Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164186 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Butarbutar, Elius Tua
"TUJUAN: Mengevaluasi variasi normal kanal fallopii segmen timpani dengan high-resolution multidetector computed tomography (HR-MDCT) serta mendapatkan nilai proporsi dehisensi dan protrusi inferior kanal fallopii segmen timpani.
METODE: Seratus sampel tulang temporal diperoleh dari rekonstruksi 50 raw data subyek yang sebelumnya dilakukan pemeriksaan CT-kepala dengan menggunakan parameter rekonstruksi slice thickness 0.6 mm, increment 0.3 mm, kernel filter H70s, dan window setting mastoid (WW 4000/WL 600). Sebelumnya, data tersebut harus memenuhi kirteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Dengan menggunakan aplikasi rekonstruksi multiplanar, kanal fallopii segmen timpani dievaluasi ada tidaknya dehisensi dan posisi terhadap oval window yang dibagi menjadi kategori protrusi ≥50% dan <50% lebar oval window serta tidak ada protrusi. Evaluasi menggunakan potongan koronal-oblik dan sagital-oblik sedemikian rupa agar struktur kanal fallopii, oval window, dan incudo-stapes terlihat jelas. Pengukuran protrusi menggunakan garis imajiner yang dibuat sejajar dengan aksis dua titik, yaitu processus lenticularis dan di tengah lebar oval window.
HASIL: Karakateristik demogratik subyek (n=50) terdiri dari 52% laki-laki dan 48% perempuan, dengan usia 7-80 tahun (rerata=44,5). Dehisensi kanal fallopii segmen timpani ditemukan 31 dari 100 sampel (31%) predominan pada laki-laki dibandingkan perempuan. Protrusi ≥50% sebanyak 4%, protrusi <50% sebanyak 15%, dan 81% tidak terdapat protrusi. Tiga dari empat sampel dengan protrusi ≥50% terdapat dehisensi kanal fallopii segmen timpani. Menggunakan uji kemaknaan Chi-square hubungan antara dehisensi dan protrusi kanal fallopii tidak terdapat hubungan bermakna (p=0.176).
KESIMPULAN: HR-MDCT dan aplikasi MPR merupakan modalitas pencitraan yang sangat berguna dalam mengevaluasi stuktur kecil telinga tengah, terutama mengobservasi adanya dehisensi dan protrusi kanal fallopii segmen timpani sebagai evaluasi pre-operatif sebelum operasi stapes.

PURPOSE: Evaluate normal variation of tympanic segment fallopian canal through high-resolution multidetector computed tomography (HR-MDCT) of which proportion of dehiscence and inferior protrusion of tympanic segmen fallopian canal can be obtained.
METHODS: One hundred sample of temporal bone which were obtained by reconstruction from raw data of 50 subjects previously performed head CT examination using parameters slice thickness 0.6 mm, increment 0.3 mm, kernel filter H70s, and window setting of mastoid (WW 4000/WL 600). Beforehand, subject data have to fulfil inclusion criteria and there?s no exclusion criteria. Using multi-planar reconstruction (MPR) application, tympanic segment fallopian canal were evaluated from the presence of dehiscence and its position towards oval window which were categorized into ≥50% protrusion oval window width, <50% protrusion oval window width, and no protrusion. Evaluation were using coronal-oblique and sagittal-oblique planes so that fallopian canal, oval window, and incudo-stapes superstructures can be fine depicted. Measurement of protrusion using imaginary lines which were made parallel to axis of two points, processus lenticularis and the middle of oval window width.
RESULTS: Subjects demographic characteristics (n=50) consist of 52% men and 48% women, aged from 7 untill 80 years old (mean= 44.5). Presence of tympanic segment fallopian canal dehiscensce were found in 31 of 100 samples (31%) predominantly in men than women. Presence of ≥50% protrusion were found 4%, <50% protrusion 15%, and the remaining 81% samples do not have protrusion. Three of four samples of ≥50% protrusion were dehiscent, while one samples was not dehiscent. Using Chi-square significance test, there?s no significant relationship between fallopian canal dehiscence and protrusion (p=0.176).
CONCLUSION: HR-MDCT and application of MPR were invaluable imaging tools to evaluate middle ear superstructures, especially in this study to observe presecence of dehiscence and protrusion of tympanic segment fallopian canal as a pre-operative evaluation before stapes surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Gamal Sukaryono
"Persepsi terhadap lingkungan terjadi karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya, Ittelson, dkk (1978) berpendapat bahwa persepsi terhadap lingkungan dipengaruhi oleh komponen penting seperti kognitif, afektif, dan interpretasi. Sedangkana Paul A. Bell dkk (1978) berpendapat bahwa hubungan manusia dengan objek di lingkungan akan menimbulkan kontak fisik antara individu dengan lingkungannya. Persepsi adalah suatu proses kognitif yang konkrit, yang menghasilkan suatu gambaran unik tentang sesuatu yang barangkali sangat berbeda dengan kenyataan (David Krech, 1962). Bahan berbahaya adalah rat, bahan kimia dan biologi, baik(dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat racun, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan fritasi (Dep.Kes RI, 1996). Risiko adalah suatu kejadian yang objektif dan bersifat ekstemal sekalipun seseorang yang terpapar kemungkinan tidak menyadari akan akibat kerugian itu (Kertonegoro, 1991: 9).
