Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 219197 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Achmad Haikal Assegaff
"ABSTRAK
Waralaba atau yang dikenal dengan franchise telah menjadi salah satu bentuk
bisnis yang bertujuan untuk menaikan perekonomian negara. Bisnis waralaba
sendiri sudah sangat berkembang di negara-negara maju maupun Negara
berkembang. Untuk membangun sebuah waralaba dibutuhkan peran dari hak
kekayaan intelektual, karena tanpa hak kekayaan intelektual maka waralaba tidak
akan pernah ada. Walaupun demikian tidak semua Negara memiliki kesamaan
pada peraturan tentang hak kekayaan intelektual yg digunakan untuk waralaba.
Selain itu implementasi peraturan-peraturan tersebut terhadap suatu perjanjian
waralaba akan berbeda disetiap negara. Salah satu contoh adalah peraturan dan
implementasinya di Indonesia dan Amerika yang memiliki beberapa perbedaan.

ABSTRACT
Franchise has become one of a business form that has purpose to increase the
economic growth of a country. Franchise business has developed rapidly in
developed countries and developing countries. In order to establish a franchise
takes the role of intellectual property rights, because there will never be a
franchise without intellectual property rights. Nevertheless, not all countries have
similarities on intellectual property right regulations towards a franchise.
Moreover, the implementation of the regulations towards franchise agreement will
be different in each country. One example is the regulations and implementations
in Indonesia and the United State of America which have some differences."
Universitas Indonesia, 2014
S55945
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Rakhmadita
"Indonesia dan Cina adalah anggota dari perjanjian TRIPS dan merupakan anggota dari WTO. Sebagai anggota dari WTO, Indonesia, dan China wajib mematuhi TRIPS dan karena itu ada beberapa ketentuan dalam TRIPS yang perlu diatur atau diubah dalam setiap peraturan perundang-undangan dari hak kekayaan intelektual masing-masing negara. Salah satunya adalah border measure sebagai sarana perlindungan oleh pabean terhadap barang-barang kekayaan intelektual yang diimpor atau diekspor, yang dipandang sebagai langkah efektif untuk menghentikan pelanggaran hak kekayaan intelektual karena dapat menghentikan barang yang melanggar tersebut sebelum memasuki dan beredar bebas dan luas ke pasar bebas. Salah satu mekanisme yang disebutkan dalam TRIPS adalah penegahan ex-officio. Dalam mendukung hal ini, ada mekanisme yang disebut sebagai perekaman yang memungkinkan pemilik atau pemegang hak kekayaan intelektual hak untuk merekam hak mereka di bea cukai. Sekarang, Indonesia dan Cina memiliki telah memiliki peraturan yang sama tentang perekaman dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan yang baru diberlakukan Nomor 40/PMK.04/2018 tentang tentang Perekaman, Penegahan, Jaminan, Penangguhan Sementara, Monitoring dan Evaluasi Dalam Rangka Pengendalian Impor atau Ekspor Barang Yang Diduga Merupakan atau Berasal Dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual. Dalam membandingkan kerangka peraturan kedua negara ini, ada beberapa perbedaan dan persamaan yang ditemukan. Satu hal yang patut disebutkan, adalah bagaimana Indonesia tidak mengizinkan perusahaan asing yang didirikan untuk merekam hak mereka dalam sistem perekaman di bea cukai, tidak seperti China. Ditemukan dengan pendekatan teoritis bahwa sebenarnya ada beberapa poin yang mendukung mengapa Indonesia harus memasukkan perusahaan-perusahaan asing untuk diizinkan merekam hak mereka di bea cukai seperti, pertumbuhan ekonomi individu dan negara, merangsang produktivitas pasar, dan sebagai sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Both Indonesia and China are part of the TRIPS Agreement and are members of the WTO. As the members of WTO, Indonesia and China are obliged to comply to the TRIPS and therefore there are several provision in TRIPS that needs to be regulated or amended in each of the country 39s intellectual property regime. One of such is the border measures as the means of customs protection towards intellectual property goods that are being imported or exported, which is seen as an effective measure to stop the infringement of intellectual property right because it might stop the infringed goods before it enters into and circulated freely and broadly to the free market. One of the mechanisms mentioned in TRIPS is the ex officio detention. In supporting this authority, there is a mechanism called customs recordation that allows the owner or right holder of the intellectual property right to record their right in the customs. Now, Indonesia and China both have the same regulatory frameworks of customs recordation, by the newly enacted Minister of Finance Regulation Number 40 PMK.04 2018 concerning Recordation, Detention Penegahan, Guarantee, Suspension Penangguhan, Monitoring and Evaluation in Regards to The Control Over Imported or Exported Goods Suspected or Resulted from Intellectual Property Rights Infringement. In comparing the two countries regulatory frameworks, there are several differences and similarities that are found. One worth to be mentioned is how Indonesia does not allow foreign established companies to record their IPR in customs recordation system, unlike China. It is found by a theoretical approach that there are actually several points that support on why does Indonesia shall include foreign established companies in recordation system such as, it generates economic growth of individual and country, stimulate market productivity, and as a means to the development of science and technology.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfi Fajar Ibrahim
"Studi ini berusaha meneliti hubungan antara tingkat perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Negara asing terhadap ekspor Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan gravity model dan menggunakan data panel dimana data yang digunakan adalah data arus perdagangan Indonesia ke Negara-negara ASEAN+6 yaitu Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Cina, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru pada tahun 1990, 1995, 2000, dan 2005. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah bahwa perlindungan HKI di negara asing berpengaruh positif terhadap ekspor Indonesia terutama pada sektor-sektor manufaktur, mengindikasikan dominasi market expansion effects. Selain itu ditemukan juga bahwa dampak perlindungan HKI terhadap ekspor dipengaruhi oleh tingkat ancaman imitasi di negara tujuan ekspor, dimana penguatan perlindungan HKI di Negara pengimpor dengan ancaman imitasi yang kuat akan meningkatkan ekspor Indonesia ke negara tersebut yang disebabkan oleh dominasi market expansion effect dan penguatan perlindungan HKI di Negara pengimpor dengan ancaman imitasi yang lemah akan berdampak pada berkurangnya ekspor Indonesia ke negara tersebut yang disebabkan oleh dominasi market power effect.

