Rahadianingtyas
"Clicktivism telah membantu para aktivis mengatasi masalah sosial dalam beberapa tahun terakhir, termasuk gerakan #MeToo. Pada tahun 2018, gerakan tersebut menjangkau masyarakat patriarki yang mengakar kuat di Korea Selatan, dan mengakibatkan sejumlah partisipan berbagi pengalaman pelecehan seksual mereka di platform media sosial. Beberapa penelitian sebelumnya berfokus pada efek gerakan #MeToo di Korea Selatan. Namun, penggunaan clicktivism belum pernah dibahas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana gerakan #MeToo di Korea Selatan menggunakan clicktivism dalam menyebarkan pesan gerakan dan dampaknya terhadap masyarakat. Enam data media sosial yang berupa unggahan Facebook dan cuitan Twitter dengan tagar #MeToo dipergunakan sebagai bahan analisis dalam makalah ini. Data kemudian dikaji menggunakan metode analisis konten kualitatif media sosial. Berbeda dengan pernyataan beberapa peneliti sebelumnya, studi ini menemukan bahwa clicktivism dalam kasus gerakan #MeToo mampu menarik perhatian orang, mendapatkan partisipasi publik, dan membangun aktivitas offline yang sukses. Gerakan #MeToo di Korea Selatan juga berhasil menciptakan dampak gerakan sosial yang paling kritis dan berkesinambungan, yakni; perubahan kebijakan.

Clicktivism has helped activists address social issues in recent years, including the #MeToo movement. In 2018, the movement reached South Korea’s deeply-entrenched patriarchal society, which resulted in a number of participants sharing their experiences of sexual abuse on social media platforms. Several studies have reported the effect of the #MeToo movement on South Korea; however, the deployment of clicktivism has yet to be addressed. This study aims to analyse how the #MeToo movement in South Korea used clicktivism in spreading the movement’s message and its impact on society. A total of six social media data acquired in this paper are from Facebook posts and tweets that used the hashtag #MeToo, which is analysed using the qualitative content analysis of social media method. In contrast to some researchers' statements, the findings indicate that the clicktivism in the case of the #MeToo movement was able to attract people’s attention, gain public participation, and establish successful offline activities. The #MeToo movement in South Korea also achieved the most critical and long-lasting social movement effect: policy changes. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chindy Respa
"Penelitian ini bertujuan menggambarkan mekanisme perlindungan sosial (social
assistance, social insurance, social care, dan informal social protection) yang dapat dilihat dari bentuk-bentuk konversi kapital seperti kapital sosial, kapital politik, kapital ekonomi, kapital personal, kapital budaya, dan kapital digital. Penelitian dilakukan pada masa pandemi Covid-19 di tiga Paguyuban Wayang Kulit di Yogyakarta yakni Paguyuban Wayang Kulit WL, Paguyuban Wayang Kulit GP, dan Paguyuban Wayang Kulit SK. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus dengan teknik pengumpulan data dengan wawancara, observasi, dan etnografi digital (digital ethnography) media sosial seperti Youtube dan Instagram. Ketiga Paguyuban Wayang Kulit tersebut dipilih karena mereka masih mampu bertahan di masa pandemi Covid-19 dengan tetap menyelenggarakan pementasan wayang kulit secara virtual. Hasil temuan penelitian ini adalah bentuk perlindungan sosial yaitu social assistance, social insurance, social care, dan informal social protection bisa berbentuk formal maupun informal, yang ditemukan pada bentuk-bentuk kapital yang ada di Paguyuban Wayang Kulit. Kapital-kapital tersebut mendukung para paguyuban melakukan pementasan virtual di masa pandemi Covid-19. Terlebih lagi, kapital digital bermanfaat secara langsung sebagai perlindungan sosial di masa pandemi Covid-19,
ketika ada pelarangan pertunjukan seni budaya secara luring yang menimbulkan
kerumunan, maka pementasan wayang kulit virtual menjadi solusinya. Dengan demikian, pemerintah perlu membuat kebijakan yang mengarah kepada dukungan kapital digital untuk para seniman tradisi. Apalagi, di era teknologi saat ini, seniman harus beradaptasi dengan teknologi agar dapat bertahan dari guncangan sosial maupun ekonomi, dan mengikuti perkembangan zaman

This study aims to describe social protection mechanisms (social assistance, social insurance, social care, and informal social protection) which can be seen from forms of capital’s conversion, such as; social capital, political capital, economic capital, personal capital, cultural capital, and digital capital. The study was conducted during the Covid- 19 pandemic in three Wayang Kulit Associations in Yogyakarta, namely the WL Wayang
Kulit Association, the GP Wayang Kulit Association, and the SK Wayang Kulit
Association. This study uses a qualitative research method with a case study approach with data collection techniques with interviews, observations, and digital ethnography social media such as Youtube and Instagram. The three Wayang Kulit Paguyuban were chosen because they were still able to survive the Covid-19 pandemic by continuing to hold virtual shadow puppet shows. The findings of this study are forms of social protection, namely social assistance, social insurance, social care, and informal social protection can be in the form of formal or informal, which are found in the forms of capital that exist in the Paguyuban Wayang Kulit. These capitals support community groups to perform virtual performances during the Covid-19 pandemic. Moreover, digital capital is directly useful as social protection during the Covid-19 pandemic, when there
is a ban on offline cultural arts performances that cause crowds, then virtual shadow puppet performances are the solution. Thus, the government needs to make policies that lead to digital capital support for traditional artists. Moreover, in the current era of technology, artists must adapt to technology in order to survive social and economic shocks, and keep up with the modernization.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Depok : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia , 2019
610 JKI 22:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia , 1999
361.24 REF
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 2005
302.14 PRO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>