Adanya perbedaan persepsi pekerja kamar gelap terhadap penggunaan bahan berbahaya dan berisiko dalam kegiatan di kamar gelap, ternyata dapat memberikan dampak negatif kepada keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan kerja. Tersedianya APD yang mencukupi , SOP yang memadai, kontrol dan evaluasi yang teratur serta desain kamar gelap yang memenuhi standar, tidak memiliki dan pengaruh apa-apa apabila persepsi pekerjanya memiliki persepsi yang cenderung negatif dan ini dapat menghambat pada upaya peningkatan keselamatan hidup pekerja melalui keselamatan dan kesehatan kerja. Kegiatan dan pekerjaan di dalam kamar gelap mengandung bahaya dan risiko oleh karenanya harus ditangani secara serius, mengingat efek samping negatif yang dapat ditimbulkannya berisifat korosif, oksidatif dan karsinogenik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor individu yang meliputi umur, pendidkan, lama kerja dan kebiasaan (variabel independen) dengan persepsi yang meliputi aspek kognitif, aspek afektif dan aspek interpretasi (variabel dependen) terhadap penggunaan bahan berbahaya dan berisiko. Penelitian dilakukan di 72 instalasi radiologi Rumah Sakit wilayah DKI Jakarta yang meliputi rumah sakit milik Dep.Kes, Pemda, BUMN dan Swasta. Pada tanggal 20 Juni sampai dengan 10 Agustus 2002 desain penelitian ini adalah Deskriptif dan Analitik dengan pendekatan Cross Sectional sampel sama dengan populasi, karena sampel terbatas dilakukan dengan metode Key Informan yang dibatasi pada pekerja yang khusus bekerja dan bertugas di kamar gelap saja, pekerja minimal 1 tahun melakukan aktifitas setiap hari rata - rata 150 lembar film, memiliki jam kerja 7 - 8 jam per hari, proses di kamar gelap dilakukan dengan 2 (dim) sistem sekaligus yaitu manual dan otomatis. Penyajian hasil penelitian dilakukan dengan 3 (tiga) jenis analisis yang diharapkan dapat menjawab hipotesis penelitian. Analisis univariat untuk mengetahui distribusi frekuensi pekerja berdasarkan umur, pendidikan, lama kerja dan kebiasaan serta persepsi pekerja terhadap penggunaan bahan berbahaya dan berisiko yang meliputi kognitif, afektif dan interpretasi. Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen, sedangkan analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel dependen umum yang paling kuat memperlihatkan adanya hubungan dengan variabel dependen, sekaligus untuk melihat ada tidaknya interaksi.
Hasil penelitian menunjukkan seluruh pekerja memiliki persepsi negatif yang lebih hesar prosentasenya yaitu kognitif terhadap bahan berbahaya (55,3%), kognitif terhadap bahan berisiko (72,3%). afektif terhadap bahan berbahaya (63,8%), afektif terhadap bahan berisiko (70,2%), interpretasi terhadap bahan berbahaya (57,7%), interpretasi terhadap bahan berisiko (95,7%). Dari hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa umur dan kebiasaan secara umum tidak ada hubungan dengan persepsi, sedangkan pendidikan dan lama kerja secara umum ada hubungan dengan persepsi. Sementara itu faktor individu yang paling dominan terhadap kognitif bahan berbahaya adalah pendidikan P Value = 0.042, sedangkan untuk kognitif bahan berisiko adalah lama kerja P Value = 0,070 , dan interpretasi bahan berbahaya adalah larva kerja P Value = 0,010.
Berdasarkan hasil penelitian maka saran yang diajukan meliputi : sebaiknya pekerja kamar gelap berpendidikan minimal SLTA, perlu dilengkapi catatan riwayat kesehatan kerja dari mulai masuk. perlu diadakannya pelatihan manajemen K-3 dalam rangka pengembangan SDM kamar gelap. Sebaiknya disusun program pramosi kesehatan bagi pekerja kamar gelap dan tentunya dalam upaya menjaga dan meningkatkan keselamatan hidup pekerja kamar gelap sebaiknya dilakukan pemeriksaan kesehatan minimal 1 (satu) kali dalam setahun. Untuk penelitian lanjutan sebaiknya dilakukan pada areal penelitian yang lebih luas agar memperoleh responden yang lebih banyak.

