Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22675 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gianina Shannon
"Daluwarsa adalah upaya hukum untuk mendapatkan sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa diatur dalam Pasal 1946-1993 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam skripsi ini penulis membahas mengenai keberlakuan daluwarsa untuk memperoleh sesuatu, daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan, dan pencegahan daluwarsa dalam kasus yang diputus oleh Putusan Mahkamah Agung No. 587 K/Pdt/2012. Kasus yang dimaksud membahas mengenai perebutan sebidang tanah yang ingin digugurkan gugatan PMH-nya berdasarkan daluwarsa yang diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata. Bentuk penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan bentuk hasil dari penelitian adalah laporan deskriptif mengenai permasalahan yang diteliti. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa daluwarsa membebaskan (extinctif) berdasarkan Pasal 1967 KUH Perdata hanya berlaku bagi tuntutan yang terkait saja, perolehan hak melalui daluwarsa memperoleh (acquisitif) yang diatur Pasal 1963 KUH Perdata hanya dapat terjadi dengan itikad baik, dan tindakan menagih termasuk dalam pencegahan daluwarsa menurut doktrin berdasarkan konsep yang diatur Pasal 1979 KUH Perdata.

Expiration is an effort to get something or to be released from an engagement by the lapse of certain time and upon terms prescribed by the law. Expiration is regulated in Article 1946-1993 of Indonesian Civil Code. In this paper, the authors discuss about the validity of the expiration to get something, to be released from an engagement, and prevention of the expiration itself in the case, which is decided by the Supreme Court Decision No. 587 K/Pdt/2012. The case is about land seizure that the tort-based-suit of which wanted to be disqualified according to the expiration that regulated in Indonesian Civil Code. The form of this research is juridical-normative with descriptive type. The tool of data collection is study of documents and the results form of the research are descriptive statements about the problems studied. The result of this research states that extinctive expiration according to Article 1967 Indonesian Civil Code only occur to the related demands, right acquisition through acquisitive expiration which regulated in Article 1963 Indonesian Civil Code only occur in good faith, and charge action is included in prevention of the expiration according to doctrine based on the concept which is regulated in Article 1979 Indonesia Civil Code."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53573
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajrina Febiani
"ABSTRAK
Daluwarsa atau lewat waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa diatur dalam KUHPerdata, namun dengan dikeluarkannya UUPA, terdapat beberapa pasal dalam KUHPerdata yang dinyatakan tidak berlaku. Oleh karena itu dalam skripsi ini akan membahas mengenai keberlakuan konsep daluwarsa setelah adanya UUPA dan Peraturan Pelaksanaannya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif yang bersifat deksriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun UUPA tidak mengenal istilah daluwarsa, namun pada putusan-putusan pengadilan membuktikan bahwa Majelis Hakim menggunakan istilah rechtsverwerking yang berarti pelepasan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997. Jika dikaitkan dengan konsep daluwarsa, maka pengaturan dalam pasal tersebut kurang lebih sama dengan daluwarsa membebaskan yang diatur dalam Pasal 1967 KUHPerdata, karena keduanya sama-sama mengatur mengenai hilangnya hak untuk menuntut dikarenakan adanya batas waktu tertentu. Penelitian ini menyarankan supaya para pemilik tanah untuk selalu memanfaatkan dan mengusahakan tanah yang dimilikinya agar tanah tersebut tidak dikuasai ataupun digunakan oleh orang lain secara tidak sah, selain itu demi kepastian hukum pemiliknya juga, sebaiknya para pemilik tanah harus memiliki tanda bukti kepemilikan tanah yang sah.

ABSTRACT
Expiration or overdue is an effort to gain something or absolve from any alliance with a certain overdue and requirements by the Constitution. Expiry arranges in Civil Code but when UUPA has been issued, there are some articles on Civil Code that become unvalid. Therefore, this research will talk about the enforceability of expiration concept after UUPA has been issued and the regulation has been implemented. This research is a normative juridicial Law research with a descriptive characteristics. The result of this research shows that even though UUPA doesn rsquo t acquainted about expiry, but Court Judgement prove that Court Council use rechtsverwerking which means right extrication as written on article No. 32 subsection 2 PP No. 24 year 1997. If it relates to expire concept, that the regulation on the article more and less similar with expiry absolve which is arranged on Civil Code article 1967 because both of them arrange demanded right loss due to the time limit. This research suggest the land owner to always utilize and manage the land that they owned, so that the land doesn rsquo t illegally used by other. In addition to get law certainity, the land owner should have legal land ownership."
