Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88274 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nining Ratna Ningrum
"ABSTRAK
Deteksi antibodi bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi ireguler terhadap sel darah merah di dalam plasma pasien. Sampai saat ini, kegiatan pelayanan transfusi darah di Indonesia masih bergantung pada uji silang serasi yang masih kemungkinan adanya antibodi ireguler yang tidak terdeteksi. Antibodi tersebut dapat menyebabkan terjadinya reaksi transfusi tipe lambat yang ditandai dengan penurunan hemoglobin dan peningkatan kadar bilirubin. Upaya keamanan pada pasien transfusi perlu ditingkatkan dengan diterapkan uji saring antibodi secara rutin pada pemeriksaan pra-transfusi. Tujuh ratus sampel pasien yang meminta darah ke laboratorium pelayanan pasien di UTD PMI DKI Jakarta dilakukan uji saring antibodi dan uji silang serasi secara otomatis dengan alat Ortho AutoVue Innova dengan Column Agglutination Technology. Untuk membuktikan kompatibel palsu dipilih 10 plasma pasien yang mengandung antibodi untuk dilakukan uji silang serasi mayor dengan 70 sampel darah donor. Hasil kompatibel dilakukan konfirmasi dengan antigen typing pada donor. Semua sampel pasien yang tidak memiliki antibodi 100 kompatibel pada uji silang serasi mayor. Dari 70 sampel dengan hasil kompatibel pada uji silang serasi mayor ditemukan 14 20 hasil negatif palsu. Dari penelitian ini disimpulkan uji saring antibodi lebih mampu mendeteksi antibodi pada plasma pasien dan aman digunakan dalam pemeriksaan pra-transfusi.

ABSTRACT
Detection of antibody aims to detection of irregular antibody on the blood cell in patient plasma. Until now, blood transfusion in Indonesia in terms still depending on the crossmatch is still risking on undetected irregular antibody. The irregular antibody may cause a delayed hemolytic transfusion with hemoglobin reduction and bilirubin increase as the symptoms. Patient with blood transfusion 39 s safety needs to be improved by routine antibody screening on pre transfusiontest. 700 samples of patients who requested blood to the patient care laboratory in UTD PMI DKI Jakarta were antibody screening and major crossmatch automatically with Ortho tool AutoVue Innova with Column Agglutination Technology. To prove false compatible, 10 patient 39 s plasma containing antibodies have been selected to be tested by major of crossmatch with 70 blood donor samples. Compatible Results were confirmed with antigen typing. All samples of patients who did not have antibodies 100 compatible on crossmatch test. from 70 samples which compatible on major crossmatch test was found 14 20 of false negative results. This study suggests the antibody screening which capable of detecting antibodies in the patient 39 s plasma and safely used in the pre transfusion test. "
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Ken Ritchie
"Resipien yang mendapat transfusi berulang berisiko membentuk aloantibodi anti-HLA Kelas I karena masih adanya leukosit dalam komponen darah dan upaya pengurangan jumlah leukosit tersebut dengan filter atau radiasi belum merata tersedia di Indonesia. Antibodi anti-HLA Kelas I dapat bereaksi dengan trombosit donor pada transfusi berikutnya menyebabkan platelet refractoriness. Untuk mencegah terjadinya platelet refractoriness, pasien harus mendapat trombosit yang HLA-match atau antigen negative cell, namun belum memungkinkan karena keterbatasan jumlah donor darah yang telah diketahui antigen HLA Kelas I. Untuk itu, dilakukan pemilihan trombosit donor yang memiliki CREG HLA Kelas I yang sama dengan resipien dan selanjutnya dipastikan bahwa inkompatibilitas trombosit tidak terjadi dengan uji silang serasi trombosit pre-transfusi.
Dua puluh delapan sampel pasien anemia aplastik yang mendapat transfusi berulang dilakukan skrining antibodi trombosit dengan metode whole-platelet ELISA dan dilanjutkan dengan identifikasi antibodi trombosit dengan metode MAIPA (Monoclonal Antibody Immobilization Platelet Antigen). Sampel yang terdeteksi antibodi HLA Kelas I dianalisis genotip HLA-A dan HLA-B dan dilakukan uji silang serasi dengan trombosit donor yang dipilih berdasarkan kelompok alel CREG HLA.