Perception of Radiographer towards Hazardous Chemical Material in Hospital Radiology Installation in DKI Jakarta areasPerception towards environment happens since there is interaction between individual and its environment, Ittelson (1978) is of certain opinion that perception towards its environment is influenced by important components such as cognitive, affective and interpretation. Paul A. Bell (1978) is of certain opinion that human relation with object in their environment will emerge physical contact between individual and its environment. Perception is a concrete cognitive process resulting unique description concerning something might be truly different with the reality (David Krech, 1962). Hazardous materials is substance, chemical and biological material, both single or mixture which could be both directly or indirectly dangerous for health and environment since it is poisonous, carcinogenic, teratogenic, mutagenic, corrosive, and irritating (Dep.Kes RI, 1996). Risk is objective and external occurrence even someone getting radiation might not realize the disadvantage of it (Kertonegoro, 1991:9).
Different perception of radiographer towards hazardous chemical material in darkroom activities, apparently could give negative side effect to safety, health and pleasure of work. Availability of sufficient APD, SOP, regularly control and evaluation and standardization of darkroom design will not give any influence if the workers tend to negatif perception and it could impede the efforts of improving sun'ival chance of the workers through safety and health of work. Activities and works in darkroom have hazard and risk, thereby it should be handled seriously, considering negative side effect emerged could be corrosive, oxidative, and carcinogenic.
The study is intended to find out the relation between individual factor covering age, educational background, work period and habit (independent variable) and perception covering aspect of cognitive, affective an interpretation (dependent variable) towards usage of hazardous and risky material. The research has been done in 72 Hospital Radiology Installation in DKI Jakarta areas covering hospitals of Dep. Kes , Local Government (Penrda)_ BUMR' and Private Company. From 20 June to 10 August 2002, the research design is Descriptive and Analytic with Sample Cross Sectional Approach is same with population since limited samples was done with Key informant method. This method is limited for workers working particularly in darkroom only. The workers has minimum working period of 1 year, doing average activities everyday of 150 film sheet, having working hours of 7-8 hours per day, process in darkroom was done with 2 (two) systems, manual and automatic. Presentation of research result was done in 3 (three) analysis which hopefully can answer the study hypothesis. Analysis of Univariat is done to find out workers frequency distribution based on age, educational background, working period, habit and workers' perception towards hazardous and risky material usage covering cognitive, affective and interpretation. Analysis of Bivariat is done to find out relation between independent variable and dependent variable. Analysis of Multivariat is done to find out the strongest general dependent variable showing the relation between dependent variable, at once to find out whether there is reaction or not.
The research result shows that all of workers has bigger percentage of negative perception as follows, cognitive towards hazardous material (55,3%), cognitive towards risky material (72,3%), affective towards hazardous material (63,8%), affective towards risky material (70,2%), interpretation towards hazardous material (57,7%), interpretation towards risky material (95,7%). Result of analysis of Bivariat shows that generally age and habit has nothing to do with perception and generally educational background and working period has something to do with perception. Meanwhile, the most dominant individual factor towards cognitive of risky material is Educational Background P Value = 0,042, for cognitive of risky material is Working Period P Value = 0.070. and interpretation of hazardous material is Working Period P Value = 0.010.
Based on research result, following is the suggestions, it would be better if darkroom worker has the minimum educational background of high school, necessarily equipped with working medical record from the first time hired. It is necessary to run Training of Management of Working Safety and Health in order to develop Human Resources of darkroom_ It would be better if promotion program for darkroom workers is arranged and of course in order to keep and improve survival chance of darkroom workers, it is better to run medical check up 1 (one) time in a year at a minimum. For next research, it would be better to be done in wider scope of research to get more respondents.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T7280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Rahma Hidayati
"[ABSTRAK
Latar belakang: Penggunaan media kontras pada pemeriksaan radiologi dengan kondisi pasien mengalami insufisiensi fungsi ginjal dapat menyebabkan resiko terjadinya CIN pada kontras iodine dan NSF pada kontras paramagnetik. Oleh karena itu, penilaian fungsi ginjal penting dilakukan sebelum pemeriksaan radiologi kontras. Permasalahannya untuk menilai fungsi ginjal dengan baku emas sulit dilakukan sehingga digunakan formula MDRD dan CKD-EPI untuk menghitung eGFR. Faktor ras menjadi salah satu variabel dalam formula penghitungan eGFR, belum ada untuk populasi Indonesia yang termasuk ras Melanesia dan Malayan-Mongoloid. Tujuan: Menilai apakah terdapat korelasi antara pengukuran eGFR metode MDRD dan CKD-EPI dengan pengukuran GFR 99mTc-DTPA metode Gates pada pasien CKD. Metode: Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder pasien yang menjalani pemeriksaan skintigrafi renal di RSUPN Cipto Mangunkusumo serta pemeriksaan kreatinin serum bulan Februari 2012-Januari 2015. Data kasar dinilai ulang GFR skintigrafi renal menggunakan metode Gates dari pesawat Siemens Symbia T2 dan dihitung nilai eGFR menggunakan formula MDRD dan CKD-EPI. Analisa data dilakukan untuk mendapatkan nilai korelasi eGFR formula MDRD dan CKD-EPI dengan GFR skintigrafi renal sebagai baku emas. Hasil: Jumlah subjek penelitian 47 orang, dengan hasil terdapat korelasi positif, kekuatan korelasi baik antara nilai eGFR MDRD dengan GFR skintigrafi renal dengan persamaan:nilai GFR skintigrafi renal=16,60+0,70xnilai eGFR MDRD. Terdapat korelasi positif, kekuatan korelasi baik antara nilai eGFR CKD-EPI dengan GFR skintigrafi renal dengan persamaan:nilai GFR skintigrafi renal=12,74+0,78xnilai eGFR CKD-EPI; nilai GFR dalam ml/menit/1,73m2. Kesimpulan : Formula persamaan eGFR MDRD dan CKD-EPI dapat digunakan dalam klinis untuk memperkirakan nilai GFR skintigrafi renal.