2017
S68146
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Iding
"ABSTRAK
Masalah yang dihadapi oleh sebagian besar rakyat Amerika dalam menegakkan kepercayaan rakyat Amerika mengenai pelaksanaan prinsip equal justice dalam kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan adalah merupakan hal yang kompleks. Masalah ini sesungguhnya berpangkal dari tradisi masyarakat Amerika tentang bagaimana mereka memandang pemimpin politik dan sistem pemerintahannya.
Bila dilihat dari tradisi masyarakat Amerika, maka pada satu sisi ada kecenderungan masyarakatnya kurang menghargai kepemimpinan politik di pemerintahannya. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh dan sikap sementara orang Amerika yang anti pemerintahan. Sindiran-sindiran dalam bentuk karikatur maupun kata-kata telah menjadi tradisi di masyarakat Amerika di dalam memandang para politisinya (Lerner, 1987:356-357). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Gabriel (1991:23) bahwa para pemimpin politik di Amerika selalu diterima dengan penuh curiga dan dikritik pedas. Kecaman dan kritik semacam ini seringkali muncul sebagai akibat praktis dari tindakan yang diambil oleh para pemimpinnya.
Sementara, di sisi lain, masyarakat Amerika justru bangga dengan sistem pemerintahannya (Burns, dalam Stevens, 1988:293) yang diproklamirkan sebagai sistem demokrasi yang terbaik di dunia. Menurut John A. Moore Jr. dan Myron Roberts (1985:44), masyarakat Amerika percaya dengan pelaksanaan demokrasi di negaranya. Demokrasi berarti kekuasaan yang diatur oleh rakyat. Sistem tersebut menuntut kekuasaan politik dijalankan berdasarkan pilihan rakyat melalui mayoritas pemilih yang menggunakan hak suaranya, dan dengan cara demikian masyarakat Amerika memiliki alternatif untuk memilih ketika menggunakan hak suaranya. Di dalam sistem demokrasi di Amerika, perebutan kekuasaan secara militer tidak pernah akan terjadi, karena mereka percaya terhadap proses pemilihan sebagai cara yang dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan sosial maupun politik.
Namun, menurut Lerner (1989:362), perlu disadari pula bahwa ide demokrasi di Amerika mengandung pengertian ganda. Pengertian pertama memberikan jaminan perlindungan kebebasan individu melalui pembatasan kekuasaan pemerintah -- separation of powers, civil liberties, rule of law - dan perlindungan kebebasan dan hak milik terhadap gangguan yang sewenang-wenang oleh negara. Kedua, ide demokrasi mengenai penerapan atas perlakuan sama yang menekankan pada "rule of the majority" dalam menerapkan "social equality" sebagai dasar pemerintahan.
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wulandari
"Kegiatan pokok perdagangan eceran melakukan penjualan barang secara langsung kepada konsumen akhir dalam partai kecil. Bentuk usaha eceran terdiri dari usaha eceran tradisional dan modern. Bentuk usaha eceran secara tradisional umumnya masih menggunakan sarana toko atau pasar dan merupakan usaha perorangan dengan jumlah barang yang dijual terbatas macam dan jumlahnya. Bentuk usaha eceran lain adalah usaha eceran modern dengan modal besar yang menjual beragam barang (lengkap) dan memiliki tempat-tempat usaha yang strategis dengan berbagai sarana dan prasarana (one-stop shopping).
Ekspansi usaha pedagang eceran besar dan juga dengan terbukanva perdagangan eceran bagi penanam modal asing menimbulkan kekhawatiran usaha pedagang eceran kecil akan hancur. Selain itu, usaha perdagangan eceran dengan storeiless store seperti multilevel marketing, TV Shopping, dan lain-lain juga menambah persaingan dalam usaha eceran. Berdasarkan pengertian ini, persaingan yang terjadi dalam perdagangan eceran adalah antara sesama pedagang eceran besar baik lokal maupun asing. Meskipun demikian usaha untuk melindungi kepentingan pedagang eceran kecil sekaligus meningkatkan kualitas usahanya perlu dilakukan baik dari pihak pemerintah, khususnya Departemen Perindustrian dan Perdagangan, organisasi pedagang eceran, maupun akademisi. Usaha-usaha pokok dimaksud meliputi lokasi usaha, program kemitraan, dan perlindungan hukum.
