Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131125 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dessy Fransiska Wulansari
"Film The Stepford Wives ini menjelaskan tentang emansipasi wanita dari gerakan feminisme yang telah menimbulkan rasa takut bagi posisi kaum pria. Mengacu kepada pernyataan K. Trigiani, kaum pria adalah kaum maskulin yang bersifat dominan atas kaum wanita atau feminin. Dalam makalah ini juga digunakan teori dari C. Jewitt mengenai konsep maskulinitas wimp dan homoseksual. Secara spesifik, para pria yang ada di dalam film tersebut menganut kedua konsep dari C. Jewitt. Para pria tersebut digambarkan sebagai kaum yang tidak hanya merasa tersaingi oleh emansipasi wanita, melainkan harga diri mereka juga terancam. Oleh karena itu, para pria tersebut mencoba untuk merebut kembali maskulinitas mereka melalui tindak diskriminasi terhadap para wanita.

The film The Stepford Wives explains about women emancipation from feminism movement that has caused the feeling of afraid for the men’s position. Refering to K. Trigiani’s statement, men are categorized as a group of masculines that are dominant over women or feminines.This paper is analysed with Masculinity wimp and Homosexual theory by C. Jewitt. Specifically, men in the film belong to the categories based on the theory of C. Jewitt. The men are illustrated as a group of people who not only feel insecure by women emancipation, but also their self esteem are threatened. Therefore, men try to get their masculinity back through discrimination towards women."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Vinne Aninda Putri
"Kekuatan dan relasi jenis kelamin merupakan isu yang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Film “An Education” (2009) merepresentasikan isu tentang partiarki dan konsep “wanita ideal” di lingkungan daerah pinggiran kota London. Tujuan hidup dari wanita di daerah tersebut di tahun 1960-an adalah untuk mencari pria kaya dan menikah dengannya. Film ini menawarkan sebuah ide bagaimana wanita pada saat itu mencoba untuk menjadi seorang “wanita ideal” dan patuh kepada sistem partiarki yang berlaku. Jurnal ini menggunakan teori kekuatan dan sistem partiarki dari Foucault. Namun, konflik yang ada dalam film ini memperlihatkan karakter utama (Jenny) yang mencoba untuk keluar dari lingkungan konservatif dan menemukan kebahagiaan untuk dirinya. Dengan kemampuan dirinya untuk membuat keputusan yang baru untuk hidupnya, dia termotivasi untuk bebas memilih tujuan hidupnya tanpa terpengaruh dari orang lain. Dengan memakai kemampuan untuk mengambil keputusan baru dalam diri karakter utama, konsep wanita yang hanya hidup dalam lingkungan domestik telah patah.

Power and gender relation is a never-ending issue. The movie An Education (2009) appears to represent the issue about patriarchy and the concept of “ideal women” at the suburban areas in London. The aims of women in 1960’s were to find wealthy husband and get married. This kind of movie offers the idea of how women at that time tried to be an “ideal women” and should conform to the patriarchal system. This paper uses the theory of power and patriarchal system from Foucault. However, the conflict in this movie shows that the main character (Jenny) tried to get out from her conservative environment and find her happiness. With her new self-determination (intrinsic motivation to do something), she was motivated to feel free to choose her own decision in her life without the influences of others. Using the main character’s new self-determination, this movie shows that the traditional "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Raya Puspitasari
"Mengingat jenis umum dari persahabatan laki-laki yang tergolong 'tatap muka' dan bukan 'berdampingan' (Zaslow, 2010), How I Met Your Mother sebagai salah satu komedi situasi yang paling populer di Amerika menangkap hubungan antara tiga laki-laki dalam cara yang berbeda, yang disebut Bromance. Dinamika antara tiga laki-laki pemeran utama dalam sitkom tersebut menjadi elemen paling jelas dari komedi yang ditangkap lebih dari perjalanannya untuk menemukan Ibu. Ada dua bagian utama yang akan makalah ini capai; cara ketiga karakter laki-laki memimpin dan membangun hubungan mereka didasarkan pada paradigma wanita yang pria hindari dan perilaku tersebut ditandai sebagai Bromance yang mungkin ada hubungannya dengan pencarian dari Ibu. Dengan menggunakan konsep Brannon tentang ‘the male sex role identity’, hal tersebut menunjukkan bahwa klasifikasi pria berdasarkan peran khas maskulinitas tidak berkontribusi untuk membangun hubungan jangka panjang dengan pasangan.