ABSTRACT
Background: The use of contrast media for radiology examination in patients with renal function insufficiency can lead to the risk of CIN (Contrast Induced Nephropathy) on contrast iodine and NSF (Nephrogenic Systemic Fibrosis) on paramagnetic contrast. Therefore, assessment of renal function is important to be done prior to contrast radiology. The problem is assessing renal function with a gold standard, clinically difficult, therefor using MDRD and CKD-EPI formula to calculate eGFR. Factors race became one of the variables in the formula calculating eGFR, yet for Indonesian population included in the Melanesian and Malayan-Mongoloid race.Objective. To evaluate correlation value between eGFR measurement using MDRD and CKD-EPI methods with GFR Gates methods using 99mTc-DTPA in patients with CKD.Method: Cross sectional research using secondary data of patients who underwent renal scintigraphy in Cipto Mangunkusumo and serum creatinine examination in February 2012 to January 2015. The raw data then reassessed GFR renal scintigraphy using the Gates of Siemens Symbia T2 machine and eGFR values calculated using the formula MDRD and CKD-EPI. Data analysis was used to obtain a correlation value formula MDRD eGFR and CKD-EPI with GFR renal scintigraphy as the gold standard. Result: Total subject is 47 people. There is a positive correlation with good correlation value between MDRD eGFR value and renal scintigraphy GFR using this approach:renal scintigraphy GFR value=16,60+0,70xMDRD eGFR value. There is also a positive correlation with good correlation value between MDRD eGFR value and renal scintigraphy GFR value using this approach:renal scintigraphy GFR value=12,74+0,78xCKD=EPI eGFR value. Conclusion : Formula equation MDRD and CKD-EPI eGFR can be used clinically to estimate renal scintigraphy GFR, Background: The use of contrast media for radiology examination in patients with renal function insufficiency can lead to the risk of CIN (Contrast Induced Nephropathy) on contrast iodine and NSF (Nephrogenic Systemic Fibrosis) on paramagnetic contrast. Therefore, assessment of renal function is important to be done prior to contrast radiology. The problem is assessing renal function with a gold standard, clinically difficult, therefor using MDRD and CKD-EPI formula to calculate eGFR. Factors race became one of the variables in the formula calculating eGFR, yet for Indonesian population included in the Melanesian and Malayan-Mongoloid race.Objective. To evaluate correlation value between eGFR measurement using MDRD and CKD-EPI methods with GFR Gates methods using 99mTc-DTPA in patients with CKD.Method: Cross sectional research using secondary data of patients who underwent renal scintigraphy in Cipto Mangunkusumo and serum creatinine examination in February 2012 to January 2015. The raw data then reassessed GFR renal scintigraphy using the Gates of Siemens Symbia T2 machine and eGFR values calculated using the formula MDRD and CKD-EPI. Data analysis was used to obtain a correlation value formula MDRD eGFR and CKD-EPI with GFR renal scintigraphy as the gold standard. Result: Total subject is 47 people. There is a positive correlation with good correlation value between MDRD eGFR value and renal scintigraphy GFR using this approach:renal scintigraphy GFR value=16,60+0,70xMDRD eGFR value. There is also a positive correlation with good correlation value between MDRD eGFR value and renal scintigraphy GFR value using this approach:renal scintigraphy GFR value=12,74+0,78xCKD=EPI eGFR value. Conclusion : Formula equation MDRD and CKD-EPI eGFR can be used clinically to estimate renal scintigraphy GFR]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dessy Wimelda
"Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data profil kanalis fallopii segmen mastoid dan korda timpani sebelum operasi mastoidektomi untuk mengurangi angka morbiditas cedera kanalis fallopii akibat operasi.
Metode: Pada penelitian retrospektif ini dilakukan rekonstruksi High-Resolution Computed Tomography tulang temporal terhadap 100 tulang temporal normal pada 50 pasien yang menjalani pemeriksaan CT scan kepala dan leher, yang diambil dari raw-data mulai Desember 2012 sampai Februari 2013. Rekonstruksi dilakukan dengan parameter ketebalan irisan 0,6 cm, increment 0,3 cm, Kernel filter Very Sharp (H70s), Window setting Osteo/Mastoid, menggunakan pesawat MDCT Somatom Definition Flash Dual Source 128 slice.
