Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131632 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Paramita Khairan
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pneumonia menimbulkan mortalitas yang cukup tinggi, karenanya diperlukan model prediksi yang akurat untuk membantu prediksi kematian pasien pneumonia. Sistem skor CURB-65 mudah digunakan namun beberapa penelitian mengindikasikan performa skor CURB-65 kurang baik sehingga diperlukan penambahan faktor prognostik baru. Faktor prognostik yang diperkirakan dapat meningkatkan performa skor CURB-65 adalah kadar albumin darah. Tujuan: Menilai kemampuan kadar albumin serta nilai tambahnya pada skor CURB-65 dalam memprediksi mortalitas pasien penumonia dengan komorbid yang masuk rawat inap. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif dengan subjek penelitian pasien pneumonia dengan komorbid yang masuk rawat inap melalui IGD di RSCM. Outcome penelitian ini yaitu mortalitas selama perawatan. Performa skor CURB-65 dinilai sebelum dan sesudah ditambahkan albumin. Performa kalibrasi dinilai dengan uji Hosmer-Lemeshow sedangkan performa diskriminasi dinilai dengan area under the curve AUC . Hasil: 250 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini dengan angka mortalitas 42,6 . Performa kalibrasi skor CURB-65 dengan uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan p = 0,990 . Performa diskriminasi skor CURB-65 ditunjukkan dengan nilai AUC0,677 IK 95 0,61-0,74 . Setelah ditambahkan kadar albumin dengan titik potong 3,125, didapatkan peningkatan nilai AUC skor CURB-65 menjadi 0,727 IK95 0,66-0,79 . Simpulan: Kadar albumin darah memiliki nilai tambah pada skor CURB-65 sebagai prediktor mortalitas pada pasien pneumonia yang masuk rawat inap. Kata Kunci: pasien pneumonia, mortalitas, CURB-65, kadar albumin darah

ABSTRACT
Background Pneumonia is an infection disease with high mortality. An accurate prediction rule is needed to help clinician in predicting mortality of pneumonia patients. CURB 65 score is a simple and well known scoring system to asses the severity of community pneumonia, but several research indicated that the performance is not really good. Added value of albumin serum in CURB 65 score should be evaluated. Aim To evaluate added value of albumin serum in CURB 65 score as mortality predictor in pneumonia patients. Methode This is a prospective cohort study of pneumonia with commorbidity patients who admitted to emergency instalation of Cipto Mangunkusumo Hospital. Mortality is the outcome that assessed during hospitalization. Performance of CURB 65 score was evaluated before and after addition of albumin in scoring system. Calibration was evaluated with Hosmer Lemeshow test. Discrimination was evaluated with area under the curve AUC . Prediction performance of CURB 65 score and albumin were evaluated with ROC curve. Results 250 patients was submitted to this study with mortality rate 42,6 . Calibration plot of CURB 65 score of Hosmer Lemeshow test showed p 0,990. Discrimination was shown by ROC curve with AUC 0,677 IK 95 0,61 0,74 . AUC of CURB 65 score added by albumin improved to 0,727 IK95 0,66 0,79 . Conclusion Serum albumin has added value to CURB 65 score in predicting mortality of pneumonia patients. Key Words pneumonia patients, mortality, CURB 65 score, serum albumin"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58716
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rose Dinda Martini
"Latar Belakang : Skor CURB 65 merupakan salah satu sistem prediksimortalitas akibat pneumonia komunitas yang cukup mudah dan valid namuntingkat prediksinya tidak cukup tinggi. Prealbumin sebagai marka yangsensitif terhadap malnutrisi dapat digunakan sebagai prediktor mortalitaspada pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas.
Tujuan : Mengetahui kemampuan skor CURB 65 dan prealbumin dalam memprediksi mortalitas pada pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas.
Metoda : Penelitian kohort prospektif pada pasien usia lanjut yang dirawat diRS Dr M Djamil dan RS swasta Padang kurun waktu Mei Desember 2012. Pengambilan data untuk menentukan skor CURB 65 dan prealbumin dilakukan pada 24 jam pertama setelah didiagnosis lalu diikuti hingga 30 hari untuk menentukan status mortalitasnya. Kemampuan prediksi mortalitas skor CURB 65 dan prealbumin discriminatory power dinilai dengan menentukan area under receiver operating characteristic curve AUC dan interval kepercayaan 95.
