Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173875 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yanuar Tirtajaya Sastranegara
"ABSTRAK
Pada clubfoot idiopatik, skor pirani mempunyai nilai prediksi terhadap beberapa aspek. Skor pirani dapat berhubungan dengan besar koreksi ekuinus pasca tenotomi tendon achilles perkutaneus teknik Ponseti.Didapatkan 16 pasien dengan 23 kaki clubfoot yang dapat dievaluasi. Dilakukan pengambilan data skor pirani awal serta besar koreksi ekuinus pasca tenotomi tendon Achilles perkutaneus yang didapatkan. Dilakukan uji korelasi. Ekspektasi nilai r adalah 0,5. Hasilnya tidak didapatkan hubungan yang bermakna secara klinis antara skor Pirani awal dengan besar koreksi ekuinus pasca tenotomi Achilles (p 0,04; r -0,36).

ABSTRACT
Idiopathic clubfoot is common musculosceletal disorder in children. The Ponseti technique will avoid extensive surgery and give a good result. Pirani score is a simple scoring system to use that can have a predictive value of the prognosis of clubfoot. We evaluate 16 patient with 23 clubfeet at the clinic. We collect the Pirani score and the degree of correction of equinus post percutaneus achilles tenotomy. Correlation test was performed with the relationship expectation r 0,5. The result we founded that no clinical relationship between the initial pirani score with the amount of correction post percutaneus achilles tenotomy (p 0,04; r -0,36)."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Much Sofwan
"ABSTRAK
Sebagian besar peneliti menyatakan pasien dengan clubfoot idiopatik yang ditatalaksana dengan metode Ponseti memberikan hasil baik. Kekurangan metode Ponseti adalah angka rekurensi yang relatif tinggi. Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif yang dilakukan di Poliklinik Orthopaedi Rumah Sakit Ciptomangunkusumo pada tahun 2007 - 2010. Studi ini menunjukkan hanya variabel wilayah tempat tinggal yang mempengaruhi luaran skor Pirani dengan nilai OR 21,60 (95% IK 2,39 – 195,29). Jarak yang jauh dari tempat penyedia fasilitas kesehatan, membuat orang tua pasien mengalami keberatan untuk kontrol rutin. Hal tersebut menyebabkan penatalaksanaan yang tidak optimal sehingga menyebabkan hasil akhir yang kurang baik. Jarak tempat tinggal terhadap tempat layanan kesehatan, berpengaruh terhadap luaran penatalaksanaan Ponseti pada kasus clubfoot di RSCM.

ABSTRACT
Most of the researchers said that patients with idiopathic clubfoot treated by the Ponseti method give good results. However, this method has the disadvantage which is a relatively high recurrence rate which influenced by cultural factors. The study design is retrospective cohort study conducted at the outpatient setting in Ciptomangunkusumo Hospital from 2007 to 2010. This study showed that only the residential distance to the health facility that influence the value of Pirani score outcome OR 21.60 (95% CI 2.39 to 195.29). Patients living far from health facility, tend to miss routine control. This leads to sub-optimal management causing unfavorable outcome. The residential distance to the health service, influence the outcome of the Ponseti treatment of clubfoot cases in the hospital."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simorangkir, Hetty Juli
"Latar Belakang : Perawatan pada pasien - pasien dengan kasus celah bibir dan langit-langit unilateral melalui beberapa tahap serta kerjasama dari beberapa disiplin ilmu yang saling terkait agar hasil yang diperoleh optimal. Tindakan Alveolar Bone Grafting (ABG) adalah salah satu prosedur yang paling penting pada penanganan pasien ini. ABG sangat mempengaruhi erupsi dari gigi geligi dan stabilitas rahang atas pada pasien dengan celah bibir dan langit - langit unilateral. Hal ini menimbulkan banyak keluhan pada pasien sendiri maupun keluarganya.
Tujuan : Penelitian ini mengevaluasi pengaruh penatalaksanaan alveolar bone grafting sesuai protap di RSAB Harapan Kita Jakarta terhadap besarnya nilai deformitas nasal secara antropometri melalui photogrammetri, serta melihat hasil akhir estetik yang proporsional pasca tindakan alveolar bone grafting sebagai salah satu cara untuk mengevaluasi protokol tata laksana yang tetap terhadap pasien - pasien celah bibir dan langit - langit.