Hasil dan diskusi: Bentuk kanalis fallopii segmen mastoid paling banyak ditemukan tipe lurus sebanyak 75%, defleksi terhadap bidang sagital dan defleksi terhadap bidang horizontal anatomi paling banyak ditemukan tidak terdapat defleksi sebanyak 62% dan 68%. Percabangan korda timpani paling banyak ditemukan intratemporal sebanyak 75%, yang tersering pada 1/3 distal kanalis fallopii segmen mastoid. Sudut korda timpani yang dibentuk korda timpani terhadap kanalis fallopii segmen mastoid paling banyak ditemukan antara 16 sampai 30 derajat sebanyak 37,3%. Ukuran korda timpani yang minimal tervisualisasi adalah 0,04 cm.
Kesimpulan: Proporsi defleksi kanalis fallopii segmen mastoid terhadap bidang sagital dan horizontal adalah tidak terdapat defleksi.

Objectives: This research was conducted to obtain profile data of mastoid segment of fallopian canal and tympanic cord before masteidectomy to reduce the morbidity rate of surgery-related fallopian canal injury.
Material and method: In this retrospective study reconstruction of High Resolution Computed Tomography of the temporal bone in 100 normal temporal bone in 50 patients who underwent a CT scan of the head and neck, were taken from the raw-data from December 2012 to February 2013. Reconstruction is done by parameters slice thickness 0,6 cm, increment 0,3 cm, Kernel filter Very Sharp (H70s), Window setting Osteo/Mastoid,using MDCT Somatom Definition Flash Dual Source 128 slice.
Result: Mastoid segment of fallopian canal commonly found type of straight as much as 75%, deflection of the sagittal plane and the horizontal field of anatomy most commonly found there was no deflection were 62% and 68%, respectively. Branching chordate tympani most commonly found intratemporal as much as 75%, which is common in 1/3 distal of mastoid segmen fallopian canal. The angled formed by chorda tympani and mastoid segment fallopian canal is most prevalent among 16 to 30 degrees as much as 37.3%. The minimum size of the chorda tympani is 0.04 cm.
Conclusion: Proportion of deflection mastoid segment facial canal of the sagittal and horizontal plane there is no deflection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Biddulth
"Pendahuluan : Insidensi pembesaran kelenjar prostat mencapai 50% pada pria berusia 50 tahun keatas. Berbagai modalitas pemeriksaan radiologi memiliki sensitifitas yang berbedabeda dalam estimasi volume kelenjar prostat. Modalitas yang paling tersedia di Indonesia pada layanan kesehatan adalah USG transabdominal dan Computed tomography scan (CT scan).
Tujuan : Menilai korelasi modalitas USG transabdominal dan CT scan dalam estimasi ukuran volume kelenjar prostat.
Metode : Studi korelasi dilakukan pada pasien pria berusia diatas 50 tahun keatas yang menjalani pemeriksaan CT scan whole abdomen dan dilakukan pengukuran volume kelenjar prostat dengan USG transabdominal. Setiap dimensi ukuran kelenjar prostat dan volume merupakan data numerik terdistribusi tidak normal, sehingga digunakan uji Spearman.
Hasil : Dari 23 subjek penelitian, didapatkan korelasi dimensi panjang (r=0,53, p=0,01), dimensi lebar (r=0,81, p=0,00), dan dimensi tinggi (r=0,64, p=0,001) yang signifikan. Untuk korelasi volume kelenjar prostat (r=0,80, p=0,000) didapatkan signifikan.
Kesimpulan : Terdapat korelasi yang signifikan pada setiap ukuran dimensi kelenjar prostat dan volume yang didapatkan.

Introduction : Prostate gland enlargement incidence about 50% in male population age 50 years and above. There are so many radiology modalities with difference sensitifity in estimating prostate volume. The most available modalities in Indonesian health care services are transabdominal sonography and computed tomography scan (CT scan).
Objective : Assessing correlation in both modalities in evaluating prostate volume measurement.
Methods : Correlation study was done in male ages 50 years and above underwent whole abdominal CT scan and prostate gland were measured by transabdominal sonography. Both numeric data were abnormal distribution, so Spearman test was done.
Results : There are significant correlation either between length (r=0,53, p=0,01), wide (r=0,81, p=0,00), and height dimensions (r=0,64, p=0,001) or volume measurement (r=0,80, p=0,000) in 23 subjects.
