Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adelina Syarif
"Autisma adalah salah satu gangguan yang dialami dalam masa perkembangan anak. Islilah ‘autisme’, baru dikenal di Indonesia secara luas semenjak tahun 1995-an, dan beberapa tahun terakhir merupakan suatu istilah atau fenomena yang cukup membuat khawatir kebanyakan orang tua. Belakangan ini jumlah anak yang dicliagnosa menyandang autisma semakin bertambah banyak seiring dengan meningkatnya faktor pemicu munculnya gangguan ini seperti faktor lingkungan (termasuk polusi udara) dan pola hidup. Menurut catatan pakar autis, di Amerika Serikat jumlah penyandang autis meningkat tajam dari tahun ke tahun bila dibandingkan dengan kelahiran normal. Pada tahun 1987 dikatakan I diantara 5000 anak menunjukkan gejala autisme maka I0 tahun kemudian tercatat l diantara 500 kelahiran. Bahkan pada 3 tahun terakhir meningkat menjadi l dari |50 kelahiran dan pada tahun 2001 jumlah ini meningkat menjadi 1 dalam 100 kelahiran. Jumlah penyandang autis di Indonesia kurang diketahui secara pasti tetapi di iperkirakan tidakjauh Dari perbandingan di Amerika tersebut. Banyak masyarakat yang belum memahanli istilah autis ini secara luas dan seringkali terjadi salah pengertian terhadap istilah ini. Perasaan bersalah, stres dan menghukum diri sendiri sering terjadi pada orang ma yang anaknya didiagnosa sebagai penyandang autisme ini karena belum memahami benar apa sebenamya autisma ini. Sebagai suatu gangguan perkembangan yang baru dikenal luas masyarakat, pemahaman terhadap istilah autisma sering kurang tepat. Bahkan para p rofcsional yang menangani anak yang mengalami gangguan perkembangan pun kadang masih mengalami kesulitan dalam rnendiagnosa seorang anak yang menunjukkan ciri-ciri autisme, sehingga orangtua harus mendatangi beberapa orang ahli sampai mendapatkan kesimpulan bahwa anaknya ternyata menyandang gangguan autisme. Terkadang suatu gejala sudah dianggap menunjukkan kelainan tenentu dan penangananya hanya untuk mengatasi keterlambatan yang ada tanpa melihat faktor lain yang mungkin menjadi penyebabnya. Seorang anak yang menunjulckan gejala yang hampir sama dapat menghasilkan diagnosa yang berbeda. Seorang anak yang menyandang autisma ini akan mengalami masalah, terutarna saat memasuki usia sekolah. Mereka sulit mengikuti kegiatan di sekolah umum biasa karena liclak clapat mengikuti instruksi yang diberikan oleh guru, berperilaku seenaknya dan dianggap mengganggu tata trtib sekolah. Gejala autisma sudah bisa terlihat dalam 30 bulan pertama kehidupan seorang anak. Jadi sebelum mereka berusia 3 tahun, gangguan autisma ini sudah bisa dideteksi bahkan sebagian dari mereka sudah menunjukkan gejala semenjak lahir, namun seringkali luput dari perhatian orangluanya (Sutadi, 1997). Beberapa ahli masih memperdebatkan pengklasifnkasian autisme ini, namun mereka sepakat dengan istilah Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau ganggguan dengan spektrum autistik. Gejala autistik muncul dalam berbagai tingkatan dari yang ringan sampai yang berat dan tampak Iebih sebagai spektrum karena ternyata ditemukan anak yang tidak hanya menampakkan gejala autis melainkan juga anak dengan gangguan mmbuh kembang. Seperti anak yang rnengalami gangguan dalam perkembangan bahasa tetapi memiliki keterampilan motorik yang relatif baik sehingga istilah autis yang dikenal luas di masyarakat tidak hanya ditujukan pada anak yang menyandang autis murni. Gangguan autisme ini diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan dari yang ringan hingga