Considering the common type of men’s friendships which is not ‘face to face’ but ‘side by side’ (Zaslow, 2010), How I Met Your Mother as one of the most popular sitcoms in America captures the relationship among three men in a different way, called Bromance. The dynamics among those three men become the most obvious element of comedy that is captured more than its journey to find the Mother. There are two major parts that this paper attempts to make; the way those three lead male characters build their relationship is based on the paradigm of women that men avoid and those behaviors are characterized as Bromance that should have something to do with the searching of the Mother. By using Brannon’s concept of ‘the male sex role identity’, it shows that the classifications of men with the typical role of masculinity depart them from contributing to a long-lasted relationship.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Tesara Rafiantika
"Konformitas merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Dalam film G.I. Jane, konformitas dilakukan oleh pemeran utama perempuan sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi patriarki yang dibentuk melalui hegemoni maskulinitas. Konformitas menjadi hal yang perlu dilakukan dalam film G.I. Jane sebagai cara untuk mengubah pandangan tentang stereotipe feminin dan maskulin. Skripsi ini akan membahas tentang hegemoni maskulinitas yang terbentuk dalam film G.I. Jane melalui kekuasaan patriarki sampai pada akhirnya terjadi proses perubahan representasi identitas. Representasi identitas baru tersebut merupakan cara berkonformitas. Hasil analisis mengungkapkan bahwa konformitas dalam film G.I. Jane dilakukan oleh tokoh utama dengan cara mengubah penampilan fisiknya sebagai bentuk ketidaksetujuannya dengan konstruksi patriarki dalam film tersebut yang menolak kesetaraan laki-laki dan perempuan. Selain itu, hasil analisis juga mengungkapkan bahwa konformitas dalam film tersebut merupakan sebuah cara untuk menetang dikitomi antara perempuan dan laki-laki yang cenderung melemahkan perempuan. Konformitas tersebut terjadi melalui interaksi tokoh utama dengan beberapa tokoh pendukung dalam film tersebut. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa konformitas tidak selalu merepresentasikan ketertundukan pada kekuasaan. Pendobrakan konstruksi dan dominasi yang melemahkan perempuan dapat dilakukan melalui konformitas.

Conformity is a way of adaptation in a society. In G.I. Jane, conformity is done by the main female character as a woman resistance of patriarchy domination which is established through hegemony masculinity. Conformity in G.I. Jane needs to be done as a way to change the paradigm in forming feminine and masculine stereotype. This undergradute thesis explains how hegemony masculinity is formed by patriarchy power and triggers a representation of new identity of the main female character. The representation of a new identity is the way to show her conformity. The result of analysis reveals the main female character in G.I. Jane shows her conformity by changing her physical appearance. She does the conformity as her disagreement to patriarchal construction which eliminates the power of women and ignores the equality between women and men. Moreover, the result of analysis shows the conformity is a way to oppose dichotomy between women and men which tend to debilitate women’s power. The conformity is established by the interactions between the main female character and the supporting characters in the movie. By acknowledging he results of analysis, it can help to give a new thought of the ideaa of conformity. Conformity is not only a symbol of submission, but also a representation of power and domination resistance."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S43936
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Meutia Harum
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas novel seorang pengarang Indonesia, yaitu Clara Ng yang
berjudul Tea for Two (2010). Novel Tea for Two menampilkan tema kekerasan
dalam rumah tangga yang menjadi isu dalam novel. Untuk itu, penelitian ini akan
berfokus pada proses internalisasi ideologi gender pada tokoh utama dalam novel
yaitu Sassy, dengan menggunakan pendekatan Habitus dan Gender. Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa latar belakang budaya patriarkis membentuk pola
pikir tokoh perempuan sehingga menginternalisasi secara ideologis yang
menyebabkan tokoh utama perempuan dalam novel ini mengalami kekerasan
simbolik maupun kekerasan fisik dalam rumah tangganya. Dengan demikian,
relasi yang terbentuk adalah relasi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan
serta menampilkan laki-laki sebagai pihak yang dominan.

ABSTRACT
This research discusses a novel by Clara Ng, a female author from
Indonesia, titled Tea for Two (2010). The Novel expressed domestic violence in
household which is increasingly prevalent and became an issue in Indonesian
society. Therefore, this study focused on the process of internalization of gender
ideology on female characters in the novel with Habitus and Gender approach.