Hasil : Didapatkan 158 subyek usia lanjut dengan mortalitas 30 hari sebesar 50 Skor CURB 65 mempunyai diskriminasi cukup baik dengan AUC skorCURB 65 0 741 IK 95 0 664 0 818. Sedangkan prealbumin mempunyai diskriminasi cukup baik untuk kejadian non mortalitas dengan AUC prealbumin 0 674 IK 95 0 589 0 759. Penambahan prealbumin terhadap skor CURB 65 meningkatkan kemampuan diskriminasi skor CURB 65 sebesar 4 5 AUC 0 786 IK 95 0 716 0 856.
Kesimpulan : Penambahan prealbumin terhadap skor CURB 65 meningkatkan kemampuan diskriminasi mortalitas usia lanjut denganpneumonia komunitas dari 74 1 menjadi 78 6. Nilai prediksi mortalitaspada prealbumin.

Background : CURB-65score is one of mortality prediction systems for community pneumonia that is quite easy and valid , but the predictionlevel is not high enough. Prealbumin , as a sensitive marker of malnutrition can be used as a predictor of mortality in elderly patients with community pneumonia.
Aim : Determine the ability of CURB - 65 score and prealbumin in predicting mortality in elderly patients with community pneumonia.
Method : Prospective cohort study was held in elderly patients that were admitted to Dr. M. Djamil hospital and private hospitals Padang in period of May 2012 - December 2012. Data collection was to determine the CURB - 65 score and prealbumin done in the first 24 hours after diagnosed , and then followed up to 30 days to determine mortality status. Ability of mortality prediction CURB - 65 scores and prealbumin ( discriminatory power ) was assessed by determining the area under the receiver operating characteristic curve ( AUC ) and 95% confidence intervals.
Result : Obtained 158 elderly subjects with 30-day mortality by 50 %. CURB - 65 score had a pretty good discrimination with AUC CURB - 65 score of 0.741 ( 95 % CI 0.664 to 0.818 ). Whereas prealbumin had a pretty good discrimination for non- mortality incident with prealbumin AUC 0.674 ( 95 % CI 0.589-0.759 ). The addition of prealbumin to CURB-65score increased discrimination ability of CURB - 65 score about 4.5 % ( AUC 0.786 [ 95 % CI 0.716-0.856 ] ).
Conclusion : The addition of prealbumin to CURB - 65 score increases discrimination capability of elderly mortality with community pneumonia of 74.1 % to 78.6 %. Prediction of mortality in prealbumin values < 17.75 mg / dl by 67%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Borries Foresto Buharman
"Pendahuluan. Skor CURB-65 merupakan suatu sistem skor untuk menilai derajat penyakit pneumonia, namun beberapa penelitian menilai performanya kurang baik, sehingga diperlukan faktor prognostik lain sebagai penambah variabel. C-Reactive Protein dinilai mempunyai peran sebagai faktor independen dalam memprediksi mortalitas pasien pneumonia. Penelitian ini dilakukan untuk menilai peran C-Reactive Protein pada skor CURB-65 dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien pneumonia komunitas rawat inap.
Metode. Penelitian ini merupakan studi prospektif berbasis riset prognostik dengan subjek penelitian yaitu pasien pneumonia komunitas yang dirawat di IGD dan gedung A Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo RSCM, Jakarta bulan Oktober-November 2017. Keluaran yang dinilai pada penelitian ini yaitu mortalitas pasien dalam 30 hari. Pada subjek dilakukan penilaian performa skor CURB-65 sebelum dan setelah ditambah dengan nilai C-Reactive Protein. Performa diskriminasi dinilai dengan area under the curve AUC.
Hasil. Sebanyak 200 pasien ikut serta dalam penelitian ini dengan angka mortalitas 37. Performa diskriminasi skor CURB-65 menunjukkan nilai AUC 70,1 IK 95 0,62-0,77. Setelah ditambahkan dengan nilai C-Reactive Protein berdasarkan cut off ge;48,5 mg/L, didapatkan peningkatan nilai AUC skor CURB-65 menjadi 88,0 IK 95 0,83-0,92.
Simpulan. C-Reactive Protein memiliki peran pada skor CURB 65 sebagai prediktor mortalitas 30 hari pasien pneumonia komunitas rawat inap.

Introduction. CURB 65 is a scoring system to evaluate the degree of pneumonia, but some research identified that its performance to predict mortality was below expectations. Therefore, we need other prognostic factor as an added value. C Reactive Protein has a role as an independent factor to predict mortality in community acquired pneumonia. This study aims to evaluate role of C Reactive Protein in CURB 65 score to predict 30 days mortality in hospitalized community acquired pneumonia patient.