Dari hasil skrining antibodi, terdeteksi 8 dari 28 sampel terdapat antibodi anti-trombosit. Tujuh dari 8 sampel tersebut atau 7 dari keseluruhan sampel (25%) yang memiliki antibodi HLA Kelas I. Trombosit donor yang CREG HLA Kelas I nya sama dengan resipien cocok berdasarkan hasil uji silang serasi trombosit pre-transfusi dan sebaliknya trombosit donor yang CREG HLA Kelas I nya tidak sama dengan resipien dapat menghasilkan ketidakcocokan atau inkompatibilitas pada uji silang serasi trombosit pre-transfusi. Terdapat antibodi HLA Kelas I pada 25% penderita anemia aplastik yang mendapat transfusi berulang. Dengan melakukan pemilihan trombosit yang berasal dari kelompok CREG HLA Kelas I yang sama antara donor dengan pasien maka didapatkan hasil uji silang serasi yang cocok. Studi ini sebaiknya dilanjutkan untuk melihat respon transfusi trombosit pasien yang medapat trombosit yang cocok ini.

Allo-immunization risk to HLA class I antigen is very high in multi-transfusion patients because leukocyte contamination in blood components and At next transfusion, the patients could have platelet refractoriness due to HLA antigen and alloantibody reaction. To avoid platelet refractoriness, he should be transfused with HLA-match platelet or HLA negative-cell but the blood centre doesn`t have enough donors who have been HLA class I typed. Therefore, in this study we want to know whether donor`s platelet with the same CREG HLA class I with patients is compatible.
Whole-platelet ELISA for platelet antibody screening was conducted on 28 samples of Aplastic Anemia patients from Hematology-Oncology Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital. We identify the samples with MAIPA (Monoclonal Antibody Immobilization Platelet Antigen). Positive sample were amplified using PCR-ssp method to analyze the genotype of HLA class I. We also analyze the platelet cross-match.
With ELISA method we found 8 of 28 samples have platelet antibody. Seven of those positive samples or 7 of all samples (25%) have HLA class I antibodies. From platelet crossmatch, we found that if CREG HLA Class I between donor and patient are same, the result is compatible. 25% of aplastic anemia who received blood transfusion routinely have antibody to HLA class I. With selected platelet based on the same CREG between donor and patient, we can provide compatible platelet to those patients. But this compatible platelet must be evaluated in patients."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tity Silvia
"ABSTRAK
Latar belakang. Transfusi darah mempunyai resiko untuk menyebabkan transmisi penyakit melalui darah, seperti malaria. Indonesia merupakan daerah endemik malaria terutama jenis P.falsiparum dan P.vivax. Di daerah endemik sulit menyaring kasus malaria hanya melalui wawancara dan keadaan klinis saja sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menyaring kasus malaria. Pemeriksaan laboratorium terhadap malaria yang ada saat ini adalah pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Giemsa, rapid diagnostic tests (RDT) dan PCR. Teknik yang digunakan tersebut memiliki keterbatasan. Perubahan yang terjadi pada permukaan membran eritrosit selama perkembangan parasit malaria intraseluler antara lain diekspresikannya berbagai protein polimorfik yang diketahui dapat memberi respon imun yang kuat. Antibodi terhadap molekul protein ini dapat ditemukan dalam serum penderita segera setelah penyembuhan infeksi malaria primer. Oleh karena itu, dilakukan penelitian ini untuk melihat apakah sediaan apus sel darah merah yang terinfeksi malaria yang diwarnai dengan teknik imunositokimia dapat mendeteksi adanya antigen pada permukaan sel darah merah tersebut menggunakan mikroskop cahaya.
Metodologi.Penelitian ini dilakukan pada 42 bahan penelitian yang terdiri dari bahan yang positif dan negatif berdasarkan pemeriksaan mikroskop. Bahan penelitian ini diperiksa dengan teknik PCR sebagai baku emas, lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan imunositokimia ( immunocytochemistry,ICC).