Metode : Pasien celah bibir dan langit - langit unilateral pasca alveplar bone grafting dilakukan evaluasi deformitas nasal secara antropometri melalui photogrammetri dari 3 aspek yaitu: anterior,lateral dan basal.
Hasil : Pengukuran antropometri secara photogrammetri dari 3 aspek dengan landmark sebanyak 14 titik dan item jarak sebanyak 11. Evaluasi terhadap upper lip length, upper lip projection dan nostril sill elevation pada sisi non cleft dan sisi cleft. Dari uji t-test pengukuran pada upper lip length dan upper lip projection menunjukkan hasil yang bertambah secara signifikan. Dilakukan uji koreksi dengan Fisher Exam Test dengan nilai 1.
Diskusi : Hasil penelitian menunjukkan adanya kesesuaian pengukuran antropometri secara photogrammetri hasil operasi pasca bone graft pasien celah bibir dan langit - langit unilateral dan menunjukkan hasil akhir estetik yang proporsional dengan nilai yang kecil.
Kesimpulan : Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa protokol tata laksana pasien celah bibir dan langit - langit di Unit Celah Bibir dan Langitan RSAB Harapan Kita Jakarta memberikan hasil yang memuaskan terhadap pasien dan keluarganya dengan melihat terjadinya deformitas pada nasal dan bibir yang tidak begitu besar serta dihasilkannya estetik yang proporsional.

Background : Rehabilitation of patients with unilateral cleft lip and palate requires multi steps and coordination of multidisciplinary science and connecting to produce an optimal result. Alveolar Bone Grafting (ABG) is an important procedure in the treatment of this patients. ABG extremely to influence of the erupting teeth and the stability of the maxilla in patients with unilateral cleft lip and palate. Many complains appearance about this for patient either the family.
Aims : To evaluated the effect of alveolar bone grafting procedure at Cleft Center Harapan Kita General Hospital in order to see the broad value of nasal deformity from anthropometry with photogrammetry and aesthetic proportional patients with unilateral cleft lip and palate. To make a decision that the correct protocol for the treatment in this case.
Method : Patients with unilateral cleft lip and palate post alveolar bone grafting procedure received evaluating of nasal deformity investigated with anthropometry by photogrammetry from 3 aspect: anteriorly, laterally, and basal.
Result : Anthropometry measurement by 3 aspect of photogrammetry with landmark to consist of 14 point and 11 distance item. Evaluation of upper lip length, upper lip projection, and nostril sill elevation at cleft site and non cleft site. t-test showing that the value of upper lip length and upper lip projection is significantly increase. We do the correction test with Fisher exam test with value is 1.
Discussion : This study is showing an adaption between anthropometry measurement with photogrammetry of patients with unilateral cleft lip and palate with the result after post alveolar bone grafting procedure and aesthetic proportional as final result with small value.
Conclusion : We conclude that treatment protocol the patients with unilateral cleft lip and palate at Cleft Center Harapan Kita General Hospital to give some satisfied to patients itself and the family based on a small of nasal deformity at lip and the final result of aesthetic proporsional.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pontjo Tjahjo Marwoto
"ABSTRAK
Tujuan: Mengetahui sebaran antropometri kaki pelari sprin dan sebaran antropometri kaki
pelari jarak jauh dan mengetahui adakah perbedaan antropometri kaki pelari sprin bila
dibandingkan dengan kaki pelari jarak jauh. Desain penelitian: Studi potong lintang. Metode:
Studi potong lintang pada atlit pelari sprin dan atlit pelari jarak jauh yang dilakukan setelah
aktifitas berlatih. Subjek dibagi menjadi 2, yaitu kelompok pelari sprin dan kelompok pelari
jarak jauh, diukur panjang kaki, lebar kaki, tinggi ball, tinggi tarsal dan tinggi achilles pada
kedua kaki. Hasil pengukuran dibandingkan antara kedua kelompok. Alat ukur: Alat ukur
Modifikasi Ferial – Edi dan Calliper. Hasil: Terdapat perbedaan yang signifikan dimana kaki
kanan maupun kiri kaki pelari sprin lebih besar daripada kaki pelari jarak jauh dengan p =
0,034 (kaki kanan) dan p = 0,043 (kaki kiri). Demikian juga pada lebar kaki, dimana kaki pelari
sprin lebih lebar bila dibanding lebar kaki pelari jarak jauh, dengan p< 0,001. Sedangkan
tinggi ball kanan pelari sprin dibandingkan dengan tinggi ball kanan pelari jarak jauh tidak
berbeda secara bermakna, dengan p = 0,283. Tinggi ball kiri pelari sprin berbeda secara
bermakna bila dibandingkan tinggi ball kiri pelari jarak jauh. Demikian juga tinggi tarsal dan
tinggi achilles kaki pelari sprin berbeda secara bermakna bila dibandingkan dengan tinggi
tarsal dan tinggi achilles kaki pelari jarak jauh baik kaki kanan maupun kaki kiri, dengan p <
0,001. Kesimpulan: Terdapat perbedaan antropometri yang bermakna pada panjang, lebar,
tinggi ball kiri, tinggi tarsal dan tinggi achilles antara kaki pelari sprin bila dibandingkan
dengan kaki pelari jarak jauh. Tidak terdapat perbedaan bermakna anata tinggi ball kaki
kanan pelari sprin terhadap tinggi ball kanan kaki pelari jarak jauh.