Aspek perlindungan hukum yang masih perlu diperbaiki mencakup perizinan usaha, permodalan, kemitraan, distribusi barang dan persaingan usaha. Pengertian persaingan usaha yang sehat tidak hanya mencakup ketentuan hukum tertulis, namun mencakup pula pengertian hukum tidak tertulis seperti etika bisnis. Untuk mencegah persaingan usaha yang tidak sehat dalam usaha eceran terdapat dua Cara pokok, yaitu perbaikan peraturan perundang-undangan di bidang usaha eceran serta penegakannya dan peningkatan kualitas usaha pedagang eceran kecil.

The main activity of retailing business is to sell goods in small quantities to the end user. There are traditional and modern retailing businesses. The traditional retailing business usually uses shop or market in selling its limited quantity and variety of goods. The modern retailing business that owns big capital sells various goods. Its store locates in strategic business area and has modern facilities (one-stop shopping). This retailer is called big retailer.
The concern of the destruction of small retailers comes up since the expansion of the local big retailers as well as the disclosure of retailing business for foreign investment. The store less store such as multi-level marketing, TV Shopping, etc increases the competition on retailing business. Based on this research, the competition of retailing business occurs among local and foreign big retailers. The small retailers needs the government, particularly the Department of Industry and Commerce, retailers' organization, and academic institution assistance to protect the interest of small retailers as well as to enhance the quality of their businesses. Such assistances include the business location, partnership program and legal protection.
The aspects of legal protection that needs to be improved are business permit, capitalization, partnership, distribution of goods and business competition. The meaning of fair business competition covers the written law and unwritten law such as business ethics. There are two main methods in protecting the unfair competition on retailing businesses, i.e. the improvement of regulations on retailing business and its enforcement, as well as the enhancement of business quality of small retailers."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Abdussalam
"Polisi di semua negara dalam melaksanakan penegakan hukum di lapangan adalah sama wewenangnya. Selain mengadakan tindakan berdasarkan hukum peraturan perundang-undangan, juga dapat secara leluasa memakai peraturan sendiri dan pengalaman pribadi dalam memutuskan apa yang harus dilakukan dan bagaimana menangani penegakan hukum serta situasi dalam memelihara ketertiban yang polisi temui dalam melaksanakan tugasnya. Polisi tidak perlu mempunyai bukti cukup untuk menangkap orang dan dimintai keterangan. Walaupun tanpa dibekali atau didukung surat perintah sepotong pun, cukup mengenalkan identitasnya saja. Wewenang tersebut di semua negara terutama Amerika Serikat dan Inggris, dikenal dengan istilah Police Discretion. Dan Indonesia menyebut dengan istilah diskresi, terutama para perwira dan senior Polri. Padahal dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana pada Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 terdapat wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dan dalam penjelasan disebutkan untuk kepentingan penyelidikan dengan 5 (lima) persyaratan. Menurut penulis, wewenang tersebut sama dengan wewenang yang dilaksanakan di semua negara yang dikenal dengan istilah Police Discretion.
Kenyataan di lapangan polisi yang berada di tengah-tengah, berbaur dan bersentuhan langsung dengan masyarakat serta yang berhadapan langsung dengan para pelanggar hukum dan pelaku kejahatan adalah polisi yang paling rendah pangkatnya yaitu Tamtama dan Bintara. Oleh karena itulah pangkat Tamtama dan Bintaralah yang paling dominan dalam melaksanakan wewenang mengadakan tindakan lain daripada wewenang lainnya yang telah dirinci pasal demi pasal dalam UUHAP. Dalam mengadakan tindakan lain tersebut tidak harus lebih dahulu membuat laporan polisi, Surat perintah penangkapan, surat perintah penggeledahan dan penyitaan, surat izin dari ketua pengadilan negeri setempat. Polisi dapat langsung melakukan tindakan tersebut cukup hanya berdasarkan kecurigaan dan laporan informasi masyarakat yang dapat dipercaya maupun didapat sendiri baik secara individu, dua atau lebih, maupun satuan antara lain mengadakan razia dan operasi khusus kepolisian terhadap orang-orang yang termasuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan barang-barang yang termasuk Daftar Pencarian Barang (DPB).
Tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab sangat efektif dan efisien dalam penegakan hukum di lapangan, karena Polri selalu dihadapkan dengan meluasnya dan tidak fleksibelnya undang-undang pidana. Undang-Undang yang mendua arti dan samar atau tidak jelas. Undang-undang yang usang dan kuno yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, keterbatasan anggaran, sarana, dan prasarana penegakan hukum, adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan perkembangan di dalam masyarakat, berbedanya struktur, kebudayaan dan harapan masyarakat. Pendapat intern baik individu, satuan maupun atasan, waktu dan tempat kejadian serta faktor-faktor lain. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus dan sebagai kebijakan penegakan hukum dalam pencegahan kejahatan maupun dalam melaksanakan fungsi hukum untuk mencapai tujuan hukum.
Mengingat sangat pentingnya wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum di lapangan sebagai kebijakan penegakan hukum dalarn pencegahan kejahatan, maka perlu diatur dalam peraturan pemerintah atau dimasukkan dalam RUU Polri dan dibuatkan petunjuk teknis sama dengan wewenang lainnya yang telah dirinci pasal demi pasal dalam UUHAP guna pedoman bagi Polri di lapangan serta dilakukan pemasyarakatan pada semua lapisan terutama seluruh anggota Polri atau ABRI, para pakar dan semua mahasiswa universitas dalam upaya untuk meningkatkan kadar kesadaran hukum serta dalam usaha mengembangkan sistem keamanan dan ketertiban masyarakat yang bersifat swakarsa."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marwanto
"ABSTRAK
Penulisan tesis ini, antara lain bertujuan untuk menjajagi kaidah-kaidah hukum yang dapat dipakai sebagai rambu-rambu hukum terhadap konglomerat. Tulisan ini dilandasi oleh suatu pemikiran, bahwa di Indonesia belum terdapat peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur konglomerat. Padahal, sebagai negara yang berdasarkan atas hukum dan kesejahteraan (welfare state), semestinya segala sepak terjang seluruh warga negara pada umumnya dan konglomerat pada khususnya harus berdasarkan atas hukum. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian hukum yang normatif, atau penelitian hukum yang doktriner. Hasil analisis menunjukkan adanya kaidah-kaidah hukum yang dapat dipakai sebagai penuntun menghadapi konglomerat. Akhirnya, untuk mengantisipasi permasalahan konglomerat di Indonesia, diberikan dua alternatif sebagai kontribusi dari tulisan ini, yaitu mewujudkan Undang-undang Anti Monopoli dan atau Undang-undang Perseroan Terbatas. Amerika tentang bagaimana mereka memandang pemimpin politik dan sistem pemerintahannya.
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Bahtiar
"Menjadi pedagang kaki lima memang dilematis, di satu sisi menjadi pedagang kaki lima merupakan usaha untuk menggantungkan kebutuhan hidup sehari-hari, di sisi lain sebagai aktifitas usaha yang menggunakan ruang publik, pedagang kaki lima berhadapan dengan peraturan daerah DKI Jakarta No.11 tahun 1988 tentang larangan berjualan di tempat-tempat yang seharusnya digunakan oleh masyarakat umum, seperti trotoar dan badan jalan. Sehingga penyitaan dalam operasi penertiban yang dilakukan oleh petugas merupakan sesuatu yang sangat ditakuti tapi tidak bisa dihindari oleh pedagang kaki lima.
Penelitian ini tentang bentuk-bentuk tindakan represif petugas tramtib terhadap pedagang kaki lima saat penyitaan dalam penertiban di Pasar Senen. Penelitian difokuskan pada beberapa kasus tindakan represif petugas tramtib terhadap pedagang kaki lima saat penyitaan dalam penertiban dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian yang penulis lakukan adalah bersifat kualitatif. Tehnik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (depth interview) dan observasi lapangan. Wawancara dilakukan terhadap pedagang kaki lima dan petugas tramtib.