Method. A prospective cohort study was conducted to hospitalized community acquired pneumonia patients in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta from October to November 2017. Outcome of the study was mortality in 30 days. Performance of CURB 65 score was evaluated before and after addition of C Reactive Protein. Discrimination was evaluated with area under curved AUC.
Results. Total of 200 patients were included in this study with number of mortality was 37. Performance discrimination CURB 65 score was shown by ROC curve, the AUC is 70,1 CI 95 0,62 ndash 0,77. After addition of C Reactive Protein based of cut off ge 48,5 mg L, the AUC score improved to 88,0 CI 95 0,83 ndash 0,92.
Conclusion. C Reactive Protein has a role to CURB 65 score to predict 30 days mortality in hospitalized community acquired pneumonia patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Adhyaksanti
"Pneumonia komunitas adalah penyebab kematian terbesar di Indonesia. Sistem skor PSI dan CURB-65 telah digunakan dalam menentukan keparahan penyakit dan keputusan tempat rawat berdasarkan risiko kematian dalam 30 hari. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan sistem skor modifikasi PSI dan modifikasi CURB-65 pada pasien CAP sebagai prediktor mortalitas 30 hari di RS Persahabatan. Penelitian ini adalah kohort prospektif yang dilakukan pada pasien CAP yang dirawat di RS Persahabatan sejak bulan Oktober 2012-Maret 2013. Gejala klinis nilai laboratorium, foto toraks, penyakit penyerta skor PSI dan CURB-65 serta hasil akhir berupa kematian dicatat untuk dianalisis. Selama 30 hari subjek penelitian diikuti. Sebanyak 167 pasien CAP mengikuti penelitian ini didapatkan angka kematian sebesar 18,6%. Sensitivitas PSI sama dengan CURB-65 yaitu sebesar 77,4%. Spesifisitas PSI sedikit lebih tinggi dari pada CURB-65 (58,1% vs 53,7% p < 0,001). Risiko relatif mortalitas berdasarkan PSI pada kelompok risiko tinggi sebesar 3,64 kali dibandingkan kelompok risiko rendah, sedangkan risiko relatif mortalitas berdasarkan CURB-65 pada kelompok risiko tinggi sebesar 3,15 kali dibandingkan kelompok risiko rendah. Skor CURB-65 dapat dipertimbangkan sebagai prediktor mortalitas pada pasien CAP yang di rawat inap.

Community Acquired Pneumonia (CAP) is the first leading disease with the highest mortality in hospitalized patient in Indonesia. Pneumonia severity assessment systems such as the pneumonia severity index (PSI) and CURB-65 were designed to predict severity of illness and site of care base on 30-d mortality. The purpose of this study is to comparing the PSI with CURB-65 in patient admitted with CAP as predictor 30 days mortality in Persahabatan Hospital, Jakarta. This is a prospective cohort study in hospitalized community acquired pneumonia patients in Persahabatan Hospital since October 2012- Maret 2013. Clinical symptoms, laboratory findings, chest x-ray , comorbidities, score of PSI and CURB-65, 30 days mortality were recorded for analysis. Thirty days mortality outcome were recorded to analysis which score system as the best to predict 30 days mortality. One hundred and sixtty seven patients CAP were studied with an overall 30-d mortality of 18,6%. Sensitivity of PSI were simillar with CURB-65 for predicting patients who died within 30 d (77,4% ; p < 0.001). Specificity of PSI was slighty higher than CURB-65 (58,1% vs 53,7% p < 0,001). Score PSI have risk mortality 3,64 times in high risk group CAP than low risk group CAP. Score CURB-65 have risk mortality 3,15 times in high risk group CAP than low risk CAP. CURB-65 modification was considerable to predict mortality in CAP patients hospitalized.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christy Efiyanti
"Latar Belakang : Pneumonia komunitas merupakan satu masalah kesehatan yang besar. Mortalitas akibat pneumonia komunitas masih tinggi, terutama di Indonesia bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Skor CURB-65 merupakan sistem skoring yang telah dipakai secara luas, namun memiliki beberapa kekurangan sehingga diperlukan sistem skor baru untuk menilai derajat keparahan pneumonia komunitas. Saat ini telah diperkenalkan sistem skor expanded-CURB-65 yang dinilai dapat lebih baik dalam hubungannya sebagai prediktor mortalitas 30 hari pneumonia komunitas.