ABSTRACT
Objective: To determine the foot anthropometric distribution of long distance runner
and sprinter’s and is there any difference in foot anthropometry between long-distance
runners and sprint runners. Study Design: Cross sectional study. Methods: A crosssectional
study in the tract and field athletes. Subjects were divided into sprint runners
group and long-distance runners group, measured leg length, foot width, ball height,
tarsal height, Achilles tendon height on both feet. The measurement results were
compared between the two groups. Measuring instruments: Modification Ferial – Edi
device and calliper. Results: There were significant differences in the right foot or left
foot runner sprin feet larger than distance runners with p = 0.034 (right leg) and p =
0.043 (left foot). Similarly, the width of the foot, where the foot sprint runners wider
than the width of the foot of long-distance runners, with p <0.001. Ball height of the
right ball height between sprinter and long distance runners did not differ significantly,
with p = 0.283. Left ball height of sprinters differ significantly when compared to the
left ball height of distance runner. Similarly in tarsal and Achilles height sprinters feet
significantly different when compared with the tarsal and Achilles height of distance
runners feet both right and left leg, with p <0.001. Conclusions: There are significant
differences in anthropometric length, width, left ball height, tarsal and Achilles height
between sprinter and long distance runners feet. But there was no significant
difference in right ball height of sprinter compare to right distance runner ball height."
2013
T35208
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Almu Muhamad
"[Pendahuluan. Congenital Talipes Equino Varus (CTEV, clubfoot) merupakan salah satu kelainan kaki bawaan yang paling sering ditemui di dunia. Jika tidak ditangani, clubfoot akan mempengaruhi kualitas hidup secara signifikan. Teknik Ponseti telah diterima secara universal sebagai metode terapi dengan hasil yang sangat memuaskan.
Tujuan. Mengetahui korelasi antara parameter antropometri kaki dengan skor Dimeglio pasca Ponseti.
Metode Penelitian. Penelitian analitik observasional dilakukan dengan desain cross sectional terhadap pasien clubfoot unilateral yang datang ke RSCM 2008-2013. Selain pencatatan data dasar dan jenis tatalaksana yang dilakukan, diukur juga panjang kaki, lebar kaki dan lingkar betis kedua kaki, serta penilaian skor Dimeglio. Uji t digunakan untuk menganalisis perbedaan rerata panjang kaki, lebar kaki dan lingkar betis kaki ctev dengan kaki normal. Sedangkan Uji korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis korelasi antara selisih antropometri dengan Skor Dimeglio.