Conclusions : Significant correlation either in each prostate dimension or prostate volume measurement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kania Hanna Suherman
"Latar Belakang: Informasi radiografis mengenai kehilangan tulang berperan penting dalam penentuan diagnosis, rencana perawatan, dan prognosis periodontitis. Pengklasifikasian diagnosis periodontitis berdasarkan AAP 2017 mencakup komponen kehilangan perkelatan klinis dan persentase kehilangan tulang radiografis yang menghasilkan diagnosis periodontitis berdasarkan tingkat keparahan. Tujuan: Melihat tingkat kesesuaian diagnosis radiografis berdasarkan persentase kehilangan tulang dengan diagnosis klinis berdasarkan kehilangan perlekatan. Metode: Menggunakan studi potong lintang menggunakan 70 sampel komponen data kehilangan perlekatan klinis rekam medis dan radiograf intraoral sisi proksimal sampel gigi dengan diagnosis dan kerusakan terparah dari pasien periodontitis kronis di RSKGM FKG UI. Perhitungan kerusakan menggunakan persentase kehilangan tulang dengan mengukur jarak CEJ ke defek tulang terparah dan jarak CEJ ke ujung apeks gigi. Hasil: Uji komparatif Wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara diagnosis klinis dan radiografis berdasarkan klasifikasi AAP 2017 mengenai periodontitis dengan nilai p=0,003. Sebanyak 64,3% sampel memiliki kesesuaian diagnosis klinis dan radiografis, 27,1% sampel memiliki diagnosis radiografis < klinis, dan 8,6% sampel memiliki diagnosis radiografis > klinis. Kesimpulan: Diperlukan dua alat diagnostik untuk menentukan tingkat keparahan periodontitis, yaitu secara klinis dan diikuti dengan pemeriksaan radiografis untuk menutupi limitasi dari masing-masing jenis pemeriksaan. Berdasarkan kesesuaian diagnosis yang signifikan, radiograf periapikal dapat digunakan untuk membantu diagnosis periodontitis.

Background: Radiographic information regarding bone loss plays an important role in determining periodontitis diagnosis. The AAP 2017 classification of periodontitis diagnosis uses CAL and the RBL that would result in a periodontitis diagnosis based on the severity and disease progression. Objectives: The study was aimed to compare the diagnosis based on a percentage of RBL and clinical diagnosis based on CAL. Methods: The cross-sectional study was conducted on 70 samples using CAL and percentage of RBL in proximal sites. Radiographic assessment was done by calculating the distance from CEJ to proximal bone defects and from CEJ to root tip. Result: The result of the Wilcoxon comparative test showed a statistically significant difference between clinical and radiographic diagnosis based on the AAP 2017 classification with p-value=0.003. The result showed that 64,3% had clinical diagnosis = radiographic diagnosis, 27,1% had a radiographic diagnosis < clinical diagnosis, and 8,6% had a radiographic diagnosis > clinical diagnosis. Conclusion: Two diagnostic tools are needed to determine the severity of periodontitis, clinically and followed by a radiographic examination to cover the limitations of each examination. Based on the significant accuracy of the diagnosis, the periapical radiograph can be used to assist in the periodontitis diagnosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Syaifuddin
"Latar belakang: Insidens pasien anak dengan kecurigaan refluks gastresofageal cukup tinggi. Distribusi alat skintigrafi di Indonesia lebih banyak dari alat pH metri, oleh karena itu kami melakukan penelitian ini untuk membandingkan hasil pemeriksaan skintigrafi refluks gastroesofageal dengan monitoring pH 24 jam dalam mendeteksi refluk gastroesofageal dan hubungannya dengan aspirasi para.
Metode dan material: dalam kurun waktu september 2003 - februari 2004 dilakukan pemeriksaan skintigrafi refluks gastroesofageal, skintigrafi aspirasi pare menggunakan radiofar maka 99D1Tc Sulfur Koloid dan monitoring pH 24 jam pada 9 anak dengan kecurigaan klinis penyakit refluks gastroesofageal.
Hasil Fenelitian: dari 9 anak yang diperiksa didapatkan 7 anak dengan hasil positif pada skintigrafi refluks dan 3 anak dengan hasil positif monitoring pH 24 jam, sehingga didapatkan sensitifitas 100% dan spesifisitas 33,33% tidak didapatkan hasil positif pada hasil skintigrafi aspirasi para.
Kesimpulan: monitoring pH 24 jam adalah baku emas dalam mendeteksi penyakit refluks gastroesofageal, tapi dalam keadaan tertentu dimana monitoring pH 24 jam sulit dilakukan maka skintigrafi refluks gasroesofageal dapat dipakai sebagai alternatif pemeriksaan.

Background: Gastroesopliageal refluks (GER) disease in children is quite high. But distribution of pH metri apparatus is not widely distributed than nuclear scintigraphy, therefore we perform this study to compare nuclear scintigraphy examination with 24 hours pH monitoring and the relationship with pulmonary aspiration in children.
Method and materials: Between September 2003 until February 2004 we performed GER and pulmonary aspiration nuclear scintigraphy with 9 Tc sulfur coloid and 24 hours pH monitoring in 9 patient with clinical suspicious of GER.
Result: From 9 patients, there are 7 patients have positive diagnosis on refluks scintigraphy and 3 patients positive on 24 hours pH monitoring. Sensitivity is 100% and spesificity is 33,33% respectively. No positive result on aspiration scintigraphy.