This study investigates the relationship between Intellectual Property Right (IPR) protection in foreign countries on Indonesia`s exports using gravity equation and panel data. The data that being used is Indonesia`s exports to ASEAN +6 countries such as Malaysia, Philippine, Thailand, Vietnam, China, Japan, South Korea, India, Australia, and New Zealand in 1990, 1995, 2000, and 2005. This study concludes that reinforced IPR protection in foreign countries has a positive effect on Indonesia`s exports especially on manufacturing sectors, indicating the dominance of market expansion effects. Besides that, it also found that the impacts of IPR protection in foreign countries depend on importer`s threat of imitation level, reinforced IPR protection in foreign countries that pose a strong threat of imitation increases Indonesia`s export to these countries which is caused by the dominance of the market expansion effects and reinforced IPR protection in foreign countries that pose a weak threat of imitation reduces Indonesia`s export to these countries which is caused by the dominance of the market power effects."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
S47075
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinulingga, Desi Ariani
"Data Agregat/Data Statisik merupakan data yang berbentuk ringkasan bersifat kualitatif atau kuantitatif yang tidak dapat mengindentifikasi seseorang. Oleh karena itu, Data Agregat/Data Statistik dapat dimanfaatkan oleh siapa saja baik Pemerintah maupun Swasta. Namun, dalam Rancangan Undang Pelindungan Data Pribadi, pengaturan mengenai Data Agregat/Data Statistik hanya ditujukan untuk penyelenggaraan negara saja. Belum lagi, dari sudut pandang pelindungan Hak Kekayaan Intelektual, Data Statistik merupakan hasil karya intelektualitas yang bagi Penciptanya diberikan hak eksklusif. Akibatnya, pemanfaatan Data Agregat/Data Statistik untuk berbagai keperluan baik penelitian maupun bisnis semakin sulit dilakukan oleh masyarakat. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian dengan pendekatan yuridis normatif dan deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka seperti literatur dan jurnal. Penelitian ini memberikan simpulan bahwa berdasarkan peraturan Pelindungan Data Pribadi baik di Indonesia maupun di negara lain, Data Agregat/ Data Statistik bukan merupakan Data Pribadi yang harus dilindungi sehingga dikecualikan dalam pengaturan secara keseluruhan tidak hanya untuk kepentingan penyelenggaraan negara saja. Selanjutnya, berdasarkan peraturan HKI, Data Agregat/Data Statistik merupakan Ciptaan yang berbentuk kompilasi data yang dilindungi oleh Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 Tentang Hak Cipta. Selain Hak Cipta, Data Agregat/Data Statistik dapat dilindungi oleh Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang apabila informasi di dalamnya bersifat rahasia, memiliki nilai ekonomi, dan dilakukan berbagai langkah untuk menjaga kerahasiaanya tersebut.