Temuan dan Diskusi Penelitian. Rerata skor Dimeglio pasca terapi adalah 4,8. Uji t satu arah ditemukan panjang kaki, lebar kaki dan lingkar betis kaki CTEV lebih kecil signifikan dari kaki normal (t0>t, CI 95%). Korelasi selisih panjang kaki dengan Skor Dimeglio 0,694. Korelasi selisih lebar kaki dengan skor Dimeglio 0,367. Korelasi selisih lingkar betis dengan skor Dimeglio 0,305. Uji Korelasi Pearson ditemukan korelasi bermakna antara selisih panjang kaki dengan skor Dimeglio (P<0,01). Sedangkan tidak ditemukan korelasi antara lebar kaki dan lingkar betis dengan skor Dimeglio (P>0,01)
Kesimpulan. Luaran metoda Ponseti dengan skor Dimeglio pada clubfoot unilateral adalah baik. Rerata panjang, lebar, dan lingkar betis kaki CTEV lebih rendah dari kaki normal. Terdapat korelasi antara selisih panjang kaki dengan skor Dimeglio pasca terapi.;Introduction. Clubfoot is one of the most common congenital foot deformity in the world which affect the quality of life. Ponseti technique has been universaly accepted as the method with a very satisfactory result.
Objective. This study aims to find any correlation between Dimeglio score post Ponseti-treated clubfoot with anthropometric parameter of the foot.
Method. This is an observational analytic study with cross sectional design. Unilateral clubfoot patients who came to Cipto Mangunkusumo Hospital from 2008 until 2013 were recruited. Measurement of foot length, foot width, and calf circumference of both feet and Dimeglio score assessment was done. T-test was used to analyze the differences of foot length, foot width, and calf circumference between both feet. Pearson correlation test was used to analyze the correlation between anthropometric differences and severity of clubfoot.
Result and Discussion. The mean of post-treatment Dimeglio score was 4.8. One-way t-test found that the foot length, foot width and calf circumference of clubfeet were significantly smaller than the normal feet (t0>t, CI 95%). The correlation of difference in foot length, foot width, and calf circumference with Dimeglio score was 0.694, 0.367 and 0.305, respectively. Pearson correlation test found significant correlation between the difference in foot length and Dimeglio score (p<0.01).
Conclusion. The outcome of Ponsetti technique for unilateral clubfoot using Dimeglio score is good. The means of foot length, foot width, and calf circumference for clubfoot were found to be less than normal foot. There were correlation between differences of foot length and post treatment Dimeglio score., Introduction. Clubfoot is one of the most common congenital foot deformity in the world which affect the quality of life. Ponseti technique has been universaly accepted as the method with a very satisfactory result.
Objective. This study aims to find any correlation between Dimeglio score post Ponseti-treated clubfoot with anthropometric parameter of the foot.
Method. This is an observational analytic study with cross sectional design. Unilateral clubfoot patients who came to Cipto Mangunkusumo Hospital from 2008 until 2013 were recruited. Measurement of foot length, foot width, and calf circumference of both feet and Dimeglio score assessment was done. T-test was used to analyze the differences of foot length, foot width, and calf circumference between both feet. Pearson correlation test was used to analyze the correlation between anthropometric differences and severity of clubfoot.
Result and Discussion. The mean of post-treatment Dimeglio score was 4.8. One-way t-test found that the foot length, foot width and calf circumference of clubfeet were significantly smaller than the normal feet (t0>t, CI 95%). The correlation of difference in foot length, foot width, and calf circumference with Dimeglio score was 0.694, 0.367 and 0.305, respectively. Pearson correlation test found significant correlation between the difference in foot length and Dimeglio score (p<0.01).
Conclusion. The outcome of Ponsetti technique for unilateral clubfoot using Dimeglio score is good. The means of foot length, foot width, and calf circumference for clubfoot were found to be less than normal foot. There were correlation between differences of foot length and post treatment Dimeglio score.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mirta Hediyati Reksodiputro Erlangga
"Sejak dahulu manusia selalu berusaha untuk menemukan dan menjabarkan konsep tentang kriteria wajah cantik. Pemikiran tersebut terus berubah seiring dengan berjalanannya waktu, yang banyak dipengaruhi oleh faktor etnik, ras, ekonomi, agamalkeyakinan dan kebudayaan. Pada jaman Renaisance Yunani para ahli berusaha menjabarkan wajah cantik dan menarik secara estetika. Estetika berasal dart bahasa Yunani, aisthesis yang berarti keindahan/kecantikan. Bangsa Yunani menganggap konsep cantik meliputi filosofi dan penampilan fisik. Mereka menciptakan figur Venus de Milo sebagai gambaran klasik dari proporsional cantik dengan berdasarkan Classical Greek Canon namun Classical Greek Canon/Neoclassical Canon tidak dapat sepenuhnya diaplikasikan pads semua ras dan etnik. Salah satu karya Leonardo da Vinci (menggunakan metode Neoclassical Canon) menghasilkan lukisan wajah perempuan yang proporsional dan ideal. Menurut Leonardo da Vinci wajah seimbang harus dapat dibagi tiga dengan perbandingan yang sama, yaitu antara garis rambut frontal dengan garis supra orbital (Trichion-Glabella), garis supra orbital dengan dasar hidung (Glabella-Subnasal), dan dasar hidung serta Ujung bawah dagu (Subnasal Menton).