Hasil. Dari 42 bahan penelitian yang diperiksa dengan PCR , dua bahan tidak dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan ICC karena sediaan terlalu kecil.Dari 40 bahan yang diperiksa dengan PCR dan ICC, tiga bahan penelitian menunjukkan hasil positif dengan pemeriksaan PCR maupun ICC. Satu bahan penelitian yang negatif dengan pemeriksaan PCR menunjukkan hasil positif dengan pemeriksaan ICC. Sensitivitas pemeriksaan menggunakan teknik ICC dibandingkan dengan PCR adalah 100% dengan spesifisitas 97%.
Simpulan. Pemeriksaan ICC cukup sensitif untuk menyaring adanya sel darah merah yang terinfeksi malaria sehingga dapat dipertimbangkan sebagai pemeriksaan untuk uji saring malaria pada darah donor.

ABSTRACT
Background. Blood transfusion are at risk to cause the transmission of blood borne diseases, such as malaria. Indonesia is a malaria- endemic areas , especially P.falciparum and P.vivax. In endemic areas, malaria is difficult to filter out throught interviews and clinical manifestation only. Hence, the laboratory tests to screen cases of malaria are needed. The existing laboratory techniques to detect malaria are microscopic examination with Giemsa staining, rapid diagnostic test and PCR. These technique had limitation . Changes that occur on the surface of the erythrocyte membrane during intracellular malaria parasite development such as the expression of various polymorphic protein, is known to induce a strong immune response. Antibodies to this protein molecule can be found in the serum of patients immediately after primary malarial infection. Therefore this research aims to search if the red blood cells smear of blood infected with malaria using immunocytochemistry technique can detect the presence of antigens on the surface of red blood cells using a light microscope.
Methodology. In this study conducted at 42 study material consisting of positive and negative material base on microscope examination. This research material examined by PCR as gold standard, followed by immunocytochemistry examination (ICC).
Result. Forty two research material were examined by PCR, two material can not be able to proceed with the ICC examination because the size of preparation are too small. Forty material were examined by PCR and ICC, three material research shows positive result with PCR and ICC . One study material negative with PCR shows positive result with the ICC. Sensitivity checks using ICC compared to PCR technique was 100% with specificity was 97%.
Conclusion. ICC technique is sensitive to screen for red blood cells infected with malaria. It can be considered as a screening examination for malaria in blood donor."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmine Syifa Nabila Budi
"Latar Belakang: Reaksi transfusi adalah reaksi yang disebabkan oleh banyak hal. Reaksi yang paling sering ditemukan adalah reaksi yang berbentuk alergi pada pasien karena ada perbedaan jenis antigen dan antibodi yang ditransfusikan kepada pasien tersebut. Hal ini dapat terjadi karena alasan seperti: kontaminasi virus, bakteri dan juga kesalahan dalam menjaga produk sampai ke tangan pasien. Selain itu faktor yang dapat membuat hal ini terjadi dapat ditemukan dari perbedaan produk pemakaian dan juga kondisi pasien yang sudah ada sebelum pasien di transfusi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah perbedaan jenis dan juga penggunaan produk platelet dapat menimbulkan reaksi transfusi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik. Hal ini dilakukan dengan pemberian questionnaire kepada 82 pasien di ruang transfusi dan ruang perinatologi RSCM . Penelitian ini adalah penelitian analitik untuk melihat apa yang menimbulkan reaksi transfusi pada pasien jika ada.
Hasil: Reaksi akut adalah reaksi yang paling sering terjadi pada pasien di dalam ruang transfusi dan ruang perinatologi RSCM, dengan gejala yang paling sering terjadi adalah reaksi alergi. Insiden terbanyak adalah terkait dari pemakaian produk TC
Kesimpulan: Reaksi transfusi adalah sebuah reaksi yang mungkin terjadi pada setiap episode transfusi. Reaksi dapat terjadi karena adanya reaksi antara antigen dan antibodi pasien yang mungkin saja tidak sesuai dengan produk itu sendiri. Hal seperti kontaminasi dan kelalaian saat memberikan produk juga adalah salah satu faktor resiko adanya kejadian reaksi transfusi ini. Pada 82 pasien yang menggunakan produk platelet ditemukan reaksi akut yang terjadi kepada 59,8% dari keseluruhan pasien transfusi. Pemakaian yang paling sering menimbulkan reaksi adalah produk TC dari seluruh derivatives platelet.

