Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199869 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan angka absolut tertinggi pengantin anak. Indonesia adalah tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Diperkirakan satu dari lima anak perempuan di Indonesia menikah sebelum mereka mencapai 18 tahun. Di Indonesia anak perempuan merupakan korban paling rentan dari pernikahan anak, dengan prevalensi : 1. anak perempuan darindaerah pedesaan mengalami kerentanan dua kali lipat lebih banyak untuk menikah dibanding daridaerah perkotaan. 2. pengantin anak yang paling mungkin berasal dari keluarga miskin. 3. anak perempuan yang kurang berpendidikan dan drop out dari dari sekolah umunya lebih rentan menjadi penganti anak daripada yang bersekolah. Jawa Barat merupakan provinsi tertinggi dalam kasus AKI dan trafficking. Mengapa Jawa Barat? Jawa Barat dan Kalimantan Barat adalah dua provinsi utama tempat asal perdagangan manusia di Indonesia. Sementara Kepulauan Riau dan Jakarta adalah tujuan utama dan zona transit. Anak-anak yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual komersial, seperti pekerja rumah tangga, pengantin anak, dan pekerja anak, sering dikirim untuk bekerja di lingkungan yang berbahaya seperti di perkebunan, sementara bayi yang diperdagangkan untuk diadopsi ilegal dan diambil organnya. Anak-anak ini beresiko ditinggalkan, diabaikan, dan diperdagangkan. Selama ini Kabupaten dan kota di Jawa Barat yang menjadi pemasok terbesar perempuan pekerja imigran serta pengantin anak perempuan untuk pernikahaan anak datang dari beberapa kantung daerah seperti Indramayu, Cirebon, Bandung, Sukabumi, dan Cianjur. Riset ini fokus pada kabupaten Sukabumi. Data dikumpulkan dengan intervies mendalam pada anak-anak perempuan korban pernikahan anak dan orang tua juga melaksanakan focus group discussion di Desa Cikidang bersama para pemangku kepentingan. Pernikahan anak di Sukabumi mengonfirmasi bahwa hal-hal berikut merupakan penyebab utama dari pernikahan anak : 1. kemiskinan dan akses buruk atas pendidikan 2. naiknya fundamentalisme agama yang membuat tabunya diskusi seksualitas dan takut akan zina, dan terakhir 3. akses buruk atas hak kesehatan reproduski seksual."
360 JP 21:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Apa yang membuat pernikahan anak menjadi pilihan bagi perempuan dan keluarganya saat ini? Bagaimana dan mengapa hal itu terjadi di sebuah desa di Sukabumi? Kabupaten Sukabumi adalah salah satu Kabupaten di Jawa Barat dengan tingkat pernikahan anak yang tinggi, terutama di daerah pinggiran atau perbatasan wilayah. Meskipun demikian, desa yang dijadikan lokasi penelitian bukanlah desa dengan pernikahan anak yang marak berdasarkan data provinsi. Pada desa ini, terdapat 32% pernikahan di bawah 18 tahaun yang dilakukan oleh perempuan berusia 20-24 tahun. Sedikit lebih tinggi dari data provinsi yang berjumlah 30,7%. Jika dibandingkan dengan rata-rata pernikahan di bawah 18 tahun di indonesia yang berjumlah 17% pun masih lebih tinggi. Keputusan untuk melakukan penelitian di satu desa membuat kami dapat melihat lebih jauh tentang berbagai aspek pada pernikahan anak dan keterkaitannya dengan aspek lain di dalam konteks yang sama. Penelitian ini didasarkan 28 studi kasus perkawinan anak, sensus rumah tangga yang punya anggota pria dan wanita berusia 20-24 tahun, serta wawancara dan observasi pendukung. Kegiatan lapangan (fieldwork) akan segera berakhir, sementara hal-hal lain dalam penelitian masih berjalan. Gambaran enam kasus lima perempuan dan satu laki-laki ini menunjukkan keragamaan dan kompleksitas dari perkawinan anak. Artikel ini membahas tentang potensi agensi remaja terhadap orangtuanya dalam hal perkawinan yag datang dari keinginan sendiri sampai perkawinan paksa. Temuan penelitian menengaskan peran dari sebab-sebab umum, seperti kurangnya kontrol sekseualitas perempuan dan ketakutan akan zina, lemahnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan khususnya pada saat kehamilan, tetapi mempertanyakan peran kemiskinan sebagai alasan langsung terjadinya perkawinan anak. Setiap kasusu telrihat kombinasi khusus sebab-sebab dari norma dan agama, komposisi rumah tangga, pengasuhan orangtua dan pendidikannya, akses perempuan dalam mendapatkan pendidikan formal dan agama termasuk pendidikan seks, serta akses terhadap keselamatan kerja. Gender dan usia adalah hierarkhi yang senantiasa berkaitan dengan perempuan sebagai pihak paling lemah dalam kesetaraan."