Conclusion: 24 hours pH monitoring is a golden standard to detect GER disease, but in a few case where this examination difficult to performed, GER nuclear scintigraphy is an alternative examination that should be considered.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T20864
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Suryantoro
"Nowadays, instant film is being an alternative choice on supportive radiographic examination in dentistry. Early diagnosis of alteration in periodontal tissue, especially gingiva which has a low density, on a conventional radiographic image often give a difficulty to the dentists. Detail image of soft tissue can be gained by decreasing radiographic contrast. Added aluminium filter itself can influence radiographic contrast. The purpose of this research is to observe the effect of coin Rp. 100,- as added aluminium filter in increasing the detail of intraoral image of interdental object with D-speed instant film Hanshin© on phantom. Sixty radiographic images were taken. 30 films added with aluminium filter and 30 films without any added filter. The examination was taken by measuring the height of vertical dimention of interdental papilla?s opacity with caliper. Data gained in the region of interest which was the interdental papilla between mandibular right first molar and mandibular second molar were analize with independent-sample t test. The result showed that there is differences in mean of the height of interdental object?s opacity (p<0,05). It was concluded that coin Rp. 100,- as added aluminium filter can increase the radiographic detail of interdental object with instant film compare with the intraoral image without any added filtration.

Dewasa ini, penggunaan film instan menjadi pilihan alternatif dalam pemeriksaan penunjang radiografis di bidang kedokteran gigi. Deteksi dini perubahan jaringan periodonsium pada radiograf konvensional sering memberikan kesulitan bagi dokter gigi, terutama jaringan lunak/gingiva yang mempunyai densitas minimal. Gambaran detil jaringan lunak dapat diraih dengan cara menurunkan kekontrasan radiograf. Penggunaan filter aluminium tambahan dapat mempengaruhi kekontrasan radiograf. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh uang logam seratus rupiah sebagai filter dalam meningkatkan detil gambaran radiografis obyek interdental model gigi pada foto intraoral dengan film instan Hanshin D-speed. Obyek penelitian adalah 60 buah radiograf, 30 tanpa menggunakan filter alumunium dan 30 radiograf menggunakan filter aluminium. Pemeriksaan detil dilakukan dengan cara mengukur panjang dimensi vertikal opasitas papila interdental menggunakan kaliper (milimeter). Data yang diperoleh adalah data numerik. Regio yang diperiksa adalah obyek interdental antara gigi molar 1 bawah kanan dengan gigi molar 2 bawah kanan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata panjang dimensi vertikal opasitas obyek interdental (uji t tidak berpasangan, p<0,05). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa filter aluminium berupa uang logam Rp 100,- (seratus rupiah) terbukti dapat meningkatkan detil obyek interdental model gigi foto intraoral dengan film instan dibandingkan dengan foto tanpa menggunakan filter."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benito Budidharma S.
"Aluminium had been used as filter inside the X-ray tube, in order to refine low energy photon that will decrease the radiographic quality. The use of this additional aluminium filter is expected to increase the detail in the interdental area, the first area affected in periodontal disease. Periodontal disease is the second most prevalent disease in Indonesia after caries. According to preventive principles, early recognition in periodontal tissue changes is necessary. The lack of modern radiographic equipment in Indonesia has become the major problem of detecting early periodontal disease, especially in the rural area. Therefore, it is important to increase the quality of diagnostic information in conventional radiograph, to detect early changes of periodontal tissue. The aim of this research is to observe the increasing detail in interdental area using additional aluminium filter. This research is held in Department of Dental Radiology, University of Indonesia, within 4 months period, with interdental area between right mandibular first molar and second molar in the radiographic phantom as the subject. The methodology used in this research is laboratoric experimental. The t-test result between filtered radiograph group and non-filtered radiograph group is p = 0,000 (p < 0,025). Therefore it is concluded that the use of additional aluminium filter can increase object detail in the interdental area.

Aluminium telah digunakan sebagai filter di dalam tabung pesawat sinar-X. Filter ini berfungsi untuk menyaring sinar-X berenergi rendah, yang menyebabkan berkurangnya kualitas radiograf. Penggunaan filter aluminium sebagai filter tambahan diharapkan dapat memperjelas detil daerah interdental yang merupakan tempat awal penyakit periodontal. Penyakit periodontal sampai saat ini merupakan penyakit gigi dan mulut yang menduduki peringkat ke dua setelah karies. Sesuai prinsip preventif, maka diperlukan deteksi dini terhadap perubahan jaringan periodonsium. Keterbatasan tersedianya alat radiografi modern di Indonesia merupakan masalah dalam deteksi dini penyakit periodontal, terutama di luar kota besar. Untuk itu diperlukan peningkatan kualitas informasi diagnostik radiograf konvensional dalam mengevaluasi perubahan dini jaringan periodonsium. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan detil gambaran radiografik daerah interdental dengan menggunakan filter aluminium tambahan. Penelitian ini dilakukan di Klinik Radiologi Departemen Radiologi Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, selama 4 bulan, dengan subyek daerah interdental antara gigi molar satu rahang bawah kanan dan gigi molar dua rahang bawah kanan pada phantom radiografik. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental laboratorik. Berdasarkan uji statistik antara kelompok radiograf dengan menggunakan filter dan kelompok radiograf tanpa filter aluminium tambahan, dengan menggunakan uji t tidak berpasangan didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,025). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan filter aluminium tambahan dapat meningkatkan detil obyek daerah interdental."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Purnomo Wara Agung
"Instalasi Radiologi merupakan salah satu unit penunjang yang penting dalam membantu menegakkan diagnosa sehingga mutu pelayanannya harus memenuhi bahkan melebihi harapan dokter perujuk. Bahkan keberadaannya dapat menjadi produk unggulan atau kebanggaan rumah sakit sesuai dengan teknologi peralatan yang digunakannya.