Background: Transfusion reaction is one of the problems that are most commonly found in hospital setting after the process of transfusion. The occurrences are still present after several preventive measures, transfusion reaction is usually elicited because the product is contaminated by virus, bacteria and also the mismanagement of the product. Other factors that could elicit such reaction varies from the kind of blood product that the patient acquired, how many times the patient have undergone the procedure and also their own diagnosis.
Method: Use of questionnaires that are given to 82 pediatric patients in the transfusion ward and perinatologi ward. This is an analytical research that dwells into finding out the causes and also the risk factor of transfusion reaction.
Result: Acute reaction is the most common type of reaction happening after the use of platelet product, with the symptoms similar to those of allergic reaction (urticaria, pruritus and rashes). The most common type of product used in RSCM is Thrombocyte Concentrate.
Conclusion: Transfusion reaction is a reaction that may occur in every transfusion episode. The reaction could occur due to a reaction between the patient's antigen and antibodies which may not be compatible with the product. Matters such as contamination and negligence when providing products are also one of the risk factors for the occurrence of this transfusion reaction. In 82 patients using platelet products, it is found that acute reaction was the most common reaction in patients from the RSCM transfusion ward with a prevalence of 59.8% of all transfusion patients. The most common product that caused reaction was TC with prevalence causing transfusion reaction as much as 64.2% of all TC product usage. In RSCM, platelet and plasma products used are at TC = 64.6%, Pooled TC = 26.8% and Apheresis Platelet along with other products at 8.5%. In short using platelet product can be deemed as safe since the risk outweighs its benefit.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamed Amshar
"ABSTRAK
Pubertas terlambat merupakan salah satu komplikasi utama pada pasien thalassemia mayor. Penyebab utama pubertas terlambat pada pasien thalassemia mayor adalah penumpukan besi pada kelenjar hipofisis. Selain itu, anemia kronis pada pasien thalassemia mayor juga dapat menyebabkan pubertas terlambat. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara profil besi dan kadar hemoglobin pra-transfusi dengan status pubertas pasien thalassemia mayor remaja di Pusat Thalassemia RSCM. Metode: Penelitian ini merupakan studi cross-sectional yang melibatkan 47 pasien thalassemia mayor dengan rentang usia 13-18 tahun untuk pasien perempuan dan 14-18 tahun untuk pasien lelaki di Pusat Thalassemia RSCM. Profil besi subjek ditentukan dari kadar feritin serum dan saturasi transferin subjek. Status pubertas subjek ditentukan berdasarkan Tanner Staging. Hasil & Diksusi: Berdasarkan kadar feritin serum, terdapat 47 (100%) subjek yang mengalami kelebihan besi, dengan 35 (75%) diantaranya mengalami kelebihan besi berat. Nilai median feritin serum subjek adalah 3645 (1415-12636) ng/mL. Berdasarkan saturasi transferin, sebesar 36 (77%) subjek mengalami kelebihan besi, dengan nilai median saturasi transferin sebesar 85 (28-100)%. Terdapat 42 (89%) subjek yang mengalami anemia, dengan nilai median kadar hemoglobin pra-transfusi sebesar 8,0 (4,8-9,5) g/dL. Pubertas terlambat ditemukan pada delapan (17%) subjek. Secara statistik, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara feritin serum dengan status pubertas (p = 0,183), saturasi transferin dengan status pubertas (p = 0,650), dan kadar hemoglobin pra-transfusi dengan status pubertas (p = 0,932). Berdasarkan hasil tersebut, profil besi dan kadar hemoglobin pra-transfusi tidak berhubungan dengan status pubertas pasien thalassemia mayor remaja di Pusat Thalassemia RSCM.