Tujuan : Menilai performa kalibrasi dan diskriminasi skor expanded-CURB-65 untuk digunakan dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien pneumonia komunitas di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr.Cipto Mangunkusumo.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif dengan subyek penelitian pasien pneumonia komunitas yang datang ke IGD, poliklinik paru atau dirawat di ruang rawat RSCM. Keluaran yang dinilai adalah mortalitas pasien dalam 30 hari. Dilakukan penilaian performa diskriminasi skor expanded-CURB-65 menggunakan area under the curve AUC . Performa kalibrasi dinilai dengan plot kalibrasi dan tes Hosmer-Lemeshow.
Hasil : 267 pasien ikut serta dalam penelitian ini dengan angka mortalitas 31,5 . Performa kalibrasi ditunjukkan oleh plot kalibrasi skor expanded-CURB-65 dengan r = 0,94 serta uji Hosmer-Lemeshow dengan nilai p = 0,57. Performa diskriminasi skor expanded-CURB-65 ditunjukkan oleh kurva ROC dengan nilai AUC 0,796 IK95 0,74-0,86.
Simpulan : Mortalitas meningkat seiring peningkatan kelas risiko expanded-CURB-65. Expanded-CURB-65 menunjukkan performa kalibrasi dan diskriminasi yang baik dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien pneumonia komunitas di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Background : Community acquired pneumonia is a major health problem. Mortality due to community pneumonia is still high, especially in Indonesia compared to other countries. The CURB 65 score is a widely used scoring system, but has some drawbacks so a new scoring system is needed to assess the severity of community pneumonia. Currently, the expanded CURB 65 scoring system has been assessed better to predict 30 day mortality of community acquired pneumonia.
Aim : To evaluate calibration and discrimination performance of the expanded CURB 65 score in predicting 30 days mortality of community acquired pneumonia patients at the National Center General Hospital dr.Cipto Mangunkusumo.
Method : This study was a prospective cohort study with the study subjects community acquired pneumonia patients who came to the Emergency Room ER , pulmonary polyclinics or hospitalized in RSCM. The assessed outcome was patient mortality within 30 days. Discrimination performance of the expanded CURB 65 score assessed using the area under the curve AUC . Calibration was evaluated with calibration plot and Hosmer Lemeshow test.
Results : 267 patients participated in the study with a mortality rate of 31.5. Calibration plot of expanded CURB 65 score showed r 0,94 and Hosmer Lemeshow test showed p 0,57. Discrimination was shown by ROC curve with AUC 0,796 CI95 0,74 0,86.
Conclusion : Mortality increases with increasing risk class of expanded CURB 65. Expanded CURB 65 showed a good calibration and discrimination performance in predicting 30 day mortality higher in community acquired pneumonia patients in Cipto Mangunkusumo Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuntjoro Harimurti
"Latar Belakang. Hipoalbuminemia sudah diketahui merupakan faktor prediktor morbiditas dan mortalitas pada pasien usia lanjut dengan pneumonia dan CRP merupakan petanda klinis yang penting pada pneumonia. Namun hubungan antara kadar CRP dengan penurunan kadar albumin, sebagai protein fase akut negatif, saat infeksi akut belum pernah diteliti sebelumnya.
Tujuan. Mendapatkan: (1) perbedaan kadar CRP awal perawatan antara pasien dengan daa tanpa penurunan albumin, (2) perbedaan risiko teradinya penurunan albumin antara pasien dengan kadar CRP awal tinggi dan rendah, dan (3) korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit.
Metodalogi. Stuart potong-lintang dan kohort-prospektif dilakukan pada pasien-pasien usia lanjut (>60 tahun) dengan diagnosis pneumonia komunitas yang dirawat di RSCM, untuk diamati penurunan kadar albuminnya selama 5 hari perawatan. Pasien-pasien dengan keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi kadar albumin dan CRP, serta infeksi selain pn nimcnia komunitas dieksklusi dari penelitian. Penilaian kadar CRP dilakukan pada hari pertama perawatan (cut-off 20 mg/L), sementara penurunan albumin ditentukan dari perubahan kadar albumin selama 5 hari perawatan (cut-off 10%). Analisis statistik dilakukan dengan uji-t independen, uji chi-square, dan uji korelasi sesuai dengan tujuan penelitian.