gangguan yang berat. Pengklasifikasian ini dapat dilakukan dengan menggunakan ‘alat’ antara lain dengan CARS ( Childhood Autism Rating Scale- bisa dipergunakan unluk mendiagnosa anak yang berusia 3 tahun keatas) dan GARS (Gilliam Autism Rating Scale- dapat dipakai untuk mendiagnosa penyandang autis berusia 3-22 tahun). Aspek-aspek yang diungkap dalam CARS dan GARS secara garis besar adalah sama. Perbedaannya keduanya adalah CARS masih menggunakan pengertian dari DSM-III dan cenderung mendiagnosa autis seorang anak yang memiliki keterampilan verbal yang minim, begitu juga terhadap anak yang memiliki keterbelakangan mental. Sedangkan GARS dibuat berdasarkan DSM-IV yang memuat kriteria diagnosa autis yang lebih rinci. Dalam studi ini peneliti mencoba untuk menyempurnakan instrumen berupa cheklist sebagai pedoman anamnesa dan observasi yang dapat sekaligus memberikan gambaran kemajuan seorang anak penyandang autis sejak awal diagnosa sampai saat/setelah ia menjalani terapi. Dalam hal ini peneliti akan menggunakan cheklist GARS, dengan menambahkan sejumlah aspek-aspek pertanyaan dalam anamnesa dan observasi yang belum terdapat dalam GARS sebagai pelengkap. Cheklist yang baru ini diberi nama GARS Plus. Cheklist ini diharapkan dapat memudahkan pembuatan diagnosis dalam waktu yang relatif singkat dan terutama ditujukan untuk panyandang autis yang berusia dibawah 5 tahun. Pemakaian terutama untuk usia balita, agar anak dapat didiagnosa secara tepat semenjak dini karena pada usia balita terjadi perkembangan otak yang pesat. Anak dapat diberi stimulasi untuk meningkatkan kemampuannya dan mengurangi dampak dari gangguan ini. Sampel penelitian pada penelitian ini adalah para orangtua dari 5 orang anak penyandang autis yang sedang menjalani terapi di sebuah klinik. Sampel ini dipilih dengan menggunakan teknik incidental sampling, artinya hanya terbatas pada orang tua yang bersedia ikut sebagai sampel. Hasil diagnosis anak (penyandang) autis yang sudah ada akan di cross-check dengan instrumen GARS plus, untuk melihat apakah hasil yang didapat tetap konsisten."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T37955
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellizah Adam
"Pengasuhan anak merupakan suatu proses yang penuh stres (stressful) namun juga membawa kepuasan emosional bagi pasangan suami istri (Carter & Mc Goldrick, 1982). Berbagai masalah yang ditemui dalam mengasuh anak dapat membuat kedua orang tuanya mengalami konflik baik di antara mereka berdua maupun dengan orang sekitarnya. Masalah-masalah yang dialami oleh orang tua anak dengan gangguan perkembangan tertentu biasanya lebih besar dari orang tua dengan anak normal (Mangunsong, 1998).
Dalam penelitian ini, penulis tertarik untuk meneliti mengenai orang tua anak penyandang autisma Autisma adalah suatu gangguan perkembangan yang dialami oleh anak sejak tiga tahun awal kehidupannya. Gangguan ini bersifat menetap dan mempengaruhi semua aspek kehidupan anak. Gejala pada anak adalah kesulitan berkomunikasi verbal, kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain, serta obsesi kuat terhadap rutinitas. Pada umumnya anak penyandang autis tidak memperlihatkan ciri-ciri penampilan fisik yang menunjukkan kelainannya itu, sehingga terkadang orang tua mengalami kesulitan menerima diagnosa anak. Selain itu, para orang tua juga merasakan berbagai perasaan negatif yang diakibatkan diagnosa autisma anak. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran proses stres dan coping pada orang tua anak penyandang autisma.