ABSTRAK
Introduction Delayed puberty is a major complication in thalassemia major patients. Delayed puberty occurs due to accumulation of iron in the pituitary gland. In addition, chronic anemia in thalassemia major patients can cause delayed puberty.Objectives This study aims to find the association between iron profile and pre transfusion hemoglobin level with pubertal status in adolescent thalassemia major patients in Thalassemia Centre RSCM.Methods This was a cross sectional study that involved 47 thalassemia major patients aged 13 to 18 years for female patients and 14 to 18 years for male patients in Thalassemia Centre RSCM. Iron profile was determined from serum ferritin level and transferrin saturation. Pubertal status was determined by Tanner Staging.Results Discussion Based on serum ferritin level, 47 100 subjects had iron overload, in which 35 75 subjects had severe iron overload. The median of serum ferritin level was 3645 1415 12636 ng mL. Based on transferrin saturation, 36 77 subjects had iron overload. The median of transferrin saturation was 85 28 100 . Forty two 89 subjects were found anemic. The median of pre transfusion hemoglobin level was 8,0 4,8 9,5 g dL. Delayed puberty occurred in eight 17 subjects. Statistically, no significant associations were found between serum ferritin level and pubertal status p 0.183 , transferrin saturation and pubertal status p 0.650 and pre transfusion hemoglobin level and pubertal status p 0,932 . Based on the results, iron profile and pre transfusion hemoglobin level are not associated with pubertal status in adolescent thalassemia major patients in Thalassemia Centre RSCM."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Anna Mira
"ABSTRAK
Latar Belakang: Muatan besi berlebih akibat transfusi darah dan peningkatan serapan besi di saluran cerna, masih merupakan isu penting pada Thalasemia Intermedia TI , dan dikaitkan dengan berbagai komplikasi yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Pemeriksaan MRI T2 hati sebagai pemeriksaaan yang tervalidasi dalam menilai Liver Iron Concentration LIC , merupakan pemeriksaan yang mahal dan tidak tersedia secara merata di Indonesia.Tujuan: Mengetahui gambaran muatan besi berlebih darah dan hati pada pasien thalasemia intermedia dewasa dan korelasi antara saturasi transferin, feritin serum, MRI T2 hati, dan LIC yang dinilai dengan pemeriksaan MRI T2 hati dengan nilai elastografi hati.Metode: Penelitian potong lintang pada pasien thalasemia intermedia dewasa dengan transfusi darah dan dengan atau tanpa kelasi besi di RSUPNCM dr. Cipto Mangunkusumo mulai dari bulan Agustus sampai dengan Oktober 2016, dengan total subyek penelitian sebanyak 45 orang. Dilakukan pemeriksaan saturasi transferin, feritin serum, elastografi hati, dan MRI T2 hati. Analisis statistik menggunakan uji korelasi Pearson dan Spearman.Hasil: Sebanyak 64,4 subyek penelitian adalah Thalasemia ?-Hb E, dengan median RIK umur 33 22 tahun. Sebanyak 84,4 subyek penelitian mendapatkan transfusi darah secara reguler. Seluruh subyek penelitian mengalami komplikasi hemosiderosis hati melalui pemeriksaan MRI T2 hati. Sebanyak 48,9 mengalami hemosiderosis hati berat, dengan nilai median MRI T2 hati 1,6 ms. rerata feritin serum adalah 2831 1828 ng/mL, dengan nilai median saturasi transferin 66 . Nilai rerata LIC melalui pemeriksaan MRI T2 adalah 15,36 7,37 mg besi/gr berat kering hati dan nilai rerata elastografi hati adalah 7,7 3,8 Kpa. Uji korelasi didaptakan terdapat korelasi nilai elastografi hati dan rerata feritin serum r = 0,651; p = 0,000 , nilai elastografi hati dan LIC r = 0,433; p = 0,003 dan korelasi negatif nilai elastografi hati dan MRI T2 hati r = -0,357; p = 0,016 .Simpulan: Terdapat korelasi antara muatan besi berlebih feritin serum dan LIC dengan nilai elastografi hati. Terdapat korelasi negatif nilai elastografi hati dengan MRI T2 hati pada pasien thalasemia intermedia dewasa.