360 JP 21:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Tulisan ini mengkaji tentang perkawinan anak di daerah pedesaan yang masih menjunjung tinggi hukum adat di Kalimantan Barat. Studi kasus yang penulis lakukan di Desa Cowet, Kalimantan Barat yang mayoritas etnis Dayak Mali. Isu tentang perkawinan anak di Indonesia memang sudah lama bergejolak. Namun upaya upaya untuk menghentikannya masih dirasa kurang maksimal dikarenakan tidak adanya ketegasan hukum. Justru sebaliknya, hukum seolah mednukung terhadap praktik perkawinan anak dibawah umur. Praktik seperti ini memang sudah sejak ratusan tahun terjadi di daerah desan pedalaman di Kalimantan Barat, sebagai akibat dari kemiskinan yang terjadi. Dalam hukum adat Dayak mali tidak ada ketentuan khusus yang menjadi dasar hukum untuk perkawinan anak. Jika terdapat anak laki-laki atau anak perempuan berumur di bawah 15 tahun hendak menikah, maka ketentuannya harus mendapatkan izin dari orang tua kedua belah pihak (pihak laki-laki maupun pihak perempuan)."
360 JP 21:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yuanita Sunatrio
"Sejalan dengan adanya perubahan sosial dalam masyarakat, terdapat pula perubahan harapan dan pola perkawinan, yang cenderung mengabaikan arti penting perkawinan itu sendiri. Fenomena tersebut yang banyak ditemui di masyarakat adalah meningkatnya perceraian dalam perkawinan. Salah satu penyebab terbesar perceraian adalah perselingkuhan dari salah satu pasangannya. Perselingkuhan atau dikenal pula dengan hubungan seks ekstramarital (HSE), didefinisikan sebagai hubungan seks dengan pasangan di luar nikah, baik terlibat secara emosional maupun tidak. Walaupun secara umum HSE Iebih memiliki dampak yang negatif bagi perkawinan, ditemukan adanya peningkatan jumlah orang yang melakukan HSE pada pria maupun wanita.
Banyak hal yang dapat menjadi faktor penyebab HSE, baik yang berasal dari segi individunya sendiri, pihak Iain yang terlibat maupun karena perubahan sosial yang terjadi. Dibalik faktor-faktor penyebab tersebut, apa yang dapat disimpulkan atau apa yang rnendasarinya. Hal ini dapat ditinjau melalui pendekatan atribusi kausal, yang menekankan pada pemahaman bagaimana seseorang mempersepsikan diri, orang Iain atau suatu kejadian dimana ia menggunakan informasi untuk memperoleh penjelasan tentang suatu kejadian atau peristiwa. Melalui atribusi kausal akan diperoleh keyakinan seseorang akan penyebab suatu kejadian sehingga dapat membantu untuk meramalkan bagaimana perilakunya di masa mendatang.
Dalam atribusi kausal HSE, akan dijelaskan hal-hal apa yang dipersepsikan sebagai penyebab HSE atau tidak melakukan HSE. Weiner membagi dimensi atribusi kausal ke dalam dimensi fokus, stabilitas dan kontrofabilitas. Menurut Weiner, bila seseorang memiliki atribusi kausal perilakunya ke dalam dimensi yang 'internaI, stabil dan terkontrol', maka ada kecenderungan pada dirinya untuk mempertahankan atau mengulang perilakunya.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran pola atribusi kausal HSE, khususnya di kalangan orang yang melakukan dan tidak melakukan HSE. Mengingat adanya perbedaan alasan melakukan HSE pada pria dan wanita, akan dikaji juga perbedaan atribusi kausal di antara mereka. Dalam penelitian ini alat ukur atribusi kausal yang digunakan adalah hasil adaptasi Causal Dimension Scale Il dari Russel.
Penelitian ini dilakukan pada 136 orang pria dan wanita yang menikah. Analisis data pertama-tama dilakukan dengan menggunakan uji perbedaan mean (t-test), untuk melihat perbedaan di antara orang yang melakukan HSE dan tidak melakukan HSE dalam hal mengatribusikan masing-masing perilakunya. Hasil menunjukkan bahwa ada perbedaan, dimana orang yang melakukan HSE mengatribusikan penyebab perilakunya yaitu ?ketidapuasan emosional/psikologis dengan pasangan' pada hal yang internal, tidak stabil dan terkontrol. Sedangkan orang yang tidak melakukan HSE mengatribusikan penyebab perilakunya yaitu 'memegang norma-norma agama dan sosial' pada hal yang Iebih internal, stabil dan Iebih terkontrol dibandingkan orang yang tidak melakukan HSE. Kelompok subyek yang melakukan HSE mengatribusikan perilakunya pada hal yang tidak menetap, menunjukkan bahwa ada ekspektansi pada mereka untuk mengubah perilakunya.