Dalam penelitian ini ada beberapa teori yang digunakan yaitu teori Ralf Dahrendor, Peter M. Blau, Richard Quinney dan William Chamblis. Dahrendor menggunakan pendekatan melalui Asosiasi terkodinir secara imperative (keharusan), bahwa kontrol sosial dalam suatu masyarakat tergantung kepada hubungan bertingkat-tingkat atau hirarkis digolongkan menurut asosiasi superordinal dan sub ordinat. Pembagian kewenangan secara tidak sama menimbulkan konflik, di mana kelompok-kelompok yang dominan memaksakan kehendak mereka dan kelompok-kelompok bawahan berusaha menentangnya. Kemudian Peter M. Blau mengungkapkan bahwa dalam pertukaran sosial seseorang akan melakukan upaya simpatik supaya mendapatkan penghargaan dari orang lain, padahal mungkin sifat itu dimunculkan supaya terlihat bersikap lebih ramah daripada bermusuhan dalam berhubungan. Richard Quinney mengemukakan bahwa realitas kejahatan yang dikonstruksi untuk seluruh anggota masyarakat oleh mereka dalam tampuk kekuasaan merupakan realitas di mana kita cenderung menerimanya sebagai bagian dari kita sendiri. Dengan melakukan hal itu, kita mengakui eksistensi mereka yang dalam tampuk otoritas untuk melaksanakan tindakan yang sebagian besar mempromosikan kepentingan mereka. Ini adalah realitas politik. Realitas sosial dari kejahatan dalam sebuah, masyarakat yang terorganisir secara politik terkonstruksi sebagai sebuah tindakan politik. William Chambliss menuturkan bahwa dalam negara, pembuatan hukum merupakan hasil dari kepentingan kelompok atau kelompok penguasa dan bukan kepentingan umum, kepentingan kelompok dengan kekuasaan dan kekayaan yang paling besar akan paling tercermin dalam hukum itu.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa tindakan reprsif oleh petugas tramtib terhadap pedagang kaki lima saat penyitaan dalam penertiban yaitu: mengintimidasi pedagang kaki lima, merusak barang dagangan, melaksanakan penyitaan pada waktu malam hari. Penyitaan dalam penertiban ini biasanya dilakukan setelah lebaran, dengan jumlah pedagang kaki lima yang cukup banyak dan untuk menghindari bentrokan dengan pedagang, ketika dilakukan penyitaan, pedagang kaki lima tidak ada di lokasi karena masih dalam suasana lebaran. Pelaksanaan penyitaan dalam operasi penertiban juga dilakukan pada saat pedagang kaki lima tidak ada di tempat. Faktor-faktor yang mendukung terjadinya tindakan represif petugas tramtib terhadap pedagang kaki lima saat penyitaan dalam penertiban yaitu: 1. Faktor petugas sebagai pemegang otoritas 2. Faktor pedagang kaki lima sebagai sub ordinat 3. Faktor pedefinisian kejahatan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14336
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafridatati
"Salah satu permasalahan pidana yang mendapat perhatian besar dari kalangan ahli hukum pidana adalah mengenai masalah perbedaan (disparity of sentencing) yang terlalu menyolok yang di jatuhkan oleh hakim terhadap para pelaku tindak pidana-tindak pidana yang sama tanpa dasar pembenaran yang jelas.
Disparitas pidana yang menyolok dalam pemidanaan, selain menimbulkan rasa ketidakpuasan di kalangan masyarakat, juga menimbulkan masalah yang serius bagi narapidana.
Disparitas akan berakibat fatal, bilamana dikaitkan dengan usaha perbaikan narapidana (corection administration). Terpidana yang setelah memperbandingkan pidana kemudian merasa menjadi korban kesalahan peradilan (the judicial caprice), akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, pada hal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. Dari sini akan nampak suatu persoalan yang serius, sebab akan merupakan suatu indikator dan manivestasi dari kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana.
Disparitas terjadi hampir pada setiap delik. Demikian juga terhadap delik perkosaan. Sering kita baca di berbagai media masa bahwa kasus perkosaan akhir-akhir ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini pernah diungkapkan oleh Rusli Muhammad dalam laporan penelitiannya bahwa kasus perkosaan di Tanah Air terjadi rata-rata 5 jam sekali. Namun dari data indeks kejahatan dari Mabes Polri terlihat bahwa angka perkosaan turun naik terhitung mulai tahun 1986-1990 yaitu pada tahun 1986 sebanyak 1660 kasus, tahun 1987, 1523 kasus, tahun 1988, 1460 kasus, tahun 1989, 1553 kasus dan tahun 1990 sebanyak 1548 kasus.