Dalam menggambarkan proses stres yang dialami oleh para orang tua penyandang autisma, akan digunakan model appraisal yang dikembangkan oleh Lazarus (dalam Cooper & Pavne, 1991). Proses ini terdiri dari dua tahap yaitu primary dan secondary appraisal. Dari hasil appraisal individu terhadap situasi yang dihadapinya maka individu akan menentukan bermasalah atau tidaknya situasi tersebut. Bila suatu situasi dirasa bermasalah, maka individu akan memunculkan respon untuk mengatasinya {coping). Model strategi coping yang digunakan adalah dari Carver, Wientraub & Scheier (1989) dengan skala COPE.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yaitu melalui metode wawancara dan observasi. Yang menjadi subyek adalah tiga pasang suami-istri yang memiliki anak penyandang autisma. Semua subyek berdomisili di DKI Jakarta dengan tingkat pendidikan antara SMEA dan Strata-2 (pasca saijana). Tingkat sosial ekonomi subyek adalah menengah sampai menengah ke atas.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sebelum mendapat diagnosa autisma anak, dua pasang orang tua tidak pernah mengetahui sama sekali tentang autisma sedangkan satu pasang sudah mengetahui dari media massa Ketidaktahuan mengenai autisma ini menyebabkan dalam penanganan anak menjadi kurang terarah dan juga kurang efektif. Di samping itu.diagnosa yang tidak pasti mengenai kondisi anak menimbulkan keresahan dan tekanan emosional pada kedua pasangan tersebut. Perilaku anak yang sulit dipahami dan tidak wajar juga menimbulkan masalah yang dirasa berat oleh semua subyek. Coping yang dilakukan pada saat ini biasanya berupa mencari informasi dan juga melampiaskan perasaan sedih dengan menangis atau berdoa.
Setelah mendapat diagnosa, ketiga pasangan mengaku merasakan berbagai emosi negatif seperti sedih, kasihan pada anak, tidak percaya, dan sebagainya. Untuk mengatasi ini, para orang tua selain berusaha mencari informasi dan penanganan bagi anak, juga mencari dukungan dari orang sekitar seperti keluarga, teman dan rekan keija. Sesudah mengetahui diagnosa anak, masalah yang dihadapi antara lain masalah keuangan kesulitan menemukan fasilitas terapi yang cocok dan juga memberikan penjelasan pada keluarga besar agar dapat menerima autisma anak mereka. Dalam pembagian tanggung jawab pengasuhan anak, dua pasangan memiliki bentuk keluarga tradisional di mana suami bekerja dan istri mengurus anak sedangkan satu pasangan memiliki bentuk keluarga di mana suami dan istri sama-sama beker]a dan pengasuhan anak di siang hari diserahkan kepada baby sitter dan orang tua dari istri.
Ditemukan adanya perbedaan di mana pada keluarga tradisional, istri yang lebih banyak terlibat dalam pengasuhan anak cenderung lebih mengetahui cara mendidik anak dan juga lebih tahu cara menerapkan hal-hal yang diajarkan pada terapi. Para suami dalam keluarga tradisional ini berusaha untuk mengikuti perkembangan anak namun banyak terhambat oleh kesibukan pekerjaan. Karena ketidaktahuan mereka, kedua orang ayah terkadang inkonsisten dalam mendidik anak sehingga melanggar aturan pengasuhan yang ditetapkan oleh istri mereka. Inkonsistensi ini dirasakan sebagai masalah yang amat besar oleh satu pasangan sedangkan tidak oleh pasangan yang lain. Pada keluarga yang kedua orang tuanya bekerja, pengetahuan dan perlakuan terhadap anak relatif sama meski sang istri mengakui bahwa suaminya lebih tegas.
Setahun terakhir, para subyek merasakan kepuasan yang berbeda terhadap berbagai penanganan yang mereka lakukan terhadap anak mereka Dua orang pasangan mengaku sudah melihat banyak kemajuan pada anaknya dan bahwa sebagian besar cara yang mereka pilih membawa hasil yang positif sementara satu pasangan merasa sangat tidak puas. Ketidakpuasan ini diakibatkan oleh inkonsistensi dari suami dan juga karena kurang intensifnya terapi pada tahuntahun awal diagnosa karena hambatan biaya Penelitian ini menemukan bahwa ada beberapa gejala coping yang tidak diungkap oleh Skala COPE yaitu perbandingan keberhasilan diri sendiri dengan orang lain (socicil comparison). Skala ini juga tidak membahas mengenai pemberian dukungan sosial kepada orang lain sebagai sebuah strategi coping."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3456
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Hapsari
"Autisma merupakan gangguan perkembangan yang kompleks dan berat, yang ditandai dengan gejala-gejala tertentu yang muncul sebelum usia tiga tahun. Gejalagejala yang diperlihatkan oleh penyandang autisma berupa defisit pada perkembangan bahasa, pada interaksi sosial, dan adanya perilaku-perilaku repetitif. Kelainan ini menyebabkan penyandang autisma mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain dan berhubungan dengan dunia luar. Anak penyandang autism memiliki hambatan yang nyata dalam interaksi sosial. Ketrampilan sosial anak penyandang autisma dapat ditingkatkan melalui interaksi yang intensif dengan saudara sekandung.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai peran saudara sekandung terhadap perkembangan interaksi sosial anak autis. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam sebagai alat pengumpul data utama serta observasi sebagai alat pengumpul data penunjang. Subyek penelitian adalah keluarga yang memiliki anak penyandang autisma yang berusia prasekolah dan memiliki saudara sekandung dengan jarak usia dekat. Yang menjadi subyek untuk diwawancara adalah ibu dan saudara sekandung anak autis.