Selanjutnya, dilihat juga perbedaan atribusi kausal HSE berdasarkan keterlibatan HSE dan jenis kelamin. Melalui perhitungan dengan teknik analisa varian dua arah diperoleh beberapa hasil. Walaupun kelompok subyek yang melakukan HSE dan tidak melakukan HSE menyatakan faktor penyebab yang berbeda, namun tidak ada perbedaan dalam atribusi kausal, dimana mereka mengatribusikannya pada hal yang internal, tidak stabil dan terkontrol. Dalam hal ini kelompok subyek yang melakukan HSE meyakini faktor penyebab perilakunya adalah 'ketidakpuasan emosional/psikologis dengan pasangan?, sedangkan kelompok subyek yang tidak melakukan HSE meyakini faktor penyebab seseorang melakukan HSE adalah 'kurangnya pemahaman norma agama dan sosiaI'. Selanjutnya, ditemukan pula adanya perbedaan atribusi kausal tidak melakukan HSE di antara kedua kelompok, dimana kelompok yang melakukan HSE mengatribusikannya pada hal yang internal, stabil dan terkontrol, sedangkan kelompok subyek yang tidak melakukan HSE mengatribusikannya pada hal yang internal, cenderung Iebih terkontrol dan Iebih stabil dibandingkan kelompok subyek yang melakukan HSE. Dalam hal ini kedua kelompok meyakini faktor penyebab tldak melakukan HSE adalah 'memegang norma-norma agama dan sosial'.
Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa kelompok wanita mengatribusikan penyebab HSE cenderung Iebih internal dibandingkan kelompok pria. Dalam atribusi tidak melakukan HSE, tidak ditemukan perbedaan di antara kedua kelompok.
Sebagai saran untuk menyempurnakan penelitian Ianjutan yang serupa adalah mengkaji Iebih jauh mengenai reaksi emosional yang berkaitan dengan atribusi kausal HSE, memperbanyak jumlah sampel jauh melebihi batas minimal, dan menyeimbangkan jumlah penyebaran sampel berdasarkan karakteristik demografis."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
S2646
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Praktik perkawinan anak selain bersumber dari kebijakan dan peraturan perundang-undangan yaitu dibenarkan oleh Undang-Undagn nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, juga bersumber dari norma lain seperti agama, budaya, dan dimensi lain yang belum teradvokasi secara signifikan. Dengan adanya keputusan MK menolak revisinya harapan perbuahan perilaku sosial melalui perubahan UU perkawinan sepertinya makin jauh dari harapan. Anak-anak perempuan dalam pernikahan anak rentan hal berikut; rentan menjadi korban perceraian sepihak ; rentan menjadi korban kekerasan seksual dan pedophilia ; rentan menjadi korban KDRT ; rentan pendidikan formal terputus dan membatasi akses ke dunia kerja. Diperlukan advokasi sistemik untuk mengatasi kerentanan anak-anak dalam pernikahan anak."
360 JP 21:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Bagi masyarakat Madura, pantang menolak lamaran laki-laki yang pertama kali datang. Karena itu, anak perempuan Madura menikah dengan cepat ketika usianya masih belasan tahun, bahkan ketika si anak perempuan masih berumur 12 tahun. Akibatnya banyak problematika yang terjadi akibat perkawinan anak di bawah umur tersebut seperti kekerasan dalam rumah tagga, perselingkuhan, perceraian, kontraksi kehamilan dan kelahiran. Dalam konteks yang demikian ada ketidakadilan dalam proses perkawinan dan ketika berumah tangga. Mental anak perempuan belum siap dalam menghadapi persoalan rumah tangga berikut tugas-tugas sebagai istri dan ibu. Di samping itu, anak perempuan juga terancam nyawanya ketika masa kehamilan dan proses persalinan karena alat reproduksinya belum siap secara normal. Oleh sebab itu advokasi hukum ke Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan revisi usia minimal perkawina untuk perempuan 16 tahun pada pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 untuk diubah menjadi usia 18 tahun merupakan solusi untuk meminimalisir maraknya perkawinan anak dan menekan laju angka kematian ibu dan anak (AKI)."