Ketakutan terhadap perkosaan menghantui setiap wanita. Hal tersebut membatasi kebebasannya, mempengaruhi cara berpakaian, jam kerja, rute perjalanannya. Namun disadari atau tidak terdapat ambivalensi gambaran terhadap perkosaan. Pada suatu saat kita melihat perkosaan sebagai suatu yang menakutkan (tindak pidana berat), tetapi pada saat lain oleh masyarakat dilihat sebagai lelucon kotor dan memperlakukannya tidak lebih daripada sebagai sesuatu yang kecil dalam kehidupan sosial manusia. Demikian diungkapkan oleh Muladi dalam tulisannya.l)
Perbedaan pandangan ini (ambivalensi) terhadap perkosaan akan menimbulkan disparitas perlakuan terhadap pemerkosa, baik di kalangan masyarakat maupun dalam proses peradilan. Hal ini terbukti dari berbagai putusan pengadilan negeri Jakarta yang lebih banyak menjatuhkan hukuman yang rendah daripada pidana yang mendekati ancaman maksimum. Sebagai contoh pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dari 9 buah berkas perkara ternyata 8 buah kasus dijatuhi hukuman di bawah 3 tahun, sedangkan yang menjatuhkan pidana di atas 4 tahun hanya 1 (satu) kasus. Hal ini berarti pula bahwa sedikitnya perlindungan dari sistem peradilan wanita, padahal dari segi hukum dan pernyataan masyarakat tersurat dan tersirat bahwa perkosaan merupakan kejahatan berat (serious of fence) dengan adanya ancaman hukuman 12 tahun penjara.
Disparitas ini juga dapat disebabkan oleh perundang-undangan, karena perumusan tentang perkosaan dalam perundang-undangan kita, seperti yang tercantum dalam pasal 285 KUHP sangat sempit, sehingga para hakim menjadi sulit untuk menentukan kriteria apa saja yang harus dikemukakan. untuk menentukan bahwa suatu perbuatan itu disebut sebagai perkosaan. Misalnya saja di dalam pasal 285 KUHP unsur yang sangat ditonjolkan adalah adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, sedangkan untuk mengartikan apa itu kekerasan, sampai di mana batas-batas perbuatan itu dapat dikatakan kekerasan, serta bagaimanakah bentuk-bentuk kekerasan itu, apakah hanya kekerasan fisik saja atau bagaimana, sangat sulit untuk menentukannya?"
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusriyadi
"PENDAHULUAN
Sejak beberapa tahun terakhir ini, yaitu sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP, pelaksanaan bantuan hukum tetap merupakan salah satu masalah yang aktual untuk dibicarakan.
Keadaan yang demikian tersebut cukup dapat dimengerti, karena sejak berlakunya KUHAP yaitu pada tanggal 31 Desember 1981, dikenal adanya pemberian bantuan hukum dalam semua tingkat pemeriksaan, termasuk dalam proses penyidikan. Pemberian bantuan hukum dalam proses penyidikan ini, tentu saja merupakan hal yang baru dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana kita, sebab pemberian bantuan hukum dalam proses penyidikan tidak dikenal dalam ketentuan hukum acara pidana lama yaitu yang didasarkan pada Het Herziene Inlansdsh Reglement (Staatsblad, Tahun 1941 Nomor 44, selanjutnya disebut HIR).
Sebagaimana diketahui, bahwa menurut HIR hak bantuan hukum baru diperoleh terdakwa jika perkaranya telah dilimpahkan ke pengadilan negeri, sehingga tersangka pada tingkat pemeriksaan pendahuluan termasuk dalam proses penyidikan tidak dapat memperoleh bantuan hukum. Karena hal yang demikian maka dalam praktek dimungkinkan sering terjadinya perlakuan sewenang-wenang terhadap tersangka.