This research found that the cultural background of patriarchal formed mindset of
women and ideologically internalized so the female characters in this novel
experienced a symbolic and physical violence in the household. Thus, a relation
that is formed is an inequality between men and women and show men as the
dominant party."
2012
T30621
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Lusi Anggari
"Perubahan dan paradox sudah menjadi ciri khas bangsa Amerika. Hal ini terjadi di berbagai aspek kehidupan baik dalam level individu, masyarakat, maupun pemerintah. Ketiganya merupakan sebuah kesatuan sistem yang saling terkait, sehingga perubahan di dalam salah satu variabel sistem tersebut akan merembet pada variabel lainnya. Peran dan identitas laki-laki merupakan satu titik dalam aspek sosial kebudayaan Amerika yang masuk dalam arus perubahan tersebut. Hal ini akan membawa pengaruh penting pada masyarakat karena keluarga merupakan lembaga yang berisikan nilai dan norma budaya yang membentuk nilai dan norma budaya kelompok ataupun lapisan sosial masyarakat tertentu secara keseluruhan.
Selama ini berbagai bahasan tentang jender lebih banyak fokus pada perempuan dan umumnya dari perspektif perempuan Dan sungguh merupakan sesuatu yang menarik ketika Mrs. Doubt Fire dan Junior menampilkan hal yang berbeda yakni permasalahan laki-laki dan dari sudut pandang laki-laki.
Tesis ini menunjukkan bahwa di era 1990an terjadi perubahan peran laki-laki dalam keluarga dari breadwinner menjadi caregiver. Perubahan peran ini disokong oleh perubahan identitasnya sebagai sensitive men dan involved father atau sebutan lain yang senada yang pada dasarnya mengangkat dan menekankan pada aspek kepekaan emosi sebagai karakter yang ideal di masa itu menggantikan aspek materiil. Faktor ekonomi dan liberasi perempuan ternyata menjadi penyebab dan pendorong perubahan peran laki-laki ini. Media massa, dalam hal ini film menampilkan stereotip laki-laki baru ini sebagai figur ideal era 1990an, namun perubahan ini terhambat oleh ambivalensi perempuan dan pemerintah yang bisa dilihat sebagai sebuah paradoks demokrasi Amerika.
Rangkaian dari perubahan ini adalah redefinisi "motherhood" yang menekankan pada aspek financial support, dan keluarga yang lebih fokus pada fungsi daripada bentuk.

Changes and paradox always go hand in hand. They are present in all three levels in society i.e. individual, community, and state. The relation of those three aspects then marks the American core values. Changes themselves do not stand-alone and are believed to generate further changes in related areas.
The prevalent phenomenon in the life of the American white, middle class men in 1990s was the degrading trend of the breadwinning role due to both economic as well as social factors. As a result, fathers entering the private sphere increase from time to time. Men's new role in domestic area is well supported by their newly defined identity as new men, sensitive men, involved father and the lie which put a greater emphasis on emotional rather than material aspect as the determining factor of happiness and success in life. Media, especially films, play the role as the "major socializing influence" which is also the case with Mrs. Doubt fire and Junior.
Despite the fact that more and more men have trudge into the domestic area, the problems remain. Ambivalence in the part of women and institution are the major cause. The push and pull over women's striving for equality and preserving their "motherhood" on one side, and the shift in the ruling power from conservatives to liberal represented by the Democratic party on the other one impede men's equality with women in the private sphere. Then, it can be said that ambivalence is a paradox to.
Finally, men's changing role requires a change in women's in the form of redefined motherhood. This time, women's new role will consider putting emphasis on financial support for the dependants. As for family, focus will be directed towards function than forms.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Quinta Binar Resista
"Skripsi ini membahas tokoh Bean dalam serial televisi Mr. Bean (1990) sebagai contoh parodi terhadap ide maskulinitas Britishman. Parodi terhadap maskulinitas Britishman akan dianalisis melalui cara tokoh Mr. Bean memperlakukan tubuh tanpa memandang konsep heteronormativitas yang hidup di lingkungan sekitarnya, berdasarkan beberapa adegan yang terdapat dalam episode Mr. Bean, The Return of Mr. Bean, dan The Curse of Mr. Bean. Selain itu, parodi terhadap ide maskulinitas karakter Britishman pada teks penelitian akan ditinjau dengan kebiasaan para mahasiswa Oxford dan Cambridge University (Oxbridge Men) di awal abad 19, yang diketahui sebagai cikal bakal konsep Britishman di Inggris. Melalui penelitian ini, penulis menemukan bahwa Mr. Bean adalah seorang dengan identitas jender yang tidak dapat didefinisikan, namun ia telah menjadi subjek atas tubuhnya sendiri.