Berdasarkan hasil penelitian ternyata peran saudara sekandung cukup besar dalam meningkatkan interaksi sosial. Namun peran saudara sekandung ini ditentukan sekali oleh peran ibu dalam melibatkan saudara sekandung dan adiknya yang autis. Ditemukan ibu dengan disiplin yang tinggi dan memberikan tanggung jawab yang cukup besar bagi saudara sekandung untuk selalu berinteraksi dengan adiknya maka interaksi keduanya menjadi cukup intensif dan terlihat peningkatan interaksi sosial yang signifikan dari anak penyandang autisma. Namun ibu yang memiliki kontrol yang lemah terhadap hubungan antar saudara sekandung, ditemukan interaksi keduanya sangat sedikit, dan ini memiliki pengaruh terhadap perkembangan interaksi sosial anak penyandang autisma yang tetap minim tanpa peningkatan. Namun faktor -faktor seperti: jarak usia, perilaku dan taraf kemampuan anak penyandang autisma, sikap dan perasaan saudara sekandung terhadap perlakuan khusus kepada anak penyandang autisma, konteks keluarga secara keseluruhan berkontribusi dalam menentukan peran saudara sekandung tersebut.
Ditemukan juga dalam penelitian bahwa saudara sekandung tidak hanya berperan pada bidang interaksi sosial anak autis tetapi juga turut membantu terapi adiknya yang berupa kemandirian dalam bidang bina diri, kemampuan akademis serta terapi okupasi. Ini berhubungan dengan subyek anak autis yang berusia prasekolah dan sedang melakukan terapi intensif sehingga ibu sering memberikan tugas kepada saudara sekandung yang berhubungan dengan membantu terapi.
Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan observasi sebagai metode utama kedua sehingga dapat diperoleh gambaran peran saudara sekandung dalam kesehariannya secara utuh. Dalam pemilihan subyek penelitian juga bisa saudara sekandung dan anak autis yang berusia remaja. Selain itu mungkin penting untuk mendapatkan informasi yang memadai mengenai kehidupan perkawinan keluarga yang diteliti sehingga didapatkan gambaran dalam lingkungan keluarga seperti apa saudara sekandung ini berada. Selain itu sebaiknya penelitian yang akan datang dapat memfokuskan kepada keluarga yang memiliki status ekonomi menengah ke bawah."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S2851
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Y. Handojo
Jakarta: Bhuana Ilmu Komputer, 2003
371.94 HAN a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Y. Handojo
"Buku ini memberikan petunjuka praktis dalam mengajar anak berkelainan dengan metode Lovaas (Applied Behavior Analysis)."
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2003: Jakarta, 2003
616.898 2 HAN a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Setyawati
"Autistic disorder gangguan yang parah dalam perkembangan, dan ditandai oleh adanya abnormalitas dalam fungsi-fungsi sosial, bahasa dan komunikasi, serta adanya tingkah laku dan minat yang tidak biasa (Trevarthen, Aitken, Papoucli & Robarts, 1998; Mash & Wolfe, 1999; Saltler, 2002). Autism disebabkan karena adanya gangguan kompleks dalam perkembangan otak, dimulai sejak masa prenatal, dan kemudian mempengaruhi berbagai aspek perkembangan dan belajar secara drastis pada akhir masa infancy, yaitu pada pada saat kemampuan bahasa mulai berkembang. Frekuensi atau jumlah penderita autisme di Indonesia tahun-tahun terakhir ini sudah meningkat dan menarik perhatian berbagai kalangan.