ABSTRACT
Background Iron overload is a common feature of thalassemia intermedia due to regular blood transfusion and increase gastrointestinal iron absorption. Early detection and adequate iron chelator can significantly decrease related morbidities and mortality due to complication from iron overload. Liver Iron Concentration LIC is the best way to measure body iron stores. MRI T2 as a validated test to identify LIC, is expensive and currently not available in all medical services in Indonesia.Objective To identify liver iron overload and correlation of transferrin saturation, serum ferritin, liver MRI T2 , and LIC with transient liver elastography in adult thalassemia intermedia patient.Methods We conducted a cross sectional study enrolling 45 patients with thalassemia intermedia with blood transfusion and with and without iron chelator therapy. The study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital from August 2016 through October 2016. We performed measurements of transferrin saturation, serum ferritin level, transient liver elastography and liver MRI T2 . The Pearson and Spearman correlation test were used to evaluate the correlation transient liver elastography with transferrin saturation, serum ferritin, Liver MRI T2 , and LIC.Results As much as 64,4 of study subject are Hb E Thalasemia Intermedia with median IQR age is 33 22 years old. As much as 84,4 of study subject have regular blood transfusion. On the basis of liver MRI T2 , all studi subject suffered from liver iron overload, with 48,9 had severe liver iron overload. The median value of Liver MRI T2 was 1,6 ms. The mean serum ferritin was 2831 1828 ng mL, with median value of transferrin saturation was 66 . The mean of LIC corresponding to Liver MRI T2 and mean liver stiffness measurement was 15,36 7,37 mg Fe gr dry weight and 7,7 3,8 Kpa respectively. Liver Stiffness correlated with serum ferritin r 0,651 p 0,000 , Liver MRI T2 r 0,357 p 0,016 , and LIC r 0,433 p 0,003 . No correlation was found between liver elastography and transferrin saturation r 0,204 p 0,178 .Conclusions Serum ferritin, Liver MRI T2 , and LIC correlated with liver elastography. No correlation was found between transferin saturation and liver elastography. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58864
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hima Liliani
"ABSTRAK
Darah merupakan sumber daya yang tidak tergantikan. Menurut Hall (2013), di
University Hospitals of Leicester UK, dari 507 unit darah yang di-crossmatch
hanya 283 unit darah yang ditransfusikan. Terdapat 25% darah terbuang pada
Rumah Sakit Publik Guyana (Kurup, 2016). Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan metode kualitatif. Berdasarkan analisis diperoleh hasil, yaitu
35.79% unit darah yang tidak ditransfusikan, capaian CT Ratio 2.12 (dari 3536
unit darah yang dicrossmatch, hanya 1670 unit darah yang ditransfusikan),
Penyebab darah terbuang adalah kadaluarsa 98.4%, selang habis, kantong bocor,
darah rusak dll. Penggunaan MSBOS dapat menurunkan angka ketidakterpakaian
darah pada pasien operasi elektif sebesar 35.64%.

ABSTRACT
Blood is an irreplaceable resource. According to Hall (2013), at University
Hospitals of Leicester UK, from 507 units of crossmatched blood, only 283 units
were used. There is 25% discharge blood at Guyana Public Hospital (Kurup,
2016). This research is a descriptive case study with qualitative method. Based on
the analysis, 35.79% of the blood units were not transfused, the CT ratio was 2.12
(from 3536 unit of crossmatched blood, only 1670 unit were transfused). The
cause of blood wastage is expired 98.4%, blood tube runs out, blood bag leak,
blood damaged and unidentified causes. The use of MSBOS may decrease the rate
of blood units wastage in elective surgery patients by 35.64%."
2017
T47757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Akbar
" ABSTRAK
Latar Belakang: Thalassemia merupakan hemoglobinopati herediter yang menyebabkan anemia kronis, sehingga pasien membutuhkan transfusi darah secara rutin yang dapat menyebabkan kelebihan besi. Kelebihan besi dapat memicu beberapa komplikasi, salah satunya adalah gangguan pertumbuhan. Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar hemoglobin dan profil besi dengan gangguan pertumbuhan pada pasien thalassemia. Metode: Studi cross-sectional pada 102 pasien thalassemia di Pusat Thalassemia RSCM Jakarta. Hasil: Empat puluh lima 44,1 subjek adalah perempuan dan 57 55,9 subjek adalah lelaki dengan rentang usia 9-14 tahun. Tiga puluh sembilan 38,2 subjek memiliki perawakan pendek dan 63 61,8 subjek memiliki perawakan normal. Nilai median kadar feritin serum pada pasien perawakan pendek adalah 2062 318-8963 ng/mL dan pada pasien perawakan normal adalah 3315 422,9-12269 ng/mL p.