The purpose of this final thesis is to analyze the character of Bean in the Mr. Bean tv shows (1990) as a form of parody toward the concept of Britishman masculinity. The analysis is conducted by examining how Mr. Bean treats his own body without a regard to the concept of heteronomativity around him, based on several scenes from the episodes of Mr. Bean, The Return of Mr. Bean, and The Curse of Mr. Bean. Furthermore, the parody toward the concept of Britishman masculinity in this paper will be examined in its connection with the habit of students from Oxford and Cambridge University (Oxbridge Men) in the beginning of 19th century, which has been known as the role model of an ideal Britishman in England. Through this study, the writer found that Mr. Bean is a gender entity who can't be easily defined, and instead mould his own identity as a subject based on his body."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43429
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
New Jersey: Prentice-Hall, 1981
305.3 MEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Nurfaidah
"Tesis ini membahas representasi maskulinitas yang terdapat dalam korpus berupa film yang berjudul Malaikat Bayangan dan Malaikat Tanpa Sayap. Penelitian ini dilakukan sebagai penelitian kualitatif melalui pendekatan cultural studies. Penelitian ini menggunakan beberapa teori berikut, yaitu maskulinitas Reeser dan Beynon, metafora konseptual dari Lakoff dan Johnson, metafora multimodal Forceville, dan struktur film dari Boggs dan Petrie, serta Nathan Abrams, et.al. Reeser dan Beynon memandang maskulinitas sebagai satu konsep yang dinamis, cair, dan kompleks. Kedua korpus penelitian tersebut memiliki perbedaan, antara lain, dalam latar tahun produksi, genre, atau setting. Film Malaikat Bayangan mengangkat tema maskulinitas imperial dengan latar era kolonial. Sosok maskulin imperial, Thomas, mengabdikan diri sepenuhnya pada kepentingan negara tanpa mengaharapkan imbalan materi. Untuk itu maskulin imperial dituntut untuk tidak menjalin hubungan yang terlalu intim dengan lawan jenis serta memiliki kemampuan untuk menguasai diri seutuhnya. Jika dikaitkan dengan teori Reeser, sosok maskulin imperial dalam film Malaikat Bayangan tidak berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain. Namun, dalam sebuah penyamaran, Thomas tidak dapat menghindari untuk mengadopsi unsur-unsur dari kluster lain, seperti metroseksual dan narcissist. Sementara itu, Film Malaikat Tanpa Sayap mengangkat konsep maskulinitas breadwinner yang dapat berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain, yaitu new man as a nurturer dan maskulinitas imperial. Sosok maskulin yang diangkat di dalam tesis ini merupakan sosok yang dianggap sebagai malaikat (malaikat metaforis). Metafora konseptual yang muncul sebagai penguat tokoh malaikat metaforis cenderung untuk mengarah pada sikap, sifat, serta peristiwa yang dialami oleh para tokoh. Dalam film Malaikat Bayangan, sosok Thomas memenuhi kriteria sebagai malaikat karena ia mengabdi dengan sepenuh hati tanpa pernah memikirkan imbalan materi; memiliki kekuatan fisik dan batin yang prima; patuh pada aturan, dan cernat. Sementara itu, film Malaikat Tanpa Sayap menampilkan tokoh Amir sebagai sosok yang dianggap sebagai malaikat. Tokoh Amir tanpa menunjukkan kontak fisik mampu memberikan kontribusi besar bagi anaknya sendiri dan orang lain. Konsep maskulinitas tersebut didukun unsur sinematografis (teknik pengambilan gambar, penentuan ukuran gambar, teknik pencahayaan) dan unsur naratif (tema, alur, latar, dan penokohan).