Aggregate Data/Statistical Data is data in the form of a qualitative or quantitative summary that cannot identify a person. Therefore, Aggregate Data/ Statistical Data can be used by anyone, both Government and Private. However, in the Personal Data Protection Bill, the Aggregate Data/Statistical Data regulation is only intended for state administration. Besides that, from the point of view of protecting Intellectual Property Rights, Statistical Data is the result of intellectual work for which the Creator is granted exclusive rights. As a result, the use of Aggregate Data/Statistical Data for various purposes, both research and business, is increasingly difficult for the public to do. In this study, the research method that was used is a normative juridical and an analytical descriptive approach with focus on legislation and library materials such as literature and journals. This research concludes that based on the regulation of Personal Data Protection both in Indonesia and others country, Aggregate Data/Statistical Data is not Personal Data that must be protected so that it is excluded in the overall regulation not only for the state administration. Furthermore, based on IPR regulations, Aggregate Data/Statistical Data is a Creation in the form of a compilation of data protected by Act No. 28 of 2004 concerning Copyright. In addition to Copyright, Aggregate Data/Statistical Data can be protected by Act No. 30 of 2000 concerning Trade Secrets if the information inside is confidential, has economic value, and various steps are taken to maintain its confidentiality."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Aga Parsaoran Samuel
"Persaingan berbasis inovasi menciptakan tantangan baru bagi hukum persaingan usaha. Di tengah era teknologi saat ini, penggabungan badan usaha kerap didorong oleh motivasi untuk mengambil alih hak kekayaan intelektual atas suatu teknologi milik badan usaha lainnya. Namun, hasil penelitian ini membuktikan bahwa bentuk penggabungan badan usaha yang demikian akan mengakibatkan terjadinya konsentrasi hak kekayaan intelektual yang memiliki dampak anti persaingan mengingat sifat eksklusivitas dan monopolistik dari hak kekayaan intelektual. Sayangnya, masih terdapat celah hukum bagi terjadinya praktik konsentrasi hak kekayaan intelektual di Indonesia. Karenanya, KPPU perlu menerapkan konsep analisis terhadap penggabungan yang serupa dengan konsep analisis Innovation Market di Amerika Serikat.

Innovation-based competition creates new challenges for antitrust law. In the idst of current era of technology, the merger of a business entity is often driven by the motivation to acquire the intellectual property rights over a technology owned by other business entities. However, the results of this study prove that the form of such business entity merger would lead to a concentration of intellectual property rights that has anti-competitive effects due to the exclusivity and monopolistic nature of intellectual property rights. Unfortunately, there is still loopholes for the practice of concentration of intellectual property rights in Indonesia. Therefore, KPPU should apply the concept of merger analysis that is similar to the concept of Innovation Market in the United States."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S45863
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Sintya Rahmadany
"Waralaba merupakan hak untuk melakukan kegiatan usaha menjual suatu produk atau jasa. Di Indonesia waralaba dilaksanakan berdasarkan suatu Perjanjian Waralaba antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba. Pengaturan mengenai waralaba di Indonesia belum terlalu lengkap dan memadai jika dibandingkan dengan Amerika Serikat. Amerika Serikat mengatur mengenai waralaba dari peraturan tingkat federal sampai dengan peraturan tingkat negara bagian, sedangkan di Indonesia hanya diatur mulai dari tingkat Peraturan Pemerintah. Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai perbandingan peraturan perjanjian waralaba di Indonesia dan Amerika Serikat, serta kewajiban pendaftaran di Indonesia dan Amerika Serikat. Skripsi ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan metode pendekatan perbandingan dan peraturan perundang-undangan.