Meskipun hak bantuan hukum sebelumnya telah dikenal dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yaitu tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, tetapi lahirnya KUHAP tetap harus dipandang sebagai sesuatu hal yang baru. Hal ini karena lahirnya KUHAP berarti telah terjadi suatu perubahan desain baru yang cukup fundamental dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana kita. Hal tersebut berakibat adanya keharusan cara-cara baru bagi aparatur (alat) penegak hukum dalam melakukan pekerjaan hukum yang berbeda dengan cara-cara lama. Cara-cara baru tersebut, tentu saja sangat berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan hak bantuan hukum yang telah dialokasikannya.
Berbagai macam kegiatan telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan dan praktisi hukum dengan fokus pembicaraan di sekitar masalah bantuan hukum kegiatan-kegiatan tersebut antara lain dilakukan dalam bentuk seminar-seminar, lokakarya-lokakarya maupun simposium-simposium.
Kegiatan-kegiatan-tersebut, pada hakikatnya dimaksudkan untuk memberikan masukan pemerintah dalam rangka mewujudkan usahanya ke arah era hukum dan sekaligus untuk memberikan masukan positif dan komprehensif terhadap perwujudan nyata jalan pemerataan perolehan keadilan bagi segenap anggota masyarakat sebagai salah satu dari delapan jalur pemerataan. Dengan demikian, sumbangan-sumbangan pikiran yang tertuang dalam kegiatan-kegiatan tersebut, akan memberikan angin segar bagi upaya perolehan jalan masuk menuju keadilan (access to justice).
"
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuntoro
"ABSTRAK
Suatu tahap yang perlu dicatat dalam sejarah Hukum Internasional, khususnya Hukum Laut International, terutama bagi Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State) adalah adanya perkembangan Hukum Laut International dewasa ini, yaitu hasil Konferensi Hukum Laut-III/PBB yang membawa makna dan kegunaan yang jauh lebih memadai bila dibandingkan dengan hasil-hasil konferensi Hukum Laut sebelumnya dalam usaha menciptakan suatu tata kehidupan ekonomi international yang baru (New International Economic Order) yang berimbang dalam pemanfaatan laut bagi kepentingan umat manusia.
Hasil Konferensi Hukum Laut-III/PBB tersebut di atas belum lama berselang telah ditandatangani di Jamaica pada akhir tahun 1982, termasuk Indonesia sebagai salah satu negara peserta konferensi,yang dituangkan dalam "United Nations Convention on the Law of the Sea".
Walaupun untuk berlaku efektif, Konvensi tersebut masih memerlukan ratifikasi dari sekurang-kurangnya enam puluh negara (Article 308 sub 1), namun Konvensi tersebut telah berhasil meletakkan dasar-dasar bagi negara-negara di dunia, khususnya negara-negara pantai maupun negara kepulauan guna mempersiapkan pengaturan secara nasional berkenaan dengan pemanfaatan laut bagi kepentingan negara yang bersangkutan.
Arti dan kegunaan yang sangat penting dan Konvensi tersebut bagi Indonesia yang menganut Wawasan Nusantara adalah diterimanya konsepsi Negara Kepulauan (Archipelagic State concept),yang berarti menunjang Wawasan Nusantara kita, yang dalam GBHN ditetapkan sebagai wawasan dalam mencapai tujuan Pembangunan Nasional (lihat BAB II.E GBHN). Hal tersebut dapat dilihat dengan dicantumkannya satu bab tersendiri mengenai pengaturan negara kepulauan di dalam Konvensi, yaitu Part IV tentang "Archipelagic States".
Konferensi Hukum Laut-III/PBB yang menghasilkan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) tersebut di atas mempunyai corak khusus yang berbeda dengan konferensi-konferensi Hukum Laut Internasional sebelumnya, antara lain:
1.Masalah yang dibicarakan sifatnya menyeluruh yang berkenaan dengan Hukum Laut dan menyangkut kepentingan seluruh negara. Hal tersebut ternyata dari tujuan Konferensi sebagaimana yang dikemukakan oleh Majelis Umum PBB; "to adopt a convention dealing with all matters relating to the Law of the Sea, bearing in mind that the problem of ocean space are closely interrelated and need to be considered as a whole".
2.Negara-negara berkembang yang tergabung dalam "Kelompok 77" merupakan mayoritas yaitu 2/3 dari seluruh peserta. Karena itu penyelesaian masalahnya lebih ditekankan pada penyelesaian yang bersifat politis dan kompromistis."
1984
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>