Salah satu karakteristik utama dari anak penyandang autisma ringan adalah mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial. Mereka tidak mempunyai minat dalam interaksi dengan orang lain, dan perilaku sosial mereka cenderung aneh dan tidak adaptif. Anak penyandang autisma ringan juga tidak mampu untuk menggunakan bahasa untuk tujuan sosial atau hubungan interpersonal. Walaupun demikian, beberapa ahli mengatakan bahwa anak penyandang autisma ringan sebenarnya dapat menunjukkan afeksi dan kedekatan yang sifatnya hangat dengan orangtua pengasuh atau orang yang dekat dengan mereka (Cohen & Volkmar, 1997; Trevarthen et al, 1998).
Hal tersebut di atas menimbulkan pertanyaan dalam diri penulis mengenai hubungan interpersonal dari anak penyandang autisma ringan, lebih khususnya adalah bagaimana anak penyandang autisma ringan memandang dirinya dalam berhubungan dengan orang lain dan bagaimana sikap Serta pandangannya terhadap orangtua. Untuk mengetahui hal tersebut secara langsung dari anak penyandang autisma ringan tentu saja sangat sulit karena keterbatasan mereka dalam berkomunikasi. Sehingga dalam Tugas Akhir ini digunakan metode proyeksi untuk mengetahui gambaran dari hubungan interpersonal anak penyandang autisma ringan. Metode proyeksi yang cocok digunakan untuk anak yang mengalami hambatan dalam kornunikasi verbal adalah tes gambar. Dua tes gambar yang digunakan dalam Tugas Akhir ini adalah Human Figure Drawings (HFDS) dan House-Tree-Person (HTF).
Untuk melengkapi dan sebagai data penunjang dalam Tugas Akhir ini, penulis melakukan wawancara terhadap orangtua atau pengasuh. Dari hasil interpretasi yang dilakukan terhadap hasil tes HFDS dan HTP kedua subjek ditemukan bahwa keduanya memiliki hambatan dalam hubungan interpersonal. Mereka cenderung menarik diri dan memiliki minat yang terbatas dalam melakukan interaksi dengan orang lain, terutama teman dan orang asing. Namun, kemampuan subjek 1 dalam berhubungan dengan orang lain lebih berkembang daripada subjek 2, Terhadap orangtua, kedua subjek memiliki persamaan dalam sikap dan pandangan mereka terhadap orangtua. Keduanya memandang ibu sebagai figur yang penting dan dekat dengan diri mereka. Perbedaan antara kedua subjek terletak pada pandangan mereka mengenai peranan ibu (dominan atau tidak) dan komunikasi yang terjalin antara kedua subjek dan ibu. Perbedaan antara kedua subjek seperti yang telah disebutkan di atas dimungkinkan oleh karena beberapa faktor, antara lain, usia yang berbeda antara kedua subjek, pendidikan dan terapi yang telah diperoleh, kesempatan dalarn berinteraksi dengan orang lain, dan faktor pola pengasuhan ibu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38392
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfani Prima Kusumasari
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas stimulasi penggunaan foto terhadap kemampuan menggosok gigi anak autis usia sekolah. Metodologi penelitian kuantitatif kuasi eksperimen dengan menggunakan desain subyek tunggal (single subject design). Sebanyak tiga orang responden yang merupakan anak autis usia sekolah beserta orangtua mereka berpartisipasi dalam penelitian ini. Intervensi diberikan menggunakan rangkaian foto mengenai tahapan dalam menggosok gigi setelah terlihat trend kemampuan pada fase baseline. Pengukuran kemampuan menggosok gigi dilakukan pada fase baseline, intervensi, maintenance, dan generalisasi. Hasilnya, kemampuan menggosok gigi pada ketiga anak meningkat setelah dilakukan intervensi dan menetap pada fase generalisasi.