360 JP 21:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Tulisan ini mengelaborasi strategi penghentian perkawinan anak di Nusa Tenggara Barat melalui pedekatan nilai budaya lokal yang diinternalisasikan melalui pendidikan formal. Realitas perkawinan anak yang masih banyak terjadi secara nyata telah menghancurkan masa deopan anak sebagai generasi bangsa. Praktik ini tidak hanya abai terhadap hak hak dasar anak, namum juga secara tidak adil berlindung di bawah nama agama dan adat. Demikian halnya dengan praktik perkawinan anak di NTB yang terjadi melalui mekanisme merariq, tidak hanya sarat hubungannya dengan pelanggaran HAM anak, namun juga menjadikan posisi perempuan yang diapresiasi dalam nilai-nilai adat Sasak menjadi tidak bermakna. Lunturnya pemahaman masyarakat atas nilai-nilai adat Sasak dalam praktik merariq ini menjadikan merariq dituding memiliki kontribusi dalam melanggengkan praktik perkawinan anak. Pdahal jika ditelisik secara lebih dalam, hukum adat Sasak memberikan otonomi bagi perempuan dalam pengambilan keputusan perkawinan. Hanya saja dalam konteks perkawinan anak, otonomi ini tidak difungsikan dan diapresiasi, namun justru dimanfaatkan dan disalahgunakan melalui kerentanan anak. Melalui pendidikan hukum adat merariq yang diintegrasikan dalam muatan lokal sekolah, nilai-nilai positif adat merariq diajarkan sebagai upaya penguatan kemampuan anak dalam pengambilan keputusan demi terpenuhinya hak dirinya sebagai anak, sekaligus secara khusus untuk membentengi anak dari jerat perkawinan yang merugikan "
360 JP 21:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Primasari
"ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan perspektif perempuan. Penelitian ini menempatkan pengalaman perempuan sebagai fokus perhatian utama. Kajian ini di1akukan di salah satu Kabupaten di daerah Bogor Barat, yaitu Kabupaten Leuwliliang, dengan melibatkan 10 perempuan sebagai informan utama. Penelitian ini mengkaji dampak pernikahan di usia dini yang mengakibatkan hilangnya otonomi perempuan, dengan metode wawancara mendalam dan observasi. Hasil penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan bagaimanakah dampak pernikahan di usia dlni pada otonomi perempuan dan apa implikasinya lebih lanjut, khususnya terhadap kehidupan perempuan dan kehidupan sosial masyarakat pada umumnya. Hasil penelitian ini ada tiga hal, pertama, bahwa mitos julukan "perawan tun" telah membuat praktek pernlkahan ini terus berlangsung di pedesaan Leuwiliang Bogor Barat sampai saat ini. Mitos tersebut telah meminggirkan kepentingan perempuan untuk memperoleh kehidupan pernikahan yang bahagia. Kedua adanya sistim pary'eur dan denda telah menjadikan perempuan sebagai obyek atau barang yang dapat dijadikan alat tukar transaksi. Perempuan dibeli dan kehilangan kendali terhadap dirinya sendiri. Kepentingan perempuan dalam memperoleh haknya serta menjalankan kehidupan sesuai kehendaknya, khususnya dalam memperoleh wawasan dan informasi seluas­ luasnya untuk berkembang, juga hilang. Negosiasi yang tidak dilakukan oleh perempuan sebagai calon pengantin menyebabkan perempuan kehilangan otonomi atas tubuhnya sendiri. Perempuan disubordinasi dan dijadikan "yang lain" dalam perkawinannya :sendiri Ketiga, perempuan menolak terjadinya pemikahan di usia dini, di samping tokoh agama, pejabat desa dan tokoh masyarakat lain yang juga menyadari.