RSUD Sekarwangi yang mempunyai peluang dengan posisi strategis dan cukup banyak pemasok dari perusahaan di sekitar, ditambah kekuatan dari kenaikan unit produksi (Rawat Jalan, Rawat Inap, UGD, dsb), data epidemiologi serta tarif yang relatif murah. Ternyata kurang dapat menghadapi tantangan unit radiologi di luar RSUD Sekarwangi yang relatif lebih baik dan cepat hasilnya. Hal ini dibuktikan dengan kelemahan pemanfaatan pelayanan radiologi di RSUD yang belum optimal dan adanya rujukan keluar rumah sakit.
Dua hal yang menjadi fokus penelitian ini yaitu mutu pelayanan radiologi dan dokter perujuk. Sehingga tujuan dari penelitian ini, untuk mengetahui kepuasan dokter perujuk terhadap mutu pelayanan dan minat untuk merujuk kembali ke Instalasi Radiologi RSUD Sekarwangi.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode survey, yang akan melihat hubungan kepuasan dokter perujuk dengan minat merujuk kembali dan mutu pelayanan dimensi servqual. Untuk kepentingan manajemen rumah sakit, kepuasan dokter perujuk akan dianalisis dengan importance performance matrix dan tingkat kesesuaiannnya.
Kesimpulan hasil penelitian ditemukan kualitas pelayanan yang belum memuaskan ada 6 faktor yang berada dalam kuadran I dari importance performance matrix. Prioritas yang perlu ditingkatkan atau koreksi pada faktor kecepatan pelayanan dengan tingkat kesesuaiannya paling rendah yaitu 47,59 %. Secara deskriptif, sebagian besar kepuasan dokter perujuk keseluruhan terhadap pelayanan radiologi rendah 52,78 % dengan minat merujuk sedang 44,44 %.
Terdapat hubungan antara minat merujuk kembali dengan kepuasan dokter perujuk keseluruhan maupun tiap dimensi Servqual. Demikian juga terdapat hubungan antara kepuasan dokter perujuk dengan mutu pelayanan Servqual. Oleh sebab itu perlu ditingkatkan dan diperbaiki faktor-faktor mutu pelayanan yang berada dalam kuadran I atau tingkat kesesuaiannya rendah agar meningkatkan kepuasan dokter perujuk dan minat merujuk kembali.

The radiology instancy has been getting either to back up helping to rise up diagnosa, so as to the qualified service must qualify, while the existency could become the superior product or the hospital pride to get suitable with the technology to be used it.
RSUD sekarwangi has been having the strategistive position and has been getting enough the backers up from firms, it has been added the strength from the unit production, epidemiology data also the chepest price. It has been really, not to stand against the unit chillence of radiology out of RSUD Sekarwangi which has better and quickest. Result, well, it has been improofed with radiology weakness benefit service at RSUD that hasn't been getting optimal and it has been available to replace the hospital.
Two cases has been becoming the research focus namely : the qualified radiology service and a doctor. So far as the aim from this research has been knowing the doctor's satisfaction through the qualified service and wishing to replace to Radiology Sekarwangi RSUD.
This research has been getting the quantitative with survey methode, the doctor's satisfaction will be dianalysis with the importance-performance matrix and the big one ofadaptation between the qualified work as well as the doctor's importance. The connection the qualified service with the doctor's satisfaction, also the connection of doctor's satisfaction by wishing to replace dianalysis with the statistic test.
The conclusion of research result had been found the qualified service that hasn't been getting satisfactive to have six factors to be available in the first quadrant from importance-performance matrix. The priority to need to be branched up or the correction on the speed service factor because of the adoptation has been getting the lowest one namely 47,59 %.
It has been getting descriptively which has been getting the biggest one of the doctor's satisfaction all of services of the lowest radiology 52,78 % by wishing to replace to get enough 44,44 %. Double regression test result has been showing to get exist the connection between the qualified sevice of servqual dimension by the doctor's satisfaction but the test result qualifaction couldn't explain the emphaty doctor's satisfaction. The doctor's connective satisfaction through the subrnittive wishing with crostabulation and Che square Analysis result to get affective each other. Therefore to require to be rised up and to be betterened the qualified factors of service that has been getting in the first quadrant or the low adoptation level, in order to branching up doctor's satisfaction and the wishing to replace.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>