Hasil Utama. Selama periode April-Juni 2005 terkumpul 26 pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang masuk perawatan di RSCM. Hanya 23 pasien yang menyelesaikan penelitian sampai 5 hari dengan 17 pasien memiliki kadar CRP awal tinggi, dan didapatkan penurunan albumin >10% pada 7 pasien setelah 5 hari perawatan. Terdapat perbedaan rerata kadar CRP hari-1 diantara kedua kelompok (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 1K95% 13,25-186,13 mgfL). Namun tidak didapatkan perbedaan risiko bermakna antara pasien dengan kadar CRP tinggi dengan pasien dengan kadar CRP rendah scat awal dengan terjadinya penurunan albumin saat awal perawatan (RR = 2,12; P = 0,621; 11(95% 0,256-29,07). Tidak didapatkan pula korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan (r = 0,205, P = 0,314)
Kesimpulan. Tingginya kadar CRP awal perawatan berhubungan dengan terjadinya penurunan kadar albumin selama perawatan, namun tidak ada perbedaan risiko terjadinya penurunan albumin selama perawatan antara pasien dengan CRP awal tinggi dan CRP awal rendah, serta tidak ada korelasi antara kadar CRP dan albumin scat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit.

Backgrounds. Hypoalbuminemia widely known as a predictive factor for increasing morbidity and mortality in elderly patients, including with pneumonia; while CRP has known as a clinical marker for pneumonia. But relationship between CRP level with decrease of serum albumin level, as a negative acute-phase protein, during acute infection has never been studied before.
Objectives. To found: (1) CRP level difference between patient with and without decreased of serum albumin level, (2) risk for developing decreased of serum albumin level in patients with high CRP compared to patients with low CRP level, and (3) correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
Methods. Cross-sectional and prospective-cohort studies was conducted in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia that admitted to RSCM, to observed the decreased of serum albumin level in five days of hospitalization. Conditions that known could influence CRP and albumin consentration have been excluded, and other infections as well. CRP level was determined on admission (cut-off 20 mgfL), while decreased of serum albumin was observed for 5 days of hospitalization (cu[-off 10%). Statistical analysis was done by using independent t-test, chi-square test, and correlation test appropriately accord-ing to the objectives of the study.
Main Results. During study period (April to June, 2005) 26 hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia had been included into study, but only 23 of them that finished the study for 5 days. There were 17 patients that have high level of CRP on admission, and 7 patiens that developing decreased of serum albumin level more than 10% in fifth day compared to their serum albumin level on admission. There was significant mean CRP difference among 2 groups (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 95%CI 13,25-186,13 mgfL), but there was no risk difference between patients with high and low CRP level on admission for developing decreased albumin level on fifth day of hospitalization (RR = 2,12; P = 0,621; 95%CI 0,256-29,07). And there was no correlation between CRP and albumin level on admission (r = 0,205, P = 0,314)
Conclusions. Patients with high CRP level on admission tend to have decreased of serum albumin level during hospitalization, but there was no risk difference for developing decreased of serum albumin level between patients with high and low CRP level, and there was no correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Adi Firmansyah, examiner
"[Latar Belakang: Pneumonia komunitas masih merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak untuk penyakit infeksi, baik di negara maju ataupun negara berkembang. Pengetahuan tentang prediktor mortalitas dapat membantu pengambilan keputusan klinis untuk tatalaksana pasien. Penelitian terdahulu mengenai prediktor mortalitas di luar negeri sebagian besar dilakukan pada usia lanjut dan hanya ditemukan satu penelitian mengenai faktor-faktor prediktor mortalitas di Indonesia namun juga terbatas pada usia lanjut.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor mortalitas pasien pneumonia komunitas dewasa di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien rawat inap dewasa RSCM yang didiagnosis pneumonia komunitas selama tahun 2010– 2014. Data klinis dan laboratorium beserta status luaran (hidup atau meninggal) selama perawatan diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-square dilakukan pada sepuluh variabel prognostik, yakitu kelompok usia, penurunan kesadaran, komorbiditas (skor Charlson Comorbidity Index – CCI >5), sepsis, gagal napas, pneumonia berat, kadar hemoglobin <9 g/dL, hitung leukosit <4.000/ul atau >20.000/ul, kadar albumin <3 g/dL, dan kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dL. Data yang tidak lengkap diatasi dengan teknik multiple imputation. Variabel yang memenuhi syarat akan disertakan pada analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Subjek penelitian terdiri dari 434 pasien. Mortalitas selama perawatan sebesar 23,9%. Sebanyak 197 (45,4%) pasien adalah laki-laki dan 237 (54,6%)pasien adalah perempuan. Median usia pasien 58 tahun (rentang 18 sampai 89)tahun dan median lama perawatan adalah 8 (rentang 1 sampai 63) hari. Patogen tersering dari hasil kultur sputum adalah Klebsiella pneumoniae (28%). Prediktor mortalitas independen yang bermakna pada analisis multivariat adalah pneumonia berat (OR=29,42; IK 95% 20,81 sampai 41,58), sepsis (OR=3,65; IK 95% 2,57 sampai 5,19), gagal napas (OR=3,2; IK 95% 1,9 sampai 5,37), skor CCI >5 (OR=2,25; IK 95% 1,6 sampai 3,15) dan kadar albumin <3 g/dL (OR=1,42; IK 95% 1,04 sampai 1,95).