Konsep menarik dan cantik telah banyak didiskusikan oleh ahli bedah namun definisi obyektif sulit dijabarkan. Pada wajah estetika, menarik meliputi kombinasi kualitas wajah, seimbang, proporsional, simetri, harmoni dan nilai budaya yang berlaku. Dewasa ini banyak diusahakan metode analisis yang lebih konsisten. Antropometri wajah adalah pengukuran terhadap setiap bagian dari wajah, meliputi nilai ukuran/proporsi secara vertikal, horizontal dan sudutlangulasi pada setiap bagian wajah. Antropometri dapat dilakukan dengan berbagai macam cara antropometri, yaitu antropometri secara langsung, antropometri dengan hasil dokumetasi (fotogrammetri), atau pun antropometri berikut radiografi wajah dan kepala (sefalometri). Perangkat tersebut dapat membantu perencanaan estetika, rinoplasti dan/atau operasi rekonstruksi. Berdasarkan pengukuran antropometri, atau pun fotogrammetri yang telah dilakukan terhadap beberapa ras menunjukkan perbedaan ukuran analisis wajah pada setiap ras dan etnik. Pembentukan kontur wajah selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor ekologi, seperti jenis makanan dan iklim tempat tinggal. Oleh karena itu dapat ditemukan ciri khas kontur wajah bagi suatu ras atau populasi pada daerah tertentu.
Analisis dan proporsional wajah telah banyak dibahas pada bangsa Kaukasia dan Afrika Amerika namun hanya sedikit data mengenai bangsa Asia. Farkas melaporkan 132 nilai pengukuran antropometri wajah pada perempuan dan laki-laki Amerika Utara (Kaukasia). Chou melaporkan 29 nilai pengukuran antropometri wajah pada orang Korea. Analisis wajah merupakan langkah pertama dalam mengevaluasi pasien yang datang, baik untuk prosedur rekonstruksi maupun kosmetika wajah. Operasi wajah demi tujuan estetika pada orang Asia akan menjadi tidak proporsional bila mengacu pada data dan ukuran Kaukasia. Lebih lanjut banyak bangsa Asia yang ingin tetap mempertahankan wajah etnik asli mereka setelah dioperasi. Tantangan bagi para ahli bedah adalah untuk tetap mempertahankan etnik bentuk wajah yang asli dan memperbaiki bagian yang tidak proporsional terhadap keseluruhan bentuk wajah.
Analisis wajah dapat menjadi lebih mudah dilakukan dengan menggunakan teknik fotogrammetri yaitu pengukuran antropometri wajah dengan menggunakan hasil dokumentasi Rhinobase Software merupakan perangkat yang dapat membantu proses fotogrammetri, dimana hasil foto akan dianalisis dengan menggunakan perangkat ini. Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari Rhinobase Software. Selain berguna untuk fotogrammetri, perangkat tersebut dapat pula membantu ahli bedah dalam menyimpan keseluruhan data pasien (anamnesis, pemeriksaan fisik, fotogrammetri, rencana operasi, dan hasil operasi).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18050
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wong Winami Wati
"Telah dilakukan penelitian antropometri di Jakarta pada 40 laki-laki dewasa muda Cina Indonesia, 40 laki-laki dewasa muda Jawa, 40 laki-laki dewasa muda Flores dan 40 laki-laki dewasa muda Papua yang semuanya menetap di Jakarta. Parameter antropometri yang diukur adalah tinggi badan (vertex-base), panjang lengan atas/humerus (acromion-radiale), panjang lengan bawah(radius (radiale-stylion), panjang tungkai atas/femur (Trochanterion-tibiale) dan panjang,tungkai bawah/tibia (tibiale-sphyrion). Pengukuran dilakukan dengan metode pengukuran Martin dengan antropemetri Martin. Data diolah untuk mendapatkan faktor multiplikasi (Fm) dan ratio pada setiap kelompok, nilai rata-rata dan simpang bakunya, kemudian dilakukan perbandingan diantara kelompok menggunakan test anova dengan tingat kemaknaan 5% atau nilai p < 0,05.