ABSTRACT
Background Thalassemia is a hereditary hemoglobinopathy which causes chronic anemia, thus the patients need regular blood transfusion which can cause iron overload. It leads to some complications, one of them is growth retardation. Aim To determine the association between hemoglobin level and iron profile with growth retardation on thalassemia patients. Methods cross sectional study on 102 patients in Thalassemia Center of RSCM Jakarta. Results Forty five 44.1 subjects are girls and 57 55.9 subjects are boys. Their age range was 9 14 years old. Thirty nine 38.2 subjects had short stature and 63 61.8 subjects had normal stature. Median of serum ferritin level in the short stature patients was 2062 318 8963 ng mL and normal stature was 3315 422.9 12269 ng mL p 0.001 . Median of transferrin saturation in the short stature patients was 88 19 100 and normal stature was 83 35 100 p 0.94 . Mean of pra transfusion hemoglobin level in the short stature patients was 8.14 SD 0.93 g dL and normal stature was 8.07 SD 0.86 g dL p 0.68 . Conclusion there is a significant association between serum ferritin level and growth retardation, but there is no significant association between transferrin saturation and pra transfusion hemoglobin level with growth retardation."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devia Puspita Natalicka
"Salah satu terapi COVID-19 adalah plasma konvalesen yang disiapkan Unit Transfusi Darah dari donor yang telah sembuh dari COVID-19. Plasma konvalesen mengandung antibodi netralisasi yang menghambat interaksi antara protein S dengan reseptor ACE2 dengan persyaratan minimal titer 1:160 sehingga diperlukan sistem deteksi antibodi netralisasi seperti tes serologi berbasis ELISA kompetitif yang mudah, murah, cepat dan tidak membutuhkan BSL 3 atau 2. Uji ini membutuhkan protein rekombinan spike S1 yang dapat diekspresikan pada sistem ekspresi mamalia. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi antibodi spesifik SARS-CoV-2 pada plasma konvalesen COVID-19 menggunakan protein rekombinan Spike S1.Penelitian ini menggunakan plasmid pD609 sebagai vektor ekspresi yang terdapat gen spike S1. DNA ditransfeksi secara transien ke sel CHO. Immunostaining dilakukan setelah transfeksi untuk melihat ekspresi protein rekombinan spike S1 pada sel CHO. Supernatan media sel CHO post transfeksi dianalisis dengan western blot dan ELISA untuk melihat reaktifitas terhadap serum konvalesen COVID-19. Hasil immunostaining menunjukkan plasmid pD609 S1 Spike Foldon-His dapat mengekspresikan protein rekombinan spike S1 SARS-CoV-2 pada sel CHO. Hasil Western Blot dan ELISA menunjukkan supernatan media sel kultur CHO post transfeksi reaktif terhadap serum konvalesen COVID-19. Protein rekombinan spike S1 memiliki potensi untuk dikembangkan dan digunakan dalam uji antibodi spesifik namun hasil ekspresi protein masih rendah.