Simpulan: Pneumonia berat, gagal napas, sepsis, skor CCI >5, dan kadar albumin <3 g/dL merupakan pediktor independen mortalitas pasien pneumonia komunitas dewasa saat rawat inap., Background: Community-acquired Pneumonia (CAP) is one of the causes of death from infectious disease in the developed or developing countries. The prediction of outcome is important in decision-making process. Previous studies of predictors of mortality in overseas mostly in elderly and only found one previous study in Indonesia, but also limited in the elderly.
Objective: To determine the predictors of mortality in hospitalized patients with CAP in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia.
Methods: We performed a retrospective cohort study among hospitalized patients with CAP in Cipto Mangunkusumo Hospital between 2010–2014. Data were collected at initiation of hospitalized period and the main outcome was all-cause mortality during hospitalization. We analyzed age, decreased of consciousness, comorbidity (represented as Charlson Comorbidity Index – CCI), sepsis, respiratory failure, severe pneumonia, hemoglobin level <9 g/dL, leucocyte count <4.000/ul or >20.000/ul, albumin level <9 g/dL, and blood glucose level >200 mg/dL in bivariate analysis using Chi-Square test. Missing data were handled using multiple imputation. Multivariate logistic regression analysis was performed to identify independent predictors of mortality.
Results: A total of 434 patients were evaluated in this study. In-hospital mortality rate was 23.9%. There were 197 (45,4%)male and 237 (54,6%) female patients. Median age of population was 58 (range 18 to 89) years old and median length of stay was 8 (range 1 to 63) days. The commonest pathogen was Klebsiella pneumoniae (28%). The independent predictors of mortality in multivariate analysis were severe pneumonia (OR 29.42; 95% CI 20.81 to 41.58), sepsis (OR 3.65; 95% CI 2.57 to 5.19), respiratory failure (OR 3.2; 95% CI 1.9 to 5.37), CCI score >5 (OR 2.25; 95% CI 1.6 to 3.15) and albumin level <3 g/dL (OR 1.42; 95% CI 1.04 to 1.95).
Conclusion: Severe pneumonia, respiratory failure, sepsis, CCI scores >5, and albumin level <3 g/dL were independent predictors of in-hospital mortality among hospitalized patients with CAP.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anggraini Permata Sari
"Latar Belakang: Jumlah pasien penyakit kritis semakin meningkat dengan mortalitas yang cukup tinggi, sehingga diperlukan model prediksi yang memiliki performa yang baik untuk memprediksi mortalitas. MSOFA adalah salah satu sistem skor yang dapat memprediksi mortalitas 28 hari. Walaupun validasi MSOFA menunjukkan hasil yang baik di berbagai negara, masih diperlukan untuk melakukan validasi di Indonesia dan mencari parameter lain untuk meningkatkan ketepatan prediksi mortalitas. Kadar magnesium darah perlu diperhitungkan penggunaannya dalam memprediksi mortalitas terutama jika ditambahkan pada skor MSOFA.
Tujuan: Menilai performa kalibrasi dan diskriminasi MSOFA serta nilai tambah kadar magnesium total dalam memprediksi mortalitas pasien penyakit kritis medis di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo (UPI RSUPNCM).
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif dengan subjek penelitian pasien penyakit kritis medis yang dirawat di UPI RSUPNCM pada periode April-Juli 2013. Hasil pemeriksaan fisik, Glasgow Coma Scale, saturasi oksigen perifer, serum kreatinin dan magnesium dinilai saat pasien masuk ke UPI. Outcome dinilai saat pasien mencapai hari ke 28 setelah hari perawatan pertama. Performa kalibrasi dinilai dengan plot kalibrasi dan uji Hosmer-Lemeshow. Performa diskriminasi dinilai dengan area under the curve (AUC). Kemampuan prediksi skor MSOFA bersama magnesium ditentukan dengan ROC dari nilai predicted probability terhadap mortalitas.