Hasil penelitian menunjukan adanya persamaan (tidak berbeda bermakna) diantara orang Cina, Jawa dan Flores pada tinggi badan, panjang lengan atas (hunters), panjang lengan bawah (radius), panjang tungkai atas (femur) dan panjang tungkai bawah (tibia). Tetapi terdapat sedikit perbedaan pada ukuran lengan bawah (radius) antara laki-laki Jawa dan Flores. Tinggi badan dan panjang tungkai atas (femur) kelompok Papua (kelompok melanesoid) berbeda secara signifikan dari kelompok Cina, Jawa dan Flores (kelompok Mongoloid) sedangkan panjang lengan atas (humersu), lengan bawah(radius dan tungkai bawah (tibia) semuanya sama (tidak berbeda secara signifikan). Kelompok Papua (kelompok melanesoid) berbeda secara signifikasi dengan kelompok Flores, Jawa dan Cina ( kelompok mongoloid) pada : 1. Faktor multiplikasi radius (lengan bawah) dan tibia (tungkai bawah); 2. Ratio radius ( lengan bawah), femur (tungkai atas) dan tibia (tungkai bawah).
Hubungan panjang tulang-tulang panjang terhadap tinggi badan dijabarkan dalam persamaan regresi sebagai berikut :
Kelompok Mongoloid Indonesia :
(WHmo) TB = 99,467 + 2,083 HSE : 5,705r : 0,467
(WRmo) TB = 102,964 + 2,457 R. SE : 4,475 r : 0,720
(WFmo) TB = 103,804 + 1,364 FSE : 5,131r : 0,606
(WTmo} TB = 96,939 + 1,981 TSE : 4,832r : 0,663
Kelompok Melanesoid Indonesia : (WHme) TB = 119,300 + 1,398 H SE : 4,103 r : 0,440
(WRme) TB = 126,803 + 1,401 R SE : 4,216 r : 0,385
(WFme) TB = 143,760 + 0,414 FSE : 4,312r : 0,330
(WTme) TB =114,325+ 1,378 TSE : 4,072r : 0,454
Pengujian ketepatan rumus dalam penerapan pada 30 orang laki-iaki Indonesia yang terdiri atas 25 orang Mongoloid Indonesia dan 5 orang Melanesoid Indonesia menunjukkan bahwa rumus yang diperoleh menghasilkan penyimpangan tinggi badan kurang lebih 1%.

An anthropometric study was conducted in Jakarta in 2002 on 40 young adult males of Indonesia Chinese, 40 young adult males of Javanese, 40 young adult males of Flores and 40 young adult of males of Papua. Anthropometric parameters taken were body height (base-vertex), upper arm length/humerus (acromiale-radiale), lower arm length/radius (radiale-stylion), thigh length/femur (trochanterion-tibiale), shank lengthltibia (tibiale-sphyrion). Measurement was carried out according to Martin's method using Martin's Anthropometer. The measurement was computed to obtain: the multiplication factors (MF) and ratios of parameter pairs, means and their standard deviation values. Comparisons between the groups were analyzed using student anova test with the 5% significance level or p value < 0.05.
Result of computation showed the homogeneity (non significant different) among Chinese', Javanese' and Flores's body height (base-vertex), upper arm length/humerus (acromiale-radiale), lower arm length (radius)(radiale-stylion), thigh/femur (trochanterion- tibiale) and shank lengths (tibia) /tibiale-sphyrion. But there was a slight heterogeneity in lower arm length/radius measures between Flores and Javanese male. Body height and thigh(femur) length of Papua group (melanesoid group) differed significantly from those of Chinese, Javanese and Flores groups ( mongoloid groups), while upper arm (humerus) length, lower arm (radius) length and shank (tibia)length were all homogenous (did not differ significantly). Papua group (melanesoid group) differed significantly with Flores, Javanese and Chinese groups (mongoloid groups) in: 1. Multiplication Factors of radius (lower arm) and tibia (shank), 2.Ratios of radius (lower arm), of femur (thigh) and of tibia (shank).