"
2011
T31992
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dhading Mahendra
"Anak yang hidup dalam kemiskinan akan berdampak pada keberlangsungan hidupnya. Kemiskinan membuat anak-anak kehilangan kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang, serta anak-anak akan lebih rentan terhadap eksploitasi, pelecehan dan diskriminasi. Sehingga kemiskinan menjadi ancaman serius yang menghambat tumbuh kembang anak secara optimal dan berpotensi merampas masa depan mereka. Oleh karena itu pengentasan kemiskinan anak perlu menjadi perhatian lebih. Sesuai dengan target SGD’s pada tahun 2030 yaitu dapat mengurangi setidaknya proporsi laki-laki, perempuan dan anak-anak dari semua usia, yang hidup dalam kemiskinan di semua dimensi. Kemiskinan anak multidimensi lebih menggambarkan kondisi kekurangan pada anak yang sebenarnya dibandingkan dengan kemiskinan yang bersifat moneter. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemiskinan anak multidimensi yang terjadi di Indonesia dengan menggunakan data Susenas Maret 2022. Pengukuran kemiskinan anak multidimensi menggunakan konsep Child MPI yang dibangun oleh UNDP dan OPHI yang tersusun berdasarkan indikator terkait standar kehidupan seorang anak. Tingkat kemiskinan anak multidimensi di Indonesia secara total sebesar 30,7 persen. Indikator kepemilikan aset, indikator sanitasi dan indikator nutrisi dan pekembangan anak menjadi 3 indikator yang terdeprivasi terbesar. Selain itu, penelitian ini juga mengkaji peran dari pekerjaan orang tua dalam pengentasan kemiskinan anak multidimensi dengan menggunakan analisis regresi logistik biner. Berdasarkan hasil estimasi, status pekerjaan orang tua berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan anak multidimensi.  Kecenderungan anak dengan status pekerjaan orang tua yang hanya bekerja pada sektor informal saja untuk mengalami miskin multidimensi lebih tinggi dibanding orang tua yang tidak bekerja. Dan sebaliknya kecenderungan anak dengan status pekerjaan orang tua yang bekerja pada sektor formal saja untuk mengalami miskin multidimensi lebih rendah dibanding orang tua yang tidak bekerja. Selain itu, kedua orang tua yang bekerja juga menurunkan peluang anak untuk miskin multidimensi dibandingkan satu orang tua yang bekerja. Namun, orang tua yang bekerja tidak menjamin anak untuk keluar dari kemiskinan, hal tersebut tergantung dari kualitas pekerjaannya. Sementara itu, variabel umur anak, jenis kelamin anak, status disabilitas anak, umur KRT, disabilitas orang tua, ukuran keluarga, keterlibatan orang tua, bantuan sosial dan daerah tempat tinggal signifikan berpengaruh terhadap kemiskinan anak multidimensi.

Children living in poverty face significant impacts on their survival and development. Poverty deprives children of the ability to thrive and grow, making them more vulnerable to exploitation, abuse, and discrimination. Consequently, poverty becomes a serious threat that hinders optimal child development and has the potential to rob them of their future. Therefore, addressing child poverty requires greater attention. This aligns with the SDG's target for 2030, which aims to reduce at least the proportion of men, women, and children of all ages living in poverty in all its dimensions. Multidimensional child poverty better reflects the actual conditions of deprivation faced by children compared to monetary poverty alone. This study aims to analyze multidimensional child poverty in Indonesia using data from the March 2022 Susenas survey. The measurement of multidimensional child poverty utilizes the Child MPI concept developed by UNDP and OPHI, based on indicators related to a child's standard of living. The total rate of multidimensional child poverty in Indonesia stands at 30.7 percent. The indicators of asset ownership, sanitation, and child nutrition and development are the three most significant indicators of deprivation. Furthermore, this study examines the role of parental employment in alleviating multidimensional child poverty using binary logistic regression analysis. The estimation results indicate that parental employment status significantly influences multidimensional child poverty. Children whose parents work only in the informal sector are more likely to experience multidimensional poverty compared to those whose parents are unemployed. Conversely, children whose parents work solely in the formal sector are less likely to experience multidimensional poverty compared to those with unemployed parents. Parental employment does not guarantee that children will escape poverty, it depends on the quality of the job. Additionally, variables such as the child's age, gender, disability status, the age of the household head, parental disability, family size, parental involvement, social assistance, and area of residence significantly influence multidimensional child poverty."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Dalam Beijing Platform Action (BPFA) tahun 1995, salah satu dari dua belas isu kritis adalah anak perempuan ( the girl child) . merujuk pada realitas di banyak negara bahwa anak perempuan sejak usia dini mendapat perlakuan deskriminatif dan praktek-praktek yang merugikan anak perempuan seperti pengrusakan alat kelamin anak-anak perempuan termasuk sunat perempuan, pemilihan jenis kelamin sebelum bayi lahir, bahkan pembunuhan terhadap bayi-bayi perempuan, kekerasan terhadap perempuan, pernikahan anak, ekspolitasi seksual, penyalahgunaan seksual, diskriminas terhadap anak perempuan dalam pemebrian makanan dan praktik diskriminasi lainnya, seperti menyangkut fasilitas kesehata dan kesejahteraan bagi anak-anak perempuan. tulisan ini akan mengkaji usaha Indonesia dalam mereduksi perkawinan anak-anak perempuan."
323 JP 20:2(2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>