This thesis discusses the representation of masculinity in Malaikat Bayangan (1987) and Malaikat Tanpa Sayap (2012). This is a qualitative research with cultural studies approaches. There are several theories used in this study: Reeser (2010) and Beynon (2002) masculinities, Lakoff and Johnson's (2003) conceptual metaphor, Forceville's (1996) multimodal metaphor, and film structures from Boggs & Petrie (2008) and Nathan Abrams, et al (2001). Both movies have differences, especially in these points: year of production, genre, or setting. However, they were assumed to share common concepts of masculinity. Malaikat Bayangan provided representation of imperial masculinity. The imperial masculine gave his life serving the state totally without material orientation. He was not allowed to have an overly intimate relationship with women and ought to have a perfect stamina. Based on Reeser's view, the imperial masculine figure in Malaikat Bayangan can not be substituted with another type of masculinity. However, on certain occasions, the main character must be adaptive to elements of other clusters, such as metrosexual and narcissist. On the other hand, Malaikat Tanpa Sayap provided a fluid masculinity concept. The breadwinner can be subsituted with other types of masculinity, such as nurturer or imperial masculinity. The thesis focuses on masculine figures that are metaphorically regarded as angels. Conceptual metaphor application is related to their attitudes, characteristics, and experiences. In Malaikat Bayangan, Thomas gives his total commitment for the state without material reward. He has the most powerfull energy, obedient, and has good precision. Meanwhile, Malaikat Tanpa Sayap is featuring Amir as a metaforic angel in a different way. Through his own fight, without physical contact as Thomas, which is associated to the contemporary period, Amir fulfills his angelic criteria. The concept of masculinity that emerges in both movies is supported by the cinematographic elements (shooting technique, size of the image, or lighting techniques) and narrative elements (theme, plot, setting, and characterization)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T42489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunda Sri Sugiri
"Pada tanggal 22 Desember 1995, Presiden Republik Indonesia mencanangkan kemitrasejajaran wanita dan pria sebagai suatu Gerakan Nasional. Dikatakan bahwa: dengan kemitrasejajaran pria dan wanita yang harmonis, kita bangun bangsa Indonesia yang maju dan sejahtera lahir dan batin. Wanita sebagai warga negara mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria di segala bidang. Namun pada kenyataannya masih banyak ditemukan ketidak sejajaran antara wanita dan pria. Kemitrasejajaran pria dan wanita masih perlu disosialisasikan, dimulai dari keluarga sebagai pranata sosial terkecil sampai pranata yang terluas, yaitu masyarakat. Penelitian ini menitikberatkan pada relasi jender suami istri di dalam keluarga. Selain itu juga ingin diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi seorang individu (informan) terhadap pandangan dan sikap serta prilakunya tentang kemitrasejajaran wanita dan pria. Untuk melihat apakah posisi suami istri setara dalam relasi perkawinannya, pembagian kerja di dalam rumah tangga dan proses pengambilan keputusan serta posisi tawar (bargaining position) istri dalam proses tersebut, menjadi perhatian dalam penelitian ini. Empat (4) orang informan dipilih dengan kriteria sudah menikah, dalam kelompok usia dewasa muda, dan mahasiswa Universitas Indonesia.
Untuk memahami informan dan dalam menganalisis temuan lapangan, dipakai teori Sistem Ekologi, teori Sistem Keluarga dan teori Belajar Sosial. Dari keempat informan, tampaknya pembagian kerja tidak terlalu kaku dalam pelaksanaannya, dalam artian sebagai suami istri pembagian kerja di dalam keluarga tidak lagi berdasarkan jender, tetapi berdasarkan kesepakatan dan melihat situasi serta kondisi pasangannya masing-masing. Sedang posisi tawar istri oleh keempat informan dirasakan setara, karena mereka diikut sertakan pada proses pengambilan keputusan, di dengar pendapatnya dan memutuskan segala hal di dalam keluarga bersama-sama. Mereka merasa di hargai walaupun tidak mempunyai penghasilan sendiri.
Keluarga orientasi, orang tua, pendidikan, media komunikasi dan pasangan hidup beserta keluarganya merupakan faktor yang mempengaruhi pandangan dan sikap informan terhadap konsep kemitrasejajaran. Konsep kemitrasejajaran pria dan wanita sebagai suami istri yang saling menghargai, saling membantu dengan menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya masing-masing, sudah mulai diterima, dipahami dan diwujudkan, tetapi masih berada dalam proses transisi. Artinya masih dengan batasan-batasan tertentu, sesuai dengan tatanan keluarganya masing-masing."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>