Franchising is the rights to conduct a business in selling product or service. In Indonesia, franchising was held by a Franchise Agreement between Franchisor and Franchisee. Franchise regulations in Indonesia is not complete and adequate when compared to the United States. The United States rules the franchising from federal level to the state level regulations, while in Indonesia is only from the level of government regulation. In this research will discuss the comparison about of franchise agreements regulations between Indonesia and the United States of America, also comparison about the registration of franchise agreements between Indonesia and the United States of America. This research use the normative juridical research by using comparative approach based on methods of comparative law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S61878
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juldin Bahriansyah
"Penelitian ini mengungkapkan bagaimana pengetahuan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Pengetahuan diukur melalui dua set pertanyaan dengan pengelompokan berdasarkan bobot pengetahuan menjadi pengetahuan dasar dan pengetahuan lanjutan.
Penelitian ini juga mengeksplorasi bagaimana peran perlindungan merek terhadap pola bisnis UMKM, Sebagai perbandingan digunakan model yang diungkapkan oleh Dodds. Sebagai suatu penelitian campuran, penelitian ini juga mengeloborasi bagaimana para informan melakukan bisnis sejak awal hingga sekarang. Selain itu, kondisi seputar bisnis yang turut berpengaruh juga diungkapkan.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah (a) pengetahuan para UMKM tentang HKI masih rendah; dan (b) pengaruh merek terhadap omzet penjualan terjadi secara tidak langsung, dimana melalui tahapan-tahapan antara.
Oleh karena itu, disarankan agar (a) Direktorat Jenderal HKI memfokuskan sosialisasi HKI kepada UMKM tentang merek saja pada periode awal dan berkembang pada periode berikutnya; (b) Direktorat Jenderal HKI memberikan insentif berupa struktur biaya khusus UMKM serta percepatan pemeriksaan merek bagi pemohon UMKM; dan (c) bagi UMKM sendiri, perlu pembuatan nama produk yang berbeda dan mudah diingat, menggunakan slogan/jingZe, berupa simbol, sponsor; dan adanya pengulangan.

This research describes the understanding of Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs) about Intellectual Property Right (TPR). The understanding nature is explored using questions, representing their basic and advanced knowledge of IPR.
This research also explores the role of trademark protection to MSMEs business cycie. Meanwhile, Dodd’s model is used for the analysis. Since it is a mix research, it also elaborates how informen run business from start up phase until present. Besides, relevant facts around business activities also are described.
Conclusions of this research are (a) level of IPR knowledge amongst MSMEs is low; and (b) registered trademark influences productivities indirectly through some intermediary stages.
Therefore, it is advised that (a) Directorate General of IPR’s program of dissemination must focus on trademark solely starting phase then advance it at further phase; (b) Directorate General of IPR regulates incentives in fonn of special tariff of MSMEs and accelerated examination for MSMEs; and (c) for MSMEs them selves, consider these tips in branding: distinctive and easy to remember, use jingle, slogan, or Symbol, and contain repetition.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T26835
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ladito Risang Bagaskoro
"ABSTRAK
Perlindungan hak-hak korban tindak pidana, merupakan tanggungjawab negara terhadap korban, tanpa terkecuali. Hal tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban negara atas ketidakmampuannya dalam melindungi masyarakat, sehingga timbul korban. Namun, efektifitas dan ketepatan sasaran serta bentuk perlindungan yang diberikan Pemerintah Indonesia dinilai masih kurang tepat, khususnya korban tindak pidana terorisme. Setiap negara memiliki sudut pandang yang berbeda atas perlindungan hak korban tindak pidana terorisme, khususnya terhadap peraturan yang mengatur dan bentuk perlindungan yang diberikan terhadap korban tindak pidana terorisme, seperti dalam sistem hukum Indonesia, Amerika Serikat dan Republik Jerman. Analisis terhadap perbedaan dan persamaan dari ketiga Negara tersebut tentu dapat menjadi bahan masukan dalam politik hukum pidana Indonesia, khususnya dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia korban tindak pidana terorisme, yang mana akan merujuk pada rekomendasi model perlindungan korban tindak pidana terorisme di Indonesia.

ABSTRACT
The protection of victims right is the state responsibility without exception. It is a state responsibility for its inability to protect the community, resulting in casualties. However, the target and forms effectiveness and accuracy of protection provided by Indonesia is still considered inadequate, especially the terrorism victims Each country has different responses to the protection terrorism victims rights, especially to the regulating rules and forms of protection afforded to victims of terrorism, such as in the Indonesia, the United States of America and the Republic of Germany legal system. The analysis of the differences and similarities of the three States can certainly be an input to Indonesian criminal law policies, especially in the effort to fulfil the terrorism victim human rights, which will refer to the recommendation of terrorism victim rsquo s protection model in Indonesia."
2018
T49759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>