Hasil: Sebanyak 150 pasien diikutsertakan dalam penelitian dengan angka mortalitas 33,3%. Plot kalibrasi MSOFA menunjukkan koefisien korelasi r = 0,7 dan uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan p = 0,08. Performa diskriminasi ditunjukkan dengan nilai AUC 0,83 (IK 95% 0,76-0,90). Kadar magnesium darah tidak memiliki nilai tambah terhadap MSOFA dalam memprediksi mortalitas pasien penyakit kritis.
Simpulan: MSOFA memiliki performa kalibrasi dan diskriminasi yang baik dan kadar magnesium darah tidak memiliki nilai tambah terhadap MSOFA dalam memprediksi mortalitas pasien penyakit kritis.

Background: Critically ill patients are increasing in number with high mortality rate and good performance of prediction model is needed to predict mortality. MSOFA is one of the scoring systems which can predict 28 days mortality. MSOFA has showed a good validation in many patients abroad, yet still need to be tested in Indonesia and improving its performance. Total magnesium serum can be used as an added value to improve MSOFA performance.
Objective: To evaluate calibration and discrimination of MSOFA and magnesium as an added value to predict mortality in critically ill patients.
Methods: This is a prospective cohort study of medical critically ill patient who admitted to Intensive Care Cipto Mangunkusumo Hospital. Physical examination, Glasgow Coma Scale, peripheral oxygen saturation, creatinine and magnesium serum were obtained when the patient was admitted at ICU. Outcome was assessed when patients have reached 28 days after the first day of admission. Calibration was evaluated calibration plot and Hosmer-Lemeshow test. Discrimination was evaluated with area under the curve (AUC). Prediction performance of MSOFA and magnesium were evaluated with ROC curve.
Results: 150 patients was submitted to this study with mortality rate 33,3%. Calibration plot of MSOFA showed r = 0,7 and Hosmer-Lemeshow test showed p = 0,08. Discrimination was shown by ROC curve with AUC 0,83 (CI 95% 0,76-0,90). Magnesium total serum has no added value to MSOFA as a mortality predictor in critically ill patients.
Conclusion: MSOFA has good callibration and discrimination performance, and magnesium blood level has no added value to MSOFA for predicting mortality in critically ill patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Pramudita
"Latar belakang: Skor MSOFA telah dikembangkan sebagai critical care triage pada rumah sakit dengan sumber daya terbatas. Di Indonesia telah diteliti performa MSOFA sebagai prediktor mortalitas terhadap pasien penyakit kritis namun terbatas pada pasien bedah. Hasil evaluasi prediksi mortalitas MSOFA menunjukkan kemampuan prediksi mortalitas yang cenderung rendah. Penambahan variabel lain pada skor MSOFA untuk meningkatkan prediksi mortalitas perlu diteliti lebih lanjut. Hiperglikemia pada penyakit kritis tanpa riwayat diabetes melitus (hiperglikemia akibat stres) berdasarkan penelitian merupakan faktor risiko independen terhadap mortalitas.
Tujuan: Melakukan validasi MSOFA serta nilai tambah kadar glukosa darah sebagai prediktor mortalitas pasien penyakit kritis tanpa riwayat diabetes melitus.
Metode penelitian: Penelitian prospektif kohort pada pasien penyakit kritis medis maupun bedah di RSUPN Cipto Mangunkusumo selama periode Agustus hingga Desember 2013. Pasien dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, saturasi oksigen perifer, glasgow coma scale, pemeriksaan laboratorium kadar kreatinin, pemeriksaan glukosa darah sewaktu serta A1C dalam 24 jam pertama perawatan. Outcome penelitian ini adalah mortalitas dalam 28 hari. Analisis statistik menggunakan tes Hosmer-Lemeshow, plot kalibrasi serta kurva ROC.
Hasil: Subjek penelitian sebanyak 150 pasien. Mortalitas terjadi pada 52 pasien (34,67%) dengan sepsis sebagai masalah terbanyak. Kalibrasi MSOFA menunjukkan Hosmer-Lemeshow x2=13,748(p=0,056). Diskriminasi MSOFA menunjukkan AUC 0,83 (IK 95% 0,76-0,89). Hiperglikemia terjadi pada 79 pasien (52,67%). Penambahan kadar glukosa darah pada MSOFA tidak menunjukkan peningkatan AUC.
Simpulan: Validasi MSOFA menunjukkan kalibrasi dan diskriminasi yang baik pada pasien penyakit kritis baik medis maupun bedah. Penambahan kadar glukosa darah pada skor MSOFA tidak meningkatkan kemampuan prediksi mortalitas.