The aim of this research is to know the effectiveness of stimulation using photograph to the ability of school-age children with autism in performing oral hygiene. The methodology used in this research is quantitative approach using quasi experiment, single subject design. There are three school-age children with autism together with their parents participated in this research. Intervention is given to the children right after the exact trend has measured in the baseline phase. Measurements are done in baseline, intervention, maintenance, and generalization phase. Result showed that the ability of those children is increasing after given the intervention.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T41877
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herlinda Ekapraja
"Initiation of joint attention merupakan kemampuan dasar yang diperlukan individu dalam berinteraksi secara sosial. Kemampuan ini melibatkan aspek bahasa, komunikasi, dan interaksi sosial, yang merupakan area defisit utama pada individu dengan Autism Spectrum Disorder (ASD). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan modifikasi perilaku melalui penerapan prompting dan reinforcement oleh ayah dapat meningkatkan kemampuan initiation of joint attention pada anak dengan ASD. Sebagai subjek dalam penelitian ini adalah DFM, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun dan duduk di kelas IV sebuah sekolah dasar negeri inklusi di Jakarta Timur. DFM didiagnosa PDD-NOS saat berusia 2,5 tahun. Program intervensi dilaksanakan dalam 23 sesi dengan terlebih dahulu melatih ayah subjek untuk menerapkan prosedur prompting dan reinforcement. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program intervensi yang dijalankan tidak efektif dalam meningkatkan kemampuan initiation of joint attention pada subjek. Prosedur prompting dan reinforcement belum berhasil diterapkan dengan tepat dan konsisten oleh ayah. Kesiapan ayah dalam menerima pelatihan, kemampuan anak dalam memproses tatapan mata, dan kondisi keluarga subjek merupakan sebagian faktor yang mempengaruhi hasil penelitian. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk meningkatkan intensitas pelatihan kepada ayah sebagai persiapan intervensi, dan evaluasi terus-menerus sepanjang intervensi.

Initiation of joint attention has been considered essential in the establishment of human social interaction. Three aspects are involved in this skill, namely communication, language, and social interaction. These are areas found to be deficit in autistic individuals. This research aimed to determine the effectiveness of father-implemented behavior modification in improving initiation of joint attention on a child with autism. The procedures involved were prompt and reinforcement. The subject of this research was a 10-year old boy who was diagnosed with PDD-NOS at the age of 2.5 years. He is now a 4th-grade-student in an inclusive public school. The intervention program was conducted in 23 sessions, with father`s training preceding the initial intervention. The research resulted in the ineffectiveness of the program. Father-implemented behavior modification`s procedures were found to be non-optimal. Father`s readiness in taking instructions, child`s ability in perceiving eye gaze, and family condition were amongst factors considered to be contributing to the results of the research. Intensifying father`s training preceding intervention and continuous evaluation during intervention were suggested for future research."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T42822
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adriana Soekandar Ginanjar
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D1782
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muliana
"Pola asuh merupakan serangkaian interaksi intensif yang melibatkan orang tua dan anak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan karakteristik orang tua dengan jenis pola asuh dalam merawat anak penyandang autisme. Desain penelitian menggunakan deskriptif korelasi dengan melibatkan 49 orang tua yang mempunyai anak autisme (6-12 tahun) di wilayah Jakarta Selatan. Instrumen yang digunakan adalah Parenting Styles and Dimensions Questionnaire-Short Form (PSDQ). Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden (53,1%) menggunakan pola asuh permisif. Hasil uji Chi Square menyatakan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara karakteristik orang tua dengan jenis pola asuh (p>0.05, α=0.05). Namun, karakteristik orang tua mungkin dapat mempengaruhi jenis pola asuh yang digunakan oleh orang tua. Perbedaan nilai-nilai budaya dan karakteristik orang tua menjadikan pola asuh dimasing-masing daerah berbeda. Penelitian ini merekomendasikan untuk diadakannya kerjasama antara pihak sekolah, klinik, dan orang tua dalam memberikan informasi terkait jenis pola asuh yang digunakan oleh orang tua dan dampaknya bagi perkembangan anak autisme.

Parenting is series of intensive interaction that involves parents and children. This study purposed to examine the relationship between parental characteristics with type of parenting style in caring for children with autism. This study used a correlation descriptive design and involved 49 samples of parents who have children with autism (6-12 years old) in South Jakarta. This study using the instruments used the Parenting Styles and Dimensions Questionnaire-Short Form (PSDQ). The results of this study indicated that the majority of respondents (53.1%) using permissive parenting style. Based on Chi Square test, there was no significant relationship between parental characteristics with type of parenting style (p>0.05, α= 0.05). However, parental characteristics may influence the type of parenting style that used by parents. The difference of cultural and parental characteristics make parenting style in each of the different regions. This study recommends the holding of cooperation between the schools, clinics, and parents in providing information related to the type of parenting that used by parents and its impact on the development of children with autism."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S57147
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>