Relationship of long bones of upper and lower extremities and body height was formulated as shown below:
Male Mongoloid Group (Chinese, Javanese and Flores populations)
(WHmo) Bodyheight= 99.467 + 2.083H SE:5.705 r.0.467
(WRmo) Bodyheight= 102.964 + 2.457R SE:4.475 r.0.720
(WFmo) Bodyheight= 103.804 + 1.364F SE:5.131 r.0.606
(WTmo) Bodyheight= 96.939 + 1.981T SE:4.832 r.0.663
Male Melanesoid (Papua) (WHme) Bodyheight= 119.300+ 1.398H SE:4.103 r.0.440
(WRme) Bodyheight= 126.803+ 1.401R SE:4.216 r.0.385
(WFme) Bodyheight= 143.760+ 0.414F SE:4.312 r.0.330
(WTme) Bodyheight= 114.325+ 1.378T SE:4.072 r.0454
Application test of these formulas on 30 individuals consisting of 25 Indonesian' mongoloids and 5 Indonesian melanesoids showed that the formulas give the deviation of body height of less than 1°%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T9970
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandy Sofian Sopandi
"

Latar Belakang: Morfologi telinga bervariasi antarindividu bergantung pada berbagai faktor, di antaranya faktor geografis dan etnik. Indonesia yang dihuni beraneka ragam suku bangsa tidak memiliki data mengenai protrusi normal telinga. Studi ini bertujuan untuk menyediakan data dasar anthropometri protrusi normal telinga pada mahasiswa fakultas kedokteran subras Melayu.

Metode: Penulis melakukan sebuah studi potong lintang pada mahasiswa fakultas kedokteran Rumah Sakit Hasan Sadikin. Dengan subjek duduk tegak, penulis mengukur jarak antara mastoid dan heliks pada level superaurale dan tragal. Penulis menggambarkan karakteristik protrusi telinga menggunakan statistic deskriptif.

Hasil: Kami melibatkan 409 mahasiswa fakultas kedokteran yang terdiri dari 105 laki-laki dan 304 perempuan. Dari 326 subjek Melayu, 307 merupakan keturunan Deutero Melayu, sementara 19 Proto Melayu. Protrusi superaurale rerata untuk subras Deutero Melayu adalah 16,7 mm (SD = 2,9) untuk telinga kiri dan 16,6 mm (SD = 2,9) untuk telinga kanan. Protrusi tragal adalah 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kiri dan 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kanan. Protrusi superaurale rerata untuk subras Proto Melayu adalah 15,8 mm (SD = 2,6) untuk telinga kiri dan 15,5 mm (SD = 3,6) untuk telinga kanan. Protrusi rerata level tragal adalah 20,1 mm (SD = 2,4) untuk telinga kiri dan 20,4 mm (SD = 3,3) untuk telinga kanan. Sebanyak 36 subjek merupakan subras campuran, dengan protrusi superaurale rerata 17 mm (SD = 3,4) untuk telinga kiri dan 16,9 mm (SD = 3,2) untuk telinga kanan. Protrusi tragal rerata kiri dan kanan kelompok ini adalah 22,7 mm (SD = 3,6) dan 22,9 mm (SD = 4). Sisa 47 subjek berasal dari subras lain, yaitu Cina, India, dan Arab, dengan protrusi superaurale rerata kiri 14,7 mm (SD = 2,8) dan kanan 14,1 mm (SD = 2,9). Protrusi tragal rerata kelompok ini adalah 20,2 mm (SD = 3,6) untuk telinga kiri dan 20,6 mm (SD = 3,9) untuk telinga kanan.

Diskusi dan Kesimpulan: Hasil studi penulis menunjukkan hasil serupa dengan studi Purkait pada dewasa India. Meskipun demikian, protrusi tragal rerata studi ini melebihi kriteria klasik telinga prominen Adamson dan Wright yaitu 20 mm. Studi ini memberikan data anthropometri dasar untuk protrusi telinga populasi Indonesia, khususnya subras Melayu.


Background: Ear morphology varies between individuals depending on many factors, the geographical and ethnic factors among others. While Indonesia is inhabited by diverse ethnic groups, data regarding normal ear protrusion is not available. This study aims to provide a baseline data on normal ear protrusion anthropometry among medical students of Malay subraces.