Background: MSOFA, a simple scoring system, has been developed as a critical care triage in centers with limited resources. Previous study have evaluated MSOFA’s performance but limited only in surgical critically ill patients which showed a low precision in predicting mortality. Addition of another variable to improve MSOFA’s performance merits further investigation. Hyperglycemia in critically ill patients without previous history of diabetes (stress hyperglycemia) has been shown to be an independent risk factor of mortality.
Objective: to evaluate MSOFA scoring system’s performance and addition of admission blood glucose test to predict mortality in critically ill patient without previous history of diabetes.
Methods: This was a prospective cohort study recruiting medical and surgical critically ill patients admitted to Cipto Mangunkusomo Hospital during a period of August to December 2013. History taking, physical examination, peripheral oxygen saturation, Glasgow Coma Scale, creatinine, blood glucose and A1C were obtained within 24 hour of admission. The outcome was mortality within 28 days. Performance of MSOFA was evaluated with the Hosmer-Lemeshow goodness of fit test and measuring the AUC.
Results: 150 patients completed the study protocols. Mortality was observed in 52 patients (34,67%) with sepsis being the most prevalent diagnosis. Calibration of MSOFA showed a Hosmer-Lemeshow test x2=13.748 (p = 0.056). Receiver Operating Curve (ROC) of MSOFA showed an AUC of 0,83 (95% CI 0,76-0,89). Stress hyperglycemia was evident in 79 patients (52,67%) recruited in this study. Addition of blood glucose to MSOFA scoring system did not show improvement in MSOFA’s performance.
Conclusion: We have validated MSOFA in this study which showed good calibration and discrimination in both medical and surgical critically ill patients. Adding blood glucose to MSOFA scoring system did not improve MSOFA’s performance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andhiky Raymonanda Madangsai
"Latar belakang: Bedah pintas arteri koroner merupakan tindakan yang memiliki risiko kematian. Terdapat beberapa skor prediksi mortalitas jangka pendek yang saat ini digunakan untuk memprediksi risiko kematian 30 hari pasien pasca-bedah pintas arteri koroner salah satunya skor ACEF. Namun skor yang telah digunakan saat ini masih memerlukan penyempurnaan karena kemampuan prediksinya yang belum optimal. Peningkatan kadar glukosa darah berkaitan erat dengan peningkatan mortalitas. Namun peranan glukosa darah sebagai prediktor mortalitas belum terdapat dalam skoring ACEF.
Tujuan: Mengetahui kemampuan kadar glukosa darah satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner sebagai prediktor mortalitas 30 hari dan kemampuan sebagai modifikator skor ACEF.
Metode: Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pasien yang menjalani prosedur bedah pintas arteri koroner di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode januari 2015 hingga desember 2022. Pada data umur, kreatinin, fraksi ejeksi, glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan kematian dari rekam medis pasien dibuat model prediksi dan dilakukan analisis performa diskriminasi dan kalibrasi.
Hasil: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan variabel ACEF dari 322 pasien dikaji dan dianalisis. Terdapat 11,8% pasien meninggal dengan median Glukosa Darah Sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner 220.  Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner memiliki AUC terbesar 0,537. Skor ACEF memiliki AUC 0,843. Modifikasi skor ACEF dengan glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner berupa skor prediksi baru memiliki AUC 0,843
Simpulan: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner tidak dapat memprediksi mortalitas 30 hari.

Background: Coronary Artery Bypass Graft Surgery (CABG) is one of cardiac surgery with risk of mortality. There are already many scores to predict mortality in 30 days after CABG, one of them is ACEF score. Although it is relatively easy to use, ACEF score is still considered imperfect. Other studies have shown that hyperglycemia increases risk of mortality, including post CABG. Hyperglycemia or blood glucose is still rarely found in established scoring systems.
Objective: To find added predictive value of adding blood glucose to ACEF score in predicting 30-days post CABG mortality.
Methods: This study is a retrospective cohort study. Data was collected from medical records of patients who went CABG in RSUPN Cipto Mangunkusumo from January 2015 to December 2022. Age, creatinine, ejection fraction, and mortality were analyzed and synthesized to make new models. We calibrated and found the discrimination of new model.
Results: We analyzed one hour-post CABG blood glucose level and ACEF score component from 322 patients. Thity-day mortality following surgery was observed in 38 subjects (11.8%). The median blood glucose was 220. The AUC of blood glucose to predict 30-days mortality is 0,537. The AUC of ACEF score in this study is 0,843. The model of adding blood glucose to ACEF score has AUC 0,843.
Conclusion: One hour post CABG blood glucose level didn’t add predictive value to ACEF of 30 days post CABG mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>