One of the therapies for COVID-19 is convalescent plasma prepared by the Blood Transfusion Unit from donors who have recovered from COVID-19. Convalescent plasma contains neutralizing antibodies that inhibit the interaction between S protein and ACE2 receptors with a minimum requirement of a titer of 1:160 so that a neutalizing antibody detection system is needed such as a competitive ELISA-based serological test that is easy, inexpensive, fast, and does not require BSL 3 or 2. S1 spike recombinant protein that can be expressed in mammalian expression systems. This study aims to detect SARS-CoV-2 specific antibodies in COVID-19 convalescent plasma using recombinant Spike S1 protein. This study used the pD609 plasmid as an expression vector containing the spike S1 gene. DNA was transiently transfected into CHO cells. Immunostaining was performed after transfection to see the expression of the S1 spike recombinant protein in CHO cells. The post-transfected CHO cell media supernatans were analyzed by western blot and ELISA to see the reactivity to COVID19 convalescent serum. Immunostaining results showed that the plasmid pD609 S1 Spike Foldon-His could express the SARS-CoV-2 spike S1 recombinant protein in CHO cells. The results of Western blot and ELISA showed that the post-transfection CHO cell culture media supernatant was reactive to COVID-19 convalescent serum. S1 spike recombinant protein has the potential to be developed and used in specific antibody assays, but the results of protein expression is still low."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elly Yanah Arwanih
"Transfusi trombosit merupakan tindakan yang dapat menurunkan insiden komplikasi hemoragik pada pasien anemia aplastik. Pasien anemia aplastik memiliki risiko terhadap PTR. PTR dapat terjadi akibat adanya inkompatibilitas transfusi trombosit oleh HPA 1-6 dan 15. Frekuensi alel a dan b pada HPA-3 dan HPA-15 memiliki jumlah yang hampir sama besar, sehingga kedua alel tersebut kemungkinan besar berperan dalam kasus aloimunisasi. Pelayanan transfusi trombosit di Indonesia belum memperhatikan kompatibilitas HPA antara donor dan resipien. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis genotipe HPA-1 hingga HPA-6 dan HPA-15 serta antibodi anti-HPA-3 dan HPA-15 pasien anemia aplastik yang mendapat multitransfusi trombosit. Deteksi alloantibodi HPA dilakukan dengan metode whole platelet ELISA. Hasil positif, dilanjutkan dengan pemeriksaan antibodi anti-trombosit spesifik (anti-β2-mikroglobulin, anti GPIIb/IIIa, dan anti-CD109) dengan metode MAIPA. Genotyping HPA-1 hingga HPA-6 dan HPA-15 dilakukan dengan metode PCR-SSP. HPA-3 dan HPA-15 memiliki frekuensi dengan nilai hampir sama besar pada alel a dan b. Terdapat 17 sampel (58,6%) dari total 29 sampel memiliki antibodi anti trombosit. Dari 17 sampel tersebut, 7 sampel positif terhadap antibodi monoklonal β-2 mikroglobulin (HLA kelas I), 2 sampel positif terhadap antibodi monoklonal GP IIb/IIIa (HPA-3) dan 1 sampel positif terhadap antibodi monoklonal CD109 (HPA-15). Alloimunisasi telah terjadi pada sebagian besar pasien anemia aplastik. Oleh karena itu, pemeriksaan kecocokan antigen HLA kelas I, HPA-3 dan HPA-15 pada pasien anemia aplastik dengan transfusi trombosit berulang perlu dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aloimunisasi.

Platelet transfusion is an act that can reduce the incidence of hemorrhagic complications in patients with aplastic anemia. Aplastic anemia patients have a risk to PTR. PTR can occur due to incompatibility of HPA1-6 and 15. The frequency of allele a and b on the HPA-3 and HPA-15 has a number that is almost as large, so that these two alleles are likely to play a role in the case alloimunization. Platelet transfusion service in Indonesia have not notice compatibility HPA alleles between donor and recipient. This study was conducted to analyze genotype HPA-1 to 6 and HPA-15 also HPA-3 and HPA-15 antibody in platelet transfusions in patients with aplastic anemia who received recurrent platelet transfusion. HPA alloantibody detection was conducted using whole patelet ELISA method. The positive results, followed by specific detection of anti platelet antibodies (anti-β2-microglobulin, anti GPIIb/IIIa, and anti-CD109) with MAIPA method. HPA-3 and HPA-15 have almost the same frequency with great value on the allele a and b. There are 17 samples (58,6%) from a total of 29 samples have anti-platelet antibodies. From the 17 samples, 7 samples positive for monoclonal antibody β-2 microglobulin (HLA Class I), 2 samples positive for monoclonal antibody GP IIb/IIIa (HPA-3) and 1 sample positive for monoclonal antibody CD109 (HPA-15). Alloimunization has occurred in the majority of patients with aplastic anemia. Therefore, compatibility checks of HLA class I, HPA-3 and HPA-15 in patiens with aplastic anemia with recurrent platelet transfusion needs to be done to reduce the occurrence of possible alloimunization."
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>