Methods: We conducted a cross-sectional study on Rumah Sakit Hasan Sadikin medical students. With the subject sitting upright, the distance between mastoid and the helix on superaurale and tragal level is measured. We depicted ear protrusion characteristics using descriptive statistics.

Result: We enrolled 409 medical students. There were 105 male and 304 female. From 326 Malay subjects, a total of 307 subjects were from Deutero Malay descent, while 19 were Proto Malay. The mean superaurale protrusion for Deutero Malay subrace was 16.7 mm (SD = 2.9) for the left ear and 16.6 mm (SD = 2.9) for the right ear. The tragal protrusion was 21.7 mm (SD = 3.5) for the left ear and 21.7 mm (SD = 3.5) for the right ear. The mean superaurale protrusion for Proto Malay subrace was 15.8 mm (SD = 2.6) for the left ear and 15.5 mm (SD = 3.6) for the right ear. Mean protrusion on the tragal level was 20.1 mm (SD = 2.4) for the left ear and 20.4 mm (SD = 3.3) for the right ear. Thirty six subjects were mixed subrace, whose mean superaurale protrusion was 17 mm (SD = 3.4) for the left ear and 16.9 mm (SD = 3.2) for the right. Their mean left and right tragal protrusion was 22.7 mm (SD = 3.6) and 22.9 mm (SD = 4). The remaining 47 subjects belonged to other subraces, i.e. Chinese, Indian, and Arabic, with the left mean superaurale protrusion 14.7 mm (SD = 2.8) and the right 14.1 mm (SD = 2.9). Their mean tragal protrusion was 20.2 mm (SD = 3.6) for the left ear and 20.6 mm (SD = 3.9) for the right.

Discussion and Conclusion: Our results showed comparable values to Purkaits similar study on Indian adults. However, our mean tragal protrusion exceeds Adamson and Wrights classic criteria of protruding ear, which is 20 mm. This study provided a baseline anthropometric data on ear protrusion of Indonesian population, especially Malay subraces.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: The Wistar Intitute of Anatomy and Biology, 1947
599.94 HRD
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Afrida Resti Nugraheni
"Skripsi ini merupakan penelitian cross sectional yang bertujuan mengembangkan model prediksi tinggi badan untuk kelompok dewasa awal yang tidak dapat diukur tinggi badan aktualnya. Penelitian ini melibatkan 138 mahasiswa (70 laki-laki dan 68 perempuan) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang diambil secara acak sederhana. Pengambilan data dilakukan dengan pengukuran antropometri tinggi badan menggunakan microtoise serta pengukuran panjang ulna dan demi span menggunakan pita ukur non elastis (medline).
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata hasil pengukuran antropometri laki-laki lebih besar dibanding perempuan. Hasil korelasi antara tinggi badan dengan panjang ulna kanan, ulna kiri, demi span kanan, dan demi span kiri pada laki-laki menunjukkan keeratan hubungan yang sangat kuat (r = 0,77; 0,76; 0,84; 0,84). Sedangkan, korelasi pada perempuan menunjukkan keeratan hubungan yang kuat sampai sangat kuat (r = 0,74; 0,72; 0,77; 0,80).
Hasil analisis multiregresi menghasilkan empat model prediksi dengan masing-masing prediktor, namun model prediksi dengan panjang demi span kiri (TB = 60,53 + (1,53 x demi span kiri) - (2,07 x jenis kelamin) dianggap paling valid karena memiliki nilai R square yang paling besar (0,857).

The aim of this cross sectional research was to develope height prediction model for early adult that can’t be measured their actual height. This research was carried out 138 students (70 males and 168 females) Faculty of Public Health University of Indonesia with simpe random sampling tecnique. The data was taken by antropometric measurement, included body height used microtoise, ulna and demi span length used medline.
The result seen that mean of males antropometric measurement was larger than females. Correlation betwen height with right ulna length, left ulna, right demi span, and left demi span in males were very strong (r = 0,77; 0,76; 0,84; 0,84). However, the correlation in females were strong till very strong (r = 0,74; 0,72; 0,77; 0,80).
Multiregression analysis result four prediction models with each predictor, but prediction model with left demi span (Height = 60,53 + (1,53 x left demi span) - (2,07 x sex) was the most valid model because it has biggest R square (0,857).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S45875
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>